Anda di halaman 1dari 21

“ MAKALAH LEGITIMASI KEKUASAAN “

NAMA KELOMPOK 6

MARTINA AMELIANA 2019210176

MARIA RISKA PAJI VALEN SARY 2019210177

YOHANES HERIAWAN 2019210180

RICE KURNIA DAIMA 2019210181

FLAVIANA SAIMAN 2019210182

IGNASIUS PASAIR 2019210184

JOHANES GUALBERTUS 2019210185

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan
Rahmat-Nya, sehingga makalah yang berjudul ‘ LEGITIMASI KEKUASAAN ‘ dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Pengantar Ilmu Politik.
Kami berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari
bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi
penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan akan terima
dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini bisa memberikan informasi mengenai Pengantar Ilmu Politik
dan bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk
membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih..

Malang, November 2019

Penyusun
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….…i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………....1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………...1
1.3 Tujuan.................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….2

2.1 Tinjauan Pustaka………………………………………………………………………….2

2.2 Pembahasan Rumusan Masalah…………………………………………………………..3

2.3 Objek dan Tipe Kekuasaan……………………………………………………………….4

2.4 Sumber Kekuasaan/Power………………………………………………………………..6

2.5 Pembagian Kekuasaan……………………………………………………………………7

2.6 Bentuk-Bentuk Legitimasi………………………………………………………………..9

2.7 Kriteria Legiitimasi………………………………………………………………………10

2.8 Konsep-Konsep Legitimasi………………………………………………………………11

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….13

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………13

3.2 Saran……………………………………………………………………………………..13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang
menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang.
Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu
juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarahdan teori-teori yang ada.

Setiap negara di belahan dunia yang diakui kedaulatannya memiliki sistem dalam
mengatur pemerintahannya. Dalam hal ini apa yang dilakukan yaitu berdasarkan ideologi
yang dianut suatu negara itu. Hal terpenting yakni bagaimana negara tersebut mampu
menjalankan segala fungsi ketatanegaraannya dengan baik. Tentunya kepala pemerintah
memiliki cara tersendiri untuk mengaturnya. Dengan kekuasaan atau wewenang untuk
mengatur bagaimana negaranya kedepan yang sesuai dengan cita-cita negara tersebut.
Tidaklah bisa kita pisahkan bahwa dalam hal ini, kekuasaan lah yang menentukan bagaimana
nantinya suatu negara itu karena dalam suatu sistem kekuasaanlah yang memegang peranan
penting. Seperti yang dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa
“Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama”. Ini
memperjelas bahwa bagaimana kekuasaan itu mampu menjadi penentu yang mengarah pada
tujuan yang hendak ingin dicapai.

1.2 Rumusan Masalah

A. Bagaimana perkembangan dari teori-teori mengenai legitimasi kekuasaan?

B. Termasuk kedalam teori legitimasi kekuasaan manakah negaraRepublik Indonesia?

1.3 Tujuan penulisan

 Menganalisa beberapa teori-teori yang ada dan juga mengkategorikan


negaraIndonesia kedalam salah satu teori yang ada.
 Menambah Wawasan Pengetahuan
 Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan pustaka

Legitimasi merupakan perkara dasar yang sangat penting bagi seorang pemimpin,
tanpa legitimasi sangat sulit bagi seseorang bisa meneruskan kepemimpinannya. Tanpa
legitimasi bahkan mustahil bagi pemerintah untuk menerapkan undang-undang dan
membangun sebuah negara. Sumber legitimasi dan cara memperoleh legalitas juga
permasalahan yang tidak kalah penting untuk dibicarakan dari legitimasi itu sendiri.

Legitimasi telah menjadi pembahasan berkepanjangan sejak manusia mengenal hidup


secara berkelompok. Ia telah muncul sejak zaman Yunani kuno, dimana Plato dan Aristotle
menyatakan bahwa negara memerlukan legitimasi yang mutlak untuk mendidik rakyatnya
dengan nilai-nilai moral rasional. Pada zaman yang sama gagasan legitimasi kekuasaan yang
bersumber dari rakyat telah muncul dalam bentuk yang sangat sederhana sebagaimana
terdapat pada negara kota (city state) abad VI sampai III sebelum masihi.

Para pakar ilmu politik menyebutkan beberapa teori yang menunjukkan kepada dasar
legalitas seorang pemimpin negara memperoleh kekuasaannya. Mereka merumuskan bahwa
seorang pemimpin mendapatkan legitimasi melalui;

Pemberian Tuhan (God Sovereignty), faham ini dianut oleh: Agustinus, Thomas Aquinas dan
Marsilius.Dasar hukum (legal sovereignty). Pandangan ini dikemukakan oleh Hugo Krabbe
dan dikembangkan oleh pengikutnya R. Kranenburg.Sumber kekekuasaanan Negara (State
Sovereignty). Pandangan ini disokong oleh Paul Laband.Berasaskan kepada kedaulatan
rakyat (Popular Sovereignty atau Poeple Power). Pandangan ini dianut oleh John Locke dan
Jean Jacques Rousseau.

