Anda di halaman 1dari 19

Makalah

PERBANDINGAN ANTARA SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI DAN


SYURA DALAM ISLAM

Mata Kuliah : Perbandingan Hukum Tata Negara Islam


Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Usman, M.Ag.,

Oleh Kelompok Tiga (3)


Nama:
Haisyah 10200120086
Muh. Yushar 10200120078
Andi Muh Khaliq Nur Hersyah 10200120045
Muh Rhefykasyah Gowardhani Arief 10200120068

Kelas: HTN-B

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis
panjatkan puja dan puji Syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Perbandingan Antara Sistem Pemerintahan Demokrasi Dan Syura Dalam Islam”.

Makalah ilmiah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, penulis
menyampaikan dalam kalah ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penuliss menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekuarangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan
segala kekuarangan dalam makalah ini penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga mkalah ilmiah tentang “Perbandingan Antara
Sistem Pemerintahan Demokrasi Dan Syura Dalam Islam” dapat menambah ilmu pengetahuan
dan memberikan manfaat maupun isnpirasi terhadap pembaca.

Samata, 23 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 5
C. Tujuan ................................................................................................................................ 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
A. Konsep Demokrasi dan Syura ........................................................................................... 6
B. Prinsip-prinsip Demokrasi dan Syura ................................................................................ 8
C. Perbandingan Antara Sistem Pemerintahan Demokrasi dan Syura dalam Islam ............ 12
BAB III .................................................................................................................................... 18
PENUTUP ............................................................................................................................ 18
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengkajian mengenai musyawarah dan demokrasi yang menjadi tema diskursus para
ulama dan cendikiawan muslim dewasa ini, salah satunya telah dibahas dalam dua pendekatan;
normatif dan empiris. Pada tataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi
ditinjau dari aspek ajaran Islam. Sementara, pada tataran empiris mereka menganalisa
implementasi demokrasi dalam praktik politik dan ketatanegaraan. Sebagaimana diketahui,
bahwa syura yang telah memiliki dasar hukum di dalam Alquran dan al-Hadis baik secara
ucapan maupun praktik, terdapat hadis-hadis yang mengharuskan syurah dan juga di dalam
hukum dasar negara yang mayoritas penduduknya muslim telah menetapkan syura sebagai
sistem pemerintahannya.

Seperti terlihat bahwa syura adalah salah satu konsep yang dicetuskan al-Qur’an untuk
mengatur manusia dalam menjalani hidup kemasyarakatannya. Akan tetapi sebagaimana
diketahui Kitab suci ini mencanangkannya dalam bentuk yang sangat umum sekali. Ia tidak
menyodorkan formulasi-formulasi khusus yang rinci dan konkret tentang implementasi konsep
ini tapi sepenuhnya diserahkan kepada interpretasi akal manusia. Dengan demikian penafsiran
terhadap terma syûra atau musyawarah ini akan selalu mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu sesuai dengan perkembangan fikiran, ruang dan waktu. Oleh sebab itu, dewasa ini,
pergeseran pengertian tersebut semakin eksis di kalangan pemikir Islam. Sebagian dari mereka
ada yang mengaitkan pengertiannya dengan teori politik modern seperti sistem republik,
demokrasi, sistem perwakilan, senat, formatur, dan berbagai konsep “dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat”. Ini bersangkut paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah atau
diperintah, antara elite dan massa, antara orang awam dan ahli.

Kata demokrasi di era globalisasi dewasa ini sudah membudaya dan dipraktekkan
dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga kata syura yang merupakan acuan umat Islam
dalam menjalankan kehidupan dalam masyarakat hampir dilupakan. Padahal antara demokrasi
dan syura terdapat perbedaan dalam kajian Islam. Demokrasi yang dipahami dan
dikembangkan oleh dunia barat kepada dunia Islam tidak semuanya dapat diterima dan
diterapkan di dunia Islam, karena banyak hal yang terkadang tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Misalnya kalau
demokrasi yang dipahami barat kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, apa yang

4
dikatakan oleh rakyat itulah yang benar walaupun terkadang hal tersebut tidak benar.
Sedangkan dalam Islam, kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt, manusia hanya
diberikan amanah untuk melaksanakannya saja. Bila ada hal-hal yang ingin dilakukan, maka
harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk mengetahui ketentuan apakah boleh
dilaksanakan ataupun tidak.

