Anda di halaman 1dari 23

KONSELING KOMUNITAS DI SEKOLAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah BK Berbasis Komunitas Dosen


Pengampu: Dr. Muh. Nur Wangid, M.Si.

Disusun oleh:

KELOMPOK 10

1. Dwi Prasetyo Rini (20713251001)


2. Nurul Husna (20713251033)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN


KONSELING PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga Makalah yang berjudul “Konseling Komunitas Di Sekolah” dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad SAW beserta
pengikutnya. Atas terealisasikan Makalah ini, penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada
Bpk Dr. Muh. Nur Wangid, M.Si. Selaku dosen pengampu pada mata kuliah BK Berbasis
Komunitas. Penyusun menyadari bahwa Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan Makalah ini. Semoga Makalah ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang
berdampak positif sekaligus bermanfaat bagi masyarakat luas.

Yogyakarta, Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Sejarah Singkat Bimbingan Sekolah.....................................................................................3
B. Program Bimbingan Sekolah Komprehensif.......................................................................3
C. Standar Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika......................................................4
D. Inisiatif Nasional untuk Transformasi Konseling Sekolah.................................................4
E. Model Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika Untuk Program Konseling
Sekolah ....................................................................................................................................5
F. Model Nasional ......................................................................................................................5
1. Tantangan Saat Ini: Rehensivensi Perubahan Sistemik...............................................5
2. Kompas Bimbingan Sekolah .........................................................................................6
3. Menerapkan Konseling Komunitas di Lingkungan Sekolah .....................................6
4. Kerja Kelompok dan Individu Penyuluhan ..................................................................6
5. Intervensi Pendidikan.........................................................................................................7
6. Advokasi Siswa..................................................................................................................8
7. Intervensi Sistematik..........................................................................................................9
8. Menyatukan Komponen Program.......................................................................................9
G. Program Multikultural.............................................................................................................10
H. Program Untuk Keamanan Sekolah.........................................................................................13
BAB III...............................................................................................................................................16
SIMPULAN........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Model konseling komunitas tidak terbatas pada peraturan lembaga komunitas,
melainkan strategi yang digunakan secara khusus dan dapat diterapkan pada konselor
sekolah professional. Konselor sekolah yang efektif terbiasa melihat siswa dalam
berbagai konteks. Mereka sangat menyadari bahwa kualitas lingkungan pendidikan dapat
berpengaruh besar pada mereka khususnya dalam pengembangan bidang pribadi, sosial,
belajar, dan karir. Konselor memiliki tanggung jawab untuk dapat meningkatkan sekolah
mereka. Seringkali, konselor mengarahkan siswa agar terlibat dalam komunitas,
kolaborasi, dan advokasi.
Kebutuhan anak dan remaja dapat dipenuhi melalui program konseling sekolah
komprehensif yang memfasilitasi perkembangan yang sehat dan baik bagi siswa maupun
sekolah yang membina mereka. Sementara beberapa siswa membutuhkan layanan yang
difokuskan pada kebutuhannya. Semua siswa mendapatkan manfaat dari layanan
perkembangan dan pencegahan berbasis luas. Program komprehensif menjadi ideal untuk
konselor professional sekolah dengan konseling komunitas seperti yang telah dibahas.
Sejarah konseling sekolah professional adalah tentang meningkatnya kesadaran dan
kebutuhan akan program yang komprehensif, mencerminkan dalam banyak hal,
memimpin upaya menuju kelengkapan menjadi faktor utama (dalam profesi konseling
secara keseluruhan).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan, dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah Singkat Bimbingan Konseling Sekolah?
2. Bagaimana Program Bimbingan Sekolah Komprehensif?
3. Bagaimana Standar Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika?
4. Bagaimana Inisiatif Nasional untuk Transformasi Konseling Sekolah?
5. Bagaimana Model Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika Untuk Program
Konseling Sekolah?

1
6. Bagaimana Model Nasional?
7. Bagaimana Program Multikultural?
8. Bagaimana Program Untuk Keamanan Sekolah?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah disampaikan, dapat diambil tujuan yaitu:
1. Untuk memahami Sejarah Singkat Bimbingan Konseling Sekolah
2. Untuk memahami Program Bimbingan Sekolah Komprehensif
3. Untuk memahami Standar Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika
4. Untuk memahami Inisiatif Nasional untuk Transformasi Konseling Sekolah
5. Untuk memahami Model Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika Untuk
Program Konseling Sekolah
6. Untuk memahami Model Nasional
7. Untuk memahami Program Multikultural.
8. Untuk memahami Program Untuk Keamanan Sekolah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Bimbingan Sekolah


