Anda di halaman 1dari 27

Makalah

LEGITIMASI DAN KEKUASAAN

DALAM SOSIOLOGI POLITIK

DISUSUN OLEH :

DEWI NURAINI

(1815310928)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI MEDAN

2021

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

COVER...................................................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................1

1. Latar Belakang Masalah ...............................................................1


2. Rumusan Masalah .........................................................................2
3. Tujuan Masalah ..............................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN .....................................................................................3
1. Makna Sumber Daya Politik Dan Keabsahan Dan Legitimasi
Kekuasaan...............................................................................13
2. Legitimasi kekuasaan pada masyarakat primitive ..................15
3. Legitimasi kekuasaan pada masyarakat Modern ...................17
4. Berbagai bentuk legiitimasi moral .........................................20

BAB III : KESIMPULAN ....................................................................................25

A. Kesimpulan..............................................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

ii
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul LEGITIMASI DAN
KEKUASAAN DALAM SOSIOLOGI POLITIK ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas perkuliahan pada . Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Legitimasi Dan
Kekuasaan Dalam Sosiologi Politik bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada  dosen yang telah memberikan tugas


ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Medan 07 Mei 2021

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak
dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan
legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah
menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga
dianalisa berdasarkan sejarah-sejarahdan teori-teori yang ada.

1.2 Rumusan Masalah


1. Makna sumber daya politik keabsahan dan legitimasi kekuasaan
2. Legitimasi dan kekuasaan pada masyarakat primitif.
3. Legitimasi dan kekuasaan pada masyarakat modern.
4. Berbagai bentuk legitimasi moral yang antara lain moral futurisme.

1.3 Tujuan penulisan


Untuk mengetahui Makna sumber daya politik keabsahan dan
legitimasi kekuasaan, Legitimasi dan kekuasaan pada masyarakat primitive,
Legitimasi dan kekuasaan pada masyarakat modern serta Berbagai bentuk
legitimasi moral yang antara lain moral futurism. Disamping itu juga untuk
menganalisa beberapa teori-teori yang ada dan juga mengkategorikan
Negara Indonesia kedalam salah satu teori yang ada.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan pustaka
Legitimasi merupakan perkara dasar yang sangat penting bagi seorang
pemimpin, tanpa legitimasi sangat sulit bagi seseorang bisa meneruskan
kepemimpinannya. Tanpa legitimasi bahkan mustahil bagi pemerintah
untuk menerapkan undang-undang dan membangun sebuah negara.
Sumber legitimasi dan cara memperoleh legalitas juga permasalahan yang
tidak kalah penting untuk dibicarakan dari legitimasi itu sendiri.
Legitimasi telah menjadi pembahasan berkepanjangan sejak manusia
mengenal hidup secara berkelompok. Ia telah muncul sejak zaman Yunani
kuno, dimana Plato dan Aristotle menyatakan bahwa negara memerlukan
legitimasi yang mutlak untuk mendidik rakyatnya dengan nilai-nilai moral
rasional. Pada zaman yang sama gagasan legitimasi kekuasaan yang
bersumber dari rakyat telah muncul dalam bentuk yang sangat sederhana
sebagaimana terdapat pada negara kota (city state) abad VI sampai VIII
sebelum masihi.
Para pakar ilmu politik menyebutkan beberapa teori yang menunjukkan
kepada dasar legalitas seorang pemimpin negara memperoleh
kekuasaannya. Mereka merumuskan bahwa seorang pemimpin
mendapatkan legitimasi melalui;
1. Pemberian Tuhan (God Sovereignty), faham ini dianut oleh: Agustinus,
Thomas Aquinas dan Marsilius.
2. Dasar hukum (legal sovereignty). Pandangan ini dikemukakan oleh Hugo
Krabbe dan dikembangkan oleh pengikutnya R. Kranenburg.
3. Sumber kekekuasaanan Negara (State Sovereignty). Pandangan ini
disokong oleh Paul Laband.
4. Berasaskan kepada kedaulatan rakyat (Popular Sovereignty atau Poeple
Power). Pandangan ini dianut oleh John Locke dan Jean Jacques
Rousseau.
Bagaimanapun teori terakhirlah yang lebih popular dan kerap
digunakan dalam pembahasan terkini dalam bingkai istilah civil society.
Teori ini juga populer dikalangan pemikir Islam, terutamanya dari
Muhammad Yusuf Musa, ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Muhammad Rasyid Rida
dan ‘Abd al-Qadir Abu Faris.
Dalam menjelaskan teori ini, kalangan pemikir Islam mencoba untuk
mengaitkannya dengan teori siadah al-ummah. Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan kekuasaan yang dimiliki rakyat melebihi kekuasaan yang
dimiliki oleh pemimpin suatu negara.
Pembahasan secara sistematik mengenai rakyat sebagai sumber
legitimasi penguasa dibuat pertama kali oleh Jean Bodin, Ia berpendapat
bahwa kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi yang berada
ditangan rakyat, namun begitu Bodin lebih mengutamakan kekuasaan yang
ada pada seorang raja dalam pembahasannya. Ini dibuktikan melalui
perkataan yang menunjukkan kepada tinngginya kedaulatan raja pada
setiap permulaan seremonial resmi, seperti sebutan “open, in the King’s
name”

5
Tulisan ini ingin mengangkat dasar-dasar legitimasi pemimpin Negara
yang berasal dari rakyat berdasarkan nash-nash syari’ah dan teori-teori
yang dikemukakan oleh para fuqaha dalam menguraikan proses
pendelegasian kekuasaan tersebut kepada seorang pemimpin. Tulisan ini
juga membandingkan antara pandangan fuqaha dengan pendapat pakar
politik umum dalam menguraikan masalah asas legitimasi.
2.2 Pembahasan
1. Pengertian Legitimasi Kekuasaan
Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya
kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep
kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54)
bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam   suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan
dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan
disini adalah kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa
kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu dapat
disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.
Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54)
otoritas atau wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu
kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak
untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk
menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.
Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi
dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan
kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat dipersoalkan apakah
wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap
kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak
moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang
mengikat masyarakat  ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan
mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan
keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu
dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan
penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin
untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.           
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti
hukum. Kata legitimasi  identik dengan munculnya kata-kata seperti
legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana  legitimasi adalah
kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau
peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat
maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.

2. Teori Legitimasi
Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan
organisasi itu merupakan tatakerja daripada alat-alat perlengkapan
negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja mana melukiskan
hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing

6
alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Suatu negara pasti dipimpin oleh pemegang kekuasaan.
 
 
2.3 Obyek dan Tipe Kekuasaan
Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara
keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan
dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya
untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada.
Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-
unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah
dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit
legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang
berwenang.
Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik,
1999:93), terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan
legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus
menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi
kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik,
rezim dan pemerintahan.
Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang
memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan
fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum,
lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.  
Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54)
bentuk legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :
1. Legitimasi materi wewenang
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi
fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan
sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia
menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi
hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga 
penataan masyarakat yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif)
negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil
tindakan.
2. Legitimasi subyek kekuasaan
Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang
seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan
peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. 
Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
1. Legitimasi religius
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor
yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu
kecakapan empiris khususnya penguasa.
2. Legitimasi eliter
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada
kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham
legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah

7
masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh
seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni
(1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta
atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat
lain  dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam
kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya
dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis.
(2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya
suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan
demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilese
kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya
kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli
pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk
menentukkannya.
(3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli:   
berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat
dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga
hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang
betul-betul ahli. (4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas
yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang
kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya
inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh
adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan
argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan
nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.

Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97)


berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap
pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
1) Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut
merupakan keturunan  pemimpin “berdarah biru” yang dipercaya harus
memimpin masyarakat.
2) Legitimasi ideologi;  masyarakat memberikan dukungan kepada
pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai
penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya
yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti
liberalisme dan ideologi pancasila.
3) Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki
kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan
prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4) Legitimasi prosedural;  masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat
kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.

8
5) Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan
atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
2.4 Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki
kekuasaan, yaitu: (Inu Kencana, 200:54)
1. Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan
kekuasaan melalui pengangkatan.
2. Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat
perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur
konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.
3. Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak
yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku
jabatan tersebut.
4. Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena
berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya
dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh.
Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena
mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
5. Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik
tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi
kepala kemudian  menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur
tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam
mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha
menjadi kepala.
6. Information PowerKekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang
begitu bayak memiliki keteranga sehingga orang lain membutuhkan
dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi
keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan
memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik maupun
perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan
seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang
memang sedang berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga
kekerabatan atau kekekeluargaan.
Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan
Politik,2006:68,) ada tiga teori sumber kekuasaan yakni:
1. Teori Teokrasi
Teori ini  menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah
yang mengangkat orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan.
2. Teori Hukum Alam

9
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh
masyarakat. Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat
siapa yang memegang kekuasaan.
3. Teori Kekuatan
Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang
muncuk sebagai pemegang kekuasaan.
 
2.5 Pembagian Kekuasaan
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli
pemerintah mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan
kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan
diikuti oleh para birokrat.  Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan
sebagai berikut :
 Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator
(authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era
pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja dan bisa muncul
pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme.
 Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow
dan Wodrow Wilson dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur
penyelenggara pemerintahan) dan lembaga  politik (unsur pengatur
undang-undang).
 Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para
pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan
atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya, montesquieu
dan John Locke.
 Catur Praja
Kekuasaan dipegang  empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar
dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran.  Van
Vollenhoven Mengkategorikan bentuk ini yakni:
1.      Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)
2.      Bestuur (Kekuasaan pemerintah)
3.      Politie (Kekuasaan kepolisian)
4.      Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)
 Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut
Indonesia, karena walaupun dalam hitungan tampak ada enam badan
yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan legislatif,
namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya
terdiri dari anggota legislatif.
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:61-63), dengan mengutip pendapat
beberapa ahli mengatakan  pemisahan tersebut secara lengkap adalah
sebagai berikut:
 Menurut Gabriel Almond
a. Rule Making Function
b. Rule Application Function

10
c. Rule Adjudication Function

 Menurut Montesquieu (1689-1755)


1.      Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang
2.      Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
3.      Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan)
 Menurut John Locke (1632-1704)
1.      Kekuasaan  Legislatif
2.      Kekuasaan Eksekutif
3.      Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)
 Menurut Lemaire
1.      Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang
2.      Bestuur : Kewenangan pemerintahan
3.      Politie: Kewenangan Penertiban
4.      Rechtsspraak: Kewenangan peradilan
5.      Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat.

 
2.6 Konsep-konsep legitimasi pemberian kekekuasaan dalam teori politik
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin berasal dari rakyat berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat
antara pemimpin dengan rakyat yang dinamakan dengan kontrak sosial.
Menurut Hobbes, manusia sebelum adanya negara dalam keadaan anarkis,
mementingkan diri sendiri, penuh dendam kesumat, bertindak ganas dan
sewenang-wenang. Manusia digambarkan memiliki hak alamiah (natural
right) tanpa batas. Kepemilikan hak tanpa batas ini mengakibatkan
perselisihan tanpa kesudahan.
Tegasnya manusia digambarkan bukan hanya pra sosial akan tetapi
juga mengalami pra politik. Jika hal ini dibiarkan berkepanjangan akan
mengakibatkan punahnya kehidupan manusia. oleh karena itu mereka
bersepakat untuk menyerahkan segala hak mereka kepada individu atau
lembaga tertentu yang dinamakan dengan sovereign body untuk mengatur
mereka. Sovereign body tidak membuat perjanjian apapun dengan
masyarakat bahkan sebaliknya masyarakatlah yang mengakui dan
menjustifikasi serta mengikat janji taat setia kepadanya.
Teori ini berkembang selangkah lagi dengan munculnya John Locke
yang beranggapan bahwa manusia pra negara hanyalah manusia pra
politik bukannya pra sosial sebagaimana digambarkan Hobbes. Walaupun
tanpa institusi politik, manusia dikatakan hidup dibawah peraturan undang-
undang alamiah (law of nature).
Permasalahan muncul ketika tidak ada lembaga yang menafsirkan
undang-undang tersebut, sehingga masing-masing individu menafsirkan
sesuai dengan kehendak masing-masing. Keadaan kacaupun terjadi
apabila kepentingan saling bertentangan. Berdasarkan hal ini, maka
diperlukan suatu lembaga yang dapat menafsirkan dan
mengimplimentasikan undang-undang yang dapat diterima oleh semua
kalangan. Dengan demikian maka sebuah masyarakat sipil dirasakan perlu
untuk diwujudkan.

11
Menurut Locke, perjanjian yang dibuat adalah penyerahan kekuasaan
kepada masyarakat bukan kepada Negara sebagaimana pandangan
Hobbes. Dengan demikian Negara ada demi kepentingan rakyat bukan
sebaliknya. Rakyat masih memiliki kebebasan individu sebagaimana
sebelum terwujudnya Negara karena yang diserahkan hanya hak untuk
melaksanakan undang-undang. Negara hanya boleh memerintah atas
persetujuan rakyat untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan rakyat.
Pada sisi lain pemerintah tidak memiliki hak untuk berbuat sewenang-
wenang terhadap rakyat. Apabila tujuan yang disepakati-menjaga
kesejahteraan rakyat- tidak tercapai maka hak rakyat untuk menentang
tidak boleh dibelenggu. Teori Locke yang menyatakan pemerintahan ada
dengan restu rakyat merupakan dasar sistem demokrasi perwakilan yang
dianut sekarang.
Teori kontrak sosial berkembang lebih jauh dengan kehadiran pemikir
politik Perancis Jean Jaques Rosseuau yang berpandangan bahwa
manusia sebelum adanya Negara berada dalam keadaan tenteram dan
aman. Bagaimanapun keadaan ini berubah dengan bertambah banyak
jumlah masyarakat sehingga terjadi pergesekan yang mengakibatkan huru-
hara dan pertumpahan darah akibat mempertahankan kepemilikan pribadi
(private property). Persengketaan dalam mempertahankan hak peribadi dan
konflik antara golongan kaya dengan miskin membuat manusia mencari
jalan keluar dengan mengikat suatu perjanjian bersama. Dalam perjanjian
tersebut semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Penyerahan
ini membuat masyarakat berdaulat dan berkuasa, disinilah masyarakat sipil
(civil Society) lahir.
Rosseuau memperkenalkan suatu konsep baru dalam kontrak sosial
yang berbeda dengan konsep Hobbes dan Locke yang berupa konsep
“kehendak umum” (general Will). Berasaskan konsep ini maka segala
bentuk undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan kehendak umum,
dan pemimpin Negara hanya pelaksana keputusan rakyat. Dengan
demikian Rosseuau dapat dikatakan cenderung menyokong sistem
demokrasi langsung, dimana jika perlu semua orang turut dilibatkan dalam
mengamil keputusan sebelum dilaksanakan oleh kepala Negara.
Konsep yang dikemukakan oleh Rosseuau jelas menjadi penguat
konsep demokrasi dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian kehendak
rakyat merupakan penentu dalam setiap apa yang dilakukan oleh kepala
Negara, bukannya kekerasan. Penekanan kepada konsep kehendak umum
memperlihatkan betapa Rosseuau mendukung ciri-ciri demokrasi langsung
yang berupa pemilihan umum dan jajak pendapat (referendum) sebagai
unsur penting dalam membuat keputusan. Besarnya kekuasaan yang
dimiliki rakyat juga memberikan justifikasi kebolehan menentang
pemerintahan yang sewenang-wenang.
Sungguhpun konsep perjanjian masyarakat tersusun dengan begitu
rapi, namun pada hakikatnya konsep ini adalah bersifat andaian dan
hipotetikal yang belum dapat dibuktikan secara nyata dalam tataran praktis.
Sedangkan konsep bai’ah dalam perspektif Islam bukan hanya andaian dan
angan-angan, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah dan benar-benar
berlaku secara nyata semenjak khalifah pertama dilantik oleh rakyat.

