Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang

Tampilnya reformasi di panggung politik nasional telah menuntut


diterapkannya paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
berintikan asas demokratisasi dan desentralisasi yang lebih mengedepankan
keanekaragaman, identitas lokal, pluralisme dan partisipasi. Hal ini telah memacu
pula minat pada para pakar ilmu Politik dan Pemerintahan untuk memfokuskan
perhatian mereka pada apa yang dinamakan sebagai “Politik Lokal”.
Dalam menyoroti politik lokal perlu dipakai kerangka konseptual tentang
Sistem Politik. Sistem Politik itu sendiri merupakan istilah baru dan sekaligus
merupakan pendekatan baru yang dipakai oleh para ahli ilmu sosial dalam
meneliti fenomena sosial, khususnya fenomena politik. Dikatakan pendekatan
baru karena sebelumnya para ahli menggunakan terminologi seperti “negara”
dan “bangsa” atau “pemerintah” dalam mengadakan penelitian tentang gejala-
gejala politik. Sedangkan penggunaan istilah “negara”, “bangsa”, atau
“pemerintah” mengandung isi yang bersifat legalistis dan institusionalistis. Dalam
arti bahwa, ia hanya memfokuskan perhatiannya kepada lembaga-lembaga politik
dan gejala-gejala politik di dunia barat. Tentang hal ini, lebih jelas (Soewargono,
1983: 2) mengatakan sebagai berikut: “Di samping itu cara pendekatan yang
bersifat legalistis dan institusionalistis membawa akibat dihindarinya banyak
masalah-masalah politik yang menurut cara pendekatan yang baru dipandang
sebagai masalah-masalah politik yang penting. Misalnya masalah-masalah
sosiologis-politis dan psikologis-politis yang memberi isi dan mewarnai peranan
daripada lembaga pemerintahan formil”.
Politik lokal dapat diartikan sebagai pasar lokal yang menyediakan pelayanan
publik, pemerintahan lokal juga dianggap sebagai penyedia layanan yang baik bagi
masyarakatnya karena lebih dapat mengerti kebutuhan rakyatnya. Politik lokal lebih
memperhatikan hak-hak rakyat kecil, karena politik lokal menggunakan pendekatan
grass-root sehingga rakyat kecil menjadi sebuah prioritas.
Dari pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang
Politik Lokal. Makalah ini membahas tentang pengertian politik lokal, institusi-
institusi politik lokal, kapabilitas institusi politik lokal, serta isu-isu yang menyoroti

1
tentang Politik Lokal.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang kami angkat adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Politik Lokal ?
2. Apa yang dimaksud dengan Institusi-institusi Politik Lokal ?
3. Bagaimana kapabilitas Institusi-institusi Politik Lokal tersebut ?
4. Isu-isu apa saja yang menyoroti Politik Lokal ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai tugas dari dosen pengajar untuk mata kuliah Politik Lokal
2. Menjelaskan tentang pengertian Politik Lokal
3. Menjelaskan tentang Institusi-institusi apa saja yang ada dalam Politik
Lokal
4. Menjelaskan tentang kapabilitas Institusi-institusi Politik Lokal
5. Menjelaskan tentang Isu-isu yang terjadi dalam Politik Lokal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik
Lokal