Dalam menjelaskan teori ini, kalangan pemikir Islam mencoba untuk mengaitkannya
dengan teori siadah al-ummah. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kekuasaan yang
dimiliki rakyat melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin suatu negara.Pembahasan
secara sistematik mengenai rakyat sebagai sumber legitimasi penguasa dibuat pertama kali
oleh Jean Bodin, Ia berpendapat bahwa kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi
yang berada ditangan rakyat, namun begitu Bodin lebih mengutamakan kekuasaan yang ada
pada seorang raja dalam pembahasannya. Ini dibuktikan melalui perkataan yang
menunjukkan kepada tinngginya kedaulatan raja pada setiap permulaan seremonial resmi,
seperti sebutan “open, in the King’s name”

Tulisan ini ingin mengangkat dasar-dasar legitimasi pemimpin Negara yang berasal
dari rakyat berdasarkan nash-nash syari’ah dan teori-teori yang dikemukakan oleh para
fuqaha dalam menguraikan proses pendelegasian kekuasaan tersebut kepada seorang
pemimpin. Tulisan ini juga membandingkan antara pandangan fuqaha dengan pendapat pakar
politik umum dalam menguraikan masalah asas legitimasi.

2.2 Pembahasan rumusan masalah

A. Pengertian Legitimasi Kekuasaan

Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya kita terlebih
dahulu memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber
dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan
apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan disini adalah kekuasaan
negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan
negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.

Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau


wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de
facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan
yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.Terhadap
wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan
tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat dipersoalkan
apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.

Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya


apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila masyarakat
menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan
yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi.
Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak
moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata
legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara
sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang
berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun
hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.

B. Teori Legitimasi

Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan
tatakerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja
mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat
perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu negara pasti dipimpin
oleh pemegang kekuasaan.

2.3 Obyek dan Tipe Kekuasaan

Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan
mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan
demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur
sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga
unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan
masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan
dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang.

Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:93), terdapat
tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak
hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan
menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan
pemerintahan.Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang
memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima
obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik
dan kebijakan.

Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk


legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :

1. Legitimasi materi wewenang

Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk


tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi
politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua
dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat
yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif
dalam arti mampu mengambil tindakan.

2. Legitimasi subyek kekuasaan

Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau
sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk
memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek
kekuasaan:

a. Legitimasi religius

Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi
bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.

b. Legitimasi eliter

Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan
untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah
masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi
eliter dibagi menjadi empat macam yakni (1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu
golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain
dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang.
Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis.
(2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara
yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu
memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan
masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri
berhak untuk menentukkannya. (3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli:
berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini
sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab
oleh mereka yang betul-betul ahli. (4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang
de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk
merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu
contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak
ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara
secara teratur.

Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97)


berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka
legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :

1. Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin
”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.

2. Legitimasi ideologi; masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin


pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi.
Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang
pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.

3. Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun
penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.

4. Legitimasi prosedural; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil
(instrumental) kepada masyarakat.

2.4 Sumber Kekuasaan/ Power

Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan,
yaitu : (Inu Kencana, 200:54)

1. Legitimate Power

Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui
pengangkatan.

2. Coersive Power

Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan
bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.

3. Expert Power

Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil


kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.

4. Reward Power

Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian.
Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk
bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena
mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).

5. Reverent Power

Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor
utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun
daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam
mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.

6. Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga
orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi
keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.

7. Connetion Power

Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang
besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan
”relasi”. Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang
memang sedang berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau
kekekeluargaan.

Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan Politik,2006:68 ,
ada tiga teori sumber kekuasaan yakni:

1. Teori Teokrasi.

Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang
mengangkat orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan.

2. Teori Hukum Alam.

Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat.
Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang memegang
kekuasaan.

3. Teori Kekuatan.

Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai
pemegang kekuasaan.
2.5 Pembagian Kekuasaan

Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli pemerintah
mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan kekuasaan, walaupun pada
prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh para birokrat. Pendapat-pendapat
tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena
tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif
saja dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme.

b. Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan Wodrow Wilson
dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan
lembaga politik (unsur pengatur undang-undang).

c. Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang
menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke.

d. Catur Praja
Kekuasaan dipegang empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan
konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran. Van Vollenhoven Mengkategorikan bentuk
ini yakni :

1. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)

2. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)

3. Politie (Kekuasaan kepolisian)

4. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)


e. Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia, karena walaupun
dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif,
inspektif, dan legislatif, namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya
terdiri dari anggota legislatif.