12
1. MAKNA SUMBER DAYA POLITIK KEABSAHAN DAN LEGITIMASI
KEKUASAAN

Legitimasi merupakan salah satu konsep penting yang dikupas dalam


kajian Ilmu Politik. Surbakti (2009) menekankan bahwa legitimasi dalam suatu
praktik kekuasaan politik adalah sangat penting. Sebab, legitimasi berkaitan
dengan keabsahan atau penerimaan masyarakat terhadap penguasa atau
pihak yang memiliki otoritas. Seandainya suatu kekuasaan tidak terlegitimasi,
maka akan muncul pembangkangan politik yang membuat keadaan
kepemimpinan tidak kondusif bekerja. Legitimasi dapat menciptakan kestabilan
politik dan perubahan sosial.

Penerimaan dan pengakuan masyarakat menciptakan kestabilan


pemerintahan dalam membuat berbagai keputusan dan kebijakan serta mampu
dengan baik dalam mengatasi sebuah permasalahan, dibandingkan
pemerintahan yang kurang atau tidak memiliki legitimasi. Sebagaimana
dijelaskan Gaetano Mosca (dalam Haryanto, 2005:145) bahwa pengakuan
terhadap elit yang memiliki legitimasi adalah terdapatnya suatu keyakinan yang
menunjukkan mengapa ‘the rullers’ (pemimpin atau penguasa) dipatuhi
kepemimpinannya. Pemimpin atau aturan yang keluar dari pemimpin akan
dipatuhi jika pemimpin memiliki legitimasi.

Seturut dengan penjelasan David Easton (dalam Alonso, 2011:80) pula,


legitimasi adalah keyakinan dari anggota masyarakat yang mentaati dan
menerima berbagai kebijakan yang dibuat dan haknya telah dipenuhi oleh
penguasa sebuah rezim. Legitimasi merupakan sebuah konsep keterikatan
yang kuat antara pemimpin/pemerintah dan masyarakat yang dipimpin.

Pemimpin akan berupaya untuk mendapatkan dan mempertahankan


legitimasi dari masyarakat, dan sebaliknya masyarakat memberikan pemimpin
legitimasi dengan melihat apa kebijakan dan harapan yang diberikan pada
masyarakat. Jadi pada intinya, legitimasi merupakan penerimaan dan
pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan pemimpin untuk
memerintah, membuat, serta melaksanakan keputusan politik. Poin penting
lainnya adalah legitimasi seorang pemimpin akan didapatkan ketika dia sudah
melaksanakan apa yang menjadi hak bagi warga negara.

“Dalam beberapa literatur Ilmu Politik, konsep legitimasi berkait erat dengan
kewenangan. Letak perbedaanya sederhana, kewenangan berkaitan dengan
otoritas seseorang melakukan atau memutuskan sesuatu yang mengandung
legitimasi di dalamnya, sedangkan legitimasi adalah sikap timbal balik terhadap
otoritas tersebut. Dengan kata lain, legitimasi terletak pada suatu pemaknaan
atas keabsahan kepada suatu rezim atau sistem kekuasaan”

Heywood (2013) mengatakan terdapat kekosongan perdebatan terkait


legitimasi dalam ranah kajian politik karena cara dalam melihat sudut pandang
yang berbeda melihat legitimasi. Di era modern, legitimasi dipahami dari satu
sudut pandang terkait dengan keyakinan dan sudut pandang perilaku politik

13
saja, bukan pada tataran tentang kewajiban moral masyarakat dalam melihat
legitimasi. Meskipun kontribusi nyata dalam perdebatan klasik terkait dengan
legitimasi telah diberikan oleh Weber sejak lama, namun agak menarik
mendalami persoalan dengan beranjak dari pernyataan yang dipikirkan oleh
Beetham, dimana kekuasaan akan terlaksana dan bisa dikatakan absah jika
memenuhi tiga kondisi.

Pertama, kekuasaan haruslah diselenggarakan dengan aturan yang


telah formal serta baku. Kedua, aturan tersebut harus dibenarkan dalam cara
pandang keyakinan bersama (commons goods) baik dari yang memiliki
legitimasi ataupun yang memberikan legitimasi. Ketiga, adalah terkait dengan
persoalan legitimasi yang haruslah dibuktikan karena adanya suatu ekspresi
persetujuan dari pihak yang diperintah (dalam Heywood, 2013).

Sedangkan dari segi bentuk legitimasi, Andrain (dalam Surbakti, 2009:


97) mengelompokkan menjadi lima jenis, yaitu legitimasi tradisional, legitimasi
ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural, dan legitimasi
instrumental. Legitimasi tradisional merupakan pengakuan masyarakat
terhadap pemimpinnya yang dianggap sebagai keturunan bangsawan atau
berdarah biru. Legitimasi ideologi adalah pengakuan masyarakat terhadap
pemimpin dengan kesamaan ideologi yang dianut dan diharapkan pemimpin
dapat menjalankan ideologi tersebut.

Legitimasi kualitas pribadi merupakan kualitas pemimpin yang


kharismatik dan memiliki prestasi sehingga mendapatkan dukungan dan
pengakuan dari masyarakat. Legitimasi prosedural adalah pemimpin yang
diberi wewenang oleh undang-undang dan kekuasaannya sah menurut hukum.
Legitimasi instrumental hampir sama dengan material yaitu bagaimana
pemimpin menjanjikan atau memberikan kesejahteraan dalam bentuk material
sehingga memperoleh dukungan dan legitimasi masyarakat.

Untuk mendapatkan legitimasi, menurut Hermawan (2001:97) melalui


tiga cara, yaitu secara simbolis, prosedural, dan material. Secara simbolis yaitu
dengan menggunakan simbol-simbol untuk memanipulasi moral, nilai-nilai,
tradisi dalam masyarakat. Secara prosedural adalah dengan melalui pemilihan
umum sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan yang sah dan terlegitimate.
Secara material yaitu melalui memberikan material kepada masyarakat dengan
menjanjikan kesejahteraan dan lainnya.

Dari berbagai penjelasan yang dikemukakan, ada beberapa hal yang


bisa ditarik kesimpulan. Pertama, legitimasi adalah sikap penerimaan
masyarakat terhadap suatu kekuasaan atau otoritas yang sedang memerintah.
Kedua, sikap penerimaan sebagai konsep yang kita kenal sebagai legitimasi itu
penting bagi bekerjanya praktik kekuasaan.

Ketiga, dalam beberapa bentuk, legitimasi menempel dalam


kewenangan seperti dalam kekuasaan formal kenegaraan. Hal ini seperti yang
disinggung sebelumnya, kewenangan adalah kekuasaan yang mengandung

14
legitimasi. Keempat, ada berbagai cara untuk bisa mendapatkan legitimasi di
luar menggunakan jalur kekuasaan formal, yakni dengan cara memanipulasi
moral, nilai dan tradisi yang ada di masyarakat, sehingga bisa mendapatkan
keabsahan untuk memerintah.

2. LEGITIMASI DAN KEKUASAAN PADA MASYARAKAT PRIMITIF.

Berdasarkan apakah anggapan bahwa pemerintah menerima tugas dan


hak untuk memerintah dari rakyat dan harus mempertanggung-jawabkan
penggunaannya kepada rakyat? Ada dua jawaban. Jawaban keren
adalah:berdasarkan kedaulatan rakyat! Rakyat berdaulat atas dirinya sendiri.
Tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja berhak memerintah
rakyat. Jawaban yang sederhana adalah bahwa dengan sendirinya orang
berhak mengurus dirinya sendiri, maka kalau iamau diurus oleh orang lain,
orang lain itu harus mendapatkan tugas itudari yang bersangkutan.

Gagasan ini nampak sedemikian masuk akal, sehingga kita mudah


melupakan apa yang sebenarnya mencolok, yakni bahwa anggapan ini sama
sekali tidak baiasa. Dalam hidup sehari-hari orang memang mengurus dirinya
sendiri (itu pun sering hanya berlaku bagi sang ayah). Tetapi dalam bidang
politik –dengan kekecualian dua masa pemerintah kota demokratis tadi –rakyat
tidak pernah diangkat berdaulat. Di satu pihak hal memerintah dianggap
membutuhkan kecakapan khusus yang hanya dimiliki oleh sebuah elit. Dan di
pihak lain, faham kedaulatan rakyat berdasarkan sebuah pengandaian yang di
kebanyakan budaya dan zaman akan dianggap aneh dan bahkan terang-
terangan salah, yaitu bahwa segenap orang –besar kecil, laki perempuan,
orang baik atau orang jahat –memiliki hak yang sama dalam masyarakat.
Hanya atas dasar pengandaian itu kedaulatan rakyat masuk akal.

Dalam lingkungan sebuah desa kesamaan harkat dan kedudukan sama


sebagai manusia tidak begitu sulit dihayati. Karena itu, demokrasi desa cukup
luas ditemukan dalam masyarakat-masyarakat tradisional. Tetapi, dalam
wawasan seluruh masyarakat tentulah ketidaksamaan yang mencolok. Antara
orang desa dan orang kota, orang buasa dan orang bangsawan, orang awam
dan pemuka agama atau pendeta, raja dan abdinya, yang mencolok adalah
perbedaan. Ada, misalnya, kelas yang memberikan visi dan makna, yakni para
pemuka agama dan pendeta; raja dan abdinya, yang mencolok adalah
perbedaan. Ada, misalnya, kelas yang memberikan visi dan makna, yakni para
pemuka agama dan pendeta; ada kelas yang bertugas memimpin, yakni kaum
bangsawan; ada yang terpanggil untuk mengabdi, dan seterusnya.Masing-
masing punya kedudukan dan tugasnya.

Karena itu, semua masyarakat tradisional disusun secara hierarkis, dan


susunan hierarkis itu sepenuhnya terlegitimasi dalam rangka sistem
kepercayaan masyarakat itu. Menjadi jelas bahwa negara harus punya raja.
Dan raja –karena ia seorang raja –berhak memerintah. Anggapan bahwa raja
harus diberi tugas oleh rakyat untuk memerintah dalam kerangka faham
masyarakat itu tentu dirasakan sebagai aneh.Secara tradisional sebenarnya

15
terdapat dua kerangka pemikiran yang membenarkan kekuasaan raja dan para
bangsawan. Pertama, misalnya terungkap dalam faham Jawa tentang
kekuasaan.9Menurut faham ini, penguasa adalah orang keramat, bukan
manusia biasa. Ia berkuasa karena dipenuhi oleh kekuatan luhur yang
mengatasi dunia (adi-duniawi).

Terkadang ia dianggap sebagai titisan dewa. Karena itu “hak” ada


padanya. Jadi, dalam faham Jawa ini prinsip-prinsip seperti kedaulatan rakyat,
hak kontrol terhadap penguasa, kedaulatan hukum di atas kedaulatan
penguasa, dan pembagian kekuasaan tidak ada tempatnya/tidak
berperan.Dalam kerangka pemikiran kedua, masyarakat adalah suatu tatanan
teratur dan hierarkis, di mana masing-masing golongan mempunyai kedudukan,
kewajiban, dan tanggungjawab sendiri. Paling atas adalah kaisar, paling bawah
adalah rakyat. Di tengah-tengah terdapat susunan hierarkis para raja,pangeran,
pemuka agama, pemuka kota dan desa, bangsawan lokal, dan seterusnya,
dengan pelbagai hubungan atasan-bawahan dan loyalitas. Tatanan hierarkis ini
diyakini sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan.

Inilah tatanan feodal dalm arti sesungguhnya yang khas bagi Eropa pada
Abad Pertengahan. Tentu masih ada pola-pola lain, juga berbagai kemungkinan
campuran, seperti faham keselarasan yang mendasari sistem pemerintahan di
Cina.Cita-cita republik dan demokrasi baru bisa berkembang ketika tatanan
hierarkis masyarakat semakin tidak dipercayai. Reformasi Protestan dan
munculnya negara nasional modern di satu pihak,Renaissance, subyektivisme
religius protestantisme, serta emansipasi ilmu-ilmu pengetahuan di lain pihak,
membongkar pengandaian-pengandaian faham masyarakat hierarkis itu. Klaim
para raja atas kekuasaan absolut semakin terasa kosong.

Di saat bersamaan golongan borjuis mulai berkembang pesat sebagai


kelas sosial yang percaya diri, yang tahu bahwa merekalah yang menciptakan
nilai ekonomi yang mendukung keperkasaan negara. Di alam ini privilege-
privilegekuno golongan bangsawan tidak memiliki dasar lagi.Itu sebabnya, etos
demokratis modern baru menjadi kuat setelah struktur-struktur masyarakat
tradisional mulai roboh. Tapi etos demokratis modern sendiri hanya dapat
dimengerti atas dasar kesadaran akan kesamaan harkat kemanusiaan.
Kesadaran kesamaan derajad manusia sendiri memiliki latar belakang
kepercayaan yang lebih mendasar.

Adalah agama-agama monotheis –mulai dengan agama Abraham –yang


meletakkan dasar kesadaran bahwa manusia itu pada hakikatnya sama
derajadnya, meskipun berbeda ciri, sikap, dan kemampuannya. Kesadaran
akan transendensi Allah adalah unsur kunci dalam tumbuhnya kesadaran akan
kesamaan derajat manusia. Kepercayaan-kepercayaan emanatif membedakan
antara pelbagai tingkat imanensi keilahian dalam dunia lahir, yang pada
akhirnya justru melegitimasi perbedaan derajad antarpelbagai golongan
manusia. Sebaliknya, bila Allah dipahami sebagai pencipta, perbedaan
antarmanusia menjadi tidak berarti.

16
Dalam iman-kepercayaan agama-agama monotheis, perbedaan-
perbedaan itu tal lagi relevan. Karena itu segala diskriminasi tidak dapat
dibenarkan.

3. LEGITIMASI DAN KEKUASAAN PADA MASYARAKAT MODERN


Pada paparan pertimbangan sebelumnya bahwa pengakuan terhadap
demokrasi sebagai prinsip universal bukanlah karena demokrasi menjadi satu-
satunya kemungkinan pemerintahan yang legitim, melainkan karena terjadi
perubahan dalam pandangan dunia. Apakah hal itu berarti bahwa atas
pengandaian pandangan dunia pasca-tradisional, demokrasi (yang belum
didefinisikan) adalah satu-satunya bentuk kenegaraan yang secara etis sah?
Mereka yang menyangkal hal ini mendasarkan diri pada dua argumen.
Pertama, legitimasi pragmatis. Disebutkan bahwa demokrasi hanya ada bila
syarat-syarat obyektif –politik, ekonomi, sosial, dan budaya –bisa berfungsi.
Kedua, legitimasi eliter. Disebutkan bahwa tugas memerintah hanya dapat
dijalankan oleh sebuah elit karena untuk memimpin dan memerintah diperlukan
keahlian tertentu. Di era modern beberapa argumen legitimasi yang sulit di
terima pada legitimasi dan kekuasaan era primitive/ tradisional yaitu :
a. Legitimasi Eliter
Legitimasi ini muncul dalam dua bentuk, yakni sebagai legitimasi
ideologisdan sebagai legitimasi teknokratis. Dalam teori legitimasi
ideologis disebutkan bahwa ada sebuah ajaran benar –secara umum
disebut ideologi –yang mentapkan secara definitif bagaimana kehidupan
bernegara dan bermasyarakat harus diatur –oleh karena itu dosa paling
besar dalam kerangka pemikiran ideologis adalah ‘revisionisme’:
merevisi ajaran ideologi itu sama dengan menggerogotinya karena
mengandaikan bahwa ajaran itu belum tentu betul atau tepat.
Memerintah menurut ajaran itu adalah benar; memerintah dengan tidak
menurutinya adalah salah. Memerintah pada hakikatnya berarti
menghadapkan kasus atau masalah konkret yang muncul pada ajaran
atau ideologi itu, lalu menanganinya sesuai dengan ajaran itu –mirip
dengan hakim yang mengkategorisasikan sebuah perkara menurut
norma-norma hukum itu, menjatuhkan putusannya.
Hal itu kelihatan dalam bahasa ideologis yang lazim ditemukan
dalamsetiap masyarakat ideologis: suatu masalah tidak akan dipecahkan
dengan argumen bahwa ‘Inilah pemecahan yang paling baikatau paling
bijaksana’, melainkan ‘Inilah pemecahan yang sesuai dengan
ajaran/ideologi kami’. Begitu misalnya dalam sistem-sistem komunis di
mana kriteria betul-salahnya sebuah kebijaksanaan tidak pernah apakah
‘menguntungkan’, ‘bijaksana’, ‘efisien’ atau lain sebagaina, melainkan
apakah ini ‘sesuai’ dengan ajaran Marxisme-Leninesme atau
tidak.Dengan pengandaian ini menjadi jelas bahwakeselamatan negara
bergantung pada apakah pemerintahan dijalankan menurut ajaran satu-
satunya yang benar itu, atau tidak. Karena itu jelas juga bahwa bukan
harapan, penilaian, kesenangan, atau keinginan rakyat yang boleh
menentukan pengambilan kebijakan kenegaraan, melainkan kesesuaian
dengan ‘ajaran benar’ itu. Itu sebabnya, bukanrakyat atau orang
kebanyakan yang berhak menentukan kebijakan kenegaraan, melainkan

17
hanya mereka yang betul-betul memahami ajaran itu. Jadi, negara harus
dipimpin oleh elit ideologis.Dalam negara Komunis, elit ideologis adalah
elit elit partai komunis, yakni komite sentral.Dalam negara yang
berdasarkan ideologi keagamaan, elit ideologis adalah para ahli Kitab
atau pendeta.
Dalam Revolusi Perancis, elit itu adalah mereka yang “murni”–
artinya yang bebas dari segala kepentingan pribadi, karena menurut
Robespierre dan Saint-Just, dua tokoh Yakobinisme radikal, hanya yang
murni yang mengetahui(mengetahui lebih baik ketimbang rakyat biasa)
apa itu ‘kehendak rakyat’. Kekuasaan ideologis secara hakiki bersifat
eliter dan anti-demokratis.11Secara prinsip ada dua pertimbangan
mengapa legitimasi ideologis dalam segala bentuknya bersifat tidak sah
dan perlu ditolak dengan tegas.Pertimbangan pertama.
Sebuah ideologi selalu memuat sebuahfaham tentang makna dan
tujuan kehidupan; faham ini selalu menjadi dasar klaim elit ideologis
berdasarkan kepercayaan mereka bahwa mereka –dan hanya mereka –
yang memiliki kebenaran. Tapi kepercayaan seseorang atau sekelompok
orang tidak pernah memeberikan wewenang kepada mereka untuk
memaksakannya kepada orang lain. Kepercayaan bahwa saya memiliki
kebenaran, tidak memberikan hak kepada saya untuk memaksakan
masyarakat hidup menurut kebenaran yang saya yakini itu. Apabila saya
dapat meyakinkan mereka dan mereka dengan bebas dmengikuti ajaran
saya, saya mendapat legitimasi demokratis. Tapi tanpa legitimasi
demokratis, kepercayaan saya –seberapa pun keyakinan saya padanya
–tidak memberikan hak apa pun untuk memaksakan kekuasaan saya
kepada orang lain.Ternyata rezim-rezim ideologis –komite sentral, para
ahli Kitab, para pemikir ‘maju’, dan lainnya –justru memaksakan diri
kepada masyarakat ddengan menggunakan intimidasi dan penindasan,
karena hanya dengan itulah mereka dapat mempertahankan kekuasaan
mereka.
Mereka tak berani bertanya kepada rakyat, apakah rakyat
menerima mereka atau tidak, dan karena itu di bawah kata-kata indah
ideologi-ideologi mereka yang berkuasa adalah teror. Itu sebabnya,
rezim ideologis tanpa kecuali memerlukan aparat penindasdan
pemerintahannya selalu penuh kekerasan dan penumpahan darah. Satu-
satunya ‘argumen’ kaum ideolog adalah kemampuan mereka untuk
membungkam dan menghancurkan mereka yang punya keyakinan
berbeda.Pertimbangan kedua. Ini bersifat logis.
Bidang pengambilan keputusan politik adalah tentang apa yang
lebih atau kurang baik bagi masyarakat, di mana tujuan kebijakan politik
adalah mengusahakan yang terbaik dan sedapat mugkin menghindari
yang buruk. Tapi, hal baik-buruk bukanlah masalah ‘benar-salah’,
melainkan masalah ‘lebih atau kurang tepat’. Jadi, tentang keputusan
sebuah kebijakan, tak ada keputusan yang ‘benar’ atau ‘salah’,
melainkan hanya lebih atau kurang tepat/bijaksana/menguntungkan.
Juga tidak ada ‘ajaran yang benar’ tentang bagaimana suatu negara
harus dijalankan. Yang ada adalah banyak teori, pengalaman, penilaian,
dan pertimbangan tentang apa yang ‘kiranya paling tepat dan paling

18
baik’. Karenanya, yang diperlukan adalah pertimbangan dan penilaian,
bukan pengecekan apakah sebuah kebijakan sesuai atau tidakdengan
sebuah ajaran teoritis.Demikianlah, legitimasi ideologis secara etis perlu
ditolak karena menindas kebebasan keyakinan dan secara logis salah
karena menangani masalah tentang tepat dan tidak tepat sebagai
masalah benar-salah. Bila negara mendasarkan diri pada sebuah
‘ideologi terbuka’ –seperti misalnya Indonesia yang mendasarkan diri
pada Pancasila –lalu bagaimana? Dalam bahasa politik Orde Baru,
‘ideologi’ yang dibicarakan dalam rangka legitimasi ideologis di atas
selalu merupakan ‘ideologi tertutup’ dan bukan ‘ideologi terbuka’. Beda
dengan ‘ideologi tertutup’, ‘ideologi terbuka’ tidak memuat norma tentang
bagaimana masyarakat harus diatur, melainkan nilai-nilaiyang harus
menjadi acuan dan tujuan dalam mengatur masyarakat.

b. Legitimasi Teknokratis
Ini berdasarkan argumen bahwa untuk memimpin masyarakat
perlu keahlian. Karena itu, yang harus memimpin masyarakat adalah
para ahli.Legitimasi ini juga tidak sah. Pemerintahan di zaman modern ini
perlu pengetahuan yang tepat di banyak bidang,jadi perlu banyak ahli.
Tapi tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa para ahli lalu berhak berkuasa
atas masyarakat.
Ada dua alasan. Pertama, para ahli dibutuhkan untuk membantu
dalam menemukan cara yang paling efektif untuk merealisasikan sebuah
kebijakan yang hendak diambil, dan buka untuk menetapkan kebijakan-
kebijakan itu sendiri. Kedua, sumbangan masing-masing bidang keahlian
terhadap perealisasian sebuah kebijakan itu terbatas. Soalnya, dalam
penentuan kebijakan terhadap masalah-masalah yang perlu dipecahkan
oleh pemerintah, masukan dari banyak bidang keahlian perlu
diperhatikan dan disinkronkan.Keahlian dalam suatu bidang –dan orang
selalu ahli hanya dalam salah satu bidang –sama sekali tidak memberi
kompetensi untuk memecahkan masalah multikompleksitu. Untuk
memutuskan apakah dalam wilayah tertentu mau dibangun sebuah
bendungan untuk pembangkit listrik saja diperlukan pertimbangan dari
bidang kelistrikan, perekonomia, geologis, hidrologis, dampak pada
lingkunga hidup, dampak pada ternak, dampak kultural, prioritas politis,
dan dampak pada kehidupan spiritual.
Legitimasi teknokratis membantu pemerintah atau pengambil
keputusan untuk menentukan langkah-langkah strategis di tingkat sosial
kemasyarakatan. Secara politis, argumentasi teknokratis juga dibutuhkan
sebagai pelindung (coverage) menghadapi argumentasi yang akan
muncul dari pihak politisi.

c. Legitimasi Pragmatis
Legitimasi-legitimasi eliter kelihatan berdasarkan argumentasi
yang tidak sah. Berbeda dengan itu, dalam legitimasi pragmatis
tuntutandemokratis tidak bersifat mutlak, melainkan sama dengan semua
tuntutan etika politik, yakni bersyarat.Artinya pengalaman lapangan
menjadi bahan dasar pertimbangan etis moral. Hal-hal yang kasat mata,

19
peristiwa-peristiwa konkret yang dialami, menjadi argumentasi tak
terbantahkan dalam memberikan kesaksian tentang praktik demokrasi di
tingkat sosial.Rezim-rezim tidak demokratis biasanya terbentuk dalam
dua macam situasi. Pertama, masyarakat yang baru secara mendadak
dilemparkan dari struktur sosial dan kultural tradisional ke dalam kancah
modernisasi dan globalisasi –apalagi kalau masyarakat itu sangat
heterogen.
Masyarakat semacam itu umumnya belum punya perangkat nilai,
kebiasaan dan sikap yang menjadi prasyarat kehidupan demokratis. Itu
sebabnya kitamelihat dalam banyak negara ‘non-barat’segala macam
pemerintahan yang kurang atau sama sekali tidak demokratis –misalnya
diktatur populistik, paternalisme, pemerintahan militer –seringkali tidak
ada mekanisme pergantian pimpinan, sehingga orang sudah gembira
kalau pimpinan cukup efektif yang ada berlangsung terus selama
mungkin.
Skenario kedua adalah keadaan di mana situasi huru-hara atau
perang saudara akhirnya diatasi oleh salah satu dari pihak-pihak yang
berebut atau bertikai, misalnya sebuah parta (misal Kuomintang),
sebuah gerakan revolusioner (kaum Sandinista), seorang pemimpin
karismatik (Sukarno) atau Angkatan Bersenjata. Dengan sendirinya
pihak yang dapat mengembalikan fungsi-fungsi dasar negara
terlegitimasi untuk melakukannya.
Namun, bagi semua bentuk legitimasi pragmatis itu berlaku juga
bahwa mereka bersifat darurat dan tidak mantap.Dalam skenario
pertama diharapkan diwujudkan struktur-struktur kenegaraan yang lebih
mantap sehingga pola pemerintahan dapat lebih mantap juga dan
kemudian akan timbul pertanyaan, siapa yang berhak untuk
memegangnya. Dalam skenario kedua, setelah keadaan darurat teratasi,
dasar hak dari pihak yang merebut kekuasaan untuk melanjutkannya itu
hilang. Karena itu kita melihat bahwa legitimasi pragmatis cenderung
diganti dengan legitimasi ideologis (misal kaum Sandinista di Nikaragua)
di mana penguasa mengklaim bahwa hanya mereka yang punya ajaran
yang benar, atau diganti dengan legitimasi teknokratis, yakni bahwa
hanya merekalah yang punya keahlian yang dibutuhkan untuk memimpin
negara itu.

4. BERBAGAI BENTUK LEGITIMASI MORAL YANG ANTARA LAIN MORAL


FUTURISME.
4.1 Bentuk-bentuk Legitimasi
Pendobrakan legitimasi kekuasaan religious melahirkan etika
politik. Ada dua perkembangan dalam pengertian manusia yang secara
terpisah. Yang pertama, kesadaran bahwa hanya ada satu Allah dan
segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua, lahir
bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan
merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak
sebagaimana adanya. Dua perkembangan penduniawian  bidang
kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua

20
lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di
dunia Kristen dan kedua didunia Islam.
1. Paham Umum Legitimasi
Menurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu
hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar kemampuan ini´. Setiap
kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah
kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de
facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi
berhak untuk memberikan perintah. Wewenang memiliki keabsahan
apabila sesuai dengan norma-norma yang ada.
2. Obyek LegitimasiAda dua pertanyaan legitimasi
a. Legitimasi materi
Wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi.
Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia
menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi
hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan
masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai
lembaga penataan efektif.
b. Legitimasi subyek kekuasaan
Mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang.
 
Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius,
legitimasieliter, legitimasi demokratis.
a. Legitimasi religious
Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang diduniawi. Ada
dua paham legitimasi religius, yaitu penguasadipandang sebagai manusia
yang memiliki kekuatan-kekuatanadiduniawi dan wewenang penguasa pada
penetapan oleh Allah. Perbedaan antara dua paham tersebut ialah bahwa
paham gaib tidak  memungkinkan tuntutan legitimasi moral, sedangkan
paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu.
b. Legitimasi eliter
Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu
golongan untuk memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi
khusus. Kita dapat membedakan antara sekurang-kurangnya empat macam
legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi arsitokratis (suatu golongan
dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan memimpin),
legitimasi pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri paling
cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta
untuk menangani), legitimasi ideologis (mengandaikan ada suatu ideology
yang mengikat seluruh masyarakat), legitimasi teknokratis ( dizaman yang
modern ini hanya mereka yang bertanggung  jawab yang dapat menjalankan
pemerintahan)
c. Legitimasi demokratis
Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salah satu
pokok pembahasan dalam buku ini.

21
4.2 Kriteria Legitimasi
Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu :
a) Legitimasi Sosiologis
Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana
yang nyata-nyata memmbuat masyarakat mau menerimawewenang
penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri pada penggambaran
fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan
pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan
kenegaraan diterima dan disetujui oleh masyarakat. Max Weber
merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan klasik:
 Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional,
bahwa pihak yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan
memang berhak untuk berkuasa (ex : bangsawan atau keluarga
raja)
 Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta
masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya
bersedia untuk taatkepadanya (ex : seseorang yang dianggap
memiliki kesaktian)
 Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan
hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin
b) Legalitas
Kata “legal”berarti “sesuai dengan hukum”. Legalitas adalah kesesuaian
dengan hukum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu
kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar
wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah
cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling
fundamental bagikeabsahan wewenang politis, karena legalitas hanya
dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang
berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran
wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad
infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari
legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi.Dengan
kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada
penetapan hukum positif.
c) Legitimasi Etis
Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari
seginorma-norma moral. Setiap tindakan negara (eksekutif atau
legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak
menyangkut masing-masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik,
melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri.
d) Kekhasan Legitimasi Etisa.
Legitimasi etis dan legalitasLegitimasi etis dimaksud pembenaran
atau pengabsahan wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip
moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan negara
dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun legalitas semata-mata

22
tidak dapat menjamin legitimasi etis. Dikarenakan, legalitas
hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.

Legitimasi moral mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari


norma-norma moral. Legitimasi moral ini muncul dalam konteks bahwa setiap
tindakanNegara baik dari legislatif maupun dari eksekutif dapat dipertanyakan
dari norma-norma moral, tujuannya yaitu agar kekuasaan itu mengarahkan
kekuasaan kepemakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan
tuntutankemanusiaan yang adil dan beradab.
Maka legitimasi moral dalam kekuasaan sangat penting untuk
seorangpemimpin agar memiliki sifat yang adil dan jujur. Maksudnya, bila
menjadiseorang pemimpin yang memiliki kekuasaan harus juga mempunyai
sifat yangbaik serta moral yang baik, maka dari itu legitimasi moral dalam
kekuasaan sangatpenting bukan dalam pemerintahan ini. Ada beberapa contoh
pemimpin yang memiliki kekuasaan tetapi tidakmemiliki moral yang baik disini
akan menimbulkan dampak yang merugikanmasyarakat yang ada di
negaranya.
Misalnya, pemimpin yang melakukan tindakankorupsi sudah diketahui
betul bahwa tindakan korupsi adalah tindakan yang burukdimana seharusnya
apabila menjadi seorang pemimpin harus mempunyai sikapdan perilaku yang
patuh dicontoh oleh rakyatnya. Seperti tujuan dari legitimasimoral dalam
kekuasaan yaitu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian yang bijakserta adil
dan beradab, tetapi di Indonesia ini masih sangat banyak pemimpin yangtidak
bisa menjadi pemimpin yang adil seperti apa yang seharusnya dipatuhi
olehseorang pemimpin. Tindakan korupsi adalah salah satu contoh tindakan
yang tidak memiliki rasakeadilan dan sifat beradab kepada sesama manusia.
Mengapa demikian karenakorupsi adalah perilaku yang merugikan orang
banyak bahkan tidak bisadipungkiri bahwa sangat banyak sekali rakyat-rakyat
kecil yang sengsara akibatperilaku yang buruk yang dilakukan oleh pemimpin.
Walaupun seorang pemimpinmemiliki kekuasaan terhadap jabatannya
dan rakyatnya yang harus mematuhi,menerima serta mentaati kebijakan-
kebijakan yang diberikan oleh pemimpin.Pemimpin juga harus mentaati
peraturan serta kebijakan-kebijakan yangseharusnya tidak boleh dilanggar
tetapi banyak pemimpin yang amsih melanggaratau tidak mentaati norma-
norma moral tersebut. Seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik
karena tugas pemimpinadalah tugas yang cukup berat karena kita harus
menjadi pemimpin yang berartimemimpin atau sesorang yang menjadi panutan
rakyatnya. Apabila seorangpemimpin memiliki perilaku buruk dan tidak bisa
bertanggung jawab atastugasnya bagaimana nasib rakyatnya yang ada berada
dibawahnya, bahwaseharusnya pemimpin memiliki moral yang baik dan patut
ditiru seperti yangsudah dicantumkan dalam legitimasi moral yaitu menjadi
seorang pemimpinharus memiliki kejujuran dan ketulusan walaupun sah secara
konstitusional tetapiapabila melakukan korup berarti seorang pemimpin tersebut
sudah kehilanganlegitimasi moralnya. Dan disinilah rangkaian protes akan
bermunculan untukmemperjuangkan hak rakyat karena sudah dikhianati oleh
pemimpinnya sendirikarena manusia bukan hanya ingin makan dan minum lalu
memiliki atap tetapijuga ingin di pertanggung jawabkan oleh pemimpinnya atas
janji-janjinya yangdiberikan selama kampanye, menjadi pemimpin yang baik

