Anda di halaman 1dari 30

Proses Prestasi, Motivasi, Hubungan dan Konteks Sosio

Kultural Kelas Sebagai Konteks Penilaian, Teks


Tradisional Penilaian Alternatif dan Pemberian
Peringkat dan Pelaporan Pekerja
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas Mata Kuliah Pengantar Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Rizal Arsyad, M.Pd

Oleh Kelompok X
Endang Faradilla (20221033)
Wulan Purbosari (20221032)

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH


IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) MANADO
1444 H/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas


rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Proses Prestasi, Motivasi, Hubungan dan Konteks Sosio Kultural
Kelas Sebagai Konteks Penilaian, Teks Tradisional Penilaian
Alternatif dan Pemberian Peringkat dan Pelaporan Pekerja” ini tepat
pada waktunya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Rizal Arsyad, M.Pd,


yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga dapat menambah
wawasan terhadap mata kuliah yang kami tekuni.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penulisan


makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dari segi bahasanya. Untuk
itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan
untuk kesempurnaan makalah kedepannya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna baik untuk penulis maupun pembaca.

Manado, 18 September 2023


Penulis

Kelompok X

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian proses prestasi......................................................................3
B. Motivasi, hubungan, dan konteks sosio kultural....................................3
C. Kelas sebagai konteks penilaian...........................................................13
D. Teks tradisional penilaian alternatif.....................................................18
E. Pemberian peringkat dan pelaporan kinerja.........................................21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................24
B. Saran.....................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, untuk mencapai pendidikan yang tinggi
tidak dapatdipisahkan dari prestasi yang unggul. Siswa yang memiliki
keunggulan dalam prestasidapat dengan mudah untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Nasution Citation
prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapaidalam berfikir, merasa,
dan berbuat, dan dapat dikatakan sempurna apabila memenuhitiga aspek
diantaranya adalah kognitif, afektif, dan psikomotor. Berbeda dengan
Nasution, Winkel dalam mendefinisikan prestasi belajar sebagai suatu
bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam
melakukan kegiatan belajar mengajar sesuai bobot yang dicapainya.
Berdasar pengertian dari kedua tokoh, maka dapat dijelaskan
bahwa prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor seorang siswa dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Untuk mendapatkan prestasi belajar yang memuaskan, seorang
siswasetidaknya memiliki sebuah motivasi untuk belajar. Motivasi belajar
sendiri diartikansebagai kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan
belajar mengajar yang didorongoleh hasrat untuk mencapai prestasi belajar
sebaik mungkin. Dalam mencapai prestasi, siswa tentunya akan dibantu
oleh lingkungan keluarga dansosialnya.
Dalam lingkungan keluarga, orang tua pasti akan memberikan
fasilitas yang terbaik untuk mendukung proses belajar anaknya. Namun,
tidak semua orang tua mampu memberikan fasilitas belajar yang baik
untuk anaknya dikarenakan dikarenakan beberapahal seperti faktor
ekonomi yang rendah. Sedangkan dari faktor lingkungan sosial,
yangtermasuk didalamnya adalah lingkungan masyarakat sekitar tempat
tinggal siswa baik teman maupun rekan sebaya. Selain itu, guru juga

iv
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan seorang siswa didalam kelas.
Namun pada kenyataannya, masih banyak siswa yang memiliki prestasi
yangkurang memuaskan serta minat yang kurang dalam pendidikan.
Hal ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal. Dari permasalahan
tersebut, kami ingin membahas lebih lanjut mengenai motif sosial,
hubungan sosial, konteks sosiokultular, kelas sebagai konteks penilaian,
teks tradisional penilian alternatif dan pemberian peringkat dan pelaporan
kinerja dalam pengaruhnya terhadap motivasi dan prestasi siswa.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari proses dan prestasi ?
2. Apa yang di maksud dengan motivasi, hubungan dan konteks
sosiokultural ?
3. Bagaimana kelas sebagai konteks penilaian ?
4. Apa itu teks tradisional penilaian alternatif ?
5. Bagaimana pemberian peringkat dan pelaporan kinerja ?
C. Tujuan
1. Memahami proses dan prestasi.
2. Memahami motivasi, hubungan dan konteks sosiokultural.
3. Mengetahui kelas sebagai konteks penilaian.
4. Mengetahui teks tradisional penilaian alternatif
5. Mengetahui pemberian peringkat dan pelaporan kinerja.

BAB II
1
ANSI/EIA-632-1998 Processes for Engineering a System, Appendix A, hal. 66

v
PEMBAHASAN

A. Pengertian Proses Prestasi


1. Proses
Proses (Seapan dari bahasa belanda : proces) adalah urutan
pelaksanaan atau kejadian yang saling terkait yang bersama-sama
mengubah memasukan menjadi keluaran. Pelaksanaan ini dapat
dilakukan oleh manusia, alam, atau mesin dengan menggunakan
berbagai sumber daya. Jadi proses prestasi yaitu yaitu suatu
kinerja/langkah yang di tempuh dengan berbagai macam hal sehingga
dapat mencapai tujuan akhir atau mendapat hasilnya.
2. Prestasi
Prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan,
hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan
kerja. Untuk itu, dapat dipahami bahwa prestasi adalah hasil dari suatu
kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenagkan hati,
yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual
maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.
B. Motivasi Hubungan dan Konteks Sosiokultural
1. Motivasi
Menurut Sulfemi Motivasi berasal dari kata motif yang memiliki
arti kemauan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI ) motivasi berarti
dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk
melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan
kegigihan perilaku Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku
yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Motivasi mengandung
komponen sosial. Selain motif untuk berprestasi, murid juga punya
motif sosial. Bahasan kita tentang dimensi sosial dari motivasi ini akan
difokuskan pada motif sosial, hubungan sosial, dan konteks
sosiokultural dari murid.