Politik lokal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan


politik yang berada pada level lokal. Dalam hal ini, semua hal yang berkaitan dengan
politik seperti halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun
pemilihan kepala daerah. Hal ini menunjukkan bahwa politik lokal cakupannya
berada dibawah nasional. Golongan daerah yang termasuk dalam pengelolaan
politik lokal diantaranya kota, kabupaten dan desa.
Pada taraf politik lokal, pemerintah nasional tidak dapat ikut campur secara
penuh. Hal ini dikarenakan dalam setiap tatanan lokal telah mempunyai peraturan
daerah masing-masing. Dalam hal ini, peraturan daerah biasanya tidak selalu
sejalan dengan pemerintah. Peraturan yang tidak sejalan dengan pemerintah
diantaranya perda syariah. Pada level politik nasional, tidak dikenal peraturan yang
berbasis syariah namun pada level lokal dapat tercipta perda syariah. Hal ini
disebabkan oleh adanya otonomi daerah yang membebaskan daerah
mengembangkan wilayahnya sendiri. Secara tidak langsung pemerintah nasional
menganggap daerah lebih mengerti wilayahnya sendiri sehingga diberi kebebasan
untuk mengatur wilayahnya. Kebebasan mengatur wilayah pada taraf lokal bukan
berarti bebas untuk menentang negara. Pelaksanaan politik lokal juga harus sejalur
dengan politik nasional. Perbedaan tingkatan wilayah bukan berarti harus lepas dari
tatanan wilayah nasional, namun politik lokal harus masih berkiblat kepada politik
nasional.
Politik nasional masih menjadi acuan wajib bagi politik lokal. Hal yang
dijadikan contoh dari politik nasional diantaranya adalah pemilihan kepala daerah.
Pada tatanan nasional, pemilihan kepala pemerintahan adalah pemilihan presiden,
namun pada level lokal yang dipilih adalah walikota, bupati, dan kades. Dalam hal
ini, walaupun cakupan wilayahnya berbeda namun proses pemilihan kepala daerah
masih sesuai dengan proses pemilihan pemimpin nasional. Hal ini dapat dilihat dari
sistem pemilihan yang menggunakan pemilu. Pada level lokal juga wajib
menggunakan pemilu pada saat pemilihan kepala daerahnya, tetapi dengan
partisipan yang berbeda. Pada tatanan nasional membutuhkan partisipasi warga
seindonesia, namun pada tatanan lokal cukup dengan warga-warga asli daerah
tersebut ataupun yang sudah menetap di daerah tersebut.
Selain itu, politik lokal juga dapat diartikan sebagai pasar lokal yang
menyediakan pelayanan publik. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa politik lokal dapat
menjadi sebuah penyedia layanan public yang baik bagi masyarakat. Hal ini
dikarenakan pada taraf lokal masyarakat akan lebih dapat dimengerti. Kebijakan-
kebijakan pemerintah lokal pasti akan menimbang dari sisi kehidupan masyarakat
lokal secara mayoritas. Oleh karena itu, pemerintahan lokal dianggap sebagai
penyedia layanan yang baik bagi masyarakatnya karena lebih dapat mengerti
kebutuhan rakyatnya.
Selain itu, politik lokal akan lebih memperhatikan hak-hak rakyat kecil. Dalam
hal ini karena pada tatanan lokal pasti akan lebih banyak rakyat yang miskin
daripada rakyat yang kaya. Hal ini dikarenakan pada politik lokal menggunakan
pendekatan terhadap grass-root sehingga rakyat miskin akan menjadi sebuah
perhatian. Pada dasarnya, jika menggunakan pendekatan akar rumput maka akan
menemui masyarakat yang berada pada kemampuan ekonomi menengah kebawah.
Hal ini dikarenakan pada taraf kehidupan masyarakat akar rumput hanya
mementingkan isi perut. Ketika isi perut mereka tercukupi maka mereka akan terus
hidup.
Pada intinya, definisi politik lokal hampir sama dengan politik nasional namun
hanya wilayah dan sejarahnya saja yang membedakan. Politik lokal pada dasarnya
menjadi dasar penyelenggaraan politik nasional. Namun, politik nasional juga
menjadi kiblat bagi politik lokal. Hal ini dikarenakan konsep dasar berpolitik pada
mulanya berasal dari aras lokal. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya pemilihan
kepala desa yang dari dulu menggunakan lidi (biting) sebagai penyuaraan serta
menggunakan lambing hasil panen sebagai bentuk perwakilan calon. Hal ini yang
kemudian diadopsi oleh politik nasional namun dengan merubah format
pemilihannya saja. Hal ini dapat ditunjukkan dengan cara pemilihan yang digunakan
yaitu coblos dan sekarang contreng. Sistem pemilihan tersebut akhirnya ikut
dilaksanakan pada tatanan politik lokal.
Pada tahap penyelenggaraannya, politik lokal dan politik nasional hampir
sama. Semua berpusat pada satu pemimpin. Pada level nasional dipimpin oleh
pemimpin nasional (presiden) namun pada tatanan lokal dipimpin oleh pemimpin
setempat. Tata cara pelaksanaan procedural pelaksanaan politik lokal pun hampir
sama dengan politik nasional. Tetapi, pada level lokal pelaksanaannya tidak boleh
menyalahi prosedur nasional. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa politik lokal hanya
berlaku pada daerah lokal tersebut pula.

