Anda di halaman 1dari 13

PEMINDAHAN KEKUASAAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYEKH ALI HASAN AHMAD AD-DARY

PADANGSIDIMPUAN

OLEH:

1.DINA RACHEL RAMADANI

2.WINDA KURNIA TARMIJI

DOSEN PENGAMPU:

PEBRIANI LUBIS M.H

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYEKH ALI HASAN AHMAD AD-DARY

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah SWT karena tanpa Rahmad dan Ridhonya kami tidak akan dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Serta shlawat bertangkaikan salam ke ruh nabi besar kita yakni Nabi besar Muhammad SAW
yang berlafazkan allahummashalli a’la sayyidina Muhammad wa a’ala ali sayyidina Muhammad.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Pebriani lubis M.H selaku dosen pengampu
mata kuliah Ilmu Negara yang membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini .

Mungkin jika banyak kesalahan ataupun kekeliruan dalam makalah ini kami mohon maaf kepada
ibu serta teman-teman sekalian kiranya member masukan dan kritiknya.Terimakasih.

i
DAFTAR ISI

1PENDAHULUAN………………………………………………………………………………...

2.PENGERRTIAN PEMISAHAN KEKUASAAN………………………………………………

3.FASE PRA PEMISAHAN KEKUASAAN…………………………………………………….

4.NEGARA-NEGARA YANG MENGANUT PEMISAHAN KEKUASAAN…………………

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Prinsip pemisahan kekuasaan dikembangkan oleh dua pemikir besar dari Inggris dan Perancis,
John Locke dan Montesquieu. Konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh dua pemikir besar
tersebut kemudian dikenal dengan teori Trias Politica. Menurut John Locke kekuasaan itu dibagi dalam
tiga kekuasaan, yaitu :

a. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat peraturan dan undangundang.

b. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang ada di dalamnya


termasuk kekuasaan untuk mengadili.

c. Kekuasaan federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam
hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut
hubungan luar negeri).

Sementara itu Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan membedakannya dalam tiga
bagian pula meskipun ada perbedaan dengan konsep yang disampaikan John Locke, yaitu :

a. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang.

b. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang (tetapi oleh


Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri).

c. Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undangundang

Dari dua pendapat ini ada perbedaan pemikiran antara John Locke dengan Montesquieu. John
Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sementara Montesquieu
memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.2 Menurut
Montesquieu dalam setiap pemerintahan tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik
mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yangmelakukannya. Menurut
ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi, antara yang satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan artinya ketiga kekuasaan
itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya.3 Terkait dengan
teori pemisahan, Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris dan ia menyatakan ; ketika
kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang sama,
maka tidak ada kebebasan. Sekali lagi tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman tidak
dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dan pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat
menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu
menetapkan hukum, manjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau perselisihan
para individu.
1

Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara diatur dalam hukum dasar dari suatu negara yaitu
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Konstitusi atau UUD merupakan dokumen negara yang memuat
hal-hal pokok penyelenggaraan negara. Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa pada dasarnya konstitusi
mengandung halhal sebagai berikut ; Pertama, public authority hanya dapat dilegitimasi menurut
ketentuan konstitusi; Kedua, pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan
menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan
yang demokratis; Ketiga, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang;
Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik
terhadap rakyat maupun terhadap penguasa; Kelima, adanya sistem kontrol terhadap militer dan
kepolisian untuk menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat; Keenam, adanya jaminan
perlindungan atas HAM.
A.Pengertian kekuasaan

Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely merupakan sebuah dalil Lord Acton
yang berarti ”manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu,
tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya”. Dalil ini
menggambarkan pentingnya pembatasan kekuasaan dan pemisahan kekuasaan agar kekuasaan tidak
berada dalam satu pihak yang absolut dan berujung pada kesewenang-wenangan.

B.Pemisahan kekuasaan
(bahasa Inggris: separation of powers, bahasa Belanda: scheiding der machten) merupakan
konsep pembagian kekuasaan pemerintah dalam suatu negara menjadi bercabang-cabang. Masing-masing
cabang mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab yang terpisah dan independen, sehingga kekuasaan
satu cabang tidak bertentangan dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Pada umumnya, kekuasaan
negara dibagi menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini disebut juga
model trias politica. Konsep ini dapat dipertentangkan dengan fusi kekuasaan dalam
sistem parlementer dan semi-presidensial, yang membuat terjadinya tumpang tindih dalam keanggotaan
dan fungsi antara cabang-cabang kekuasaan yang berbeda.