Syura dan demokrasi adalah dua kata yang sering diperdebatkan. Ada golongan yang
menolak mentah-mentah demokrasi karena dianggap asing dengan Islam. Sebagian lagi
berpendapat bahwa demokrasi adalah cerminan sistem syura yang diajarkan dalam Islam dan
demokrasi sesuai dengan Islam. Bahkan ada yang lebih jauh menganggap Islam itu demokrasi
itu sendiri. Makalah ini berupaya melihat perbandingan dari kedua sistem pemerintahan
tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah makalah ini
adalah:

1. Apa itu Demokrasi dengan Syura?


2. Apa saja prinsip-prinsip demokrasi dengan syura?
3. Bagaimana perbandingan antara sistem Pemerintahan Demokrasi dan Syura dalam
Islam?

C. Tujuan

Adapun tujuan daripada makalah ini adalah:

1. Menjelaskan apa itu demokrasi dengan syura.


2. Menjelaskan prinsip-prinsip demokrasi dengan syura.
3. Menjelaskan perbandingan antara system pemerintahan demokrasi dan syura dalam
Islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Demokrasi dan Syura

1. Demokrasi

Secara etimologi demokrasi berasal dari Bahasa Yunani demokratia yang berarti
“kekuasaan rakyat”. Ia terbentuk dari dua kata demos “rakyat” dan kratos “kekuatan atau
kekuasaan”. Ada juga yang mengartikan bahwa demos merupakan pengejawantahan untuk
rakyat. Pada abad ke-5 SM, pada sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena, kata
ini merupakan antonim dari aristocratie yang berarti “kekuasaan elit”. Dalam bahasa Indosesia;
demokrasi diartikan, 1) Bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta
memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. 2) Gagasan atau pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga negara.

Adapun pengertian demokrasi dapat dilihat dari dua sisi, pengertian secara sempit dan
pengertian secara luas. Secara sempit, menurut Lane dan Errsson, demokrasi dapat
didefenisikan sebagai suatu jenis sistem pemerintahan. Sedangkan Arblaster berpendapat
demokrasi adalah suatu aturan kelembagaan dalam rangka mengambil suatu keputusan politik
yang mana masing-masing orang memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang secara
kompetitif untuk memperoleh dukungan atau suara rakyat. Dalam pengertian lebih luas,
menurut Levinger, demokrasi tidak hanya dipahami sebagai suatu bentuk pemerintahan, tetapi
lebih dari itu dimaknai juga sebagai undang-undang dasar, pemilihan umum, dan aturan
hukum. Demokrasi juga menurut Nielsen dapat diartikan sebagai cara hidup, adanya keinginan
untuk berkompromi, toleransi, dan kesediaan mendengar dan menerima pendapat orang lain.

Mencermati pengertian di atas, pada dasarnya demokrasi adalah hal yang dapat
memberikan peluang kepada masyarakat untuk senantiasa berjuang dan menyampaikan suara
hatinya sehingga mendapatkan hak dan kewajiban dalam menjalani kehidupan. Artinya
masyarakat mempunyai kebebasan dalam memperjuangkan hak-hak mereka dalam berbagai
persoalan.

2. Syura

6
Istilah syura (bahasa Arab: ‫ شورى‬shūrā) berasal dari kata kerja syawara - yusyawiru
yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Ada bentuk-
bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara
(berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah) dan mustasyir
(meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan
merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.

Sedangkan secara istilah dari beberapa ulama telah memberikan defenisi syura yang
dikutip dari buku Muhammmad Iqbal, yakni seperti Ar Raghib al Ashfahani yang
mendefenisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara
peserta syura. Menurut Ibnu Al Arabi al Maliki, syura adalah dengan berkumpul untuk meminta
pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat
yang dimiliki.

Dari beberapa defenisi terkait syura sebelumnya dapat simpulkan bahwa


syura/musyawarah adalah pertemuan oleh para pakar untuk mengkaji dengan serius
memberikan argumentasi dan strategi menyelesaikan permasalahan dengan prinsip
keterbukaan dan kesetaraan antara sesama, agar sampai pada kesimpulan yang dikehendaki dan
berlandaskan niat dan tawakkal kepada Allah.

Di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyinggung mengenai syura


(musyawarah) salah satunya terdapat pada QS al-Qur’an al-Syura ayat 38:

‫ص ََل ة َ َو أ َ ْم ُر ه ُ ْم ش ُ و َر ى ب َ ي ْ ن َ هُ ْم َو ِم َّم ا َر َز قْ ن َا ه ُ ْم‬


َّ ‫ج ا ب ُوا لِ َر ب ِ ِه ْم َو أ َ ق َ ا ُم وا ال‬
َ َ ‫َو ال َّ ِذ ي َن ا سْ ت‬
‫ي ُ نْ فِ ق ُ و َن‬

Terjemahan:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.