vi
a. Motif Sosial
Menurut Wentzel Latar belakang sosial anak akan
memengaruhi kehidupan mereka di sekolah. Setiap hari murid
membangun dan mempertahankan hubungan sosial. Para periset
telah menemukan bahwa murid yang menunjukkan perilaku yang
kompeten secara sosial lebih mungkin unggul secara akademis
ketimbang murid yang tidak kompeten. Namun, secara
keseluruhan, para periset tidak banyak memberi perhatian pada
bagaimana dunia sosial murid berhubungan dengan motivasi
mereka dalam kelas.2
Motif sosial adalah kebutuhan dan keinginan yang dikenal
melalui pengalaman dengan dunia sosial. Perhatian terhadap motif
sosial muncul dari katalog kebu- tuhan (atau motif) yang disusun
Henry Murray, yang mencakup kebutuhan akan afiliasi atau
keterhubungan, yakni motif untuk merasa cukup terhubung dengan
orang lain, yang telah kami deskripsikan di awal bab ini.
Kebutuhan ini membutuhkan pembentukan, pemeliharaan, dan
pemulihan hubungan yang akrab, hangat, dan personal. Kebutuhan
sosial murid direfleksikan dalam ke- inginan mereka untuk populer
di mata teman sebaya dan kebutuhan punya satu kawan akrab atau
lebih, dan keinginan untuk menarik di mata orang yang mereka
sukai.
Menurut O'Conner & Rosenblood Meskipun setiap murid
punya kebutuhan afiliasi, beberapa murid punya kebutuhan yang
lebih kuat ketimbang murid. Beberapa murid suka dikelilingi
banyak kawan. Di SMP dan SMA, beberapa murid merasa ada
yang hilang dalam kehidupan mereka jika mereka tidak punya
pacar untuk diajak kencan pada malam minggu. Murid lainnya
tidak punya kebutuhan afiliasi sekuat itu. Mereka tidak peduli

2
Mas’ud Hasan Abdul Dahar, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015): 20.

vii
apakah mereka punya banyak kawan atau tidak dan tidak cemas
jika mereka tidak punya pacar.
Menurut Berndt Penerimaan guru dan teman adalah motif
sosial penting bagi kebanyakan murid Pada masa SD murid lebih
termotivasi untuk menyenangkan orang tuanya Penerimaan guru
ketimbang menyenangkan temannya. Menjelang akhir masa SD,
penerimaan orang tua dan teman berada dalam posisi seimbang
dalam sistem motif anak. Pada grade delapan atau sembilan
(sekolah menengah), penerimaan teman lebih penting ketimbang
penerimaan orang tua. Pada grade 12, penerimaan teman kurang
penting karena murid sudah mulai mandiri dan membuat keputusan
sendiri.
Remaja dapat merupakan masa peralihan penting dalam
motivasi prestasi dan mo- tivasi sosial (Henderson & Dweck,
1990). Tekanan akademik dan sosial memaksa remaja mengambil
peran baru yang melibatkan tanggung jawab yang lebih besar.
Setelah remaja mengalami tekanan yang lebih kuat untuk
berprestasi, kepentingan sosial mereka mungkin akan agak
terabaikan karena mereka lebih fokus pada persoalan akademik.
Atau, ambisi di satu bidang dapat melemahkan tujuan di bidang
lain, seperti ketika tujuan mengejar prestasi akademik
menyebabkan hi- langnya motif sosial. Pada masa remaja awal ini,
murid menghadapi pilihan antara mengejar tujuan sosial atau
mengejar tujuan akademik. Hasil dari keputusan ini akan berefek
jangka panjang dalam tujuan akademik dan karier mereka.
2. Hubungan
Hubungan (bahasa inggris : relationship) adalah
kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang
memudahkan proses pengenalan satu akan yang lain. Hubungan terjadi
dalam setiap proses kehidupan manusia. Hubungan dapat dibedakan
menjadi hubungan dengan teman sebaya, orang tua, keluarga,

viii
dan lingkungan sosial. Secara garis besar, hubungan terbagi menjadi
hubungan positif dan negatif. Hubungan positif terjadi apabila kedua
pihak yang berinteraksi merasa saling diuntungkan satu sama lain dan
ditandai dengan adanya timbal balik yang serasi.Sedangkan, hubungan
yang negatif terjadi apabila suatu pihak merasa sangat diuntungkan
dan pihak yang lain merasa dirugikan.
Dalam hal ini, tidak ada keselarasan timbal balik antara pihak yang
berinteraksi. Lebih lanjut, hubungan dapat menentukan tingkat
kedekatan dan kenyamanan antara pihak yang berinteraksi. Semakin
dekat pihak-pihak tersebut, hubungan tersebut akan dibawa kepada
tingkatan yang lebih tinggi.
a. Hubungan Sosial
Hubungan murid dengan orang tua, teman sebaya, kawan, guru
dan mentor, dan orang lain, dapat memengaruhi prestasi dan
motivasi sosial mereka.
1) Karakteristik demografis
orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih
mungkin percaya bahwa keterlibatan mereka dalam pendidikan
anak adalah penting. Mereka lebih mungkin untuk
berpartisipasi dalam pendidikan anak dan memberi stimuli
intelektual di rumah (Schneider & Coleman, 1993). Ketika
waktu dan energi orang tua lebih banyak dihabiskan untuk
orang lain atau untuk sesuatu yang lain ketimbang untuk
anaknya, motivasi anak mungkin akan menurun tajam. Prestasi
murid dapat menurun apabila mereka tinggal dalam keluarga
single- parent, tinggal bersama orang tua yang waktunya
dihabiskan untuk bekerja, dan tinggal dalam keluarga besar.
2) Praktik pengasuhan anak
Walaupun faktor demografis dapat memengaruhi motivasi
murid, faktor yang lebih penting adalah praktik pengasuhan
anak oleh orang tuanya (Eccles, 1993; Eccles, Wigfield, &