Satu masalah yang mengganggu sepanjang sejarah program konseling sekolah
tampaknya kebal terhadap perubahan. Berkali-kali konselor sekolah mengeluh bahwa
mereka terpaksa menghabiskan waktu mereka untuk berbagai kegiatan yang tidak sesuai
dengan peran professional. Faktanya, Paisley dan Borders pada tahun 1995 menyatakan
bahwa kurangnya kontrol konselor sekolah atas aktivitas kerja sehari-hari mereka dan
pengembangan profesi mereka merupakan masalah utama dalam konseling sekolah.
Pemimpin American School Counselor Association (Bowers, Hatch, & Kuranz, 2002)
menunjukkan bahwa masalah historis dalam program konseling sekolah meliputi kurangnya
identitas yang konsisten, variasi peran, akses, dan layanan yang tidak memadai untuk
beberapa siswa, kurangnya akuntabilitas dan kurangnya integrase dengan gerakan reformasi
sekolah.
Untungnya, kemajuan signifikan dalam mengatasi kesulitan ini telah dicapai.
Sekarang beberapa pendekatan telah muncul yang dapat membantu memimpin jalan menuju
program komprehensif yang berfokus pada hasil siswa. Meskipun model-model ini memiliki
penekanan yang berbeda, model-model tersebut saling melengkapi satu sama lain dan
membantu meletakkan dasar untuk model terintegrasi.
B. Program Bimbingan Sekolah Komprehensif
Dimulai sebelum tahun 1980-an (Gysbers & Moore, 1981) dan berlanjut hingga hari
ini (Gysbers & Henderson, 2002), Gysbers dan rekan-rekannya telah mendorong konselor
sekolah untuk mengembangkan program yang komprehensif. Dasar dari program bimbingan
sekolah yang komprehensif adalah penekanan pada peran, tujuan, dan standar konselor yang
digambarkan dengan jelas. Program panduan komprehensif yang ditetapkan oleh Gysbers
rekan-rekannya sebagai berikut (Gysbers & Henderson, 2001)
1. Kurikulum Bimbingan, dilaksanakan melalui Group:
a) Terstruktur
b) Konsultasi Presentasi Kelas dengan Guru

3
2. Sistem Perencanaan Individu, dilakukan melalui Advisement:
a) Penilaian
b) Penempatan & Tindak Lanjut
3. Layanan Responsif, dilakukan melalui:
a) Konseling Individu
b) Konsultasi Konseling
c) Kelompok Kecil
d) Referral
4. Dukungan Sistem, dilakukan melalui:
a) Konsultasi Aktivitas Manajemen
b) Penjangakuan
c) Komunitas Hubungan Masyarakat
C. Standar Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika
American School Counselor Association (ASCA) merupakan sebuah divisi dari
American Counseling Association yang mewakili konselor sekolah professional. Standar
Nasional ASCA untuk konseling sekolah dikembangkan untuk menyediakan landasan untuk
profesi konseling sekolah yang lebih bersatu (American School Counselor Association,
1996, hlm 3-2). Standar memang mencantumkan komponen yang membentuk program
konseling sekolah, termasuk (a) konseling perkembangan dan pencegahan, (b) konseling
perbaikan dan krisis, (c) layanan konsultatif, (d) penilaian dan pengembangan program, (e)
koordinasi layanan, (f) manajemen kasus, dan (g) kurikulum bimbingan dan konseling.
Kontribusi unik dari standar, bagaimanapun adalah penggambaran hasil siswa yang menjadi
standar evaluasi program. Menyatakan bahwa tujuan program konseling sekolah adalah
untuk mempromosikan dan meningkatkan pembelajaran siswa (hlm 2-4), standar ASCA
menjabarkan hasil belajar siswa yang diinginkan dalam tiga bidang yaitu: pengembangan
pribadi dan sosial, pengembangan akademik, dan pengembangan karir.
D. Inisiatif Nasional untuk Transformasi Konseling Sekolah
Education Trust, Inc secara aktif terlibat dalam beberapa tahun terakhir dalam
pengembangan dari visi baru untuk konseling sekolah (House & Martin, 1998). Fokus dari
Education Trust adalah untuk meningkatkan prestasi akademik siswa di semua tingkatan.
Menurut model Education Trust, tugas konselor sekolah adalah sebagai berikut:

4
1. Kepemimpinan
2. Konseling Tim dan Kolaborasi
3. Koordinasi Penilaian
4. Penggunaan Data

Menurut konseptualisasi ini, peran konselor diubah dari fokus pada individu menjadi
fokus kepada sekolah sebagai sistem, dari fokus pada konseling layanan langsung menjadi
fokus pada advokasi dan kepemimpinan. Gagasan bahwa advokasi, kepemimpinan,
kolaborasi, dan perubahan sistemik penting untuk keterampilan tersebut untuk program
konseling sekolah.

