Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ETIKA BERDAKWAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadits PMI

Dosen pengampu: Dr. Endad Musaddad, M.A

Disusun Oleh :

Yuheti Niawati (181530105)


Alya Ikrima (201530111)
Ahmad Husaimi Sahal (201530083)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN

BANTEN

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh
pengikut beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Etika Berdakwah”.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih
banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Serang, September 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang selalu mendorong umatnya untuk senantiasa aktif
melakukan kegiatan dakwah, sebagai ajakan untuk memikirkan klaim terpenting tentang hidup
dan mati, kebahagiaan atau siksa yang abadi, kebahagiaan dunia atau kesengsaraan, kebajikan
dan kejahatan, maka misi dakwah harus dilaksanakan dengan integritas penuh pendakwah dan
objek pendakwah. Bila pihak-pihak merusak integritas ini, degan cara meminta atau menerima
suap dengan menerima keuntungan, menerapkan paksaan atau tekanan, memanfaatkan demi
tujuan bukan dijalan Allah, maka ini merpakan kejahatan besar dalam berdakwah atau dakwah
islam menjadi tidak sah. Dakwah islam itu harus dijalankan dengan serius, melalui aturan-aturan
yang benar sehingga diterima dengan komitmen yang sama terhadap kebenaran islam. Objek
dakwah harus merasa bebas dari paksaan, ancaman, serta nila-nilai yang bersifat merusak yang
cenderung untuk anarki.

Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini da’I tidak diperintahkan menyeru islam
begitu saja, ada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas dakwah islam tidak bersifat
melontarkan isu-isu yang bersifat fanatis, memaksa, provokatif, celaan-celan yang menimbulkan
permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktiviata yang bersifat destruktif. Karena etika manusia
memandang dakwah yang dipaksakan sebagai pelanggaran berat, maka itu dakwah islam
mengkhususkan penggunaannya secara persuasif.

B. Rumusan Masalah

1. Apa sajakah etika dakwah itu?.

2. Apa sajakah kode etik dakwah itu?.

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui kode etik dakwah serta memahami
etika dalam berdakwah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. ETIKA DAKWAH

a. Pengertian Etika

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang
menyertai suatu tindakan. Dengan demikian etika dilakukan oleh seorang untuk perlakuan yang
baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut
memang memenuhi landasan etika.1

Dalam perspektif filsafat moral, etika berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam
kaitannya dengan perilaku manusia, apakah suatu tindakan yang dilakukan-nya itu benar atau
salah, baik atau buruk. Dengan demikian, etika adalah filasafat moral yang menunjukkan
bagaimana seseorang harus bertindak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa etika berarti ilmu tentang apa yang
baik dan tentang apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan tentang akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat (KBBI 1995, 237).

Etika, meski menyangkut persoalan tata susila atau moral, tetapi ia tidak otomatis bisa
membuat seseorang menjadi baik. Etika hanya menunjukkan sifat baik buruknya perbuatan
seseorang. Di sini etika hanya berfungsi sebagai pedoman, yang turut mempengaruhi seseorang
untuk berperilaku baik; melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan
sebagaimana mestinya.

Adapun pengertian dakwah adalah suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan
atau tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha
mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam
dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan, serta pengalaman terhadap ajaran agama

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, ( Jakarta:Amzah ), 2009, hal.240.
sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan (Arifin
1991, 6).

Dalam konteks kehidupan manusia, maka kewajiban dan larangan merupakan suatu
peraturan dan ketentuan yang mengikat yang menuntut kesadaran untuk melaksanakannya. Baik
kewajiban maupun larangan merupakan jaringan norma yang seolah-olah membelenggu manusia,
mencegah manusia dari tindakan yang sesuai dengan keinginannya, mengikat manusia untuk
melakukan sesuatu yang sebetulnya dibenci. Sanksi diberikan jika seseorang telah melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan, peraturan dan ketentuan yang berlaku. Etika
umumnya menurut Effendy (1992) menyangkut perilaku seseorang yang dinilai baik atau buruk
tanpa merugikan orang lain. Misalnya seorang pria yang memakai anting-anting, seorang suami
yang memaki-maki isterinya di tempat ramai, contoh-contoh perilaku tersebut memang tidak
merugikan orang lain, tetapi perilaku tersebut dinilai orang lain tidak pantas dilakukan, maka jika
hal tersebut dilakukan akan timbullah ejekan seperti kampungan, orang udik, kurang pergaulan,
dan sebagainya. Tetapi, bila seseorang berperilaku dengan sengaja merugikan atau menyinggung
perasaan orang lain, maka dinilai tidak etis.2

b. Macam-Macam Etika Dakwah

Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam
melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut.