ix
Schiefelc, 1998). Berikut ini beberapa praktik parenting positif
yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi:
 Mengenal betul anak dan memberi tantangan dan dukungan
dalam kadar yang tepat.
 Memberikan iklim emosional yang positif, yang sendiri. Itu
menunjukkan betapa perhatian memotivasi anak untuk
menginternalisasikan nilai dan nya Anda kepada kami. Jika
saja Anda tida tujuan orang tua.
 Menjadi model perilaku yang memberi motivasi: bekerja
keras dan gigih menghadapi tantangan.
3) Provisi pengalaman spesifik di rumah
Selain praktik peng- berharap bisa bertemu Anda lagi. asuhan
umum, orang tua dapat memberikan pengalaman spesifik di rumah
untuk membantu murid menjadi lebih termotivasi. Membacakan
buku untuk anak prasekolah dan memberi materi bacaan di rumah
akan memberi efek positif pada prestasi dan motivasi membaca
anak (Wigfield & Asher, 1984). Para periset telah mencatat bahwa
keahlian dan kebiasaan murid saat mereka masuk TK adalah
prediktor yang terbaik dari motivasi akademik dan kinerja di masa
SD dan SMP (Entwisle & Alexander, 1993).
b. Teman Sebaya (Peer).
Teman sebaya dapat memengaruhi motivasi anak melalui per-
bandingan sosial, kompetensi dan motivasi sosial, belajar bersama,
dan pengaruh kelompok teman sebaya (Eccles, Wigfield, &
Schiefele, 1998).
Murid dapat membandingkan dirinya sendiri dengan teman
sebaya mereka secara akademik dan sosial (Ruble, 1983).
Dibandingkan anak kecil, remaja lebih mungkin melakukan
perbandingan sosial, walaupun remaja lebih gampang menyangkal
bahwa mereka membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain
(Harter, 1990). Perbandingan sosial yang positif biasanya

x
menimbulkan penghargaan diri yang lebih tinggi, sedangkan
perbandingan negatif menurunkan penghargaan diri. Murid lebih
mungkin membandingkan diri mereka dengan murid yang juga
setara dengan mereka dalam hal usia, kemampuan dan minat.
Murid yang lebih diterima oleh teman sebayanya dan punya
keahlian sosial yang baik sering kali lebih bagus belajarnya di
sekolah dan punya motivasi akademik yang positif (Asher & Coie,
1990; Wentzel, 1996). Sebaliknya, murid yang ditolak oleh
temannya, terutama yang sangat agresif, berisiko mengalami
problem belajar, seperti mendapat nilai buruk dan keluar atau
dikeluarkan dari sekolah.3
“Pendekatan Konstruktivis Sosial," kami menggarisbawahi
peran tu- toring teman sebaya dan peran teman sebaya dalam
pembelajaran kolaboratif dan kooperatif. Teman sebaya dapat
membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran
melalui diskusi kelompok kecil. Dan tutoring teman sebaya sering
kali meningkatkan prestasi bagi tutor maupun murid yang diberi
tutorial Studi awal tentang peran kelompok teman sebaya dalam
prestasi murid b nyakan difokuskan pada peran negatifnya yakni
mengganggu komitmen murid untuk mengejar prestasi akademik
(Goodlad, 1984). Studi yang lebih baru meman dang kelompok
teman sebaya punya peran positif atau negatif, tergantung pada
orientasi motivasionalnya. Jika kelompok teman sebaya punya
standar yang tinggi, maka kelompok itu akan membantu prestasi
akademik murid. Tetapi prestasi jika murid berprestasi rendah
bergabung dengan kelompok teman sebaya yang juga berprestasi
rendah, prestasi akademik murid bisa tambah buruk (Kinderman,
McCollam, & Gibson, 1996).
c. Guru

3
John W. Santrock, Psikologi pendidikan,(jakarta 2004): 351-357

xi
. Banyak anak yang tidak bagus belajarnya di sekolah punya
hubungan yang negatif dengan guru mereka (Stipek, 2002). Mereka
sering kali mengalami masalah karena, misalnya, tidak
mengerjakan tugas, tidak memerhatikan, atau karena bikin onar.
Dalam banyak kasus, mereka pantas ditegur dan dihukum, akan
tetapi sering kali situasi kelas menjadi sangat tidak menyenangkan
bagi mereka. Nel Noddings (1992, 1998, 2001) percaya bahwa
murid kemungkinan besar akan berkembang menjadi manusia yang
kompeten apabila mereka merasa diperhatikan. Karenanya guru
harus mengenal murid dengan baik. Dia percaya bahwa keadaan
sulit terwujud di sekolah besar dengan murid yang banyak di setiap
kelasnya. Dia menganjurkan agar guru mengajar murid yang sama
selama dua atau tiga tahun (di mana kedua belah pihak sama-sama
setuju) sehingga guru akan bisa lebih mengenal minat dan kapasitas
masing-masing murid (Thornton, 2001). Para periset telah
menemukan bahwa murid yang merasa punya guru yang su-portif
dan perhatian akan lebih termotivasi untuk belajar ketimbang murid
yang merasa punya guru yang tidak suportif dan tidak perhatian
(McCombs, 2001; Newman, 2002; Ryan & Deci, 2000). Seorang
periset meneliti pandangan murid terhadap kualitas hubungan yang
baik dengan guru. Peneliti itu mengajukan pertanyaan kepada
murid sekolah menengah seperti bagaimana mereka tahu seorang
guru memerhatikan diri mereka (Wentzel, 1997). Seperti
ditunjukkan di Gambar 13.5, perhatian kepada murid sebagai
manusia adalah faktor penting bagi murid. Yang menarik, murid
juga mempertimbangkan perilaku instruksional guru sebagai salah
satu faktor dari sejauh mana guru memerhatikan mereka. Murid
mengatakan bahwa guru-guru yang perhatian punya standar yang
tepat dan akan menyampaikan perhatian mereka kepada murid saat
mereka berusaha keras meningkatkan pembelajaran.

xii
Motivasi murid akan bertambah jika guru memberi tugas yang
menantang dalam lingkungan yang mendukung proses penguasaan
materi. Guru mesti memberi dukungan emosional dan kognitif,
memberi materi yang berarti dan menarik un- tuk dipelajari dan
dikuasai, dan memberi dukungan yang cukup bagi terciptanya
kemandirian dan inisiatif murid (Eccles, Wigfield, & Schiefele,
1998; Covington & Dray, 2002; Graham & Taylor, 2002). Juga,
seperti telah kita kemukakan dalam diskusi tentang ide Bandura
mengenai kecakapan diri (self-efficacy), motivasi, dan iklim
sekolah akan sangat memengaruhi motivasi prestasi murid.
Sekolah dengan ekspektasi tinggi dan standar akademik yang
tinggi, serta dengan dukungan emosi- onal dan akademik yang
memadai, sering kali akan membuat murid termotivasi untuk
berprestasi. Di Bab 14 kita akan membahas lebih jauh tentang
bagaimana kebijakan sekolah dan pengelolaan kelas dapat
memengaruhi prestasi murid.
d. Guru dan Orang Tua
kami menggaris bawahi peran penting orang tua dalam
perkembangan murid dan strategi yang dapat digunakan guru untuk
meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
mereka. Di masa lalu, sekolah tidak banyak memerhatikan pada
bagaimana guru dapat memasukkan orang tua sebagai mitra dalam
meningkatkan prestasi anak. Sekarang ada perhatian besar terhadap
cara untuk menjalin kemitraan ini. Ketika guru secara sistematis
dan kerap memberi informasi kepada orang tua tentang kemajuan
anak mereka dan membantu mereka terlibat dalam aktivitas
pembelajaran anak, maka anak mereka sering kali dapat
meningkatkan prestasi akademiknya (Epstein, 1996).
3. Konteks sosiokultural
Konteks sosiokultural Istilah tersebut berarti suatu proses yang
menghubungkan antara manusia dengan kebudayaan yang ada di