B.Fase pra pemisahan kekuasaan

Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara, seluruh kekuasaan yang ada dalam
negara dilaksanakan olehraja. Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perangberkepanjangan
menyebabkan para raja tersebut menarik pajakyang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan
keuanganpada para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal parlemen di beberapa negara.
Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di dunia yang
diformasi pada tahun 12651 , dan juga Prancis, dimana Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun
1789 terpaksa memanggil kembali States-general yang tidak pernah bersidang lagi pada tahun 1614.2
Pemisahan kekuasaan harus dilaksanakan karena seperti dikatakan oleh Montesqiue, “when the legislative
and executive power are united in the same person,or in the same body of magistrates,there can be liberty

Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan dalam negara adalah John
Locke dalam bukunya Two Treaties on Civil Government (1690). Pada bab XII buku tersebut yang
berjudul the Legislative, Executive, and Federative Power of the Commenwealth, John Locke
memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara dalamkekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke
sendiri kemudian menandaskan bahwa legislatif merupakan lembaga yang dipilih dan disetujui oleh
warga (chosen and appointed), berwenang membuat undang-undang, dan merupakan kekuasaan tertinggi
dalam sebuah negara. Kekuasaan legislatif tidak perlu dilsakanakan dalam sebuah lembaga yang
permenen, selain karena bukan merupakan pekerjaan rutin, juga dikhawatirkan adanya penyimpangan
kekuasaan jika dijabat oleh seseorang dalam waktu yang lama.

Diilhami oleh pendapat John Locke tersebut, Montesqieu dalam buku The Spiriti of Law (1748)
pada bab XI menulis tentang Konstitusi Inggris.

2
Montesqieu memisahkan 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaaneksekutif, dan
kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif memiliki kekuasaan membuat, mengubah, dan menghapus
undang-undang; kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yangmenyatakan perang atau damai,
mengirimkan atau menerima duta, menjamin keamanan umum serta menghalau musuh yangmasuk;
sedangkan kekuasaan yudisial memiliki kekuasaan menghukum para penjahat atau memutuskan
perselisihan yangtimbul diantara orang perseorangan.5 Berbeda dengan JohnLocke, yang memasukkan
kekuasaan yudisial dalam kekuasaaneksekutif, Montesqieu mamandang kekuasaan yudisial sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri.

Persamaan antara teori yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesqieu adalah bahwa
kekuasaan dalam negara tidakdiperbolehkan hanya dimiliki oleh satu orang atau satulembaga. Persamaan
lainnya tentang adanya kekuasaanlegislatif dan eksekutif dalam negara, yang masing-masingsecara umum
memiliki kekuasaan membuat undang-undangdan melaksanakan undang-undang. Sementara itu,
perbedaanpemikiran John Locke dengan Montesqiue yang paling pentingmencakup 3 (tiga) hal.

Pertama, John Locke membagi kekuasaan dalam negara atas legislatif, eksekutif, dan federatif
dan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara; sedangkanMontesqieu
membaginya dalam legislatif, eksekutif, dankekuasaan yudisial, di mana kekuasaan federatif menurut
Montesqiue dikategorikan sebagai bagian dari kekuasaaneksekutif. Kedua, Montesqieu memisahkan
secara tegas masing-masing cabang kekuasaan, eksekutif hanya mempunyai bagian dalam pemformasian
undang-undang berupa menolak (the power of rejecting), sedangkan menurut John Locke kekuasaan
eksekutif ikut membahas dan menyetujui undang- undang. Ketiga, Montesqieu menjelaskan secara rinci
tentang parlemen baik dari fungsi, struktur organsiasi, dan sistempemilihannya.

pemilihannya. Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh


Montesqieu dikembangkan lebih lanjut sebagaimana dilihat dalam konstitusi Amerika Serikat yang
dikenal sebagai checks and balnces. Oleh Immanuel Kant, ajaran Monestqieu tadi dalam banyak literatur
hukum dan politik di Indonesia dikenal sebagai ajaran Trias Politica. Menurut Moh. Mahfud M.D., ajaran
Trias Politica ini kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang berbeda- beda.

