Anda di halaman 1dari 14

AJARAN PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN

Disusun guna memenuhi makalah Hukum Tata Negara

Dosen Pengampu:

Ahmad Maulana Hadi , SH., M.H

Disusun oleh Kelompok 6:

Indah Nurlaela 1223010050

Kelvin 1223010054

Muhammad Aziz Ibrahim 1223010072

Muhammad Haekal ahzami 1223010077

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
Daftar isi
BAB 1...................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................................4
BAB 2...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1 Konsep/ajaran pemisahan............................................................................................................5
2.2 Pembagian kekuasaan Menurut Para Pakar.................................................................................6
2.3 Tujuan Pembagian kekuasaan......................................................................................................8
2.4 prinsip pembagian kekuasaan dan kewenangan negara kesatuan.................................................9
2.5 prinsip checks and balances.......................................................................................................10
BAB 3..................................................................................................................................................13
PENUTUP...........................................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................13
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayat-Nya penilis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Ajaran Pemisahan dan pembagian
kekuasaan”.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata Hukum Tata Negara. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Maulana Hadi, S.H., M.H
selaku dosen mata Hukum Tata Negara. Ucapan terima kasih juga di sampaikan kepada
semua pihakyang telak membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna . oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 15 november 2023

penulis
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Latar belakang makalah tentang perpecahan dan pembagian kekuasaan mencakup
evolusi konsep ini dari pemikiran para filsafat politik seperti Montesquieu hingga
penerapannya dalam berbagai sistem pemerintahan di seluruh dunia. Sepanjang sejarah,
konsep ini telah menjadi landasan bagi terbentuknya lembaga-lembaga pemerintahan yang
memiliki peran dan fungsi yang terpisah, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pemisahan dan pembagian kekuasaan dianggap sebagai solusi untuk mencegah perlindungan
kekuasaan dan menjamin keseimbangan dalam pemerintahan. Penelitian makalah dapat
melibatkan studi kasus dari negara-negara yang menerapkan konsep ini dengan berhasil atau
menghadapi tantangan dalam implementasinya. Selain itu, konteks sejarah dan politik saat
konsep ini diterapkan juga penting untuk dipahami agar pembaca dapat merasakan urgensi
dan relevansi konsep tersebut dalam konteks kontemporer.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan konsep/ajaran pemisahan?
2. Bagaimana pembagian kekuasaan?
3. Apa tujuan dari pembagian kekuasan?
4. Bagaimana prinsip pembagian kekuasaan dan kewenangan negara kesatuan
5. Bagaimana prinsip checks and balances?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan Tujuan di atas, maka tujuan dibuatnya makalah ini
untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang ajaran pemisahan dan pembagian dalam
konteks pemerintahan. Dan makalah ini akan menjelaskan tentang konsep ajaran pemisahan,
pembagian kekuasaan, pembagian kekuasaan, tujuan pembagian kekuasaan, prinsip
pembagian kekuasaan dan kewenangan negara kesatuan, dan prinsip checks and balances.
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Konsep/ajaran pemisahan
A. Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan pertama kali dipopulerkan secara ilmiah oleh John Locke
seorang filosof berkebangsaan Inggris (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises of
Government, yang terbit tahun 1690. John Locke membagi kekuasaan dalam Negara menjadi
tiga yaitu : pertama, kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif); kedua, kekuasaan
melaksanakan undang-undang (ekse- kutif); dan ketiga, kekuasaan mengenai perang dan
damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan
badan- badan di luar negari (federatif).1
Pemikiran ini lahir sebagai bentuk reaksi terhadap absolutisme dengan mendukung
pembata- san kekuasaan politik raja. John Locke, berpendapat bahwa alasan mengapa
manusia memasuki suatu “social contract” adalah untuk mempertahankan kehidupan,
kebebasan dan hak untuk memiliki. Ketiga model dasar itu dipandang sebagai “milik”
(property). Milik inilah yang memberikan kepada manusia status politik.2
Berkaitan dengan fungsi negara, John Locke membedakannya ke dalam empat
fungsi. Keempat fungsi negara tersebut adalah pemben- tukan undang-undang (legislating),
membuat keputusan (judging), menggunakan kekuatan secara internal dalam melaksanakan
undang-undang (employing forces internally in the execution of the laws) dan menggunakan
kekuatan-kekuatan terse- but di luar negeri, dalam membela masyarakat. Locke menamakan
fungsi pertama ”legislative powers”, fungsi ketiga dinamakan dengan ”executive powers”.
Fungsi keempat disebutnya dengan ”federative powers”, yang meliputi kekuasaan perang dan
damai serta kekuasaan luar negeri.Sedangkan fungsi kedua yaitu membuat keputusan (the
function of judging) dianggapnya bukan sebagai kekuasaan. Oleh karena itu menurutnya
tidak perlu mengindividualisir kekuasaan membuat keputusan (the powers of judging) secara
tersendiri dalam bagian terpisah karena fungsi ini merupakan fungsi negara tradisional. Lebih
lanjut John Locke beranggapan bahwa bila kekuasaan diletakkan pada tangan yang berbeda
dapat dicapai suatu keseimbangan.3
B. Konstitusi
Dalam Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara, konstitusi diberi arti yang berubah-ubah
sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pertama, pengertian konstitusi pada masa
pemerintahan-pemerintahan kuno (ancient regime). Kedua, pengertian konstitusi menurut
tafsiran modern yakni sejak kelahiran dokumen konstitusi pertama di dunia yang dikenal
dengan nama Virginia Bill of Rights (1776).4