xiii
tempat tinggalnya. Proses ini menyangkut aturan mengenai tingkah
laku, seperti norma sosial dan ajaran budaya.
Sosiokultural juga didefinisikan sebagai gagasan-gagasan,
kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada
sekelompok orang pada waktu tertentu. Di dalamnya juga mengatur
tingkah laku seseorang dalam kelompok dan membuat seseorang
sensitif terhadap status. Unsur sosiokultural juga membantu seseorang
mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya, serta apa
yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka.
Sosiokultural membantu seseorang untuk mengetahui peran sebagai
individu dan tanggung jawab dirinya terhadap kelompok.
a. Status Sosioekonomi dan Etnisitas
Diversitas dalam kelompok minoritas etnis yang kita diskusikan
juga memengaruhi prestasi. Misalnya, banyak murid Asia punya
orientasi prestasi akademik yang kuat, tetapi sebagian tidak.
Selain penting untuk mengenali diversitas prestasi yang ada di
dalam setiap ke- lompok kultural, juga penting untuk membedakan
antara perbedaan dan defisiensi (kekurangan). Sering kali, prestasi
murid minoritas etnis-terutama murid Afrika- Amerika, Latino, dan
suku asli Amerika-diinterpretasikan berdasarkan standar Kulit
Putih berstatus sosioekonomi menengah. Mereka diinterpretasikan
sebagai murid yang kurang (defisit) berprestasi, padahal pokok
masalah sebenarnya adalah perbedaan kultural.
Pada saat yang sama, banyak penelitian mengabaikan status
sosioekonomi murid minoritas etnis. Dalam banyak contoh, ketika
status etnis dan sosioekonomi diteliti dalam suatu studi yang sama,
status sosioekonomi lebih memengaruhi prestasi yang baik
ketimbang etnis. Murid dari keluarga berpendapatan menengah ke
atas situasi akademiknya lebih baik ketimbang murid dari keluarga
berpendapatan rendah-misalnya mereka punya ekspektasi

xiv
kesuksesan yang lebih baik, aspirasi prestasi yang lebih tinggi, dan
lebih mengakui arti penting dari usaha keras (Gibbs, 1989).
Sandra Graham (1986, 1990) telah melakukan sejumlah studi
yang bukan hanya mengungkapkan peran status ekonomi yang
lebih kuat ketimbang peran etnisi- tas dalam memengaruhi prestasi,
tetapi juga mengungkapkan arti penting dari pengkajian motivasi
murid etnis minoritas dalam konteks teori motivasi umum.
Penelitiannya masuk dalam kerangka teori atribusi dan fokus pada
bagaimana murid Afrika Amerika mengidentifikasi orientasi
prestasi mereka, seperti mengapa mereka gagal atau sukses.
Graham terkejut oleh temuan yang menunjukkan bahwa murid
Afrika-Amerika dari keluarga berpendapatan menengah tidak
cocok dengan stereotip yang selama ini dianut. Seperti murid Kulit
Putih berpendapatan menengah, mereka punya ekspektasi prestasi
yang cukup tinggi dan memahami bahwa kegagalan biasanya
disebabkan oleh kurangnya upaya, bukan karena faktor kesialan.
Dalam sebuah studi di mana partisipannya terutama adalah murid
etnis minoritas dari keluarga berpendapatan rendah, kelas yang
mampu memotivasi murid menguasai materi dan memberi
dukungan yang cukup ternyata memengaruhi peningkatan motivasi
murid untuk belajar dan membantu meng- hindarkan adanya
tekanan emosional yang mengganggu proses belajar mereka
(Strobel, 2001).
b. Gender
Diskusi kita tentang gender dan motivasi difokuskan pada
bagaimana pria dan wanita berbeda dalam keyakinan dan nilai
yang mereka anut. Keyakinan yang berkaitan dengan soal
kompetensi yang dianut murid pria dan wanita berbeda- beda
menurut konteks prestasi. Misalnya, murid lelaki lebih punya
keyakinan kompetensi yang lebih tinggi ketimbang murid wanita
untuk pelajaran matematika dan olahraga, sedangkan murid

xv
keyakinan perempuan lebih tinggi ketimbang murid lelaki untuk
pelajaran bahasa Inggris, membaca, dan aktivitas sosial. Per-
bedaan ini semakin bertambah setelah masa puber (Eccles, dkk.,
1993). Jadi, sejauh mana murid pria dan wanita mencapai prestasi
masih dipengaruhi oleh stereotip peran gender.
Berkenaan dengan nilai prestasi, sejak SMA murid wanita tidak
terlalu menghargai prestasi matematika dibandingkan murid lelaki
(Eccles, dkk., 1993). Murid wanita berbakat sering kali mengalami
konflik antara peran gender dan prestasi. Sebuah studi terhadap
gadis berbakat menunjukkan perasaan mereka yang terjebak di
antara prestasi dan penampilan femininitas (Bell, 1989).
Diversitas Sosiokultural", kami memaparkan banyak aspek lain
dari gender dan sekolah, seperti perbedaan gender dalam interaksi
guru-murid, kurikulum dan isi materi; pelecehan seksual; dan
pengurangan bias gender. Karena perbedaan-perbedaan itu sangat
penting bagi prestasi murid, kami akan mering- kasnya di sini:
Gadis lebih penurut, anak lelaki lebih bandel. Guru memberi lebih
banyak perhatian dan instruksi pada murid lelaki ketimbang pada
murid wanita, tetapi nilai murid lelaki lebih rendah ketimbang
murid wanita. Pada sekolah menengah, murid wanita memiliki rasa
penghargaan diri yang lebih rendah. Anak lelaki mempunyai lebih
banyak daftar opsi karier ketimbang murid wanita.
Sekolah telah membuat kemajuan yang berarti dalam
mengurangi seksisme dan stereotip jenis kelamin dalam materi
buku dan kurikulum, tetapi seksisme masih ada. Pelecehan seksual
menjadi perhatian khusus di sekolah dan lebih parah ke-timbang
yang dahulu dibayangkan. Setiap murid layak mendapat
pendidikan bebas bias. Anda bisa kembali ke Bab 5 dan membaca
bagian gender dan sekolah, dan memikirkan lebih jauh tentang
pengaruh perbedaan gender terhadap motivasi dan prestasi murid.4