2.2 Institusi-Institusi Politik Lokal


Dengan memakai kerangka konseptual Sistem Politik dan dikaitkan
dengan Otonomi Daerah, maka Politik Lokal dapat dipahami sebagai bagaimana
bekerjanya sistem politik di daerah dalam mewujudkan tujuan pemberian
Otonomi Daerah yang bersifat seluas-luasnya itu. Dengan kata lain bagaimana
Politik Lokal menerapkan demokratisasi dan desentralisasi yang merupakan
tuntutan reformasi dalam penyelengaraan pemerintahan guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Pendek kata, bagaimana supra struktur
politik dan infra struktur politik bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Hal ini sejalan dengan (CSIS, 2001: 3) yang mengatakan
bahwa “polilik lokal, yakni bagaimana institusi-instusi politik yang membentuk
sistem politik di daerah telah mempersiapkan diri untuk membangun dan terlibat
dalam struktur baru pemerintahan di daerah.” Institusi-institusi politik di daerah
banyak jumlahnya.
Namun perhatian difokuskan pada beberapa saja yang masuk dalam supra
dan infra struktur politik antara lain sebagai berikut:
(a) pada lingkungan Supra Struktur Politik, yakni Pemerintah Daerah daerah,
DPRD; (b) pada linkungan Infra Struktur Politik, yakni, Partai Politik, Kelompok
Kepentingan dan Media Massa.
Hal ini sejalan dengan CSIS (2001: 4) yang menulis sebagai berikut: “Dalam
konteks ini, institusi-institusi yang membentuk politik lokal itu terdiri paling kurang
lima institusi politik, yakni pada lingkungan pemerintahan adalah pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); pada lingkungan kemasyarakatan
adalah Partai Politik dan Kelompok kepentingan dan media massa yang memainkan
peran sebagai komunikator untuk tataran kedua institusi politik, maupun sebagai
kontrol atas mereka.” Disini akan disoroti bukan saja kedudukan mereka sebagai
institusi, melainkan juga bagaimana mereka menjalankan peran-peran (roles) guna
mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah yang telah digambarkan
sebelumnya. Dengan kata lain, bagaimana kelima institusi yang menjadi unsur-unsur
sistem politik di daerah berfungsi guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi
daerah. Sebab kalau mereka berhasil memainkan peran-peran mereka dengan baik,
maka tujuan pemberian otonomi daerah akan berhasil diwujudkan, kalau tidak maka
hal ini
berarti mengulang kembali kegagalan program otonomi daerah yang dilakukan pada
masa yang lalu. Dengan demikian, maka semboyan terkenal orang-orang Perancis
yang memandang sejarah sebagai sesuatu yang bersifat sirkular yang terefleksikan
dalam kalimat “l’histoire se repéte” (sejarah berulang) akan terbukti kebenarannya.
Agar institusi-instusi sebagai aktor dapat memainkan peran dengan baik,
sehingga terwujud tujuan otonomi daerah, dengan demikian dapat menafikan
semboyan (sejarah berulang), maka mereka perlu menyadari peran krusial
mereka. Selain itu mereka juga dituntut untuk memiliki kesanggupan dan
kemampuan guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah yang telah
diutarakan sebelumnya. Jadi, disini letaknya dinamika keadaan yang
menawarkan dan menciptakan peluang bagi politik lokal untuk mewujudkan
tujuan pemberian otonomi daerah.