Dari ayat yang telah disebutkan di atas, dihubungkan dengan konsep syura bahwa
ketika terjadi permasalahan atau sesuatu yang harus diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Hal ini dipertegas dengan pernyataan yang mengemukakan bahwa syura dalam al-Qur’an
membicarakan perihal musyawarah yang dilakukan Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Ketika
musyawarah terjadi antara Nabi dan para sahabat beliau posisi beliau dalam mengeluarkan

7
pendapat adalah setara dengan sahabat-sahabat beliau hal ini yang menandakan bahwa semua
orang sama di mata hukum.

B. Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Syura

1. Demokrasi

Amin Rais mengajukan sepuluh kriteria sehingga sebuah system politik bisa dikatakan
sebagai demokrasi, yakni: 1) partisipasi dalam pembuatan keputusan; 2) persamaan di depan
hukum; 3) distribusi pendapatan secara adil; 4) kesempatan pendidikan yang sama; 5) adanya
empat macam kebebasan yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan
berkumpul dan kebebasan beragama; 6) ketersediaan dan keterbukaan informasi; 7)
mengindahkan tata krama politik; 9) kebebasan individu; dan 10) hak untuk protes.

Secara lebih sederhana Afan Gaffar mengajukan lima prasyarat bagi sebuah political
order untuk disebut sebagai demokratik. Indicator Gaffar ini lebih pada tingkat demokrasi
empirik atau demokrasi procedural (procedural democracy). Lima prasyarat itu adalah
akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, adanya pemilihan umum yang
bebas dan teratur, serta setiap warga negara menikmati hak-hak dasar.

Adapun yang menjadi prinsip-prinsip utama demokrasi, adalah

1. Pertama; Hak dan Kebebasan Individu (Liberalisme). Walaupun sejarah demokrasi


modern beragam, dan akan terus mengalami perkembangan evolusioner dari waktu ke
waktu, namun corak demokrasi modern yang terbangun di Barat itu sebagai hasil dari
pemberontak semangat abad 18 sebenarnya memiliki roh yang sama, yaitu paham
kebebasan atau liberalisme (liberalisme) yang berakar kepada individualisme. Patokan
yang dipakai adalah, “manusia itu lahir Merdeka dan hidup Merdeka”. Semua manusia
sama haknya, tidak ada perbedaan antara bangsawan dengan hartawan maupun dengan
rakyat jelata.
2. Kedua; Partisipasi Rakyat Dalam Pemilihan Umum. Bahwa demokrasi menghajatkan
keikutsertaan warga negara untuk secara aktif dan otonom terlibat dalam proses politik.
Partisipasi rakyat secara langsung dapat dilihat pada saat pelaksanaan dari esensi
demokrasi itu sendiri, yaitu “pemilihan umum” atau yang disebut dengan pesta rakyat.
Mengutip sebuah pendapat dari pemikiran Yusuf Qardhawi dalam menjawab sebuah
pertanyaan tentang demokrasi, bahwa:

8
Esensi dari demokrasi, terlepas dari definisi dan istilah akademik ialah
masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka.
Pemimpinnya bukan orang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak
mereka kehendaki, mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa
apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak memecatnya jika menyeleweng,
mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan sistem ekonomi, sosial,
kebudayaan, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka
sukai.
Adapun partisipasi rakyat secara tidak langsung ialah melakukan pengontrolan
terhadap pelaksanaan kinerja pemerintahan apakah sudah sesuai dengan yang
dikehendaki oleh rakyat. Namun pada realitasnya, hal seperti ini sangat sulit untuk
diwujudkan dalam kehidupan nyata, karena dalam pelaksanaan pemerintahan yang
demokratis seperti ini tidak ada tolak ukur yang jelas untuk melihat kesesuaian
pelaksanaan pemerintahan dengan kehendak rakyat. Selain itu juga, demokrasi Barat
yang sedang berkembang dewasa ini masih mengutamakan hak orang-seorang untuk
menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.
3. Ketiga; Kekuasaan oleh Suara Mayoritas. Prinsip berikutnya yang tidak kalah penting
dengan prinsip-prinsip demokrasi lainnya ialah “kekuasaan oleh suara mayoritas”.
Inilah yang sangat menentukan dalam pelaksanaan sistem demokrasi, di mana setiap
keputusan diambil berdasar penetapan jumlah suara yang terbanyak (mayoritas).
Demokrasi Barat dalam mencari kebenaran berpendapat bahwa kebenaran mutlak tidak
mungkin diperoleh, dan yang ada hanyalah kebenaran relatif (nisbi).
Pada praktik demokrasi di negara manapun, pada saat dilaksanakan pemilu, maka yang
menjadi pemenang dan menguasai pemerintahan ialah yang mengantongi suara
terbanyak, sementara yang memiliki jumlah suara sedikit (minority) di dalam
demokrasi harus menerima hal ini sebagai suatu kekalahan secara wajar, karena dalam
setiap pertarungan politik demokrasi ada menang dan ada kalah.
4. Keempat, adanya kontrol publik terhadap kekuasaan secara efektif dan bertenaga.
Dalam negara demokrasi, kekuasaan tidak boleh berjalan sendiri tanpa kontrol. Kontrol
terhadap kekuasaan dimainkan secara efektif oleh Lembaga-lembaga politik ditingkat
elite. Peran besar dalam pemerintahan seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Demikian pula kekuatan politik pada tingkat infrastruktur, misalnya peran partai politik
yang memberikan sumbagsih besar dalam pendidikan kader untuk menjadi pemimpin,
media massa sebagai kontrol sosial di samping sebagai penyalur informasi kepada
9
publik, LSM, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. Dalam konteks inilah oposisi
politik menjadi hal penting maknanya bagi demokrasi.
5. Kelima, persamaan didepan hukum, bahwa demokrasi adalah negara hukum dan bukan
negara kekuasaan. Rule of law harus ditaati oleh setiap warga negara, tanpa melihat
perbedaan latar belakang ras, suku, agama, daerah, warna kulit, keyakinan budaya dan
kekuasaan.

