PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1
tentang Politik Lokal.
2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang kami angkat adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Politik Lokal ?
2. Apa yang dimaksud dengan Institusi-institusi Politik Lokal ?
3. Bagaimana kapabilitas Institusi-institusi Politik Lokal tersebut ?
4. Isu-isu apa saja yang menyoroti Politik Lokal ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai tugas dari dosen pengajar untuk mata kuliah Politik Lokal
2. Menjelaskan tentang pengertian Politik Lokal
3. Menjelaskan tentang Institusi-institusi apa saja yang ada dalam Politik
Lokal
4. Menjelaskan tentang kapabilitas Institusi-institusi Politik Lokal
5. Menjelaskan tentang Isu-isu yang terjadi dalam Politik Lokal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik
Lokal
· Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya
tidak sah
Perbuatan diatas dianggap sebagai sebuah pelanggaran pidana jika perbuatan
diatas dilakukan pada masa setelah adanya penetapan peserta pemilu atau pada
masa kampanye sampai dilakukannya pemungutan suara.
Dengan mencermati unsur-unsur yang terdapat pada pasal 82 ayat (1) dan pasal
117 ayat (2) maka kita akan lebih bisa memahami pengertian politik uang dengan
realitas yang berkembang di masyarakat. Tegasnya, pengertian money politics
(politik uang) adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon dan atau
tim kampanye pada masa tahapan kampanye sampai menjelang pemungutan suara
dilakukan, dengan mendorong, mengajak atau memperngaruhi pemilih untuk
memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu dengan member iming-iming
uang atau materi lainnya.
B. Otonomi daerah
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa otonomi daerah sebagai
kewenangan daerah untuk mengelola “rumah tangganya” sendiri secara
administratif maupun politik. Tetapi jarang sekali ada literature yang membahas
mengenai kepada siapa pelimpahan wewenang desentralisasi diberikan. Jika
pelimpahan hanya diberikan kepada pemerintahan daerah, maka kita hanya
memaknai otonomi daerah secara administratif saja. Sementara, otonomi secara
politik dengan dibukanya partisipasi masyarakat lokal dalam menentukan nasibnya
sendiri sama sekali tidak tersentuh. Maka yang terjadi adalah pembajakan otonomi
oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Sebagai akibat dari hal tersebut, pada banyak daerah otonomi menjadikan
pemerintah daerah bebas berbuat semaunya. Bukan hanya menjadikannya
kehilangan kontrol dari pemerintah pusat, tetapi justru akan terjadi penyelewengan
kekuasaan (KKN) yang lebih luas. Bahkan pada sebagian daerah secara ambisius
membuat berbagai macam perda pajak daerah yang memungkinkan mereka untuk
memeras habis rakyatnya. Fenomena ini sama persis dengan apa yang ditakutkan
oleh kalangan marxis, bahwa politik lokal tak ubahnya sebagai negara lokal. Negara
bagi kelompok marxis tidak lebih dari sekedar instrument bagi klas borjuis untuk
menindas klas proletar. Dengan begitu negara lokal hanya memiliki perbedaan
dalam
ukuran saja, sedangkan tabiatnya sama dengan negara nasional.
Tidak hanya hal tersebut saja. Pembajakan otonomi oleh elit lokal menjadikan
masyarakat daerah hanya sebagai penonton berbagai pertunjukkan demokrasi.
Penyelenggaraan pilkada yang dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yang
representative dan berkualitas justru menjadi kontestasi elit-elit lokal. Lebih lanjut,
dengan memanfaatkan primordialisme para elit lokal menggiring massa akar rumput
turut dalam konflik politik dan kekerasan yang mengerikan.
Para pembajak otonomi ini dapat disebut dengan istilah predator. Predator
tersebut sebenarnya adalah individu-individu dan kelompok yang sebelumnya
bertindak sebagai operator dan aparat lokal orde baru. Para usahawan kecil atau
menengah dengan ambisi besar mempunyai koneksi politik. Serta sekumpulan
mantan kaki tangan rezim orde baru. Berbagai kepentingan predator lokal tersebut
kini berkembang subur dalam sistem politik baru Indonesia yang lebih desentralisasi
dan demokratis. Mereka menyadari bahwa lembaga-lembaga pemerintahan
demokratis lokal sekali direbut dapat memberikan perlindungan yang diperlukan bagi
kepentingan-kepentingan mereka yang sebelumnya memerlukan kontrol otoriter
yang terorganisasi secara terpusat melalui aparat militer yang menindas. Para
predator ini juga mengetahui bahwa politik uang dan kekerasan politik merupakan
alat manjur untuk menjamin pengaruh kekuasaan mereka.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa otonomi daerah tak
jauh berbeda dengan negara lokal. Semua sistemnya sama hanya saja wilayahnya
yang berbeda. Semua hal-hal yang terjadi pada aras lokal juga dapat dimungkinkan
terjadi pada level nasional. Hal ini dikarenakan tidak ada pembeda antara politik
lokal dan politik nasional selain pada cakupan wilayahnya saja.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan, maka dapat dikatakan bahwa politik lokal
atau bagaimana bekerjanya institusi-institusi yang membentuk sistem politik di
daerah guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah belum mampu
beperan dengan baik. Belum berperannya institusi-institusi tersebut dengan baik
karena kurang memiliki kemampuan yang dituntut kepada mereka yaitu,
extractive capability, regulative capability, distributive capability, symbolic
capability, dan
3.2 Saran
Dalam keadaan institusi yang lemah dan interaksi antara mereka yang kurang
memadai dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah, maka
yang perlu dilakukan adalah mengoptimalisasikan peran mereka dengan melakukan
apa yang disebut sebagai “capacity building.”
11
DAFTAR PUSTAKA
Abd Halim, 2012, Politik Lokal: Pola, Aktor, dan Alur Dramatikalnya, Lembaga
Kajian Pembangunan Bangsa (LP2B), Jakarta
Center For Strategic And International Stuies, 2001, Kemampuan Politik Lokal
Untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, CSIS, Jakarta.