E. Model Nasional Asosiasi Konselor Sekolah Amerika Untuk Program Konseling


Sekolah
Semua program konseling diharapkan dibangun atas landasan dengan
menggambarkan misi masing-masing. Sistem penyampaian terdiri dari kurikulum
bimbingan, perencanaan siswa perorangan, layanan responsive, dan dukungan sistem model
bimbingan sekolah komprehensif. Sistem pengelolaan program konseling sekolah akan
mengembangkan secara kolaboratif dengan administrator sekolah, dewan penasihat, dan
pemangku kepentingan lainnya. Sesuai dengan kontribusi dari Education Trust, program
konseling akan berdasarkan data dan rencana akan dibuat untuk mengatasi kesenjangan
antara situasi saat ini dan hasil yang diinginkan.
F. Model Nasional
1. Tantangan Saat Ini: Rehensivensi Perubahan Sistemik
Gagasan bahwa program konseling sekolah harus berpusat pada siswa dan
komprehensif yang telah mencapai titik diterima secara universal. Tantangannya
sekarang adalah mengembangkan program yang tidak hanya komprehensif dalam
memberikan layanan tetapi juga menekankan upaya aktif menuju perubahan sistemik.
Semakin seorang konselor fokus pada kebutuhan siswa, semakin dia memperhatikan
hambatan lingkungan yang cenderung menghalangi perkembangan yang sehat. Setiap
siswa dapat mengambil manfaat dari kesempatan untuk berperan serta dalam konseling
kelompok atau individu yang lebih mendesak.

5
2. Kompas Bimbingan Sekolah
Model yang didasarkan pada gagasan bahwa program konseling komunitas harus
menekankan strategi yang baik untuk memfasilitasi pengembangan individu untuk
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dapat membantu mereka hidup dan belajar secara efektif dan strategi
untuk memfasilitasi pengembangan komunitas yang mempengaruhi kesejahteraan
meliputi pembangunan dan meningkatkan intervensi baik di lingkungan sekolah,
keluarga, dan masyarakat.
3. Menerapkan Konseling Komunitas di Lingkungan Sekolah
Strategi berfokus perkembangan berbasis luas kerja kelompok pendidikan pada
mahasiswa sebagai penasihat dan strategi intervensi mempromosikan akademis
pengembnagn, meningkatkan karir pengembangan, meningkatkan karir pengembangan,
membangun keterampilan pribadi dan sosial. Sedangkan sekolah sebagai advokasi
mahasiswa dengan perubahan sistemik berkolaborasi dengan keluarga dan komunitas,
mengubah lingkungan sekolah, advokasi kebijakan public atas nama anak dan pemuda.
Strategi terhadap kebutuhan anak dan remaja merupakan program yang efektif
mencakup intervensi terfokus di sekolah. Intervensi sekolah dirancang untuk memenuhi
kebutuhan populasi sekolah secara keseluruhan, oleh karena itu menekankan pada
pengembangan dan pencegahan. Intervensi difokuskan untuk membantu siswa yang
menghadapi situasi dimana mereka membutuhkan dukungan ekstra tanggap. Dengan
demikian, model layanan ini berbasis menekankan intervensi pendidikan yang disediakan
dengan semua siswa dalam pikiran, sementara intervensi fokus menggunakan strategi
pemberdayaan melalui pengalaman kelompok kecil dan konseling individu.
4. Kerja Kelompok dan Individu Penyuluhan
Intervensi pendidikan di seluruh sekolah dapat mencegah banyak masalah siswa
yang mungkin memerlukan layanan individu. Dalam konteks program yang
komprehensif, konseling kelompok dan individu yang ditawarkan kepada siswa harus
terstruktur dan dibatai waktu. Seperti halnya dengan intervesi pendidikan yang
menekankan pada pengembangan kecakapan hidup yang sesuai dengan usia dan
pemberdayaan pribadi.

6
Dalam intervensi langsung, konselor harus mampu menggunakan strategi
pemberdayaan yang mengenali faktor lingkungan dan membantu siswa memahaminya
dengan baik. Konseling Amerika Kompetensi Advokasi Asosiasi (Lewis, Arnold, House,
& Toporek, 2002) menekankan gagasan bahwa konseling langsung dan advokasi siswa
secara integral. Orientasi advokasi berlaku ketika seorang konselor dan siswa
berinteraksi. Strategi pemberdayaan yang mendasari orientasi advokasi meliputi:
a) Identifikasi kekuatan dan sumber daya siswa
b) Identifikasi faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi siswa
c) Pengakuan yang menunjukkan bahwa perilaku dan perhatian individu
mencerminkan tanggapan terhadap penindasan sistemik atau internal
d) Pada tingkat perkembangan yang sesuai, bantu siswa dengan mengidentifikasi
hambatan eksternal yang mempengaruhi perkembangannya.
e) Melatih siswa dalam keterampilan advokasi diri
f) Bantu siswa mengembangankan rencana tindakan advokasi diri
g) Membantu siswa dalam melaksanakan rencana tindakan
5. Intervensi Pendidikan

Pada dasarnya konseling ini digunakan untuk membantu masalah yang dialami
oleh peserta didik tanpa terkecuali jenisnya. Masalah yang akan dibantu oleh guru BK
memanglah sangat kompleks. Yakni semua masalah yang berkaitan dengan peserta didik.
Mulai dari membantu peserta didik dalam menyelesaikan masalah pribadi, kelompok,
mental, masalah dalam belajar, sikap dan kepribadian hingga masalah pencarian potensi,
minat dan bakat seorang peserta didik. Inilah guna dari guru BK dalam suatu sekolah,
memang sangatlah berat tugasnya. Tetapi guru BK dapat mengkoordinir para stakeholder
dalam sekolah tersebut untuk membantu menyelesaikan tugasnya itu.