2.3 Kapabilitas Institusi-Institusi Politik Lokal


Guna melaksanakan peran-peran itu secara baik demi mewujudkan tujuan
pemberian otonomi daerah, maka terhadap institusi-institusi politik lokal itu
dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan/kapabilitas yang menurut Almond
& Powell (1966: 195 -205) sebagai berikut: (1) Extractive capability, (2)
regulative capability, (3) distributive capability, (4) symbolic capability, dan (5)
responsive capability. Extrative Capability merupakan kemampuan sistem politik
(institusi-institusi politik lokal) untuk mengelola sumber-sumber material dan
manusia dari lingkungan domestik maupun internasional. Regulative Capability
adalah kemampuan sistem politik dalam mengontrol atau mengendalikan
perilaku individu atau kelompok. Distributive Capability menuntut adanya
kemampuan untuk melakukan alokasi atau distribusi berbagai barang, jasa, nilai,
status, dan kesempatan dari lingkungan sistem politik kepada individu atau
kelompok di masyarakat. Symbolic Capability mengindikasikan adanya
kemampuan untuk mengalirkan simbol-simbol dari sistem politik ke dalam
masyarakat atau dunia internasional. Responsive Capabaility berhubungan
dengan daya tanggap terhadap tekanan maupun tuntutan yang berasal dari
lingkungan internal maupun eksternal. Senada dengan itu, namun agak sedikit
berbeda, Sadu Wasistiono (2002: 14) mengemukakan kapasitas yang harus
dimiliki oleh daerah yang meliputi: “(a) Kapasitas sumber daya (alam manusia,
buatan) yang dimiliki dan mampu didayagunakan secara optimal; (b) Kapasitas
kewenangan yang mampu dijalankannya; (c) Kapasitas pelayanan yang mampu
diberikan kepada masyarakat; (d) Kapasitas akuntabilitas yang mampu
diberikan kepada rakyat
sebagai pemilik kedaulatan”.

2.4 Isu-Isu Yang Menyoroti Politik Lokal


Jika kita menyoroti definisi politik lokal diatas maka akan didapatkan isu-isu
diantaranya adalah :
A. Politik uang
Politik uang atau money politics adalah sebuah kegiatan membagi-bagikan
sejumlah uang untuk memperoleh massa. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat
akan berlangsungnya pemilihan kepala daerah. Politik uang, akan terus menghantui
proses demokrasi pada negara-negara kategori negara berkembang atau miskin.
Hal ini dikarenakan, pada negara dunia ketiga rakyatnya belum melek demokrasi
atau bahkan belum melek politik. Pada negara dunia ketiga seperti ini juga akan
terdapat pemandangan kemiskinan dimana-mana. Dalam hal ini mayoritas warga
negara adalah warga miskin, sehingga uang adalah alat mobilisasi yang paling
efektif pada tatanan negara dunia ketiga.
Secara naluri manusia butuh hidup, secara tidak langsung hidup butuh
uang. Oleh karena itu, politik uang semakin subur di negara berkembang. Hal ini
karena pada negara berkembang banyak rakyat yang miskin. Pada negara
seperti di Indonesia, pemilu atau ajang pemilihan kepala daerah hanya
digunakan sebagai hajat politik belaka. Tidak seperti pada fungsi sebenarnya,
masyarakat Indonesia khususnya yang belum melek politik pasti akan lebih
senang ketika diberi amplop daripada disuruh berpartisipasi aktif dan kritis pada
saat proses pemilihan berlangsung.
Selain itu, rasa kapok yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia akibat
pemimpin sebelumnya memberikan sebuah reflek apatisme masyarakat. Hal ini
dikarenakan pada waktu dahulu, partisipasi rakyat sudah aktif dan kritis namun
rakyat dikhianati oleh janji-janji manis calon pemimpin. Hal tersebut yang membuat
masyarakat kemudian menjadi apatis dan masa bodoh dengan apa yang disuarakan
oleh calon pemimpin. Secara tidak langsung, praktek seperti ini juga menyuburkan
politik uang. Dalam hal ini, pemilih akan lebih memilih hasil yang terlihat daripada
janji-janji abstrak saja. Amplop dari para calon pemimpin dianggap sebagai sesaji
politik yang menjadi sebuah jalan untuk mendapatkan suara. Bagi rakyat, jika tidak
dapat menguntungkan kemudian hari, setidaknya calon sudah menguntungkan
sedikit pada awalmulanya. Dengan cara berfikir yang demikian maka rakyat akan
lebih menghargai para calon pemimpin yang menyuburkan politik uang daripada
calon yang tidak berpolitik uang.
Selain itu politik uang juga merupakan sarana pencitraan singkat terhadap
masyarakat. Biasanya tokoh yang melakukan politik uang merupakan tokoh yang
belum dikenal pada masyarakat. Politik uang adalah sebuah jalan untuk
mengenalkan wajah dan namanya pada rakyat. Hal ini dikarenakan rakyat mungkin
akan menolak ajakan kampanye si calon, tetapi rakyat tidak akan mungkin menolak
uang yang akan diberikan si calon. Hal inilah yang memacu suburnya politik uang.
Sepertinya terjadi sebuah hubungan mutualisme antara calon dan pemilih, namun
sebenarnya pemilih dirugikan oleh calon tersebut. Dalam hal ini layaknya orang
dagang. Jika calon mengeluarkan seribu rupiah maka setidaknya calon tersebut
mendapat laba seratus rupiah. Begitu juga pada bidang politik dan kekuasaan.
Calon yang menebar uang pasti menginginkan uangnya kembali dan bahkan lebih.
Hal inilah yang memacu pelanggaran hukum lain berupa korupsi.
Pemerintah sudah melarang praktek politik uang yang dimaktubkan dalam
undang-undang. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Pasal 82 ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye
dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk
mempengaruhi pemilih. Selanjutnya pasal 117 ayat (2) menyatakan bahwa setiap
orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya
kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih pasangan
calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah). Pada pasal 82 ayat (1) dan pasal 117 ayat (2) tersebut terdapat beberapa
unsur, yaitu :