2. Syura

Prinsipnya dengan syura atau musyawarah akan mendapatkan hasil yang baik, benar
serta dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik jika secara keseluruhan menegakkan
prinsip dalam melaksanakan musyawarah. Adapun prinsip-prinsip Syura yang dimaksud antara
lain:

1. Prinsip al-musawah (Persamaan dalam hak dan kewajiban). Agama Islam menjunjung
tinggi persamaan, menghargai semua umat manusia. Persamaan juga dimaksudkan
bahwa tidak ada posisi yang melebihi yang lain, baik pemimpin maupun rakyat
berkedudukan yang sama dimata hukum. Sifat patuh terhadap hukum menjadikan nilai
persamaan sangat memungkinkan terwujud. Demikian pula agama ini tidak menjadikan
kedudukan, keistimewaan terhadap kelompok manapun, tetapi mengutamakan yang
baik dan memiliki kompetensi. Karena pelaksanaan pemerintahan yang mendapat
kepercayaan memenuhi kebutuhan umat berkewajiban untuk memberikan hak tersebut.
Tanpa membedakan agama, ras maupun strata sosial. Ketakwaan adalah kunci pembeda
antara mereka.
Seorang pakar Islam kontemporer, Ismail R. Faruqi menjelaskan prinsip al-musawah
bahwa untuk hidup sebagai anggota masyarakat, Islam menjadikan suatu konsep
persaudaraan yang dalam praketknya setiap Masyarakat berada pada kedudukan yang
setara. Islam mengundang manusia untuk berlomba-lomba meraih dan mencapai
ketakwaan dan membuktikan kualitas dan kebaikan hidupnya. Prinsip persamaan,
persaudaraan serta keadilan sangat menentukan kualitas kehidupan, justru bukan pada
praktek otoritas dan intimidasi.
Dengan demikian menurut Taufiq Muhammad Asy-Syawi, syura merupakan
keharmonisan antara kehendak individu maupun kelompok, sikap ini menjadi penting
menghadapi konteks sosial yang heterogen dalam berbagai dimensi kehidupan, konflik-
konflik sosial yang terjadi di masyarakat bukan saja mengganggu persatuan akan tetapi