Intervensi langsung di seluruh sekolah dilakukan terutama melalui intervensi


pendidikan yang dapat disampaikan oleh konselor atau tim guru / konselor. Program
konseling sekolah yang efektif sangat bergantung pada intervensi pendidikan berdasarkan
kurikulum yang ada pada sekolah, sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, dan
berorientasi pada pengajaran kecakapan hidup yang dapat ditransfer. Sesuai dengan
standar nasional ASCA, kurikulum harus mengarah pada kompetensi siswa di tiga bidang

7
umum: pengembangan akademik, pengembangan karir, dan pengembangan pribadi /
sosial. “Pelajaran dirancang untuk mengajar anak-anak dan remaja di semua tingkat
perkembangan bahwa mereka memiliki kekuatan, bahwa mereka dapat mempelajari
keterampilan yang sesuai, dan bahwa mereka dapat menjadikannya efektif dan
responsible keputusan".

6. Advokasi Siswa
Fungsi advokasi dalam konseling berupaya memberikan bantuan (oleh konselor)
agar hak-hak keberadaan, kehidupan dan perkembangan orang atau individu atau klien
yang bersangkutan kembali memperoleh hak-haknya yang selama ini dirampas,
dihalangi, dihambat, dibatasi atau dijegal.
Toporek (2000, h.6) menyarankan bahwa advokasi melibatkan "tindakan yang
diambil oleh seorang profesional konseling untuk memfasilitasi pengentasan hambatan
eksternal dan kelembagaan untuk klien." Sayangnya dalam proses pemberian bantuan
sering kali menemui hambatan yang tidak dapat mereka atasi sendiri, seorang konselor
sering kali menemukan bahwa dia dapat sangat membantu dalam peran advokat. Kadang-
kadang seorang konselor memainkan peran ini paling efektif dengan berbicara atas nama
seseorang yang haknya telah terancam. Di lain waktu, konselor dapat sangat membantu
dengan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas dan keterpaduan
jaringan layanan yang tersedia untuk anak-anak dan keluarga. Kompetensi Advokasi
Asosiasi Konseling Amerika (Lewis, Arnold, House, & Toporek, 2002) menjelaskan
tindakan berikut yang melekat dalam proses advokasi siswa:

 Negosiasikan layanan dan sistem pendidikan yang relevan atas nama siswa.
 Bantulah siswa mendapatkan akses ke sumber daya yang dibutuhkan.
 Identifikasi hambatan kesejahteraan individu dan kelompok rentan.
 Kembangkan rencana tindakan awal untuk menghadapi hambatan ini.
 Identifikasi sekutu potensial untuk menghadapi rintangan.
 Jalankan rencana tindakan.

8
7. Intervensi Sistematik
Konselor sekolah tidak boleh merasa bahwa mereka harus memilih antara
memberikan layanan dan bertindak sebagai pendukung perubahan sistem. Nyatanya,
intervensi yang tampaknya terpisah ini dibangun di atas satu sama lain. Karena pekerjaan
langsung mereka dengan anak-anak dan remaja, konselor sering kali menjadi orang
pertama yang menyadari aspek berbahaya dari lingkungan sekolah. Ketika seorang
konselor melihat sekelompok siswa bergumul dengan masalah serupa, dia menjadi sadar
akan tema yang berulang. Dorongan untuk terlibat dalam perubahan sistemik sering kali
muncul dalam pikiran konselor sehingga konselor mempunyai keinginan untuk mencegah
jenis masalah yang ia lihat setiap harinya. Untungnya, konselor profesional memiliki
keterampilan yang menjadikan mereka pemimpin yang efektif dalam proses perubahan
tersebut. Kompetensi Asosiasi Konseling Amerika menyarankan bahwa perubahan sistem
di sekolah harus melibatkan langkah-langkah berikut (Lewis, Arnold, House, & Toporek,
2002):
 Identifikasi faktor dan lingkungan yang mengganggu perkembangan siswa.
 Menyediakan dan menafsirkan data untuk menunjukkan urgensi perubahan.
 Bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya, kembangkan visi untuk
memandu perubahan.
 Menganalisis sumber kekuatan politik dan pengaruh sosial dalam sistem.
 Kembangkan rencana langkah demi langkah untuk menerapkan proses
perubahan. Kembangkan rencana untuk menghadapi kemungkinan respons
terhadap perubahan.
 Kenali dan hadapi penolakan.
 Mengasasmen pengaruh dari advokasi yang diberikan oleh konselor baik pada
sistem maupun pada siswa.
8. Menyatukan Komponen Program
Program konseling sekolah yang komprehensif harus menggabungkan
empat komponen umum yang dibahas di atas ke dalam kerangka terpadu. Setelah
kerangka kerja ditetapkan, konselor dapat membuat konsep strategi intervensi
spesifik yang mungkin memiliki dampak terbesar pada sebagian besar anak dan
remaja. Keterampilan yang terlibat dalam setiap aspek dari program terpadu