4
John W. Santrock, Psikologi pendidikan,(jakarta 2004): 355-357

xvi
C. Kelas Sebagai Konteks Penilaian
Secara umum kelas adalah suatu aktifitas pembelajaran yang
dilakukan sekelompok siswa dan guru disuatu tempat secara bersamaan.
Dengan kata lain kelas adalah tempat bertemunya guru dan siswa. Kelas
juga merupakan tempat berkumpulnya komunitas dan kebudayaan, tempat
seseorang untuk berinteraksi sebagai manusia sosial juga.kelas di adakan
dengan tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan dan juga
membentuk kemampuan dan sikap yang baik dalam diri peserta didik.
Guru harus mengatur kelas dengan efiektif untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut dan tersampaikan pada peserta didik.
Orang-orang percaya bahwa pengaturan kelas yang baik banyak
menentukan kualitas dari aktifitas belajar mengajar yang berdampak pada
sukses tidaknya tujuan utama bertemunya guru dan peserta didik dikelas.
Untuk memahami kelas lebih mendalam, perlu dipahami terlebih
dahulu elemen-elemen yang da didalam kelas yaitu:
1. Elemen-elemen yang bisa diobservasi
a. Penggunaan ruangan kelas
b. Penggunaan waktu
c. Aktifitas belajar mengajar
d. Interaksi/komunikasi
e. Suasana
f. Alat-alat (fasilitas)
2. Elemen-elemen tersembunyi
a. Faktor individual (kognitif dan afektif)
b. Faktor dari kelompoknya
c. Pengaruh dari pergaulan yang luas, budaya dan lainnya.
3. Elemen-elemen inti
a. Time and space (waktu dan tempat/ruang)
b. Engagement/afektif domain
c. Participation (partisipasi)

xvii
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut menjadi bentuk konteks penilaian
antara guru kepada murid dan begitu juga sebaliknya..adapun juga menjadi
penilaian bagi orang tua murid kepada guru/pendidik
1. Penilaian sebagai Bagian Integral dari Pengajaran
Guru menghabiskan lebih banyak waktu dalam penilaian
ketimbang yang Anda bayangkan. Dalam satu analisis, mereka
menghabiskan 20 sampai 30 persen waktu profesional mereka untuk
menghadapi persoalan penilaian (Stiggins, 2001). Dengan begitu
banyaknya waktu untuk penilaian, maka penilaian itu semestinya
dilakukan dengan baik (Brookhart, 2002). Pakar penilaian James
McMillan (1997, 2001) percaya bahwa guru yang kompeten sering
mengevaluasi muridnya dalam konteks tujuan pembelajaran dan
mengadaptasi instruksinya sesuai dengan evaluasi itu. Penilaian bukan
hanya pencatatan apa yang diketahui dan dapat dilakukan murid, tetapi
juga memengaruhi pembelajaran dan motivasi mereka. Ide ini
merepresentasikan perubahan cara pandang terhadap penilaian, yakni
dari konsep bahwa penilaian adalah hasil tersendiri yang diperoleh
setelah instruksi selesai, menuju ke konsep integrasi penilaian dengan
instruksi atau pengajaran.
2. Penilaian Pra-instruksi
Bayangkan Anda ingin mengetahui seberapa baikkah murid Anda
dalam memecahkan problem matematika level tertentu sebelum Anda
mulai memberikan pengajaran formal pada level lebih lanjut. Anda
bisa melihat pada nilai murid pada kelas sebelumnya pada tes
matematika standar, dan juga Anda bisa mengamati murid Anda
selama beberapa hari untuk melihat seberapa baik mereka dalam
memahami matematika. Penilaian ini didesain untuk menjawab
pertanyaan: "Apa keahlian matematika yang dapat ditunjukkan oleh
murid saya?" Jika hasil penilaian Anda menunjukkan bahwa murid
kurang pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan, Anda bisa
memberi materi yang tak terlalu sulit bagi murid Anda. Jika hasil

xviii
penilaian pra-instruksi sangat baik, maka Anda bisa me- naikkan level
instruksi Anda. Tanpa penilaian pra-instruksi ini, Anda akan berisiko
memiliki kelas yang kebingungan (jika pengajaran Anda terlalu tinggi
levelnya) atau membosankan (jika pengajaran Anda terlalu rendah
levelnya).
Banyak dari penilaian pra-instruksional berupa observasi informal.
Dalam be- berapa minggu awal sekolah, Anda punya banyak
kesempatan untuk mengamati karakteristik dan perilaku murid.
Sensitiflah terhadap apakah si murid pemalu atau terbuka, punya
kosakata yang baik atau buruk, bicara dan mendengar secara efektif,
apakah mereka menghargai orang lain atau egois, berperilaku baik atau
buruk, dan sebagainya. Juga, fokuskan pada perilaku nonverbal murid
untuk mendapatkan petunjuk yang mungkin mengungkapkan
kecemasan, kejemuan, frustrasi, atau kekurangpahaman murid-murid.
Misalnya, seorang murid mungkin mengatakan bahwa segala sesuatu
baik-baik saja, tetapi dia masuk ke kelas de- ngan kepala selalu
tertunduk dan tampang sedih5
3. Penilaian Selama Instruksi. Penilaian formatif
adalah penilaian selama jalannya pelajaran atau instruksi, bukan
setelah pelajaran selesai. Observasi Anda secara terus-menerus dan
memantau proses belajar murid saat mengajar akan membuat Anda
mengetahui apa yang harus Anda lakukan berikutnya. Penilaian selama
instruksi membantu Anda menentukan pengajaran pada level yang
menantang murid dan memperluas cakrawala pemikiran mereka.
Penilaian ini juga membantu Anda mendeteksi murid yang butuh
perhatian individual.
Pertanyaan lisan adalah aspek penting dari penilaian selama
instruksi. Beberapa guru mungkin mengajukan pertanyaan hingga 300