10
masa depan bersama, dengan begitu musyawarah menjadi resolusi konflik terciptanya
harmonisasi dalam seluruh lapisan masyarakat yang plural. Sehingga tidak ada
mayoritas yang mendominasi atas dasar kepentingan suku, ras, dan lainnya. Keputusan
yang diambil bukan mayoritas secara kuantitatif, akan tetapi mayoritas argumentatif,
logika, pikiran, bukti, dan nilai keagamaan. Lebih lanjut asy-Syawi mengungkapkan
bahwa keputusan dan ketetapan mayoritas bukan merupakan jaminan yang cukup bagi
keadilan, karena itu harus ada aturan dasar yang lebih mapan dari keputusan tersebut
dan Masyarakat harus tunduk terhadapnya.
Dari uraian diatas dapat dicermati bahwa prinsip ekualitas, equality atau persamaan, al-
musawah dalam Islam memiliki tujuan agar semua individu maupun golongan
Masyarakat mampu menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaannya untuk kebaikan
kehidupan sosial secara keseluruhan, ummah juga kesatuan iman. Dengan demikian,
prinsip ini akan menimbulkan sifat gotong-royong dan sifat kepedulian yang utuh
dalam berlangsungnya kehidupan masyarakat.
2. Prinsip kebebasan. Islam sebagai agama universal menjamin prinsip-prinsip kebebasan
seperti kebebasan individu dan kebebasan bertindak. Prinsip bebas dalam syura adalah
kebebasan dalam memberikan pendapat, pengakuan, dan berpegang teguh pada nilai-
nilai kebenaran. Demikian menurut Athiyah al-Abrasyi sebagai kebebasan yang
sempurna (Al-Abrasy, 1970). Artinya, keputusan yang setelah mendapatkan
argumentasi-argumentasi yang rasional yang dijadikan untuk keputusan bagi
Masyarakat, bukan sekedar pertimbangan jumlah suara. Karena jumlah suara mayoritas
bisa menjadi salah apabila hanya mengikuti hawa nafsu dan prasangka.
3. Prinsip al-‘adalah (keadilan). Ajaran para nabi dengan tema sentral usaha perbaikan
kondisi Masyarakat untuk menegakkan keadilan adalah merupakan tugas suci risalah
yang diamantatkan Tuhan. Seperti yang ditegaskan al-Qur’an Yunus: 47 bahwa pada
setiap kelompok manusia dengan sengaja diutus rasul, dengan kedatangan rasul itu
memberikan putusan yang adil, dan tidak ada sedikitpun perlakuan yang zalim.
Allah berulang kali mengingatkan kepada manusia memalui firman-Nya, lebih lagi
kepada orang-orang yang beriman agar melaksanakan prinsip keadilan dengan
sebenarnya. Misalnya QS al-‘Imran: 8 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat

11
kapada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Nurcholish Madjid menafsirkan kata “keadilan” ditinjau dari aspek Bahasa. Al-Qur’an
menyebut “adil” dari kata ‘adl untuk memahami makna keadilan dan berbagai
dimensinya. Seseorang yang bersifat adil secara sadar berada pada posisi tengah tanpa
adanya pengaruh dari pihak manapun serta menyadari dan punya kompetensi
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Posisi Tengah menandakan sikap yang adil
untuk memutuskan suatu menjadi terang dan benar.
4. Prinsip al- Mashlahah al-’ammah (kepentingan umum) tetap menjadi tujuan pokok
yang harus dilaksanakan, sementara kepentingan individu tertentu harus
dikesampingkan.

C. Perbandingan Antara Sistem Pemerintahan Demokrasi dan Syura dalam Islam

Dari uraian sebelumnya tentang syura dan demokrasi, dapat dipahami adanya
perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Demokrasi bukanlah syura, karena syura
artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sedangkan demokrasi adalah suatu
pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan
sistem pemerintahan. Sebab syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam
Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (khilafah). Sedang demokrasi
bukan sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup
(the way of life) yang holistik yang terpresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut
peradaban Barat.

Demokrasi mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena


minimal syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar:

1. Dalam sistem syura, pembuat dan penentu hukum adalah Allah swt. Sedangkan
demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan berada pada selain
Allah (yakni di tangan suara mayoritas).
2. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada
nashnya ataupun ijma’, sedangkan demokrasi tidaklah demikian.
3. Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam ahl
al-halli wa al-aqd, orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai spesifikasi
tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti itu.

12
Perbedaan dari segi pemilihan pemimpin adalah perbedaan yang paling kentara antara
sistem syura dengan sistem demokrasi. Dalam sistem syura pemilihan khalifah atau seseorang
yang bakal memimpin negara adalah berdasarkan apa yang telah disarankan oleh Allah swt
dalam al-Quran. Menurut apa terkandung dalam al-Quran seseorang pemimpin itu haruslah
mempunyai ciri-ciri atau pun kriteria-kriteria tertentu seperti seorang yang tinggi keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah swt, mempunyai ilmu pengetahuan yang luas terutama dalam
konteks politik atau pemerintahan negara serta dalam konteks ekonomi dan sosial.

Di samping itu juga, seseorang khalifah itu haruslah mempunyai kesehatan fisik dan
mental yang baik, serta mempunyai kemahiran dalam bidang pertahanan negara yaitu
kemahiran dalam ilmu peperangan. Dalam konteks yang berlainan, pemimpin yang dilantik
mengikut sistem syura adalah berasaskan kebenaran dan menjauhi segala bentuk kebatilan
yakni pemimpin yang mempunyai keperibadian yang baik serta bukan dari kalangan orang
yang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt) maupun munafik. Ini selaras dengan apa
yang ditegaskan dalam al-Quran yang sering menyuruh umat Islam supaya mengikuti
kebenaran dan menjaga kebaikan masyarakat manusia dengan tidak terkecoh terhadap suara
dan kehendak golongan mayoritas sebagai ukuran yang boleh diterima terutamanya dari segi
pemilihan pemimpin.