9
melengkapi satu keterampilan yang lain, sebagai konselor menjaga kesadaran
mereka tentang interaksi yang terus menerus dan kompleks antara siswa dan
lingkungan sekolah.
Komponen program yang membentuk file model konseling sekolah
memberikan kerangka kerja untuk program yang komprehensif. Mungkin yang
mengejutkan, model yang sama yang memandu program komprehensif juga dapat
diterapkan pada serangkaian intervensi yang mungkin dilakukan oleh program
untuk mencapai tujuan tertentu. Tidakt hanya program konseling komperhensif di
sekolah tapi program yang dirancang untuk tujuan khusus juga harus dirancang
dengan mengkombinasikan intervensi langsung dan tidak langsung, seluruh
sekolah dan fokus. Bagian berikut dari bab ini memaparkan dua contoh: (a)
pendekatan kontekstual untuk program multikultural dan (b) pendekatan
komprehensif untuk pemrograman sekolah yang aman.
G. Program Multikultural
Perkembangan anak dan remaja harus selalu dilihat dalam konteks multikultural.
Sifat dan makna tugas-tugas perkembangan yang sering dianggap universal ternyata sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya. Pertimbangkan, misalnya, gagasan bahwa
memisahkan dari keluarga asal dan mendapatkan identitas diri yang mandiri adalah tugas
penting remaja. “Memberi penghargaan pada pencapaian individualisme dan kemandirian
remaja mencerminkan nilai yang penting bagi budaya dominan di Amerika Serikat tetapi
tidak dimiliki oleh semua kelompok etnis” (Lewis, 2002, hlm. 4). Seperti yang ditunjukkan
oleh Sue dan Sue (1990), kebanyakan kelompok budaya “lebih menghargai keluarga, garis
keturunan historis (penghormatan terhadap leluhur), saling ketergantungan di antara anggota
keluarga, dan tenggelamnya diri demi kebaikan keluarga” (hlm. 123 ). Ketika otonomi
pribadi ditekankan di sekolah dan kolektivisme ditekankan dalam keluarga, seorang siswa
yang dibesarkan dalam budaya non-dominan dapat dipaksa ke dalam situasi tekanan yang
saling bertentangan. Kesulitan ini mencerminkan hanya satu dari banyak situasi di mana
anak-anak dan remaja dapat menjadi korban oleh sistem yang dibangun dengan asumsi
bahwa norma budaya arus utama bersifat universal.

Kearifan konvensional juga mengasumsikan bahwa perkembangan anak terungkap


dalam lingkungan yang pada dasarnya ramah dan bahwa orang muda yang berkembang

10
secara normal akan dapat menemukan tempatnya dalam masyarakat. Pandangan yang tidak
realistis ini mengabaikan fakta bahwa rasisme dan bentuk penindasan lainnya berdampak
besar pada kehidupan manusia. Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap efek
penindasan. (Pertimbangkan lagi setiap siswa yang diperkenalkan di awal bab ini. Rasisme,
seksisme, dan klasisme jelas memengaruhi kehidupan muda mereka.) Kecuali upaya yang
bertujuan dilakukan untuk menghentikan efek penindasan, gagasan bahwa sekolah adalah
lingkungan perkembangan yang sehat dapat dipertanyakan.
Seperti yang telah kita lihat, konselor sekolah profesional memainkan peran kunci
dalam meningkatkan iklim sekolah. Membantu menjadikan sekolah komunitas yang benar-
benar multikultural berada di bawah lingkup program konseling. Gambar 10.3
mengilustrasikan bagaimana kerangka konseling sekolah dapat disesuaikan dengan tujuan
khusus ini.
Ketika model konseling sekolah kami diterapkan pada tujuan multikulturalisme,
upaya berbasis luas untuk memfasilitasi pengembangan siswa memasukkan pendidikan
multikultural ke dalam kurikulum sekolah. Salah satu aspek dari proses ini adalah
memberikan kegiatan pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kompetensi
multikultural siswa. Sisi lain melibatkan pemrograman yang menekankan konteks
keanekaragaman bahkan ketika kurikulum tidak secara spesifik “tentang” multikulturalisme.
Demikian pula, intervensi yang lebih terfokus membawa perspektif multikultural untuk
semua layanan konseling kelompok dan individu. Upaya berbasis luas untuk memfasilitasi
pengembangan sekolah mencari perubahan dalam kebijakan dan praktik yang dapat
mengorbankan siswa yang merupakan anggota kelompok tertindas, sementara intervensi
terfokus mengadvokasi atas nama individu atau kelompok tertentu yang telah terancam oleh
praktik ini.
Nilai dari menyeimbangkan perhatian pada kompetensi siswa dan perhatian terhadap
lingkungan dicontohkan dalam karya Alaska Native Knowledge Network. Standar Alaska
untuk Sekolah Responsif Budaya (Alaska Native Knowledge Network, 1998) mewakili
upaya terobosan yang mencakup standar budaya untuk siswa, standar budaya untuk
pendidik, standar budaya untuk kurikulum, standar budaya untuk sekolah, dan standar
budaya untuk komunitas. Penggunaan pendekatan ini berarti bahwa pemangku kepentingan
dapat melihat lingkungan budaya dalam konteks yang luas dan, pada saat yang sama, dapat