1
Sri Sumarti M., Ketetapan MPR (S) sebagai salah satu sumber hukum tata negara,
bandung: Remadja Karya, 1988, hlm..
2
Ismail Suny, pergeseran kekuasaan Eksekutif, jakarta: Aksara baru, 1977, hlm.
3
R. Kranenbung, Algemene Staatleer, Harlem Wllink, 1951, hlm.154-155
4
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi & Ni‟matul Huda, 2006, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada), hlm. 13
K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari
suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau
memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Peraturan disini meru- pakan gabungan antara
ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum
(non legal). Sementara itu istilah UUD merupakan terjemahan dari perkataan Belanda
Grondwet. Dalam kepustakaan Belanda, selain Grondwet juga digunakan istilah Constitutie.
Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama.5

C. Kekuasaan Kehakiman
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokratis
haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan siapapun dan dari manapun. Ada beberapa
alasan kenapa kekuasaan kehakiman harus mandiri, antara lain :
1) Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demo- krasi
dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia.
2) Kekuasaan kehakiman yang mandiri meru- pakan sendi tegaknya paham negara
berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi.
3) Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas
terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara/pemerintah.
4) Penyelesaian sengketa hukum oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri meru-
pakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik.6
Peradilan bebas dan tidak memihak (imparsial) mutlak harus ada dalam setiap negara
hukum, dalam menjalankan tugas yudisialnya hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun
juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media masa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam
menentukan pilihan serta menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan
yang hidup ditengah- tengah masyarakat. 7
Hakim tidak hanya bertindak sebagai mulut undang-undang atau peraturan peru-
ndang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang
hidup ditengah-tengah masyarakat. Prinsip keadilan bebas dalam nomokrasi Islam tidak
boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Dalam melaksanakan prinsip peradilan yang
bebas hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah, karena kekuasaan hakim yang