Firman Allah swt dalam Quram Surah Yunus ayat 32 yang berbunyi: “Maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan”. Dalam ayat yang sama Allah swt berfirman:
“Maka apakah orang-orang yang menunjuki kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang
yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk”.

Ini jelas berlainan sama sekali dengan sistem demokrasi yang menjadikan suara
terbanyak dalam pemilihan pemimpin sebagai asas tanpa mengindahkan kepribadian, akhlak,
serta keperibadian pemimpin itu sendiri. Asalkan seseorang itu dicalonkan untuk menjadi
pemimpin dan mendapat sokongan daripada rakyat maka terlantiklah seorang pemimpin yang
bukan hanya berasaskan prinsip kebenaran, malah berkemungkinan jelas mentampakkan ia
berasaskan kebatilan. Contohnya seseorang pemimpin itu dilantik adalah bukan karena
kelayakannya dari segi kepemimpinan tetapi berdasarkan pemilikan hartanya yang banyak
serta pengaruhnya dalam bidang-bidang tertentu terutamanya pengaruhnya dalam bidang
ekonomi membolehkannya dicalonkan dalam pilihan rakyat. Dengan sogokan yang diberikan
kepada rakyat membuatkannya dilantik menjadi pemimpin.

13
Ini jelas menunjukkan kebatilan yang nyata dari segi pemilihan pemimpin dalam sistem
demokrasi. Adapun syarat-syarat yang diperlukan dalam sistem demokrasi untuk seseorang itu
boleh dicalonkan untuk bertanding dalam pilihan rakyat seperti mempunyai latar belakang
yang baik dari segi akademik dan pribadi, dan tidak pernah terlibat dalam perilaku jenayah atau
tidak pernah dipenjarakan namun ia tidak menunjukkan pemilihan pemimpin yang berasaskan
kebenaran yang disarankan dalam al-Quran yang menekankan ciri keimanan kepada Tuhan
yang menjadi tonggak dan tunjang kepada kepimpinan yang adil, bijaksana dan seumpamanya.

Dalam sistem syura, sebelum seseorang itu dilantik menjadi khalifah, calon khalifah itu
sendiri dinilai dalam permusyawaratan ahli-ahli majelis syura. Seterusnya ia dinilai
berdasarkan persetujuan seluruh rakyat dan rakyat bebas untuk menerima atau menolak
seseorang calon khalifah tersebut. Hak kebebasan rakyat dapat dilihat dengan mengkaji terus
ucapan khalifah Abu Bakar as-Siddiq seperti berikut :

"Wahai Manusia, sesungguhnya aku telah dilantik ke atas kamu dan bukanlah aku orang
yang paling baik di antara kamu. Kalau aku lemah kamu betulkanlah aku dan kalau aku
berbuat baik, kamu tolonglah aku, benar itu amanah dan dusta itu khianat. Yang lemah di
kalangan kamu adalah kuat di sisiku, sehingga aku mengambil hak daripadanya insya`Allah
...."

Daripada ucapan Khalifah Abu bakar ini terdapat beberapa perkara berkaitan kebebasan
politik yaitu perkataan yang menyebut "saya telah dilantik ke atas kamu." Ini menunjukkan hak
umat untuk memilih ketua negara. Manakala kata-kata “Bukankah aku orang paling baik di
kalangan kamu." Ini menunjukkan ketua negara adalah juga daripada rakyat negara tersebut.
Selain itu, kata-kata seperti "Jika saya lemah kamu betulkanlah saya, jika saya berbuat baik
kamu bantulah saya." Ucapan ini pula menunjukkan hak rakyat yang dianggap sebagai
pemerhati bagi sebuah pemerintahan. "Taatilah aku selagi aku taat kepada Allah, apabila aku
durhaka kepada Allah dan Rasulnya kamu tidak wajib taat lagi kepada ku." Kenyataan ini pula
menunjukkan, bahwa walaupun seseorang pemerintah itu ada mengikut sistem-sistem dalam
sebuah negara namun apabila beliau tidak lagi mengikut lunas-lunas agama Islam maka rakyat
tidak perlu patuh kepadanya.