11
mengidentifikasi peran dan tanggung jawab pribadi mereka sendiri. Sangat menarik untuk
membidik pada standar budaya bagi siswa karena ini menggambarkan hasil dari praktik
yang efektif. Standar untuk siswa mencakup yang berikut (Alaska Native Knowledge
Network, 1998, Student Standards, hlm. 1–3):
a) Siswa yang berwawasan budaya memiliki dasar yang kuat dalam warisan budaya dan
tradisi komunitas mereka.
b) Siswa yang berwawasan budaya mampu membangun pengetahuan dan keterampilan
komunitas budaya lokal sebagai landasan untuk mencapai kesuksesan pribadi dan
akademis sepanjang hidup.
c) Siswa yang berwawasan budaya mampu berpartisipasi aktif dalam berbagai lingkungan
budaya.
d) Siswa yang berwawasan budaya dapat terlibat secara efektif dalam kegiatan belajar yang
didasarkan pada cara-cara tradisional untuk mengetahui dan belajar.
e) Berpengetahuan luas secara budaya siswa menunjukkan kesadaran dan penghargaan
terhadap hubungan dan proses interaksi semua elemen di dunia sekitar mereka.
Untuk masing-masing standar di atas, dokumen tersebut juga mencakup daftar yang
lebih rinci tentang perilaku yang dapat dilakukan oleh siswa yang berpengetahuan budaya.
Bahkan pemeriksaan sepintas dari kompetensi yang digambarkan menjelaskan bahwa
pendidikan langsung saja tidak cukup untuk memastikan perkembangan mereka. Siswa dapat
mencapai tingkat pengetahuan dan kesadaran ini hanya di lingkungan yang bergizi secara
budaya.
Pada tahun 2001, Majelis Pendidik Asli Alaska menyetujui Panduan untuk
Memelihara Pemuda yang Sehat Secara Budaya (Alaska Native Knowledge Network, 2001).
Dokumen ini mencakup pedoman untuk tetua pribumi; orangtua; pemuda; komunitas, suku,
klan, dan organisasi asli; pendidik; sekolah; dan pengasuh anak. Sekali lagi, perhatian
diberikan pada peran yang dapat dimainkan oleh semua pemangku kepentingan dalam
pengembangan kompetensi multikultural. Dalam hal pendidik, pedoman menyatakan bahwa
"pendidik bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan belajar yang mendukung yang
memperkuat kesejahteraan budaya siswa dalam asuhan mereka" (Alaska Native Knowledge
Network, pedoman, hal. 6). Panduan untuk sekolah menunjukkan bahwa "sekolah harus
sepenuhnya terlibat dengan kehidupan masyarakat yang mereka layani sehingga dapat

12
memberikan harapan yang konsisten dalam semua aspek kehidupan siswa" (Alaska Native
Knowledge Network, pedoman, hal. 7).
Program konseling multikultural dapat memperoleh manfaat dari perhatian pada
pendekatan holistik yang dicontohkan oleh standar dan pedoman Alaska Native. Tentunya,
perhatian diberikan pada pendidikan langsung kaum muda. Perhatian yang sama diberikan
pada kebutuhan sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk bekerja dalam kemitraan.
H. Program Untuk Keamanan Sekolah
Youth Violence: A Report of the Surgeon General (2001) memberikan review dari
penelitian terkini tentang sumber dan solusi potensial dari kekerasan di kalangan remaja. Di
antara temuan utama dari laporan ini adalah bahwa "program paling efektif menggabungkan
komponen yang menangani risiko individu dan kondisi lingkungan." Faktanya, laporan
tersebut lebih jauh menyatakan bahwa "intervensi yang menargetkan perubahan dalam
konteks sosial tampaknya lebih efektif, secara rata-rata, daripada intervensi yang mencoba
mengubah sikap, keterampilan, dan perilaku berisiko individu". Kesimpulan ini mendukung
gagasan bahwa pendekatan multifaset untuk pemrograman untuk sekolah aman diperlukan.
Meskipun banyak orang berharap bahwa kekerasan dapat dicegah hanya melalui identifikasi
awal terhadap anak-anak yang rentan kekerasan, kenyataannya adalah bahwa agresi, seperti
semua perilaku, membutuhkan tempatkan dalam konteks. Pendekatan kontekstual untuk
pemrograman untuk sekolah yang aman diilustrasikan dalam Tampilan 10.4.
Mengenai program seluruh sekolah untuk memfasilitasi perkembangan siswa,
konselor sekolah dapat mengembangkan intervensi pendidikan baru yang sesuai dengan
tujuan sekolah mereka atau memilih dari sekian banyak kurikulum yang ada. Compton
(2003) mengemukakan bahwa resolusi konflik dapat dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah melalui modul yang berdiri sendiri, integrasi ke dalam kursus yang ada,
mengintegrasikan tema inti ke dalam pengajaran, dan memasukkan konsep resolusi konflik
ke dalam kegiatan sehari-hari. Strategi serupa dapat digunakan untuk program yang
bertujuan mencegah penindasan, pelecehan, dan bentuk kekerasan lainnya. Pendidikan anti-
bias, yang berfokus pada penghormatan terhadap perbedaan, juga merupakan inti dari
inisiatif sekolah aman karena pentingnya mencegah kekerasan yang dimotivasi oleh
kebencian (Cobia & Carney, 2002). Konselor tentu saja menggunakan intervensi terfokus
untuk bekerja dengan individu atau kelompok yang terkena dampak kekerasan, baik sebagai