Menurut Montesquieu (1689-1755)

1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang

2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang

3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan)

Menurut John Locke (1632-1704)

1. Kekuasaan Legislatif

2. Kekuasaan Eksekutif

3. Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)

Menurut Lemaire

1. Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang

2. Bestuur : Kewenangan pemerintahan

3. Politie: Kewenangan Penertiban

4. Rechtsspraak: Kewenangan peradilan

5. Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat.


2.6 Bentuk-bentuk Legitimasi

Pendobrakan legitimasi kekuasaan religious melahirkan etika politik. Ada dua


perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran
bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua,
lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang
biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana adanya. Dua perkembangan
penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua lingkungan
budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua didunia Islam.

1. Paham Umum Legitimasi

Menurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar
kemampuan ini´. Setiap kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah
kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai,
melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.
Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada.

2. Obyek LegitimasiAda dua pertanyaan legitimasi

a. Legitimasi materi

Wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam


dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan
dua dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat
yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif.

b. Legitimasi subyek kekuasaan

Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasieliter,


legitimasi demokratis.

1. Legitimasi religious

Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang diduniawi. Ada dua paham
legitimasi religius, yaitu penguasadipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-
kekuatanadiduniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara
dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral,
sedangkan paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu.

2. Legitimasi eliter

Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk
memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat
membedakan antara sekurang-kurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah
legitimasi arsitokratis (suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam
kemampuan memimpin), legitimasi pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri
paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk
menangani), legitimasi ideologis (mengandaikan ada suatu ideology yang mengikat seluruh
masyarakat), legitimasi teknokratis ( dizaman yang modern ini hanya mereka yang
bertanggung jawab yang dapat menjalankan pemerintahan)

3. Legitimasi demokratis

Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salahsatu pokok


pembahasan dalam buku ini.

2.7 Kriteria Legitimasi

Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu :

a. Legitimasi Sosiologis

Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata


memmbuat masyarakat mau menerimawewenang penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri
pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan
pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan
disetujui oleh masyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan
klasik :
 Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak
yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa
(ex : bangsawan atau keluarga raja)
 Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada
seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taatkepadanya (ex :
seseorang yang dianggap memiliki kesaktian)
 Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seorang pemimpin
b. Legalitas

Kata “legal”berarti “sesuai dengan hukum”. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang
berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut
agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa
legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagikeabsahan wewenang
politis, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang
berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada
legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum
positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi.Dengan
kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum
positif.

c. Legitimasi Etis

Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari seginorma-norma moral. Setiap


tindakan negara (eksekutif atau legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma
moral. Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-
masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri.

d. Kekhasan Legitimasi Etisa.

Legitimasi etis dan legalitasLegitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan


wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-
fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku. Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi
etis. Dikarenakan,legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.

2.8 Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin berasal
dari rakyat berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat antara pemimpin dengan rakyat yang
dinamakan dengan kontrak sosial. Menurut Hobbes, manusia sebelum adanya negara dalam
keadaan anarkis, mementingkan diri sendiri, penuh dendam kesumat, bertindak ganas dan
sewenang-wenang. Manusia digambarkan memiliki hak alamiah (natural right) tanpa batas.
Kepemilikan hak tanpa batas ini mengakibatkan perselisihan tanpa kesudahan. Tegasnya
manusia digambarkan bukan hanya pra sosial akan tetapi juga mengalami pra politik. Jika hal
ini dibiarkan berkepanjangan akan mengakibatkan punahnya kehidupan manusia. oleh karena
itu mereka bersepakat untuk menyerahkan segala hak mereka kepada individu atau lembaga
tertentu yang dinamakan dengan sovereign body untuk mengatur mereka. Sovereign body
tidak membuat perjanjian apapun dengan masyarakat bahkan sebaliknya masyarakatlah yang
mengakui dan menjustifikasi serta mengikat janji taat setia kepadanya.

Teori ini berkembang selangkah lagi dengan munculnya John Locke yang
beranggapan bahwa manusia pra negara hanyalah manusia pra politik bukannya pra sosial
sebagaimana digambarkan Hobbes. Walaupun tanpa institusi politik, manusia dikatakan
hidup dibawah peraturan undang-undang alamiah (law of nature). Permasalahan muncul
ketika tidak ada lembaga yang menafsirkan undang-undang tersebut, sehingga masing-
masing individu menafsirkan sesuai dengan kehendak masing-masing. Keadaan kacaupun
terjadi apabila kepentingan saling bertentangan. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu
lembaga yang dapat menafsirkan dan mengimplimentasikan undang-undang yang dapat
diterima oleh semua kalangan. Dengan demikian maka sebuah masyarakat sipil dirasakan
perlu untuk diwujudkan.