·Kesengajaan member uang atau materi lainnya kepada pemilih

·Kesengajaan menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk


mempengaruhi pilihan pemilih

·Supaya tidak menggunakan hak pilihnya


·Supaya memilih pasangan calon tertentu

· Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya
tidak sah
Perbuatan diatas dianggap sebagai sebuah pelanggaran pidana jika perbuatan
diatas dilakukan pada masa setelah adanya penetapan peserta pemilu atau pada
masa kampanye sampai dilakukannya pemungutan suara.
Dengan mencermati unsur-unsur yang terdapat pada pasal 82 ayat (1) dan pasal
117 ayat (2) maka kita akan lebih bisa memahami pengertian politik uang dengan
realitas yang berkembang di masyarakat. Tegasnya, pengertian money politics
(politik uang) adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon dan atau
tim kampanye pada masa tahapan kampanye sampai menjelang pemungutan suara
dilakukan, dengan mendorong, mengajak atau memperngaruhi pemilih untuk
memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu dengan member iming-iming
uang atau materi lainnya.
B. Otonomi daerah
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa otonomi daerah sebagai
kewenangan daerah untuk mengelola “rumah tangganya” sendiri secara
administratif maupun politik. Tetapi jarang sekali ada literature yang membahas
mengenai kepada siapa pelimpahan wewenang desentralisasi diberikan. Jika
pelimpahan hanya diberikan kepada pemerintahan daerah, maka kita hanya
memaknai otonomi daerah secara administratif saja. Sementara, otonomi secara
politik dengan dibukanya partisipasi masyarakat lokal dalam menentukan nasibnya
sendiri sama sekali tidak tersentuh. Maka yang terjadi adalah pembajakan otonomi
oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Sebagai akibat dari hal tersebut, pada banyak daerah otonomi menjadikan
pemerintah daerah bebas berbuat semaunya. Bukan hanya menjadikannya
kehilangan kontrol dari pemerintah pusat, tetapi justru akan terjadi penyelewengan
kekuasaan (KKN) yang lebih luas. Bahkan pada sebagian daerah secara ambisius
membuat berbagai macam perda pajak daerah yang memungkinkan mereka untuk
memeras habis rakyatnya. Fenomena ini sama persis dengan apa yang ditakutkan
oleh kalangan marxis, bahwa politik lokal tak ubahnya sebagai negara lokal. Negara
bagi kelompok marxis tidak lebih dari sekedar instrument bagi klas borjuis untuk
menindas klas proletar. Dengan begitu negara lokal hanya memiliki perbedaan
dalam
ukuran saja, sedangkan tabiatnya sama dengan negara nasional.
Tidak hanya hal tersebut saja. Pembajakan otonomi oleh elit lokal menjadikan
masyarakat daerah hanya sebagai penonton berbagai pertunjukkan demokrasi.
Penyelenggaraan pilkada yang dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yang
representative dan berkualitas justru menjadi kontestasi elit-elit lokal. Lebih lanjut,
dengan memanfaatkan primordialisme para elit lokal menggiring massa akar rumput
turut dalam konflik politik dan kekerasan yang mengerikan.
Para pembajak otonomi ini dapat disebut dengan istilah predator. Predator