1. Sopan

Sopan berhubungan dengan adaan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam
tiap kelompok. suatan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu
pekerjaan di anggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di
suatu komunitas. Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak
sama. Masing-masing memiliki standar sendri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat di
jadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.

2
Anita Ariani, Etika Komunikasi Dakwah Menurut Al-Quran. Jurnal Ilmu Dakwah, 2012, Vol.11 No.21 hlm. 7
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang kita
lahirkan di dalam dan di luar pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus di jaga serapi
mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Gerak-gerak
yang tetap dan berulang-ulang akan membosankan bagi penerima dakwah. Sekali-kali seorang
da’i harus berlainan dalam melakukan gerak gerik, seperti memandang ke depan, kekiri, kekanan
atau kebelakang dalam batas-batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respons dari
pembicaraan yang diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga
sebaik mungkin, tidak mencolok, dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat. Yang perlu diingat oleh da’i adalah ia bertindak sebagai mubaligh yaitu penyampaian
ajaran kebenaran islam atau, bukan sebagai peragawan atau peragawati ataupun model. Karena
itu kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus dipertimbangkan oleh da’i dalam
melakukan aktivitas dakwahnya.

Cara berpakaian dan cara berbuat yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat, tetapi masih dapat diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda yang
disebut “Flain fleks device”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh rakyat biasa.
Umpamanya seorang da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam suatu acara umum. Akan
tetapi, hal itu harus dilakukan dalam batas-batas tertentu, sehingga perhatian kepada pakaian
yang dikenakan tidak boleh lebih besar dari pada perhatian kepada isi ceramah da’i atau
mubaligh tersebut.

Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan
yang disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita
bohong dan memutarbalikan keadaan yang sebenarnya. Dalam istilah propaganda hal demikian
disebut “card stancking device”, yaitu tindakan dan sikap yang dilakukan sejalan dengan
pembicaraan yang disampaikan, tidak mengada-ada bahkan menyampaikan berita bohong
ataupun memutarbalikan kenyataan.3

2. Jujur

3
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, ( Jakarta:Amzah ), 2009, hal.24
Dalam menyampaikan aktivitas dakwah, hendaklah da’i menyampaikan suatu informasi
dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Kemahiran dalam
mempergunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikan persoalan yang sebenarnya, jadi da’i
harus dapat menyampaikan sesuatu yang keluar dari lisannya dengan landasan kejujuran dan
faktual. Seorang da’i tidak boleh berkata bohong apalagi sengaja berbohong dalam suatu tema
atau topik pembicaraan. Akibat kebohongan akan fatal akibatnya dan dapat merendahkan
reputasi dari da’i sendiri, apalagi yang disampaikan adalah ajaran-ajaran keagamaan. Demikian
pula apa yang disampaikan oleh da’i atau mubaligh dalam bentuk tulisan, tidak kurang
pentingnya memelihara kejujuran. Apalagi materi dakwah dalam bentuk tulisan dilihat kembali
berdasarkan data yang nyata. Jika ternyata fakta yang ditulis salah, tentu akan mengakibatkan
ketidak percayaan orang lain kepada da’i tersebut, dan jika hal ini terjadi tentu akan
merendahkan kredibilitas da’i tersebut.

Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia massa atau surat kabar, dapat terjadi
hal-hal yang melanggar etika kejujuran, misalnya dalam:

a. Pencorakan berita (colorization of news).