Pembicaraan mengenai pemisahan kekuasaan dapat diawali dengan konstitusi. Menurut James
Bryce, sebagai suatu hukumdasar, konstitusi suatu negara “the form of its government and the respective
rights and duties of the government towards the citizens and of the citizens towards the
government.Konstitusi menyediakan suatu “restraints on theexercise of political power for the purpose of
protecting basic human rights and privileges. Tetapi, suatu negara yang mempunyai konstitusi tidak serta
merta melekatkan sifat penghormatan konstitusionalisme. Bagaimana pun, “Constitutional government
needs much more than a well-writtenconstitution. Dalam konteks ini, seperti ungkapan BrainTamanaha,
bahwa “positive law is not always the primary source of political power.

3
Pada tataran praktis, “there is substantial disagreement about exactly what sort of fundamental law a
constitution is and about what gives it its normative force. Sehubungan dengan hal ini, maka
kajianmengenai kaidah konstitusi suatu negara “could be understoodessentially as a theoretic of higher
law grounded in the power of uniquely constituted and inward-looking political communities Dalam
pandangan kaum positivis seperti Hart, mengartikankonstitusi sebagai “a rule of recognitionas, in other
words, asocio-cultural fact, binding insofar as it has beenaccepted. Tetapi paham demokrasi deliberatif
seperti argumen Immanuel Kant mengatakan bahwa konstitusi merupakan “atranscendent rule of right
reason, regulative and binding as such.Sementara dari kalangan legislatif, suatu konstitusi merupakan
“defines the substantive and procedural limits on lawmaking. Oleh sebab itu, konstitusi dalam suatu
negara merupakan “the proper share of work to eah and every part of the organism of the State, and thus
maintains a proper connection between the different parts.

Menarik untuk disimak, bahwa sementara pakar menegaskan bahwa asal usul konstitusi adalah
pengakuan demokrasi, sedangkan demokrasi sendiri merupakan “is an attractive way to organize the
country.Relasi konstitusi dengan demokrasi itu antara lain terwujud ke dalamketersediaan norma yang
mengakui fundamental rights dan upaya hukum yang ada untuk penuntutan pemenuhannya.

Dalam konteks inilah, konstitusi meneguhkan prinsip pemisahan kekuasaan. Peneguhan ini
dimaksudkan untuk “to avoidance of the tyranny of the individuals invoking state power, but not to the
regulation of the substantive ends for which that power might be invoked.Dalam konteks ini relevan apa
yang dikatakan oleh de Smith and Brazier, bahwa, “The doctrine of the separation of powers is
oftenassumed to be one of the cornerstones of fair government. Singkatnya, doktrin pemisahan
kekuasaanbertujuan untuk “to limit the concentration of power withinany one branch of government.
Prinsip pemisahankekuasaan sendiri dalam konstruksi filosofis dirumuskan sejakmasa Aristoteles, dan
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir John Locke dan Montesqiue selama abad ke-18dan
19.

Teori pemisahan kekuasaan berada dalam kerangka pembahasan “doctrine related to the division
of executive, legislative, and judicial power. Berbagai kajian mengenai pemisahan kekuasaan mencakup
“fundamental questions about the character, development, and proper operation of the overall system of
separated powers. Di Inggris, mekanisme pemisahan kekuasaan menampakkan “the pure doctrine of
unseparated powers”, di mana “a political movement need win only one election before gaining plenary
authority. Hal lain yang menentukan adalah PM’s ability to determine the time of the next election (with
only a five-year deadline constraining this decision). Dalam pandangan ilmuwan hukum dan politik di
Amerika Serikat, masalah pemisahan kekuasaan acap kali dikaitkan dengan legislative veto, executive
privelege, dan independensi negara bagian sehubungan dengan pemerintah pusat.Konstitusi Amerika
Serikat menentukan bahwa “that national powers are divided among three uniquely constitutedorgans of
government: Congress, the Presidency, and the Judiciary.

4
Selanjutnya dikatakan bahwa” The Constitutionalso incorporates a system of checks and
balances throughwhich the branches share in one another's powers. For example, the President shares in
the legislative function by virtue of his power to veto legislation. As the Court observed inMistretta v.
United States, "the greatest security against tyranny . . . lies not in a hermetic division among the
Branches, but in a carefully crafted system of checked and balancedpower within each Branch."

Konstruksi pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat merupakan reaksi terhadap sistem


pemeritnahan di Kerajaan Inggris. Hal ini seperti diidentifikasi oleh Brucke Ackerman sebagai berikut.

Generally, English-speaking critics of American separationism have looked to Great Britain as


the source of a competing model of democratic government. The modern British Constitution famously
concentrates lawmaking power in the House of Commons, giving the Prime Minister and her Cabinet
effective control over the legislative agenda. The real- world operation of this “Westminster model” has
provided critics with a club to batter American self-confidence. Given the British success in avoiding the
in-exorable slide into tyranny predicted by Madison and Montesquieu.