13
korban maupun pelaku. Intervensi dini saat masalah mulai berkembang adalah penting.
Namun, sama pentingnya untuk mewaspadai perlunya kehati-hatian dalam mendekati siswa
yang telah menunjukkan tanda-tanda peringatan dini terkait dengan potensi kekerasan.
Tidak ada salahnya. Ada risiko tertentu yang terkait dengan penggunaan tanda
peringatan dini untuk mengidentifikasi anak-anak yang bermasalah. Pertama dan terpenting,
maksudnya adalah untuk mendapatkan bantuan untuk seorang anak sejak dini. Tanda
peringatan dini hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk mengucilkan, mengisolasi,
atau menghukum seorang anak. Juga tidak boleh digunakan sebagai daftar periksa untuk
secara formal mengidentifikasi, menyesatkan, atau menstereotipkan anak-anak.… Penting
untuk menyadari isyarat yang salah — termasuk ras, status sosial-ekonomi, kemampuan
kognitif atau akademis, atau penampilan fisik. Faktanya, stereotip semacam itu dapat
merugikan anak-anak secara tidak adil, terutama ketika komunitas sekolah menindakinya.
(Departemen Pendidikan AS, 2000, hlm.4)
Intervensi langsung dengan anak-anak dan remaja tentunya harus dilakukan dalam
konteks perkembangan dan sosial. Pentingnya konteks mengemuka ketika kita
mempertimbangkan intervensi lingkungan di seluruh sekolah. Kebijakan sekolah, terutama
yang mengatur tentang disiplin, dapat berpengaruh kuat pada perilaku siswa. Panduan
Kantor Pendidikan AS untuk sekolah yang aman (2000, p. 11) menyarankan bahwa sekolah
harus mengambil langkah-langkah berikut dalam mengembangkan kebijakan seluruh
sekolah:
 Memastikan nilai budaya dan tujuan pendidikan masyarakat tercermin dalam peraturan.
Nilai-nilai ini harus diungkapkan dalam pernyataan yang mendahului kebijakan
disipliner di seluruh sekolah.
 Libatkan staf sekolah, siswa, dan keluarga dalam pengembangan, diskusi, dan penerapan
aturan yang adil. Berikan dukungan di seluruh sekolah dan kelas untuk menerapkan
aturan ini.
 Yakin konsekuensi sepadan dengan pelanggarannya, dan bahwa aturan ditulis dan
diterapkan dengan cara yang tidak diskriminatif dan mengakomodasi keragaman
budaya.
 Pastikan bahwa jika konsekuensi negatif… digunakan, itu dikombinasikan dengan
strategi positif untuk mengajarkan perilaku yang pantas secara sosial dan dengan strategi

14
yang menangani faktor apa pun yang mungkin menyebabkan perilaku tersebut.
Pendekatan disiplin yang direkomendasikan membantu membangun iklim sekolah
yang dilihat oleh siswa, orang tua, dan masyarakat adil, setara, dan peka terhadap
keragaman. Bahkan dengan adanya iklim sekolah yang positif, terkadang diperlukan
intervensi tidak langsung yang terfokus. Konselor sekolah harus siap melakukan advokasi
atas nama siswa untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan kesejahteraan
mereka didukung. Kehadiran sistem layanan yang terorganisir dengan baik dan
komprehensif juga membantu memastikan bahwa siswa memiliki akses ke bantuan yang
mereka butuhkan sebelum masalah lepas kendali.
Dalam pengembangan sekolah yang aman, sebuahProgram yang efektif jelas harus
memperhatikan pembelajaran siswa dan iklim sekolah. Pemrograman diperlukan untuk
mengatasi ini, satu perhatian mencerminkan organisasi dan proses yang juga mendasari
perencanaan dan pelaksanaan program konseling sekolah yang komprehensif secara
keseluruhan.