Untuk menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja diberitakan dalam
kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu sampai pada menyukai pencurian
tersebut. Dapat pula diselipkan didalamnya pujian, kritik, atau cacian kepada pihak yang
berwajib, tergantung pada kalimat yang dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat yang sama
dapat pula mempunyai kesan yang berlainan bagi pembacanya, hanya karena berlainan
tempatnya, dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan huruf tebal, diantara
tanda petik dan sebagainya. Semua hal itu dapat menimbulkan kesan yang lain disebut dengan
“colorization of news”.

b. Spekulasi (speculation),

Yaitu tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang menguntungkan
kelompok saja, sedang berita yang daapat merugikan tidak di muat. Sebenarnya tidak semua
kejadian di muat di surat kabar, dan surat kabar tidak selalu mengambarkan kejadian yang
sebenarnya dalam arti sedetail-detailnya. Surat kabar hanya selalu memuat kejadian-kejadian
yang di anggap aktual, hangat, yang menarik perhatian karena jarang atau tidak pernah terjadi.4

3. Tidak Menghasut

Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi
memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika
itu di lakukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah.
Masyarakat akan merasa bingung pendapat da’i yang mana yaang benar dan harus diikuti.

Adapun yang perlu di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu,
ia harus menyampaikn kebenaran bukan harus menghasut. Menyampaikan kebeneran tidak harus
di sampaikan dengan menghasut atau bahkan melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya
tidak cocok di lakukan oleh seorang da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam
tema khilafiyah (perselisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.

Akan tetapi, jika memang yang di sampaikan adalah masalah penegakan kebenaran
secara hak, maka hendaklah da’i menyampaikan kebenaran terssebut walau pahit sekalipun.
Sebagaimana di sampaikan oleh nabi bahwa, “sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.”

B. KODE ETIK DAKWAH

a. Pengertian Kode Etik Dakwah

Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang
mermuskan perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu
sendiri dan pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang
juru dakwah. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik tersendiri.5 Dan sumber
dari rambu-rambu etis bagi seorang pendakwah adalah Al-Qur’an seperti yang telah dicontohkan
Rasulullah SAW.

b. Macam-Macam Kode Etik Dakwah

4
Ibid, hal.244.

5 M. Munir, Metode Dakwah, ( Jakarta:Kencana ), 2003, hal.82.


Adapun kode etik dakwah diantaranya:

1. Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan

Para da’i hendaknya tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, dalam artian apa
saja yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan oleh da’i. seorang da’i yang tidak
beramal sesuai dengan ucapannya ibarat pemanah tanpa busur. Hal ini bersumber pada QS. Al-
shaff:2-3

َ‫` ﺃ َ ْﻥ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ َﻣﺎ َﻻ ﺗَ ْﻔ َﻌﻠُﻮﻥ‬


ِ ‫( َﻛﺒ َُﺮ َﻣ ْﻘﺘًﺎ ِﻋ ْﻨﺪَ ﱠ‬2) َ‫َﻳﺎ ﺃ َ ﱡﻳ َﻬﺎ ﱠﺍﻟﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﻟ َِﻢ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ َﻣﺎ َﻻ ﺗَ ْﻔ َﻌﻠُﻮﻥ‬

)3)

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?
Amat besar murka disisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan”.

2. Tidak Melakukan Toleransi Agama

Tasamuh memang dianjurkan dalam islam, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak
menyangkut masalah agama.

3. Tidak Menghina Sesembahan Non Muslim

Kede Etik ini berdasarkan QS. Al-an’am:108

َ ‫ﻋ ۡﺪ ًﻭﺍ ِﺑﻐ َۡﻴ ِﺮ ﻋ ِۡﻠ ٍﻢ‬ َ ‫ﺴﺒﱡﻮﺍْ ﱠ‬


َ h‫ٱ‬ ُ ‫ َﻓ َﻴ‬h‫ٱ‬ ِ ‫ﺴﺒﱡﻮﺍْ ﱠٱﻟﺬِﻳﻦَ َﻳ ۡﺪﻋُﻮﻥَ ﻣِ ﻦ ﺩ‬
ِ ‫ُﻭﻥ ﱠ‬ ُ َ‫َﻭ َﻻ ﺗ‬

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.