Sekali pun mendapatkan pengaruh Amerika Serikat, doktrin pemisahan kekuasaan yang dianut
oleh Jepang dalamKonstitusi (1947) tidak mencerminkan gaya presidensial33 , akan tetapi mendekati
sistem Westminter di Kerajaan Inggris.

Kasus di Jerman menunjukkan implementasi lain, ketika trauma dengan kekuatan Presiden Adolf
Hitler, Sekutumendiktekan konstitusi yang menghindari adanya pemilihanpresiden langsung.Sekali pun
masih menentukan penyusunankonstitusinya, Italia “were entirely unprepared to build apresidential
platform upon which future Mussolinis might vie for (democratic) preeminence.

Khususnya di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur, pemisahan kekuasaan dalam
desain konstitusi mereka menggambarkan suatu “outcomes as a distinctive blend of Western and socialist
ideas.Negara Spanyol misalnya, pasca kedikatatoran Franco, telah berhasil menyusun skema pemisahan
kekuasaan dengan meniru model Jerman.Pengalaman Brazil sampai era 1980-an, yang mengadopsi gaya
Amerika Serikat, memicu munculnya kediktatoran militer dan“had considerable success in leading the
constitutional convention to consider seriously a fundamental break with this system.

Model Prancis dan Amerika Serikat, yang mengadopsi sistem pemilihan presiden langsung
dipadukan dengan pemisahan tegas antara eksekutif dan legislatif menjadi model yang paling
berpengaruh di dunia dewasa ini. Sekali pun pengaruh itu, dalam pandangan Feature tidak selalu berjalan
mulus seperti kasus di Polandia pada dasawarsa pasca komunias 1990-an.41 Namun di Rusia, “the
American model has been invoked to justify grants of power that in many instances far exceed those
wielded by the American President.

Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan Amerika Serikat mengalami
kegagalan karena “their ‘founding fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this
system, not to guarantee personal freedom, but rather toestablish a strong executive power for the
purposesof preventing the disintegration of their newly independent states.

5
Implementasi sistem tersebut di negara kawasanAmerika Latin menunjukkan “the model of
governance concentrated around the executive power. Lagi pula, semenjak masa penjajahan Portugis dan
Spanyol, “almost all Latin American constitutions are provisions that permit bothdemocracy and
dictatorship. Hal ini diperparah juga dengankenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because
political leaders do not fear citizen mobilization whenfundamental rules of the game are violated.

Dari uraian tadi dapat diperoleh gambaran bahwa perbincangan mengenai pemisahan kekuasaan
umumnya bertumpu pada relasi eksekutif dan legislatif. Walaupunsesungguhnya percakapan “The
separation of powers involves not only presidents and parliaments, but also the constitutional status of
courts and administrative agencies.” 47 Pemisahankekuasaan terkait dengan sistem demokrasi yang
melekatkan kepada perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Brucke Ackerman
yang mengatakan bahwa: In one way or another, separation may serve (or hinder) the project of popular
self-government. The second ideal is professional competence. Democratic laws remain purely symbolic
unless courts and bureaucracies can implement themin a relatively impartial way. The third ideal is the
protection and enhancement of fundamental rights. Without these, democratic rule and professional
administration can readily become engines of tyranny.

Dalam pemisahan kekuasaan di Prancis, “The President is directly elected for a fixed term of
seven years but is obliged to appoint a Premier who has majority support in the National Assembly.” 49
Hanya saja karena Majelis Nasional (the National Assembly) harus diperbarui setiap lima tahun sekali,
maka ada kemungkinan ada perbedaan pengaruh kekuasaan Presiden dengan Perdana Menteri dalam
melaksanakan kekuasaan pemerintahan.

Ketika partai politik Presiden dominan dalam koalisi pemerintahan, maka Presiden mempunyai
kekuasaan yang besar seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Charles de Gaulle (1962-1969),
Presiden Georges Pompidou (1969-1974), Presiden Francois Mitterand (1981-1986), dan Presiden
Jacques Chirac (1995-1997). Akan tetapi jika koalisi mendukung Presiden akan tetapi Presiden tidak
mengendalikan koalisi, maka kekuasaan Perdana Menteri biasanya relatif otonom seperti kasus Giscard
d’Estaing (1974-1981) danFrancois Mitterand (1988-1989). Pada kerangka semacam ini maka yang
terjadi adalah kohibitasi (cohabitation) pemerintahan seperti kasus Presiden Francois Mitterand dari Partai
Sosialis harus berbagi kekuasaan dengan Perdana Menteri Jacques Chirac dari Partai Konservatif (186-
1988) danBalladur (1993-1995). Masa kohibitasi berikutnya terjadi pada pemerintahan Presiden Jacques
Chirac dengan Perdana Menteri Lionel Jospin (1997-2002).