tersebut sebenarnya adalah individu-individu dan kelompok yang sebelumnya
bertindak sebagai operator dan aparat lokal orde baru. Para usahawan kecil atau
menengah dengan ambisi besar mempunyai koneksi politik. Serta sekumpulan
mantan kaki tangan rezim orde baru. Berbagai kepentingan predator lokal tersebut
kini berkembang subur dalam sistem politik baru Indonesia yang lebih desentralisasi
dan demokratis. Mereka menyadari bahwa lembaga-lembaga pemerintahan
demokratis lokal sekali direbut dapat memberikan perlindungan yang diperlukan bagi
kepentingan-kepentingan mereka yang sebelumnya memerlukan kontrol otoriter
yang terorganisasi secara terpusat melalui aparat militer yang menindas. Para
predator ini juga mengetahui bahwa politik uang dan kekerasan politik merupakan
alat manjur untuk menjamin pengaruh kekuasaan mereka.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa otonomi daerah tak
jauh berbeda dengan negara lokal. Semua sistemnya sama hanya saja wilayahnya
yang berbeda. Semua hal-hal yang terjadi pada aras lokal juga dapat dimungkinkan
terjadi pada level nasional. Hal ini dikarenakan tidak ada pembeda antara politik
lokal dan politik nasional selain pada cakupan wilayahnya saja.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari apa yang telah dipaparkan, maka dapat dikatakan bahwa politik lokal
atau bagaimana bekerjanya institusi-institusi yang membentuk sistem politik di
daerah guna mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah belum mampu
beperan dengan baik. Belum berperannya institusi-institusi tersebut dengan baik
karena kurang memiliki kemampuan yang dituntut kepada mereka yaitu,
extractive capability, regulative capability, distributive capability, symbolic
capability, dan

responsive capability. Untuk itu maka terhadap institusi-institusi tersebut perlu


diadakan perkuatan baik dari sudut sumber daya manusia, organisasi, maupun
konteks institusional. Kalau upaya perkuatan itu berhasil dengan baik, maka
mereka akan mampu memainkan peran mereka, sehingga diharapkan tujuan
pemberian otonomi daerah dapat terwujud.

3.2 Saran
Dalam keadaan institusi yang lemah dan interaksi antara mereka yang kurang
memadai dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pemberian otonomi daerah, maka
yang perlu dilakukan adalah mengoptimalisasikan peran mereka dengan melakukan
apa yang disebut sebagai “capacity building.”

11
DAFTAR PUSTAKA

Abd Halim, 2012, Politik Lokal: Pola, Aktor, dan Alur Dramatikalnya, Lembaga
Kajian Pembangunan Bangsa (LP2B), Jakarta

Center For Strategic And International Stuies, 2001, Kemampuan Politik Lokal
Untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, CSIS, Jakarta.

Chilcote Ronald, 2007, Teori Perbandingan Politik . PT Raja Grafindo Persada:


Jakarta

Maurice Duverger, 1984, Partai Politik dan Kelomok-Kelompok Penekan, Bina


Aksara, Jakarta.

Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta.

Sadu Wasistiono, 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan


Daerah, FOKUSMEDIA, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai