Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMBAGIAN KEKUASAAN

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Negara)

Dosen Pengampu:
Fahril Umarah, S.H., M.H.

Disusun oleh Kelompok 6:

1. Ardinta Hidayatul Umam (103210073)


2. Ulul Hasanah (103210062)
3. Wahdiny Alindra ‘Afwany (103210063)
4. Wahyu Aulia Zahro (103210064)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahanrahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah sederhana
ini, meskipun sangat jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam tak lupa pula
saya haturkankepada keharibaan jjunjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta kita umat beliau hingga akhir zaman.

Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam. Selain itu juga untuk menambah
wawasan para pembaca mengenai Pembagian Kekuasaan.

Akhirnya, penulis berharap semoga makalah sederhana ini berguna bagi


pembaca. Kritik dan saran yang selalu membangun selalu penulis harapkan demi
perbaikan makalah ini. Segala sesuatu yang benar itu datangnya dari Allah, dan
yangsalah itu berasal dari penulis sendiri. Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ponorogo, 13 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................3
A. Pengertian Pembagian Kekuasaan........................................................3
B. Perkembangan Konsep Pembagian Kekuasaan (Trias Politika)...........4
C. Konsep Pembagian Kekuasaan (Trias Politika) di Indonesia...............8
D. Pembagian Kekuasaan Horizontal dan Vertikal...................................12
BAB III : PENUTUP......................................................................................17
A. Kesimpulan...........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap negara memiliki bentuk dan sistem kenegaraan yang berbeda-
beda. Kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi
perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Menurut Max Weber,
“Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun
dasar kemampuan ini.” Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan
yang deinisinya sudah menjadi rumusan klasik: Kekuasaan adalah suatu
hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan
tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.1
Sementara itu, kekuasaan negara merupakan kewenangan suatu negara
untuk mengatur seluruh rakyatnya untuk mencapai keadilan, kemakmuran dan
keteraturan yang diinginkan. Dalam penyelenggaraan negara banyak sekali
sistem juga bentuk negara yang berbeda-beda. Beberapa ahli perpendapat
bahwa kekuasaan dibagi dan dipisahkan khususnya kekuasaan negara. Hal
tersebut menitik beratkan bahwa dengan adanya pembagian kekuasaan akan
memudahkan dalam penyelenggaraan negara serta dapat menjadi pengawasan
penyelenggara negara/ kekuasaan agar tidak berlaku sewenang-wenang.
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga
kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang
lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga
Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain,
hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan
kekuasaan. Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian
kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang
diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan

1
Erfandhiarta, M.P 2022 ”Kekuasaan” (Power Point Slides).

1
kenegaraan yang ada yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK).2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang dapat
ditarik adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan pembagian kekuasaan?
2. Bagaimana sejarah perkembangan pembagian kekuasaan?
3. Bagaimana konsep pembagian kekuasaan (Trias Politika) di
Indonesia?
4. Bagaimana pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa itu kekuasaan.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pembagian kekuasaan.
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai konsep pembagian
kekuasaan (Trias politika) di Indonesia.
4. Untuk mengetahui dan memahami pembagian kekuasaan secara
horizontal dan vertikal.

2
Rika Marlina, Pembagian Kekuasaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia,
Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, Maret 2018, h. 170.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembagian Kekuasaan


Pembagian kekuasaan adalah sebuah prinsip di mana kekuasaan di
dalam negara sebaiknya tidak diserahkan kepada orang atau satu badan saja.
Konsep pembagian kekuasaan juga sering disebut Trias Politika. Trias Politika
pertama kali dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu. Pembagian
kekuasaan menurut John Locke adalah suatu pembagian kekuasaan di dalam
negara ke dalam tiga bagian kekuasaan.3
Menurut John Locke kekuasaan itu dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu :4
1. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat peraturan dan Undang-
undang.
2. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan Undang-undang yang
ada di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili.
3. Kekuasaan federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat
aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Sementara itu, Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan
membedakannya dalam tiga bagian pula meskipun ada perbedaan dengan
konsep yang disampaikan John Locke, yaitu :
1. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang.

3
Monica Ayu, "Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke dan Montesquieu", 2016
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005).

3
2. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang
(tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar
negeri).
3. Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undang-
undang.
Dari dua pendapat ini ada perbedaan pemikiran antara John Locke
dengan Montesquieu. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam
kekuasaan eksekutif, sementara Montesquieu memandang kekuasaan
pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.5 Adanya
pemisahan kekuasaan dalam negara diatur dalam hukum dasar dari suatu
negara yaitu Undang-undang Dasar atau Konstitusi. Konstitusi atau UUD
merupakan dokumen negara yang memuat hal-hal pokok penyelenggaraan
negara.
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa pada dasarnya konstitusi
mengandung hal-hal sebagai berikut ; Pertama, public authority hanya dapat
dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi; Kedua, pelaksanaan kedaulatan
rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip
universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif harus melalui
pemilihan yang demokratis; Ketiga, adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan serta pembatasan wewenang; Keempat, adanya kekuasaan
kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik
terhadap rakyat maupun terhadap penguasa; Kelima, adanya sistem kontrol
terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan hukum dan menghormati
hak-hak rakyat; Keenam, adanya jaminan perlindungan atas HAM.6

B. Perkembangan Konsep Pembagian Kekuasaan (Trias Politika)


Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di
Perancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu: (1) fungsi
diplomacie; (2) fungsi defencie; (3) fungsi financie; (4) fungsi justicie; dan (5)
5
Ibid.
6
Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia: Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 421.

4
fungsi policie.”7 Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya “Two
Treatises on Civil Goverment” (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi
kekuasaan negara itu dibaginya menjadi tiga, yaitu (1) fungsi legislatif, (2)
eksekutif, (3) fungsi federatif (hubungan luar negeri), yang masing-masing
terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam
fungsi eksekutif atau pemerintahan. John Locke memandang mengadili itu
sebagai uitvoering, yaitu termasuk pelaksanaan Undang-undang.
Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut
pemikiran John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The
Spirit of the Law). Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias
Politika didasarkan pada sifat despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun
suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin
haknya. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang,
yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik
mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang
ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim,
karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu
dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan
untuk membuat Undang-undang. Kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan Undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri),
sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran
Undang-undang.8
Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat
dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau
badan tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya

7
Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 29.
8
Y Hermawan, BAB II: Tinjauan Umum Tentang Pembagian Kekuasaan Negara, Lembaga-
lembaga Negara, dan Sistem Pemerintahan di Indonesia, Universitas Islam Indonesia, 2016 dalam
jurnal https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1401/05.bab2.pdf. (Diakses pada 15
Oktober 2022, pukul 13.00), h, 22-28.

5
“kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu
orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan
menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri
dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata,diserahi menyelenggarakan
ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat Undang-undang,
menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili perrsoalan-
persoalan antara individu-individu”.
Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang
tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu
terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa di istilahkan
dengan catur praja, yaitu (1) fungsi regeling (pengaturan); (2) fungsi bestuur
(penyelenggaraan pemerintahan); (3) fungsi rechtsspraak atau peradilan, dan
(4) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.
Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan
dwi praja, yaitu (1) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan
(2) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun,
pandangan yang paling berpengaruh di dunia adalah seperti yang
dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara
yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial. “
Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan
dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E.
Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu
mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan di bawah
pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini
mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui
batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum
modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara
mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi.9

9
Ibid.

6
Miriam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang
sedang berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi
demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek
kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak
dapat dipertahankan lagi. Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern
mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare
State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalan fungsi secara
tepat, cepat, dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada. Dengan
kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara semakin kompleks dan rumit
sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara
otonom oleh negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerjasama antar
lembaga negara yang ada.
Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang
pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat
pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan
kebutuhan nyata, baik faktor faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di
tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang
semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta
institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya. Negara
melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation)
melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan
efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar
terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council),
komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otoritas
(authority).10
Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan
rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan
terkonsentrasi tidak deregulasi, tidak dapat lagi diandalkan. Oleh karena itu,
muncul gelombang debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan
dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya

10
Ibid.

7
melekat dalam fungsi-fungsi lembaga lembaga eksekutif, legislatif, dan
bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat
independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang
menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat
independen (independent bodies) atau quasi independent.
Konsep Trias Politika yang disampaikan Montesquieu tidak relevan
lagi saat ini, mengingat tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi
tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi
kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan
antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan
bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain
sesuai dengan prinsip checks and balances.11
Oleh karena keadaan yang tersebut di atas, maka ada kecenderungan
untuk menafsirkan Trias Politika tidak lagi sebagai “pemisahan kekuasaan”
(se paration of powers), tetapi sebagai “pembagian kekuasaan” (division of
powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan
menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands),
tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap
diperlukan untuk kelancaran organisasi.12

C. Konsep Pembagian Kekuasaan (Trias Politika) di Indonesia


Ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit
mengatakan bahwa doktrin Trias Politika dianut, tetapi karena ketiga Undang-
undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politika dalam arti pembagian
kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-undang Dasar
1945. Misalnya Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab VII
tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama
11
Ibid.
12
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
h. 286.

8
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh
Presiden dibantu oleh menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain lain badan kehakiman.13
Oleh karena sistem pemerintahannya adalah presidensial, maka kabinet
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena
itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa jabatan
nya. Sebaliknya, Presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana halnya dalam sistem parlementer di India dan Inggris.
Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk dan
bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, di mana ia
menjadi mandatarisnya. Para menteri tidak dibenarkan menjabat anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, pada garis besarnya, ciri-ciri Trias Politika
dalam arti pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Akan tetapi dalam masa Demokrasi Terpimpin ada usaha untuk mening
galkan gagasan Trias Politika. Pemikiran ini jelas dari ucapan-ucapan presiden
Indonesia masa itu, Ir. Soekarno, antara lain pada upacara pelantikan menteri
kehakiman pada 12 Desember 1963 yang menyatakan bahwa setelah kita
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Trias Politika kita tinggalkan sebab
asalnya datang dari sumber-sumber liberalisme Penolakan asas Trias Politika
selanjutnya dituang dalam bentuk yang lebih resmi, yaitu dalam Undang-
undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, di mana Penjelasan Umum berbunyi: “Trias Politika tidak
mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia.
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan
atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal yang tertentu”.
Jelaslah bahwa Undang-undang ini sangat bertentangan dengan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen (mengenai
Pasal 24 dan Pasal 25) yang mengatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan

13
Ibid. h. 287-291.

9
pemerintah”. Penolakan asas Trias Politika juga kelihatan dalam kedudukan
anggota dewan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diberi kedudukan sebagai
menteri, sehingga dengan demikian kedudukan anggota pimpinan ini menjadi
kabur, karena selain menjadi bagian dari badan legislatif, juga menjadi bagian
dari badan eksekutif. Juga jabatan Ketua Mahkamah Agung diberi status
menteri dan dengan demikian ia juga menjadi pembantu pemerintah.14
Dalam masa Orde Baru kepincangan-kepincangan ini telah diluruskan
kembali; Undang-undang No. 19 Tahun 1964 telah dicabut dan diganti de
ngan Undang-undang No. 14 Tahun 1970. Dalam Undang-undang ini istilah
Trias Politika tidak disebut secara eksplisit, tetapi prinsip kebebasan hakim
telah dihidupkan kembali. Dari Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dapat di
tarik kesimpulan bahwa kita pada garis besarnya telah kembali ke asas Trias
Politika dalam pengertian sebagai pembagian kekuasaan. Setelah tahun 1970,
pemerintahan Orde Baru menjadi semakin otoriter. Dalam kaitannya dengan
prinsip pembagian kekusaan, Presiden Soeharto tetap membedakan
keberadaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hanya saja, yang
terjadi pada saat itu adalah executive-heavy di mana peran lembaga eksekutif
sangat mendominasi, sedangkan peran dan fungsi dari lembaga legislatif dan
yudikatif tidak berkembang sebagaimana mestinya.15
Executive-heavy ini sejalan dengan semakin otoriternya Presiden
Soeharto sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Selama 32 tahun
Orde Baru, Soeharto secara sistematis meminimalisir fungsi dan peran
lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, kehakiman, dan Mahkamah Agung
untuk mengikuti kebijakan dan aturan yang ditetapkan olehnya. Dengan kata
lain, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden Soeharto menjelma
menjadi kekuatan baru yang “membawahkan lembaga legislatif dan yu dikatif.
Kekuatan baru yang dibangun Presiden Soeharto ini ditopang oleh birokrasi-
sipil dan militer-dan Golkar.
14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
h. 287-291.
15
Ibid.