4. Tidak Melakukan Diskriminasi Sosial

Hal ini berdasarkan QS. Abasa:1-2 :

َ ْ ُ‫ﺲ َﻭﺗ ََﻮﻟﱣ ۙ ٓﻰ ﺍ َ ْﻥ َﺟ ۤﺎ َءﻩ‬


‫ﺍﻻﻋْﻤٰ ۗﻰ‬ َ ‫ﻋ َﺒ‬
َ

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta padanya”.

5. Tidak Memungut Imbalan


Dalam hal ini memang masih terjadi perbedaan anatara boleh atau tidaknya memungut
imbalan dalam berdakwah. Ada 3 kelompok yang berpendapat mengenai hal ini:

a) Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah hukumnya


haram secara mutlaq, baik dengan perjanjian sebelumya atau tidak.

b) Imam Malik bin anas, Imam Syafi’I, membolehkan memungut biaya atau imbalan dalam
menyebarkan islam baik dengan perjanjian sebelunya atau tidak.

c) Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dan lainnya, mereka membolehkan memungut
biaya dalam berdakwah, tapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.

6. Tidak Berteman Dengan Pelaku Maksiat

Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk, karena orang
yang bermaksiat itu beranggapan seakan-akan perbuatan maksiatnya itu direstui dakwah, pada
sisi lain integritas seorang da’i tersebut akan berkurang.

7. Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui

Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum itu pasti ia
akan menyesatkan umat. Seorang dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan orang menurut
seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya.6 Hal ini berdasarkan QS. Al-Isra’:36
ٰۤ ُ ُ
‫ ْﻮ ًﻻ‬€‫ﻋ ْﻨﻪُ َﻣﺴْـ‬
َ َ‫ﻭﻟﯨ„ﻚَ َﻛﺎﻥ‬ ‫ﺼ َﺮ َﻭ ْﺍﻟﻔُ َﺆﺍﺩَ ﻛ ﱡﻞ ﺍ‬
َ ‫ْﺲ َﻟﻚَ ِﺑ ٖﻪ ﻋ ِْﻠ ٌﻢ ۗﺍ ﱠِﻥ ﺍﻟﺴ ْﱠﻤ َﻊ َﻭ ْﺍﻟ َﺒ‬ ُ ‫َﻭ َﻻ ﺗَ ْﻘ‬
َ ‫ﻒ َﻣﺎ َﻟﻴ‬

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggung
jawabannya.”

c. Hikmah Kode Etik Dakwah

Rambu-rambu etis dalam berdakwah atau yang disebut dengan kode etik dakwah apabila
diaplikasiakn dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada mad’u atau oleh sang da’i. pada
mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan menggunakan etika

6
Ibid, hal.92.
dakwah yang benar akan tergambaar bahwa islam itu merupakan agama yang harmonis, cinta
damai, dan yang penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan masyarakat. Namun secara
umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu adalah:

1) Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-
rambu etis islam, maka secara otomatisia akan memiliki akhlak yang mulia.

2) Sebagai penuntun kebikan, kode etik dakwah bukan menuntun sang da’i pada jalan
kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang suci dengan
memprodusir kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i
khususnya dan umat manusia pada umumnya.

3) Membawa pada kesmpurnaan iman. Iman yag sempurna akan melahirkan kesempurnaan
diri. Dengan bahasa lain bahwa keindahan etika adalah manifestasi kesempurnaan iman.

4) Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan intern
pada diri sang da’i.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang
menyertai suatu tindakan. Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru
dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain : sopan, jujur dan tidak menghasut.

Kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mermuskan
perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri dan
pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang juru dakwah.
Diantara kode etik dakwah adalah sebagai berikut: Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan
Perbuatan, Tidak Melakukan Toleransi Agama, tidak menghina sesembahan non muslim, tidak
melakukan diskriminasi sosial, tidak berteman dengan pelaku maksiat, dan tidak menyampaikan
hal-hal yang tidak diketahui.

Adapun hikamah menerapakan kode etik dakwah yaitu: kemajuan ruhani, sebagai
penuntun kebaikan, membawa pada kesempurnaan iman, dan kerukunan antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Anita. 2012. Etika Komunikasi Dakwah Menurut Al-Quran. Jurnal Ilmu Dakwah Vol.11
No.21

Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta:Kencana.

Munir Amin, Samsul. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta:Amzah.

Anda mungkin juga menyukai