Dibandingkan dengan pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat, kondisi di Prancis menunjukkan


pemisahan yangrelatif lemah karena “On the political side, the FrenchPresident must worry mostly about
hostility from the National Assembly, since the French Senate is not very powerful.Namun demikian,
Presiden dapat kembali mengontrol kekuasaan dengan melaksanakan pemilihan umum untukMajelis
Nasional dalam waktu yang ditetapkannya sendiri.

Dari uraian di atas, nampak bahwa pengertian pemisahankekuasaan jauh dari sekedar sebuah
definisi.

6
Seperti diungkapkan oleh Martin S. Flaherty, bahwa “separation of powers refers to a theory
about the appropriate allocation of government authority among the institutions of the national
government. It means, on the one hand, classification of governmental power into three categories,
allocation of that authority to three different institutions, with separation of personnel among the
institutions.”52 Pemisahan kekuasaan dibutuhkan untuk “self-executing safeguard against the
encroachment or aggrandizement of one branch at the expense of another.

C.Negara-negara yang mengadopsi pemisahan kekuasaan

Maksud di balik sistem kekuasaan yang dipisahkan adalah untuk mencegah pemusatan kekuasaan
dengan menyediakan checks and balances. Istilah pemisahan kekuasaan secara tidak tepat sering
digunakan untuk merujuk pada prinsip trias politica. Model trias politica merupakan jenis umum
pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan. Sedangkan pemisahan kekuasaan dapat
melibatkan lebih banyak atau lebih sedikit dari tiga cabang kekuasaan negara.

Negara yang menganut pemisahan kekuasaan adalah negara yang menganut Trias Politika,
umumnya adalah negara-negara yang menerapkan demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang
dan Australia

Teori Trias Politika membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bagian: Legislatif (lembaga
perwakilan yang berwenang membuat peraturan undang-undang dan melakukan pengawasan terhadap
jalanya pemerintahan, Eksekutif (pemerintahan yang berwenang menjalankan pemerintahan sesuai
peraturan undang-undang) dan Yudikatif (yang berwenang menyidangkan pelanggaran dalam peraturan
perundangan).

Amerika Serikat misalnya, terjadi pemisahan kekuasaan sesuai Trias Politika di mana Legislatif
dipegang oleh Kongres (terdiri dari Senat dan House of Representative), Eksekutif dipegang oleh
Presiden dan Yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (Supreme Court)

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Lembaga legislatif adalah DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) bersama dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kemudian, Eksekutif dipegang oleh
Presiden yang bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan
tugasnya presiden dibantu oleh menteri yang ditunjuknya. Sementara itu, kekuasaan Yudikatif dipegang
oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi .

7
KESIMPULAN

Pemisahan kekuasaan (bahasa Inggris: separation of powers, bahasa Belanda: scheiding der
machten) merupakan konsep pembagian kekuasaan pemerintah dalam suatu negara menjadi bercabang-
cabang. Masing-masing cabang mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab yang terpisah dan
independen, sehingga kekuasaan satu cabang tidak bertentangan dengan cabang-cabang kekuasaan
lainnya. Pada umumnya, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pembagian ini disebut juga model trias politica. Konsep ini dapat dipertentangkan dengan fusi
kekuasaan dalam sistem parlementer dan semi-presidensial, yang membuat terjadinya tumpang tindih
dalam keanggotaan dan fungsi antara cabang-cabang kekuasaan yang berbeda.

Negara yang mengadopsi pemisahan kekuasaan yaitu Negara yang menganut pemisahan
kekuasaan adalah negara yang menganut Trias Politika, umumnya adalah negara-negara yang
menerapkan demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Australia.

8
DAFTAR PUSTAKA

1.BUKU ILMU NEGARA (2016)

Oleh D.rIsharyanto,S.H,M.Hum.

2. ILMU NEGARA

Oleh Moh Kusnadi

3.BUKU REFERENSI ILMU NEGARA

Oleh HP Sibue

iii

Anda mungkin juga menyukai