10
Beberapa contoh pelaksanaan executive-heavy pada masa Orde Baru,
misalnya, Presiden dapat dipilih kembali tanpa batas oleh MPR. Lembaga
legislatif dan yudikatif tidak dapat melakukan check and balances terhadap
lembaga eksekutif. Hal ini diperlihatkan misalnya dengan DPR menyetujui
semua rancangan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, DPR jarang sekali menggunakan perannya sebagai partner
pemerintah yang juga berhak mengajukan rancangan undang-undang. Check
and balances juga tidak dapat dilakukan oleh lembaga yudikatif, lembaga
peradilan dan kehakiman; bahkan Mahkamah Agung seolah-olah berada di
bawah dan dikuasai oleh lembaga eksekutif.
Tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 membawa banyak perubahan
terhadap pelaksanaan check and balances di Indonesia. Salah satu bentuk per
ubahan tersebut adalah penataan kembali peran dan fungsi lembaga-lem baga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Empat amandemen UUD 1945 yang telah
dilakukan tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 merupakan dasar hukum bagi
pengembalian fungsi pembagian kekuasaan Trias Politika dan pelaksa naan
check and balances tersebut. Sayangnya, penataan peran dan fungsi ini
berakibat pada terjadinya legislative-heavy.
Tiga pemerintahan pada masa reformasi-B.J. Habibie, Abdurrahman
Wahid, dan Megawati Soekarnoputri-memperlihatkan pengurangan dominasi
lembaga eksekutif dan peningkatan peran lembaga legislatif dan yudikatif.
Sidang Umum MPR pada tahun 1999 mengeluarkan TAP untuk
mengamandemen pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden dan wakil
presiden. Bila sebelumnya jabatan presiden dan wakil presiden tidak dibatasi
(dalam arti dapat dipilih kembali tanpa batas waktu), berdasarkan amandemen
pertama UUD 1945, presiden dan wakil presiden dibatasi jabatannya dalam
waktu 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan. Keputusan MPR untuk membatasi masa jabatan eksekutif mem
perlihatkan berfungsinya kembali MPR dalam memberikan dasar aturan bagi
jalannya sebuah pemerintahan. Hal ini juga berarti MPR melakukan check and

11
balances agar eksekutif tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan
yang dimilikinya.16
Sementara itu untuk mengembalikan kekuasaan, kewenangan, peran
dan fungsi lembaga legislatif, amandemen kedua (Agustus 2000) dan ketiga
(Oktober 2001) UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua anggota MPR
haruslah dipilih melalui pemilihan umum. Selama ini pengangkatan anggota
MPR ini merupakan salah satu sumber masalah di mana anggota keluarga
besar dan rekanan bisnis Soeharto, menteri-menteri di kabinet, dan militer
dapat menjadi anggota MPR. Sistem kekeluargaan dan kekerabatan dalam
MPR menjadikan lembaga legislatif ini tidak mampu memproduksi ketetap
an-ketetapan MPR yang mengontrol jalannya eksekutif.
Masih dalam kaitannya dengan mengembalikan kekuasaan,
kewenangan, peran dan fungsi lembaga legislatif, terutama amandemen ketiga
UUD 1945 mengamanatkan peningkatan kekuasaan DPR dalam pembuatan
UU. DPR yang pada masa Orde Baru hanya memberikan persetujuan terhadap
RUU yang diajukan oleh pemerintah, pada masa reformasi ini DPR juga
berhak mengajukan usul RUU dan RUU ini dibahas DPR bersama presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Bertambahnya peran DPR ini dapat
dilihat pula pada tambahan pasal 20 ayat 5 di mana dinyatakan bahwa RUU
yang sudah disetujui bersama tapi tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
30 hari sejak disetujui, dianggap sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Meningkatnya peran DPR, juga diikuti oleh meningkatnya peran
lembaga yudikatif. Salah satu contoh meningkatnya peran lembaga ini ialah
dengan didirikannya Mahkamah Konstitusi (amandemen UUD keempat,
Agustus 2002). Lembaga ini merupakan salah satu kekuasaan kehakiman di
Indonesia yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
keputusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Peran yang
memperlihatkan peningkatan kewenangan lembaga ini adalah Mahkamah
Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan

16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
h. 287-291.

12
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
Dengan begitu, kewenangan check and balances dikembalikan kepada
lembaga ini.17

D. Pembagian Kekuasaan Horizontal dan Vertikal


1. Pembagian Kekuasaan secara Horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian
kekuasaan menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif
dan yudikatif). Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara horizontal pembagian kekuasaan negara di lakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan pada
tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara lembaga lembaga negara
yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan pusat
mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pergeseran yang dimaksud adalah
pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga
jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) menjadi enam
kekuasaan negara yaitu:18
a. Kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan untuk mengubah dan
menetapkan Undang-undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-
undang dan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Kekuasaan ini
dipegang oleh Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

17
Ibid.
18
Rika Marlina, Pembagian Kekuasaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia,
Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, Maret 2018, h. 175

13
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.
c. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-
undang. Kekuasaan ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
d. Kekuasaan yudikatif atau disebut kekuasaan kehakiman, yaitu
kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Kekuasaan ini dipegang oleh Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24
ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
e. Kekuasaan eksaminatif/inspektif, yaitu kekuasaan yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23E ayat
(1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang
bebas dan mandiri.
f. Kekuasaan moneter, yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di
Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23D UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara

14
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam Undang-undang.
Pembagian kekuasaan secara horizontal pada tingkatan
pemerintahan daerah berlangsung antara lembaga-lembaga daerah yang
sederajat, yaitu antara Pemerintah Daerah (Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada tingkat
provinsi, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah provinsi
(Gubernur/wakil Gubernur) dan DPRD provinsi. Sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah
Kabupaten/Kota (Bupati/wakil Bupati atau Walikota/wakil Walikota) dan
DPRD kabupaten/kota.19

2. Pembagian Kekuasaan secara Vertikal


Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan
ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal di negara
Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
(pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota). Pada
pemerintahan daerah berlangsung pula pembagian kekuasaan secara
vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan pusat. Hubungan antara
pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin dengan
koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam
bidang administrasi dan kewilayahan.20
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi
dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan

19
Ibid.
20
Ibid, h. 177.

15
wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan
pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan
fiskal.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemberian otonomi kepada daerah bertujuan meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam
pelaksanaan kepada masyarakat maupun meningkatkan kestabilan politik
dan kesatuan bangsa.21

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Monica Ayu, Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke dan Montesquieu,


2016.

Mahfud MD, Moh. Demokrasi dan Konstitusi Indonesia: Studi Tentang


Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.

21
Ibid.

16
Asshidiqqie, Jimly, Perkembangan dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 29.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 2005.

M.P., Erfandhiarta. 2022 Kekuasaan (Power Point Slides).

Hermawan, Y. BAB II: Tinjauan Umum Tentang Pembagian Kekuasaan


Negara, Lembaga-lembaga Negara, dan Sistem Pemerintahan di
Indonesia, Universitas Islam Indonesia, 2016 dalam jurnal
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1401/05.bab2.pdf
. (Diakses pada 15 Oktober 2022, pukul 13.00).

Marlina, Rika. Pembagian Kekuasaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


di Indonesia, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, Maret 2018.

17

Anda mungkin juga menyukai