5
Nugroho, Risky, and Attin Warmi. "Pengaruh Motivasi belajar Terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa Di SMPN 2 Tirtamulya." EduMatSains: Jurnal Pendidikan, Matematika dan
Sains 6.2 (2022): 407-418.

xix
sampai 400 sehari, bukan hanya untuk menstimulasi pemikiran dan
penelitian murid, tetapi juga menilai level pengetahuan dan keahlian
mereka (Morgan & Saxton, 1991). Dari diskusi kita di Bab 12,
"Perencanaan, Instruksi, dan Teknologi", telah disinggung pentingnya
menggunakan pertanyaan berbasis pemikiran dalam pengajaran Anda.
Pertanyaan berbasis pemikiran berasal dari Bloom's Cognitive
Taxonomy of Instructional Objec tives (Bloom, dkk., 1956) dan revisi
terbarunya (Anderson & Krathwohl, 2001). Pertanyaan semacam itu
dapat mengungkapkan jenis-jenis pemikiran murid berikut ini (contoh
pemikiran diletakkan dalam tanda kurung):
 Terapkan (misalnya, suruh murid untuk memberikan contoh
prinsip dari dunia nyata)
 Analisis (misalnya, suruh murid untuk membagi-bagi argumen
menjadi komponen-komponen)
 Evaluasi (misalnya, suruh murid untuk menilai apa hal utama yang
perlu diubah di kelas)
 Pahami (misalnya, suruh murid untuk mengkonstruksi makna dari
kejadian sejarah)
 Buat (misalnya, suruh murid untuk memberikan saran alternatif
untuk mengerjakan sesuatu)
Saat Anda mengajukan pertanyaan, ingat jangan terlalu luas,
umum. Libatkan seluruh murid, jangan hanya fokus pada satu atau
beberapa murid saja, dan beri "waktu tunggu bagi murid untuk
memikirkan jawabannya, dan beri pertanyaan lanjutan untuk setiap
jawaban murid, serta hargai pertanyaan murid (Airasian, 2001).
4. Penilaian Pasca-instruksi.
Penilaian sumatif (atau penilaian formal) adalah penilaian setelah
instruksi selesai, dengan tujuan mencatat kinerja murid. Penilaian
sesudah instruksi akan menghasilkan informasi tentang seberapa
baikkah murid Anda dalam menguasai materi, apakah murid sudah
siap untuk pelajaran lanjutan, grade apa yang harus diberikan pada

xx
mereka, komentar apa yang harus Anda ka- takan kepada orang
tuanya, dan bagaimana Anda harus menyesuaikan instruksi Anda
(McMillan, 2001).
D. Teks Tradisional Penilaian Alternatif
Ada alternatif untuk penilaian tradisional yang kita diskusikan di
atas (Gronlund, Linn & Davis, 2000; Popham, 2002). Mari kita bahas tren-
tren dalam penilaian ini.
1. Tren dalam Penilaian Alternatif
Salah satu tren terbaru adalah menyuruh murid untuk memecahkan
beberapa tipe problem autentik atau menyelesaikan suatu proyek atau
mendemonstrasi- kan beberapa keahlian di luar konteks ujian atau esai
(Montgomery, 2001). Tren lainnya adalah menyuruh murid untuk
membuat portofolio pembelajaran untuk menunjukkan apa yang telah
mereka pelajari (Berryman & Russell, 2001). Pe- nilaian alternatif itu
dibutuhkan agar instruksi kompatibel dengan pandangan kontemporer
tentang pembelajaran dan motivasi.
Penilaian alternatif menawarkan pada murid lebih banyak pilihan
ketimbang ujian tradisional atau ujian esai. Ambil contoh beberapa
penilaian alternatif yang dipakai guru bahasa di sekolah menengah
(Combs, 1997). Guru itu memberi murid menu pilihan yang mencakup
format seperti buku laporan, karya seni (artwork), video, dan
pembuatan model. Misalnya, dalam pelajaran Kisah Misteri, murid
bisa memilih menulis laporan tentang pengarang atau cerita misteri,
menulis sendiri cerita misteri, membuat buku misteri untuk anak, atau
mewawancarai penyelidik setempat. Masing-masing opsi ini
dilengkapi dengan instruksi detail dan pedoman penilaian untuk
pengontrolan mutu. Gambar 16.6 menunjukkan petunjuk dan pedoman
penilaian untuk penilaian alternatif yang difokuskan pada pelajaran
tentang Abad Pertengahan dan Sejarah Keluarga.
a. Penilaian Berbasis Kinerja

xxi
Berpindah dari penilaian tradisional dengan tes objektif ke
penilaian berbasis kinerja telah dideskripsikan sebagai berpindah
dari "mengetahui" ke "menunjukkan" (Burz & Marshall, 1996).
Penilaian kinerja mencakup apa-apa yang umumnya dianggap
sebagai kinerja aktual murid (seperti dalam bidang tari, musik, dan
pendidikan fisik/olahraga), dan juga paper esai, proyek, presentasi
oral, eksperimen, dan portofolio.
b. Ciri-ciri Penilaian Berbasis Kinerja
Penilaian berbasis kinerja sering mencakup penekanan
pada"melakukan aktivitas terbuka di mana tidak ada jawaban yang
benar danobjektif dan penilaian ini bisa menilai pemikiran level
tinggi. Penilaian kinerja terkadang juga realistis. Evaluasi kinerja
kerap menggunakan metode evaluasi langsung, penilaian diri,
penilaian kinerja kelompok dan individual, serta lebih banyak
memakan waktu (Hambleton, 1996).
Ujian tradisional menekankan pada apa yang diketahui
murid. Penilaian berbasis kinerja didesain untuk mengevaluasi apa
yang diketahui dan dapat dilakukan murid (Maki, 2001; Moon &
Callahan, 2001).
Beberapa penilaian kinerja juga mensyaratkan murid untuk
mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Di sini tanggung jawab
bergeser dari pundak guru ke pundak murid. Misalnya, murid bisa
diminta untuk menilai kualitas dari presentasi oral mereka sendiri,
kinerja tari mereka, atau akting drama mereka. Rubrik adalah alat
bantu berguna bagi murid untuk melakukan penilaian diri.
Misalnya, murid diminta untuk mengevaluasi tulisan yang telah
mereka buat sendiri (Goodrich, 1997). Salah satu kriteria untuk
evaluasi mungkin adalah "Beri detail yang cukup" dengan jawaban
sebagai berikut: sangat baik ("Ya, saya sudah memberi cukup
rincian untuk memberi pemahaman tentang ruang, waktu, dan
kejadian kepada pembaca"), baik ("Ya, saya sudah memberi