Menurut Locke, perjanjian yang dibuat adalah penyerahan kekuasaan kepada


masyarakat bukan kepada Negara sebagaimana pandangan Hobbes. Dengan demikian Negara
ada demi kepentingan rakyat bukan sebaliknya. Rakyat masih memiliki kebebasan individu
sebagaimana sebelum terwujudnya Negara karena yang diserahkan hanya hak untuk
melaksanakan undang-undang. Negara hanya boleh memerintah atas persetujuan rakyat untuk
memelihara dan menjaga kesejahteraan rakyat. Pada sisi lain pemerintah tidak memiliki hak
untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Apabila tujuan yang disepakati-menjaga
kesejahteraan rakyat- tidak tercapai maka hak rakyat untuk menentang tidak boleh
dibelenggu. Teori Locke yang menyatakan pemerintahan ada dengan restu rakyat merupakan
dasar sistem demokrasi perwakilan yang dianut sekarang.

Teori kontrak sosial berkembang lebih jauh dengan kehadiran pemikir politik Perancis
Jean Jaques Rosseuau yang berpandangan bahwa manusia sebelum adanya Negara berada
dalam keadaan tenteram dan aman. Bagaimanapun keadaan ini berubah dengan bertambah
banyak jumlah masyarakat sehingga terjadi pergesekan yang mengakibatkan huru-hara dan
pertumpahan darah akibat mempertahankan kepemilikan pribadi (private property).
Persengketaan dalam mempertahankan hak peribadi dan konflik antara golongan kaya dengan
miskin membuat manusia mencari jalan keluar dengan mengikat suatu perjanjian bersama.
Dalam perjanjian tersebut semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Penyerahan ini
membuat masyarakat berdaulat dan berkuasa, disinilah masyarakat sipil (civil Society) lahir.

Rosseuau memperkenalkan suatu konsep baru dalam kontrak sosial yang berbeda
dengan konsep Hobbes dan Locke yang berupa konsep “kehendak umum” (general Will).
Berasaskan konsep ini maka segala bentuk undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan
kehendak umum, dan pemimpin Negara hanya pelaksana keputusan rakyat. Dengan demikian
Rosseuau dapat dikatakan cenderung menyokong sistem demokrasi langsung, dimana jika
perlu semua orang turut dilibatkan dalam mengamil keputusan sebelum dilaksanakan oleh
kepala Negara.

Konsep yang dikemukakan oleh Rosseuau jelas menjadi penguat konsep demokrasi dan asas
kedaulatan rakyat. Dengan demikian kehendak rakyat merupakan penentu dalam setiap apa
yang dilakukan oleh kepala Negara, bukannya kekerasan. Penekanan kepada konsep
kehendak umum memperlihatkan betapa Rosseuau mendukung ciri-ciri demokrasi langsung
yang berupa pemilihan umum dan jajak pendapat (referendum) sebagai unsur penting dalam
membuat keputusan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki rakyat juga memberikan justifikasi
kebolehan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang.

Sungguhpun konsep perjanjian masyarakat tersusun dengan begitu rapi, namun pada
hakikatnya konsep ini adalah bersifat andaian dan hipotetikal yang belum dapat dibuktikan
secara nyata dalam tataran praktis. Sedangkan konsep bai’ah dalam perspektif Islam bukan
hanya andaian dan angan-angan, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah dan benar-benar
berlaku secara nyata semenjak khalifah pertama dilantik oleh rakyat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa teori-teori yang ada, kami menyimpulkan Negara Indonesia


menganut teori kedaulatan rakyat, karena teori ini menggambarkan bahwa kekuasaan ada
pada rakyat yang diwalkan oleh seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat. Adapun struktur
lembaga negara di Indonesia seperti DPR bersifat menampung setiap aspirasi dari masyarakat
dan bertujuan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh J.J. Rousseau bahwa kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem yang
bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum.

3.2 Saran

Dalam hal ini menyangkut mengenai kekuasaan negara dan legitimasi negara, penulis
menyarankan bahwa dalam menjalankankan kuasa, bagaimana suatu penguasa (pemimpin)
dapat menjalankan fungsi kekuasaan sebagaimana mestinya sehingga nantinya apa yang
diharapkan dapat sesuai dengan cita-cita negara.

Makalah ini tersusun dari hasil kerja sama kelompok dan masih sangat memiliki
banyak kekurangan baik dalam segi materi dan penyajiannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan karya ini akan bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca.
Kritik dan saran yang bersifat membangun juga sangat diharapkan demi terwujudnya
kesempurnaan penyelesaiannya kelak.

Anda mungkin juga menyukai