Berbeda sama sekali dalam sistem demokrasi apabila seseorang itu telah dilantik
menjadi pemimpin, ia perlu patuh dan taat dalam segenap segi walaupun dalam perkara-perkara
kemungkaran dan kemaksiatan. Dalam sistem demokrasi, seseorang pemimpin harus

14
dindahkan setiap insturksi yang diberikan ia memegang jabatannya, rakyat mengikuti yang
dikeluarkan oleh para penguasa.

Menurut M. Quraish Shihab, secara subtansi antara demokrasi dan syura terdapat
perbedaan, tetapi ia juga menyebutkan adanya persamaan di antara keduanya. Persamaannya,
persoalan-persoalan masyarakat itu dikembalikan kepada kehendak masyarakat. Kehendak
masyarakat itu dapat diketahui dengan bertanya kepada orang demi orang, bisa melalui
perwakilan. Sedangkan perbedaannya, kalau demokrasi itu ada yang dikatakan kembali kepada
rakyat, sementara dalam syura ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar, nilai-nilai itu adalah
nilai-nilai ditetapkan Allah swt.

Sementara itu, Ahmad Sudirman mengemukakan perbedaan yang paling mendasar


antara konsep syura menurut Islam dan demokrasi, yaitu musyawarah menurut Islam
merupakan sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan
perantaraan ulil amri dan segala urusan harus dikembalikan kepada dasar dan sumber hukum
yang diturunkan Allah swt dan dicontohkan Rasulullah saw. Adapun demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah baik melalui cara langsung seperti
referendum maupun dengan cara tidak langsung melalui perantaraan wakilnya. Jadi, konsep
syura menurut Islam adalah sistem pemerintahan dimana Allah swt yang berdaulat, sedangkan
konsep demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana rakyat yang berdaulat.

Dengan demikian, konsep syura menurut Islam dan konsep demokrasi menurut Barat
(Yunani) sangat jauh berbeda. Syura mendasarkan semua permasalahan harus dikembalikan
kepada Alquran dan Sunnah, sedangkan demokrasi semua permasalahan dikembalikan kepada
rakyat. Dalam syura aturan, hukum, undang-undang harus terlebih dahulu diacukan kepada
dasar dan sumber hukum Allah swt dan Sunnah Rasulullah saw, sedangkan dalam demokrasi
itu aturan, hukum, undang-undang terus dibangun, dibentuk, ditetapkan berdasarkan apa yang
dihasilkan oleh pemikiran rakyat baik secara langsung seperti referendum atau melalui wakil-
wakilnya.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Swt di dalam Alquran surat An-Nisa
ayat 59:

ِ‫ٱَّلل‬ َ ‫سو َل َوأ ُ ۟و ِلى أٱْل َ أم ِر ِمن ُك أم ۖ َفإِن تَ َٰنَزَ أعت ُ أم ِفى‬
َّ ‫ش أىءٍ َف ُردُّوهُ إِلَى‬ ُ ‫ٱلر‬ ۟ ُ‫ٱَّللَ َوأَ ِطيع‬
َّ ‫وا‬ َّ ‫وا‬۟ ُ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أَ ِطيع‬
ً ‫سنُ تَأ أ ِو‬
‫يل‬ َ ‫اخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌأر َوأَحأ‬ ‫ٱَّلل َو أٱليَ أو ِم أ‬
ِ ‫ٱل َء‬ ِ َّ ِ‫سو ِل إِن ُكنت ُ أم تُؤأ ِمنُونَ ب‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫َو‬

Terjemahan:

15
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah swt memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kepada pemimpin yang
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian Allah swt
mengisyaratkan kepada orang-orang beriman apabila terdapat perbedaan dalam suatu pekara,
maka diperintahkan untuk mengembalikan kepada sumber dasarnya, yaitu Al-quran dan
Sunnah.

Jadi dalam konsep syura apapun masalah yang akan dibicarakan dalam majelis syura
perlu terlebih dahulu diacukan kepada dasar dan sumber hukum Alquran dan Sunnah, dan
apabila tidak ada nas-nya (dasar Alquran dan Sunnah) yang kuat, maka para anggota majelis
syura melakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat
dan hadis-hadis yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang
sedang dibicarakan kemudian diqiyaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan
dengan perkara yang sedang dibicarakan itu.

Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan mayoritas, tetapi dengan
kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran
adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah yang jelas. Selain itu juga ia
mengatakan syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan
ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada Allah, karena jika
mayoritas yang memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti
menurut mereka. Demikian juga kalau syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi
menghargai orang-orang kafir.