xxii
rincian, tetapi ada beberapa detail yang hilang"), dan tidak cukup
baik ("Tidak, saya tidak memberi detail").

Beberapa penilaian berbasis kinerja mengevaluasi seberapa


efektifkah kinerja sekelompok murid, bukan hanya bagaimana
kinerja murid secara individual. Pe- nekanan ini berhubungan
dengan diskusi kita tentang pembelajaran kooperatif aktivitas
kelompok di Bab 10, "Pendekatan Konstruktivis Sosial". Jadi,
sekelompok murid mungkin ditugaskan untuk membuat proyek
sains, bukan sendiri-sendiri. Evaluasi murid dapat berupa evaluasi
kontribusi individu dan produk atau hasil kerja kelompok. Proyek
kelompok sering kali bersifat kompleks dan penilaian bisa
dilakukan untuk keahlian kooperatif, keahlian komunikasi, dan
keahlian kepemimpinan.6
c. Pedoman untuk Penilaian Berbasis Kinerja
Pedoman penggunaan penilaian berbasis kinerja mencakup
empat isu umum (Airasian, 2001):
1) menentukan tujuan yang jelas;
2) mengidentifikasi kriteria yang dapat diamati;
3) memberi setting yang tepat; dan
4) menilai kinerja.
Pastikan bahwa setiap penilaian kinerja memiliki tujuan yang
jelas dan keputusan yang jelas dapat diambil dari penilaian itu
(McKinley, Boulet & Hambleton, 2000). Tujuan itu bisa
bermacam-macam: memberi nilai/ grade, mengevaluasi kemajuan
murid, mengenali langkah-langkah penting dalam kinerja,
menghasilkan produk yang dapat dimasukkan dalam portofolio
pembelajaran, memberi contoh konkret dari hasil karya murid
untuk pendaftaran ke universitas atau program lain, dan
sebagainya.

6
Classroom Management Untuk Mahasiswa Jurusan Pendidikan,” Google Books, 2016. Hlm 2-4

xxiii
E. Pemberian Peringkat dan Pelaporan Kinerja
1. Melaporkan Kemajuan dan Nilai Murid ke Orang Tua
Nilai adalah metode paling umum untuk memberi informasi
kepada orang tua tentang kinerja dan kemajuan anaknya di kelas
(Airasian, 2001). Akan tetapi, nilai itu sendiri hanya memberi
informasi yang terbatas, jarang diberikan, tidak banyak memberi
informasi spesifik tentang bagaimana pembelajaran murid, dan jarang
memuat informasi tentang motivasi murid, kerja sama murid, dan
perilaku murid di kelas. Karena keterbatasan ini, dibutuhkan lebih dari
nilai untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap kepada orang
tua murid.
2. Kartu Laporan
Kartu laporan (report card) adalah metode standar pelaporan
kemajuan dan nilai murid ke orang tuanya. Formulir penilaian pada
kartu laporan ini bervariasi dari satu sekolah dengan sekolah lainnya,
dan dalam banyak kasus dari satu level grade ke level lainnya.
beberapa kartu laporan memberi- kan nilai dengan huruf (biasanya A,
B, C, D, dan F, terkadang juga menggunakan plus dan minus).
Beberapa laporan meng- gunakan nilai angka (seperti nilai 91 untuk
matematika, 85 untuk Inggris, dan sebagainya). Kartu laporan lainnya
meng- gunakan kategori lulus/gagal dalam satu mata pelajaran atau
lebih. Ada yang menggunakan daftar cek untuk menunjukkan keahlian
dan sasaran yang telah dicapai murid. Beberapa kartu laporan memuat
kategori karakteristik afektif, seperti usaha, kerja sama, dan perilaku.
Banyak juga yang memberi ruang untuk penulisan komentar dan saran
dari guru Daftar cek keahlian dan sasaran terutama dipakai di sekolah
dasar atau taman kanak-kanak. Di level yang lebih tinggi atau
menengah, biasanya dipakai nilai huruf, walaupun mungkin ditemani
dengan informasi lain seperti komentar tertulis. Di banyak sekolah, ada
debat hangat tentang apa bentuk grading yang seharusnya dipakai dan
apa yang seharusnya dimasukkan dalam kartu laporan.

xxiv
3. Laporan Kemajuan Tertulis
Strategi pelaporan lainnya adalah memberi orang tua laporan
kemajuan dan prestasi murid mingguan, dua mingguan, atau bulanan
(McMillan, 2001). Laporan tertulis ini dapat memuat kinerja murid
pada ujian dan ulangan, proyek, laporan lisan, dan lain sebagainya.
Laporan ini juga memuat informasi tentang motivasi, kerja sama,
perilaku dan saran kepada orang tua tentang cara membantu anak
meningkatkan kinerjanya. Jika Anda punya cukup informasi untuk
memberi nilai pada saat itu, Anda bisa mempertimbangkannya dalam
komunikasi tertulis.
4. Konferensi atau pertemuan orang tua
dengan guru adalah cara lain untuk mengomunikasikan informasi
tentang nilai dan penilaian. Konferensi seperti itu merupakan sebuah
kesempatan sekaligus tanggung jawab (Payne, 1997). Orang tua punya
hak untuk mengetahui keadaan anaknya di sekolah dan cara
meningkatkan prestasinya. Konferensi memberi peluang untuk
memberi informasi yang berguna bagi orang tua tentang bagaimana
mereka bisa menjadi mitra dalam membantu anak mereka belajar lebih
efektif.
5. Konferensi Orang Tua-Guru yang Berhubungan dengan Nilai dan
Penilaian
Berikut ini beberapa strategi yang baik untuk bertemu dengan
orang tua guna membicarakan kemajuan dan nilai anak (Payne, 1997).
a. Bersiaplah lebih dahulu Review kinerja murid sebelum bertemu
dengan orang tua. Pikirkan apa yang akan Anda katakan kepada
orang tua siswa.
b. Bersikaplah positif Bahkan jika murid kinerjanya buruk, cobalah
cari setidaknya satu mata pelajaran yang nilainya lebih baik. Ini
bukan berarti mengabaikan prestasinya yang kurang, tetapi ini
berart memberikan area positif sebagai pelengkap area negatif.