5
Ubaidillah A dkk, 2000, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (Jakarta : IAIN Jakarta Press), hlm. 82.
6
Ibid., hlm. 24-25.
7
Bagir Manan, menyongsong Fajar Otonomi daerah, Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum FH-UII, 001,hlm.35.
berada di tangannya adalah pula suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelihara
dengan sebaik-baiknya.8
2.2 Pembagian kekuasaan Menurut Para Pakar
Pembagian kekuasaan dalam negara dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam paham
konstitusionalisme, sedangkan maass, melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu
capital division of power sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal atau sering di
persamakan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power), dan areal division of power
sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal." 9 Pembagian dan pemisahan tergantung pada
prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu Negara. Sementara, Smith melihat
bahwa tujuan dalam areal division of power dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut
pandang pemerintah pusat (pemerintah) yang meliputi empat tujuan utama yang diharapkan,
yaitu (1) pendidikan politik; (pelatihan kepemimpinan; (3) penciptaan stabilitas politik; (4)
mewujudkan demokrasi pemerintahan di daerah. Konsep kekuasaan atau kewenangan
pemerintah daerah, menyangkut tentang struktur hukum yang bisa berwujud format bentuk
dan susunan Negara, pemerintahan di daerah, lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta
aparatur pemerintahan pusat dan daerah.
Pembatasan kekuasaan termaksud dalam konstitusi karena konstitusionalisme
merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan
aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan
untuk menjamin agar kekuasaan yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan tidak
disalahgunakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Sejalan dengan ini, Sri Sumantri
menyatakan tidak ada satupun Negara didunia yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-
undang dasar, yang di dalamnya lazim diatur tentang pembagian kekuasaan, baik secara
vertikal maupun horizontal.10
Sementara, menurut Arthur Mass, pembagian kekuasaan itu ada dalam dua hal, yaitu
capital division of power sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal atau sering di
persamakan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) dan areal division of power
sebagai pembagian kekuasaan secara vertical. Pembagian dan pemisahan tergantung pada
prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu Negara. Kekuasaan pemerintahan
diartikannya sebagai total capacity to govern which is or can be exercised by a given political
community. Kekuasaan dan di antara wilayah dengan cara yang berbeda-beda.11
Pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan cara: pertama, kekuasaan
pemerintahan dapat dibagi menurut proses yang dianut dalam pemerintahan. Cara capital
division of power (CPO) atau pembagian kekuasaan secara horizontal, dilakukan dimasa
proses legislatif, eksekutif dan yudikatif, masing-masing diberikan kepada satu badan.
Sementara, cara areal division of power adalah pembagian kekuasaan secara vertikal,
dilakukan di mana proses legislatif hanya dapat diberikan kepada pemerintah pusat atau
secara bersama-sama kepada unit yang terdesentralisasi. Pembagian kekuasaan basis wilayah
dengan cara ini dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (daerah
8
Ismail Suny, 1982, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta : Aksara Baru), hlm. 1-2
9
Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan
10
M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Government, New Delhi: Sterling Publisher Private
Limited, 198, hlm.99-100.
11
C. van Vollenhaven, Staatsrecht Overzee, Amsterdam: H.E Stenfert K.U.-Maatschppij N.V.,. 1934, hlm. 104-
125, 243
otonom) pada konteks Negara kesatuan dan antara Negara bagian dengan pemerintah daerah
dalam konteks Negara federal. Pembagian kekuasaan ini didasari oleh oleh suatu undang-
undang. Oleh karena itu, Hans Antlov menyatakan bahwa kekuasaan daerah otonom diterima
dari atas dan dapat ditarik kembali melalui undang-undang yang baru, tanpa persetujuan
daerah otonom yang bersangkutan.
Kedua, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut fungsi atau aktifitas
pemerintahan. Dengan cara areal division of power atau secara vertical, fungsi-fungsi
pemerintahan tertentu (seperti moneter dan hubungan luar negeri) diberikan kepada
pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu lagi kepada pemerintah
daerah. Sementara itu, cara capital division of power atau secara Horizontal adalah fungsi-
fungsi pemerintahan tertentu dapat diberikan kepada departemen-departemen pemerintahan
yang dibentuk atau diadakan."12
Pembagian kekuasaan dengan cara demikian terjadi antara pemerintah federal dan
Negara bagian, yang diatur dalam undang- undang dasar Negara federal. Negara federal
merupakan sistem pemerintahan yang dengan sengaja dibuat sulit bagi pemerintah pusat
untuk mengubah kekuasaan Negara bagian. Oleh karena itu, antara Negara federal dan
Negara kesatuan mencakup pouvoir constituent, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-
undang dasar dan undang-undang. 13
Hubungan kekuasaan diantara kedua pemerintah (antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah) tersebut bersifat ketatanegaraan. Pembagian kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah otonom tidak mencakup kekuasaan legislative dan yudikatif
karena hanya bersifat administrasi Negara.14
Ketiga, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi lebih lanjut menurut kontituensi
(constituency). Cara capital division of power atau horizontal adalah suatu badan atau 'kamar'
yang lebih luas dalam legislative dapat dibuat untuk mewakili suatu konstituensi atau
kelompok tertentu dalam masyarakat dan kepresidenan mewakili konstituensi yang lain.
Penugasan, proses, fungsi atau konstituensikepada unit-unit pemerintahan di tingkat pusat
dan kepada wilayah-wilayah komponen dapat dilakukan secara utuh atau sebagian.
2.3 Tujuan Pembagian kekuasaan
Tujuan dari pembagian kekuasaan adalah mencegah bertumpuknya kekuasaan di
tangan satu orang dan labih ditingkatkan lagi jaminan terhadap hak-hak azasi manusia, maka
adanya suatu badan yudikatif tidak lain adalah untuk terlaksannya jaminan atas pelaksanaan
hak-hak azasi manusia tersebut. Ini berarti bahwa dalam bidang yudikatif tidak boleh ada
campur tangan, baik dari eksekutif maupun dari legislative, bahkan pengaruh dari individu
sekalipun.
Menurut Doner, trias politica itu bertitik tolak pada perbedaan bentuk dari berbagai
macam tindakan penguasa, meliputi dua bagian yang berbeda, yaitu bidang yang menentukan
tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan dilakukan dan bidang yang menentukan
12
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Berkeley:Univ.of California Press, 1978,hlm. 27