Abdul Hamid Ismail juga membuat beberapa perbedaan mendasar tentang syura dan
demokrasi:

1. Pertama, kekuasaan majelis syura dalam Islam sejauh tidak bertentangan dengan nash
tidak boleh lagi dibahas dan dipermasalahkan cukup dengan melaksanakannya.
Sementara demokrasi yang menekankan kepada kekuasaan mutlak kepada manusia
tidak mempunyai batasan boleh atau tidak tidak boleh selama manusia menghendaki.

16
2. Kedua, hak dan kebebasan manusia dibatasi dalam syura oleh kewajiban sosial dan
agama sehingga manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang melanggar sosial.
Sedangkan dalam demokrasi orang boleh melakukan apa saja selama tidak
bertentangan dengan peraturan.
3. Syura dalam Islam dilakukan atas dasar akhlak yang berasal dari agama sedangkan
demokrasi berasal dari suara mayoritas

Menurut ketua dewan pakar ICMI Ginandjar Kartasasmita, bagi negarawan Islam
demokrasi yang cocok adalah demokrasi berlandaskan nilai-nilai keagamaan (religious).
Sementara bila demokrasi diartikan sebagai kebebasan yang sebesar-besarnya sehingga
melanggar ketentuan Allah swt, maka yang demikian itu tidak dibenarkan dalam Islam.
Demokrasi yang sesuai dengan Islam mengandung ide dan lembaga demokratis yang
dilandaskan pada prinsip atau nilai sebagai berikut:

1. Pertama, kekuasaan tertinggi dan mutlak adalah milik Tuhan. Syura menjadi dasar
prinsip kedaulatan Tuhan dan supremasi syari’ah.
2. Kedua, kekuasaan tertinggi dan paling agung dalam negara Islam adalah kitab suci
Alquran dan Sunnah, sedangkan kekuasaan mnausia berada di bawah kekuasaan Tuhan.
3. Ketiga, manusia di muka bumi mendapatkan kekuasaannya dari kekuasaan Tuhan
menurut konsep kekhilafahan.

Menurut M. Quraish Shihab, Islam mengakui adanya demokrasi. Demokrasi yang


diajarkan Islam lebih duluan lahir, dan lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat
(Yunani Kuno). Islam bukan hanya mendukung, tetapi bisa menjadikan prinsip ajaran dalam
kehidupan bermasyarakat. Ini dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah demokrasi
yang sesuai dengan Islam.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengertian demokrasi dan syura memiliki makna tersendiri, seperti demokrasi adalah
hal yang dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk senantiasa berjuang dan
menyampaikan suara hatinya sehingga mendapatkan hak dan kewajiban dalam menjalani
kehidupan. Sedangkan Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan
atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan
demokrasi. Syura bukanlah demokrasi, sebab syura adalah pengambilan pendapat, sedang
demokrasi berasal dari ide pengaturan kekuasaan berdasarkan kesepakatan bersama. Walau
mungkin tampak mirip, syura dan demokrasi mempunyai basis ideologi yang berbeda secara
diametral.

B. Saran

Berdasarkan penelitian ini, penulis menyarankan agar pembaca mengkaji ulang


pemahaman dalam berbagai literatur mengenai konsep Perbandingan Antara Sistem
Pemerintahan Demokrasi dan Syura dalam Islam karena makalah ini menyajikan teori yang
ditemukan oleh penulis dan sangat berpeluang besar terjadi kontradiksi pendapat satu sama
lain.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ari, Anggi Wahyu. “Syura dan Demokrasi: antara Teori dan Prakteknya dalam Dunia Islam”.
Jurnal IA. Vol 2, No. 2 (2016)

Hanafi, Muhammad. “Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi”. Jurnal Cita Hukum. Vol. 1,
No. 2 (2013)

Ichsan, Muhammad. “Demokrasi dan Syura: Perspektif Islam dan Barat”. Jurnal Substantia.
Vol. 16, No. 2 (2014)

Muslim, Muhammad Nur Ichwan. Artikel Syura dalam Pandangan Islam dan
Demokrasi https://muslim.or.id/6055-syura-dalam-pandangan-islam-dan-
demokrasi.html (diakses pada 23 September 2023)

Rambe, Toguan dan Seva Mayasari. “Komparasi antara Konsep Syura dan Demokrasi dalam
Politik Islam”. Mukadimah: Jurnal Pendidikan, Sejarah, dan Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. 5,
No. 1 (2021)

Razak, Abdul. “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya”. Jurnal Media
Akademika. Vol. 25, No. 3 (2010)

Wafa’, Moh. Ali. “Hukum dan Sistem Demokrasi: Telaah Kajian dalam Konsep Al-Syura”.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 8, No. 2 (2021)

19

Anda mungkin juga menyukai