xxv
c. Bersikaplah objektif. Meskipun Anda ingin mencari aspek positif
dari catatan murid untuk dikomu nikasikan ke orang tua,
bersikaplah objektif dan jujur. Jangan beri orang tua harapan palsu
apabila anaknya punya kemampuan rendah dalam mata pelajaran
tertentu.
d. Berlatihlah keterampilan komunikasi yang baik. "Mengelola
Kelas," ini berarti menjadi pendengar aktif dan memberi
kesempatan kepada orang tua untuk ikut berpartisipasi dalam
percakapan.
e. Jangan bicara tentang murid lain. Fokus konferensi orang tua-guru
adalah pada anak orang tua itu. Jangan membanding-bandingkan
anak dengan anak lain.7

7
John W. Santrock, Psikologi pendidikan,(jakarta 2004): 668-669

xxvi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Proses (serapan dari bahasa Belanda: proces) adalah urutan pelaksanaan
atau kejadian yang saling terkait yang bersama-sama mengubah masukan
menjadi keluaran. Pelaksanaan ini dapat dilakukan oleh manusia, alam, atau
mesin dengan menggunakan berbagai sumber daya. Jadi proses prestasi yaitu
yaitu suatu kinerja/langkah yang di tempuh dengan berbagai macam hal
sehingga dapat mencapai tujuan akhir atau mendapat hasilnya.
Prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang
menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan
perilaku Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh
energi, terarah dan bertahan lama.
Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih
yang memudahkan proses pengenalan satu akan yang lain. Hubungan terjadi
dalam setiap proses kehidupan manusia.
Konteks sosiokultural Istilah tersebut berarti suatu proses yang
menghubungkan antara manusia dengan kebudayaan yang ada di tempat
tinggalnya. Proses ini menyangkut aturan mengenai tingkah laku, seperti
norma sosial dan ajaran budaya.
Untuk memahami kelas lebih mendalam, perlu dipahami terlebih dahulu
elemen-elemen yang da didalam kelas yaitu:
1. Elemen-elemen yang bisa diobservasi
a. Penggunaan ruangan kelas
b. Penggunaan waktu

xxvii
c. Aktifitas belajar mengajar
d. Interaksi/komunikasi
e. Suasana
f. Alat-alat (fasilitas)
2. Elemen-elemen tersembunyi
a. Faktor individual (kognitif dan afektif)
b. Faktor dari kelompoknya
c. Pengaruh dari pergaulan yang luas, budaya dan lainnya.
3. Elemen-elemen inti
a. Time and space (waktu dan tempat/ruang)
b. Engagement/afektif domain
c. Participation (partisipasi)
Penilaian sebagai Bagian Integral dari Pengajaran:
1. Penilaian Pra-instruksi.
2. Penilaian Selama Instruksi
3. Penilaian Pasca-instruksi.
Teks Tradisional Penilaian Alternatif:
1. Tren dalam Penilaian Alternatif.
2. Penilaian Berbasis Kinerja.
3. Ciri-ciri Penilaian Berbasis Kinerja
4. Pedoman untuk Penilaian Berbasis Kinerja.
Pemberian Peringkat Pelaporan Kinerja:
1. Melaporkan Kemajuan dan Nilai Murid ke Orang Tua
2. Kartu Laporan.
3. Konferensi Orang Tua-Guru.

xxviii
B. Saran
Saran dari kami, Proses Prestasi, Motivasi, Hubungan dan Konteks Sosio
Kultural Kelas Sebagai Konteks Penilaian, Teks Tradisional Penilaian
Alternatif dan Pemberian Peringkat dan Pelaporan Pekerja sangat penting
untuk diketahui guru dan pendidik terutama guru mi/sd. Untuk memberi
mereka pengetahuan dan mengamalkannya di dalam kelas dan
pembelajarannya. Demikian makalah ini dibuat, semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca maupun penulis dan semoga kita dapat mempraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah kami ini, masih banyak hal yang harus diperbaiki dan
dikoreksi,materi-materi yang disajikan pun masih belum lengkap. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kontribusi positif untuk kemajuan kita bersama,
karena kami tidak menunggu sempurna untuk melakukan sesuatu, tapi kami
melakukan sesuatu untuk menuju kesempurnaan.

xxix
DAFTAR PUSTAKA

John W. Santrock, Psikologi pendidikan,(jakarta 2004):

Ref: ANSI/EIA-632-1998 Processes for Engineering a System, Appendix A, hal.


66

Ref: Mas’ud Hasan Abdul Dahar, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: CV


Pustaka Setia, 2015), 20.

Ref: Nugroho, Risky, and Attin Warmi. "Pengaruh Motivasi belajar Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Di SMPN 2 Tirtamulya." EduMatSains:
Jurnal Pendidikan, Matematika dan Sains 6.2 (2022): 407-418.

Ref: Wahyuni, Esa Nur. "Motivasi dalam pembelajaran." (2009).

Ref: Mutually Benefit Realtionship. Diakses 16 Juni 2010.

Ref: ^ Lompat ke:a b c Poeze, Harry A, Dijik, van Cornelis, dan Meulen, Inge van
der. 2008. Di Negeri Ref: Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda,
1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal 196-197.

Ref: “Classroom Management Untuk Mahasiswa Jurusan Pendidikan,” Google


Books, 2016. Hlm 2-4

xxx

Anda mungkin juga menyukai