13
Arthur Maass, Area and Power: A Theory of local Government, Glencoe, llinois:
the free Press, 1959, hlm.10
14
Muhammad Alim, Asas – Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam ; Kajian Komprehensif Islam dan
Ketatanegaraan. Yogyakarta: LKIS, 2010, hlm. 309-311.
perwujudan dari tujuan atau tugas yang sudah ditetapkan itu. Kedua bidang itu berhubungan
erat satu sama lain dalam dua tahap. Tahap pertama, menentukan arah apa yang harus
ditempuh oleh Negara dalam kehidupannya, tahap ini yang dinamakan bidang politik,
sedangkan tahap kedua, adalah pelaksanaan daripada kebijaksanaan yang sudah diputuskan
dalam bidang politik itu, tahap ini disebut bidang pemerintahan (bestuur), Yang tugaskan
tidak lagi menentukan arah apa yang akan ditempuh olch Negara.
Untuk bidang pertama itu disebut politik, maka Hans Kelsen membagi kebijaksanaan
politik itu dalam dua arti, yaitu politik sebagai athic, artinya memilih suatu tujuan yang
hendak dicapai dan dalam hal ini adalah sama dengan menentukan tujuan daripada Negara,
dan politik sebagai teknik, tang artinya bagaimana caranya mencapai tujuan yang sudah
ditentukan ini.15 Sementara, Van Vollen-hoven16 berpendapat beda, dengan mengemukakan
bahwa melaksanakan tugas Negara dapat dibagi dalam empat fungsi, yaitudisebut caturpraja,
yaitu regeling (membuat peraturan), bestuur (pemerintahan dalam arti sempit), rechtspraak
(mengadili), serta politic (polisi)
2.4 prinsip pembagian kekuasaan dan kewenangan negara kesatuan
Dalam negara kesatuan, sebagian besar tanggung jawab dalam melaksanakan tugas
pemerintahannya berada ditangan pemerintahan pusat. Negara kesatuan hanya memiliki satu
lembaga legislatif yang senantiasa memegang kekuasaan tertinggi secara absolut. Ini berati
kekuasaan tertinggi berada ditangan pemerintahan pusat.
Pemerintah pusat atau nasional memposisikan pada kedudukan tertinggi, dan
memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari, dan tidak ada bidang kegiatan
pemerintah yang diserahkan konstitusi pada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil
dalam hal ini daerah atau provinsi, kabupaten/kota. Pemerintah pusat nasional) bisa
melimpahkan banyak tugas melimpahkan wewenang kepada kota- kota, kabupaten-
kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan local.
Negara kesatuan merupakan negara dengan kedaulatan yang tak terbagi. Pada negara
kesatuan ialah bahwa yang memegang tumpuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan
negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada
pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap
urusan urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dengan
pemerintah lokal (local government) sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam
kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan dan bahwa Pemegang kekuasaan tertinggi di
negara itulah pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo (dalam Simandjuntak, 2015) menulis bahwa yang menjadi hakikat
negara kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, dimana hal tersebut
dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri
wilayahnya, tetapi itu bukan berarti Pemerintah Daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan
kekuasaan tertinggi tetap berada ditangan pemerintah pusat. Pemerintah pusatlah
sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.