23
harus bisa menerapkanlegitimasi moralnya secara baik dan benar bukan hanya
menunjukkan moralbaiknya ketika dalam kampanye saja.
Sebenarnya menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah maka
dariitu ketika salah satu orang yang sudah diberikan kepercayaan tetapi tidak
bisaamanah akan apa yang sudah sepenuhnya dipercayakan oleh masyarakat
itulahyang membuat masyrakat sering kali melakukan aksi demo karena
memang moralseorang pemimpin di masa kini sangat sedikit yang dapat
bersikap sesuai denganbagaimana kaidah pemimpin itu seharusnya. Dalam
legitimasi moral sudahdijelaskan bahwa seorang pemimpin rakyat harus
memiliki sikap kebijaksaan dankejujuran dari pemimpin, harapan masyrakat di
Indonesia hanya ingin memilikipemimpin yang bisa menepati janji-janjinya pada
saat kampanye dan jugamenjauhkan dari perilaku korup atau serakah pada
rakyat kecil.
Legitimasi merupakan hal yang sangat penting dan menjadi
pembahasan dimana Platodan Aristoteles menyatakan bahwa negara
memerlukan legitimasi yang mutlak untuk untukmendidik rakyat dengan nilai-
nilai moral. Nilai-nilai moral ini terbentuk dari pribadi individumasing-masing,
karena setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda maka moralyang
dimiliki setiap orang juga berbeda-beda.
Moral sendiri berkaitan dengan sesuatu yangbaik dan yang
buruk.Legitimasi moral pun memperhatikan andil rakyat dalam memutuskan
sesuatu hal.Dimana ketika seorang pemimpin membuat keputusan ataupun
kebijakan rakyat bisamenolak ataupun menerima keputusan tersebut. Dalam
hal ini seorang pemimpin ataupunpemerintah harus bisa berempati pada rakyat
dengan cara memberi perlindungan hak dasarmansuia terutama kaum yang
dianggap lemah. Pada saat ini pemerintah kurang tanggap dankurang
memahami keinginan masyarakat lewat bentuk protes mereka. Seharusnya
pemerintahharus cepat dan tanggap dalam memahami keinginan dan
keresahan yang dirasakan olehrakyat.
Pada saat ini banyak kasus yang berkaitan dengan kehilangan legitimasi
moralnyaseperti kasus korupsi dikarenakan sudah di cap moralnya tidak baik.
Padahal seharusnya paratokoh politik bisa menjadi panutan bagi rakyatnya
bukan malah memberi contoh buruk yangtidak pantas untuk ditiru. Korupsi
sendiri telah banyak dijumpai di negara kita yaitu negaraIndonesia, bahkan
sudah biasa ketika kita melihat kasus korupsi yang sedang hangatdiberitakan.
Para tokoh politik pun pada akhirnya memikirkan kesengan pribadinya
sendiritanpa berpikir apa yang telah dikorupsi itu merupakan uang rakyat.
Mereka tidak berpikirdengan tindakan dan perbuatannya akan merugikan
dirinya sendiri baik diwaktu sekarangatau di masa depan.
Mereka akan kehilangan legitimasi moral nya dan kurang dipercaya
lagimengemban tanggung jawab dikemudian hari.Kesegeraan dalam
menanggapi tuntutan rakyat harus dipertegas. Jika perlindungandan
kesejahteraan yang harusnya didapat oleh rakyat Indonesia kurang
diperhatikan itumerupakan gambaran pemimpin kurang berhasil bertanggung
jawab.

24
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
 Legitimasi merupakan perkara dasar yang sangat penting bagi
seorang pemimpin, tanpa legitimasi sangat sulit bagi seseorang bisa
meneruskan kepemimpinannya. Tanpa legitimasi bahkan mustahil
bagi pemerintah untuk menerapkan undang-undang dan
membangun sebuah negara. Sumber legitimasi dan cara
memperoleh legalitas juga permasalahan yang tidak kalah penting
untuk dibicarakan dari legitimasi itu sendiri.

 “Dalam beberapa literatur Ilmu Politik, konsep legitimasi berkait erat


dengan kewenangan. Letak perbedaanya sederhana, kewenangan
berkaitan dengan otoritas seseorang melakukan atau memutuskan
sesuatu yang mengandung legitimasi di dalamnya, sedangkan
legitimasi adalah sikap timbal balik terhadap otoritas tersebut.
Dengan kata lain, legitimasi terletak pada suatu pemaknaan atas
keabsahan kepada suatu rezim atau sistem kekuasaan”
 Semua masyarakat tradisional disusun secara hierarkis, dan
susunan hierarkis itu sepenuhnya terlegitimasi dalam rangka sistem
kepercayaan masyarakat itu. Menjadi jelas bahwa negara harus
punya raja.
 Pada legitimasi dan kekuasaan modern demokrasi hanya ada bila
syarat-syarat obyektif –politik, ekonomi, sosial, dan budaya –bisa
berfungsi dan tugas memerintah hanya dapat dijalankan oleh sebuah
elit karena untuk memimpin dan memerintah diperlukan keahlian
tertentu

3.2  Saran
Makalah ini tersusun dari berbagai referensi dan masih sangat
memiliki banyak kekurangan baik dalam segi materi dan penyajiannya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan karya ini akan
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca. Kritik
dan saran yang bersifat membangun juga sangat diharapkan demi
terwujudnya kesempurnaan penyelesaiannya kelak.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bdk. F. Budi Hardiman, 2007, ”Machiavelli dan Seni Berkuasa” dalam


Filsafat Politik (diktat), Jakarta : STF Driyarkara, hlm. 26.

Budi Hardiman, F. Filsafat Modern:Dari Marchiavelli sampai Nietzsche.


Gramedia:Jakarta, 2007. Hlm. 18-19.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Hardiman, F. Budi.. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche.


Jakarta : Gramedia. 2007

Hardiman, F. Budi. Filsafat Politik (diktat). Jakarta: STF Driyarkara. 2007.

Hardiman, F. Budi. 2001. “’Politik’ dan ’Antipolitik’: Hannah Arendt Tentang


Krisis Negara” dalam Atma nan Jaya, Tahun XV, No. 3. Jakarta : Lembaga
Penelitian Atmajaya.

Hardiman, F. Budi. 2002. ”Membaca ’Teks Negatif’ Hannah Arendt” dalam

Rapar, J. H.  Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus,


Marchiavelli.Grafindo Persada: Jakarta, 2002.

Rapar, J.H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli. Op


Cit. Hlm. 441.

Sularto, ST. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat. Jakarta:


Kompas. 2003

Alonso, Sonia,  Keane, John and Merkel, Wolfgang. 2011. The Future of
Representative Democracy. New York: Cambridge University Press.

Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta :


Fisipol Universitas Gadjah Mada.

Heywood, Andrew. 2013. Politik. edisi ke empat; dalam bahasa Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hermawan, Eman. 2001. Politik Membela yang Benar: teori, kritik, dan nalar.
Yogyakarta: Klik dan DKN Garda Bangsa,

Surbakti, Ramlan. 2009. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Ballestrem, Karl Graf, Kuasa dan Moral, Muncher, Minerva Publications, 1986.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


2006.

26
Dahl, Robert A. Democracy and Its Critics, New Haven: Yale University Press,
1998.

de Tocqueville, Alexis. Democracy, The Unfinished Journey, Oxford 508 BC to


1993 AD, University Press, 1992.

Gaffar, Afan “Demokrasi Politik”, paper dalam Seminar Perkembangan


Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Jakarta: Widya Graha –LIPI, 1993.

Dewantara, A (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.


https://www.cnbcindonesia.com/news/20190926081224-4-102313/simak-
sederet-pasal-kontroversial-ruu-kuhp--kpk/2

https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

27

Anda mungkin juga menyukai