15
BAB III
KESIMPULAN

Bab ini telah menunjukkan bagaimana model konseling komunitas diterapkan pada
pekerjaan konselor di lingkungan sekolah. Penulis membuat argumen bahwa konselor sekolah
profesional mungkin merasa nyaman dengan model ini karena pekerjaan mereka secara
tradisional membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan sekolah mereka karena sistem
dan upaya konseling mereka telah difokuskan pada siswa individu dalam konteks sekolah dan
keluarga. Model konseling komunitas, dengan empat komponen utamanya, diterapkan pada dua
bidang minat spesifik: pemrograman multikultural dan intervensi yang difokuskan pada sekolah
yang aman.

16
DAFTAR PUSTAKA

Alaska Native Knowledge Network (1998a). Alaska standards for culturally responsive
schools. Retrieved July 12, 2010, from
http://www.ankn.uaf.edu/publications/standards.html.

Alaska Native Knowledge Network (1998b). Alaska standards for culturally responsive
schools:student standards. Retrieved April 26, 2003, July 12, 2010, from
http://www.ankn.uaf.edu/publications/standards.html.

Alaska Native Knowledge Network (2001). Guidelines for nurturing culturally-healthy


youth. Retrieved July 12, 2010, from
http://www.ankn.uaf.edu/publications/youth.pdf.

American School Counselor Association (1996). National school counseling standards.


Alexandria, VA: American School Counselor Association.

Bowers, J. L, & Hatch, P. A. (2002). ASCA national model for school counseling
programs. Alexandria, VA: American School Counselor Association.

Bowers, J. L, Hatch, P. A., & Kuranz, M. (2002). School counselors: Partners in student
achievement. Presentation. American School Counselor Association. Miami.

Cobia, D. C., & Carney, J. S. (2002). Creating a culture of tolerance in schools:


Everyday actions to prevent hate-motivated violent incidents. Journal of School
Violence, 1(2), 87–103.

Compton, R. (2003). Infusing and integrating conflict resolution in the school curricu-
lum and culture. Retrieved (3/13/39) from
http://www.acresolution.org/research.nsf/key/lib-compton.
17
Education Trust. Retrieved 3/16/03 from http://www.edtrust.org/dc/about

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (Eds.). Implementing comprehensive school guidance


programs: Critical leadership issues and successful responses. Greensboro,
NC:ERIC/CASS.

Gysbers, N. C., & Moore, E. J. (1981). Improving guidance programs. Englewood


Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. Comprehensive guidance and counseling programs: A


rich history and a bright future. Professional School Counseling, 4, 246–256.

House, R. M., & Martin, P. J. (1998). Advocating for better futures for all students: A
new vision for school counselors. Education, 119, 284–291.

Lewis, J. A. (2002). Working with adolescents: The cultural context. In J. Carlson & J.
Lewis (Eds.), Counseling the adolescent: Individual, family, and school
interventions (pp. 3–16). Denver: Love Publishing Company.

Lewis, J. A., Lewis, M. D., Daniels, J. A., & D’Andrea, M. J. (1998). Community
counsel- ing: Empowerment strategies for a diverse society. Pacific Grove, CA:
Brooks/Cole.

Lewis, J. A., & Arnold, M. S. (1998). From multiculturalism to social action. In C. C.


Lee & G. R. Walz (Eds.), Social action: A mandate for counselors (pp. 51–66).
Alexandria, VA: American Counseling Association and ERIC/CASS.

Lewis, J. A., Arnold, M. S., House, R., & Toporek, R. (2002). American Counseling
Association advocacy competencies. Alexandria, VA: American Counseling
Association.

Martin, P., & House, R. (1999, June 27). Counselors as leaders: Behaving as if you
really believe in all children. Presentation to the American School Counselor
Association Annual Conference, Phoenix, AZ.

18
Paisley, P. O., & Borders, I. D. (1995). School counseling: An evolving specialty.
Journal of Counseling & Development, 74, 150–153.

Paisley, P. O., & Hubbard, G. L. (1994). Developmental school counseling programs:


From theory to practice. Alexandria, VA: American Counseling Association.

Sue, D. W. & Sue, D. (1990). Counseling the culturally different: Theory and practice
(2nd ed.). New York: Wiley.

Toporek, R. L. (2000). Developing a common language and framework for under-


standing advocacy in counseling. In J. Lewis & L. Bradley (Eds.), Advocacy in
counseling: Counselors, clients, & community (pp. 5–14). Greensboro, NC: ERIC
Clearinghouse on Counseling and Student Services.

U.S. Department of Education (2000). Early warning, timely response: a guide to safe
schools. Retrived March 13, 2003, from
http://www.ed.gov/offices/OSERS/OSEP/ earlywrn.html.

Youth violence: A report of the surgeon general (2001). Retrieved May 30, 2003, from
http:// www.surgeongeneral.gov/library/youthviolence/default.htm.

Walz, G. R. (1997). Knowledge generalizations regarding the status of guidance and


counseling. Washington, DC: Education Trust.

19
20

Anda mungkin juga menyukai