15
Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 1945,
Jakarta,KonstitusiPress, hlm264.
16
Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 64.
Di dalam negara kesatuan pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara.
Agar tidak sewenang-wenang, aktivitas pemerintah pusat diawasi dan dibatasi oleh undang-
undang. Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara maka
unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada dibawah pemerintah pusat harus tunduk
kepada pemerintah pusat. Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku akan menjadi tumpang tindih dan
tabrakan dalam pelaksanaan kewenangan (prinsip unity command) (Huda & Hum, 2021:5).
Jadi dapat dikatakan bahwa meskipun pemerintah pusat memiliki kekuasaan penuh
dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga memiliki batasan yang didasarkan pada peraturan
perundang undangan yang berlaku. Dengan adanya batasan berupa peraaturan perundang
undangan ini pada dasarnya agar mencegah tindakan sewenang-wenang.
Sistem negara kesatuan terbagi menjadi dua bentuk yaitu, sistem sentralisasi dan
sistem desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi segala sesuatu mengenai negara diatur dan
diurus langsung oleh pemerintah pusat, sedang pemerintah daerah tinggal melaksanakan
segala yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam sistem
desentralisasi kepala daerah diberi kesempatan dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (otonomi daerah).
Menurut Van Der Pot (dalam Huda & Hum, 2021:10) Setiap negara kesatuan (unitary
state, eenheidsstaat) Dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem sentralisasi
atau desentralisasi. Pemerintahan sentralisasi dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh dan dari
pusat pemerintahan (single central government) atau oleh Pusat bersama-sama organnya yang
dipancarkan di daerah-daerah.
Sentralisasi yang disertai pemancaran organ-organ yang menjalankan sebagian
wewenang pemerintahan pusat di daerah dikenal sebagai dekonsentrasi (centralisatie met
deconcentratie). Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus
penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central
government), Melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat lebih rendah yang mandiri
(zelfstandig) bersifat otonom (teritorial ataupun fungsional).
2.5 prinsip checks and balances
Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki
agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol
satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-
baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
pribadipribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah
dan ditanggulangi.17
Prinsip tersebut mulanya merupakan prinsip yang diterapkan dalam sistem
ketatanegaraan Amerika Serikat, di mana sistem ketatanegaraan dimaksud memadukan antara
prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances. Kekuasaan negara dibagi atas
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing dipegang oleh lembaga
yang berbeda tanpa adanya kerjasama satu sama lain, sedangkan dengan checks and balances,
antara satu lembaga dan lembaga lainnya terdapat keseimbangan kekuasaan dan mekanisme

17
Moh. Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press, hlm
37.
saling kontrol. Prinsip checks and balances ini dapat dioperasionalkan melalui cara-cara,
sebagai berikut:18
a. pembagian kewenangan untuk melakukan tindakan kepada lebih dari satu lembaga.
Misalnya kewenangan pembuatan undang-undang diberikan kepada pemerintah dan
parlemen;
b. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu
lembaga, misalnya eksekutif dan legislatif;
c. Upaya hukum impeachment lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya;
d. Pengawasan langsung dari satu lembaga terhadap lembaga negara lainnya, seperti
eksekutif diawasi oleh legislatif;
e. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai lembaga pemutus perkara
sengketa kewenangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia pengalaman
ketatanegaraan Indonesia menunjukan banyaknya bahwa penyimpangan kekuasaan pada
masa lalu secara yuridis disebabkan oleh besarnya kekuasaan Presiden yang diberikan oleh
UUD 1945 (sebelum amandemen). Sesuai ketentuan UUD 1945, Presiden memiliki
kekuasaan yang sangat luas. Di samping kekuasaan di bidang eksekutif, Presiden juga
memilki kekuasaan di bidang legislatif dan yudikatif. Analisis ketatanegaraan menunjukkan
bahwa UUD 1945 membawa sifat executive heavy, artinya memberikan bobot kekuasaan
yang lebih besar kepada lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Menurut Mahfud MD, salah satu
kelemahan dari UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak adanya mekanisme checks and
balances. Sistem ketatanegaraan Indonesia, setelah perubahan UUD 1945 menganut prinsip
checks and balances.
Prinsip ini dinyatakan secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan perubahan
UUD 1945, yaitu menyemprnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan. Suatu pendapat
menyatakan bahwa salah satu tujuan perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah untuk
menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara
lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi (check and balances) yang lebih ketat dan transparan, 19 dan pembentukan
lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa
dan tantangan zaman.20
Antara DPR dan Presiden terdapat hubungan yang secara garis besar dapatntara DPR
dan Presiden terdapat hubungan yang secara garis besar dapat nyatakan dalam dua hal, yaitu
hubungan yang bersifat kerjasama, dan hubungan yang bersifat pengawasan. Kedua lembaga
Brewer Carias dalam Efik Yusdiansyah, 2010, Implikasi Keberadaan Mahkamah
18

KonstitusiTerhadapPembentukanHukumNasionalDalamKerangkaNegaraHukum, (Bandung:
Lubuk Agung), hlm. 24.
19
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern, Bandung, Refika Aditama, hlm 124.
20
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008,
hlm.157.
itu harus bekerjasama dalam pembuatan undangundang, termasuk Undang-Undang APBN.
Melalui amandemen UUD 1945, kewenangan membuat undang-undang telah diletakkan pada
porsi yang sesuai, yaitu DPR. Hal yang masih perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar
dalam praktek, DPR lebih berperan dalam pengajuan rancangan undang-undang. Sebab
selama ini inisiatif untuk membuat rancangan undang-undang hampir semuanya datang dari
pemerintah atau Presiden. Hubungan antara Presiden dan DPR yang bersifat pengawasan,
tampak bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah telah
berjalan lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya. Bahkan pengawasan tersebut
kadang-kadang terkesan berlebihan di mana DPR mempersoalkan kebijakan pemerintah yang
semestinya tidak perlu dipersoalkan. Di sisi lain, dalam hal-hal tertentu pengawasan itu tidak
ada tindak lanjut yang jelas.
Hubungan antara eksekutif dan yudikatif
Titik simpul dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif terletak pada kewenangan
Presiden untuk melakukan tindakan dalam lapangan yudikatif, seperti memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Amandemen UUD 1945 juga telah memberikan landasan
bagi terwujudnya keseimbangan itu, dimana untuk memberikan grasi dan rehabilitasi
Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan untuk memberikan
amnestidana polisi harus mempertimbangkan pertimbangan DPR. Hal ini merupakan
pengurangan atas kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen), yang
sering dikatakan sebagai kekuasaan yang terlalu berat pada eksekutif (executive heavy).
Hubungan antara legislatif da yudikatif.
terkait bagaimana keberadaan dua lembagaitu berperan mewujudkan sistem
perundangundangan yang isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Undangundang sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan adalah produk
lembaga legislatif. Di pihak lain, ada kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945, yang memungkinkan ketentuan dalam undangundang
dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan UUD. Ini berarti Mahkamah Konstitusi
juga memiliki kewenangan di bidang legislatif dalam pengertian negatif (negative
legislation).Dengan adanya kewenangan tersebut dalam proses pembentukan dan perumusan
materi atau substansi undang-undang, DPR
dan presiden harus mewaspadaikemungkinan adanya judicial review dari Mahkamah
Konstitusi.Sebagaimana di kemuka kan Moh. Mhfud MD,pelembagaan judicial review
diperlukan karena undang-undang itu adalah produk politik yang pasti tidak steril dari
kepentingan politik anggota-anggota lembaga yang membuatnya. Produk politik bisa saja
memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka pendek yang
secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkhinya. 21 Persoalan
yang muncul dalam hal ini adalah seberapa jauh kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
rangka menguji undangundang terhadap UUD. Apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebatas menyatakan isi pasal tertentu dalam undang-undang bertentangan dengan UUD,
ataukah Mahkamah Konstitusi juga berwenang menentukan rumusan pasal sebagai koreksi
atas pasal yang dianggap bertentangan itu. Menurut Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003
21
Bagir Manan dalam Sirajuddin dan Zulkarnain ; Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006, hlm. 30-31. Lihat juga Sudikno Mertokusumo dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-
Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia. Yoyakarta: UII Press, 2005, hlm. 51-52.
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi,
bahwa putusan Mahkamah konstitusi yang amat putusannya menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undangundang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mengingat kewenangan
membuat undang-undang ada pada DPR bersama pemerintah, maka kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebatas memutus bahwa isi undang-undang bertentangan dengan UUD.
Kewenangan membuat rumusan baru dari isi undang-undang tersebut tetap menjadi
kewenangan lembaga legislatif. Keseimbangan kekuasaan antara lembaga yudikatif, legislatif
dan eksekutif juga dibangun di atas prosedur pengisian hakim-hakim, baik hakim Mahkamah
Agung maupun hakim Mahkamah Konstitusi. Pengisian hakim hakim agung dilakukan
melalui seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hasil seleksi Komisi Yudisial diajukan
kepada DPR untuk dibahas dan dimintakan persetujuan. Calon-calon yang telah disetujui oleh
DPR diangkat menjadi hakim agung melalui Keputusan Presiden. Sedangkan hakim
Mahkamah Konstitusi yang jumlahnya 9 (sembilan) orang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim
diajukan oleh DPR, 3 (tiga) orang diajukan oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang diajukan oleh
Mahkamah Agung. Komposisi semacam ini menggambarkan keseimbangan lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam membangun peran Mahkamah Konstitusi.
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disumpulkan dari makalah ini ialah membahas prinsip dasar
pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Konsep ini terdiri dari tiga
cabang utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, masing-masing dengan tanggung jawabnya
sendiri. Tujuannya adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi kebebasan
individu. Pemahaman dan penghormatan terhadap ajaran ini penting untuk mencegah
penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kesuksesan sistem ini bergantung pada
efektivitas mekanisme pengawasan dan keseimbangan antar cabang pemerintahan.
Keterlibatan aktif warga negara juga kunci dalam memastikan pemerintahan yang adil dan
transparan.

Anda mungkin juga menyukai