Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Konsep Demokrasi 2

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah


Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:

H. Didin Syaprudin, S.Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 6
Santi Aprilia (0101.2201.067)
Muhklis Adi Putra (0101.2201.060)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN

PURWAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Konsep Demokrasi” ini tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam mari kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaran dengan dosen pengampu Bapak H. Didin Syapruidin, S.Ag. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang kaum skeptis bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangu akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Jikalau
di dalam makalah ini terdapat kebenaran dan kegunaan, semua itu berasal dari Allah SWT. Jika di
dalamnya terdapat kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka semua itu karena kekurangan dan
keterbatasan penulis.

Purwakarta, 7 Mei 2023

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 3
A. Prinsip dan Parameter Demokrasi................................................................................................. 3
B. Sejarah Penegakan Demokrasi di Indonesia ................................................................................. 3
C. Islam dan Demokrasi....................................................................................................................... 5
D. Isu Gender dalam Islam dan Demokrasi ....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ....................................................................................................................................... 9
B. Saran ................................................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................. iii

ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (epistemologis) dan istilah
(terminologis). Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cretein”
atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein
atau demos-cratos adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat.
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan
aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui oleh Moh.
Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan
bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai
asas yang fundamamental.; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial
telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai
organisasi tertingginya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang
benar pada warga masyarakat tentang demokrasi.
Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta
pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik
dalam penyelenggaraan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal, yaitu:
a. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) Mengandung pengertian yang
berhubungan dengan pemerintah yang sah dan diakui (ligimate government) dimata
rakyat. Sebaliknya ada pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui (unligimate
government). Pemerintahan yang diakui adalah pemerintahan yang mendapat
pengakuan dan dukungan rakyat. Pentingnya legimintasi bagi suatu pemerintahan
adalah pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program- programnya.
b. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) Pemerintahan oleh rakyat berarti
bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas
dorongan sendiri. Pengawasan yang dilakukan oleh rakyat ( sosial control) dapat
dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung ( melalui DPR).
c. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people) Mengandung pengertian
bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan untuk
kepentingan rakyat. Pemerintah diharuskan menjamin adanya kebebasan seluas-
kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun
secara langsung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi prinsip dan parameter demokrasi?
2. Bagaimana sejarah penegakan demokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana hubungan Islam dan demokrasi?
4. Bagaimana isu gender dalam Islam dan demokrasi?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui apa saja yang menjadi prinsip dan parameter demokrasi
2. Mengetahui sejarah penegakan demokrasi di Indonesia
3. Mengetahui hubungan Islam dan demokrasi
4. Mengetahui ise gender dalam Islam dan demokrasi

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Prinsip dan Parameter Demokrasi


Suatu pemerintahan dikatakan demokratis, apabila mempunyai prinsip prinsip demokrasi.
Menurut masykuri abdillah, prinsip demokrasi terdiri dari tiga yaitu: persamaan,kebebasan,
dan pluralisme. Menurut Inu Kencana, prinsip demokrasi, yaitu:
1. adanya pembagian kekuasaan
2. adanya pemilihan umum yang bebas
3. adanya manajemen yang terbuka
4. adanya kebebasan individu
5. adanya peradilan yang bebas
6. adanya pengakuan pihak minoritas
7. adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum
8. adanya pers yang bebas
9. adanya beberapa partai politik
10. adanya musyawarah.
Untuk mengukur kinerja dalam menjalankan pemerintahannya secara
demoratis,dibutuhkan aspek-aspek pengukur sebagai parameter, yaitu:
Pertama, masalah pembentukan negara. Kita percaya bahwa proses pembentukankekuasaan
akan sangat menentukan bagaimana kualitas watak, dan pola hubunganyang akan dibangun.
Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legimitasi kekuasaan serta
pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat.
Ketiga, masalah kontrol rakyat. Apakah berbagai koridor tersebut sudah dengansendirinya
akan berjalan suatu proses yang memungkinkan terbangun sebuah relasiyang baik, yakni suatu
relasi kuasa yang simestris, memiliki sambungan yang jelas,dan adanya mekanisme yang
memungkinkan check and balance terhadap kekuasaanyang dijalankan eksekutif dan
legislatif.

B. Sejarah Penegakan Demokrasi di Indonesia


Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua tahapan yaitu tahapan pra
kemerdekaan dan tahapan pasca kemerdekaan. Seperti dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie
telah tumbuh praktik yang dapat dikaitan dengan gagasan kedaulatan rakyat ( penulis
menyebut gagasan demokrasi ) di wilayah nusantara ini terutama yang terjadi di pedesaan.
Dengan demikian bangsa Indonesia tradisi berdemokrasi sebenarnya telah dimulai sejak zaman
kerajaan Nusantara. Karena itu potensi tumbuhnya alam demokrasi sangat besar.
1. Demokrasi periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan demokrasi parlementer. Sistem demokrasi
parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan
diperkuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk
Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan pada beberapa Negara Asia lain.

3
Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama menjadi koridor dan
tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai.
Karena lemahnya benih-benih demokrasi system parlementer memberi peluang untuk
dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ir. Soekarno sebagai presiden
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang
Undang Dasar 1945. Keluarnya Dekrit Presiden tersebut merupakan intervensi presiden
terhadap parlemen. Dengan demikian sejak Dekrit Presiden keluar masa demokrasi
berdasarkan system parlemen berakhir.
2. Demokrasi Periode 1959-1965
Ciri system politik pada periode ini adalah dominasi peranan presiden, terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur sosial politik. Dalam praktik pemerintahan, pada periode ini telah banyak melakukan
distorsi terhadap praktik demokrasi. Pada periode ini ada kekeliruan besar dalam
demokrasi terpimpin Soekarno, yaitu adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi.
Demokrasi terpimpin Soekarno sebenarnya bukan system demokrasi yang sebenarnya
melainkan sebagai suatu bentuk otoriterian. Karena itu pada periode ini sebenarnya alam
dan iklim demokrasi tidak muncu, karena yang sebenarnya terjadi dalam praktik
pemerintahan adalah rezim pemerintah sentralistik otoriter Soekarno. Demokrasi terpimpin
ala Soekarno berakhir dengan lahirnya Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh
PKI ( Partai Komunis Indonesia).
3. Demokrasi periode 1965-1998
Periode pemerintahan ini muncul setelah gagalnya gerakan 30 september yang dilakukan
oleh PKI. Landasan formil periode ini adalah Pancasila, Undang Undang Dasar 1945 serta
ketetapan MPRS. Semangat yang mendasari kelahiran periode ini adalah ingin
mengembalikan dan memurnikan pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan demikian kejadian
pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi juga terjadi dalam demokrasi Pancasila pada
masa rezim Soeharto.
4. Demokrasi 1998-sekarang dengan Sistem Demokrasi Pancasila ( Orde Reformasi)
Demokrasi Pancasila Era Reformasi berakar pada kekuatan multi partai yang berupaya
mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga Negara. Demokrasi yang
dikembangkan pada masa reformasi ini adalah demokrasi dengan mendasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan
peraturanperatura yang dianggap tidak demokratis,meningkatkan peran lembagalembaga
tinggi Negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu
pada prinsip pemisahan kekuasaan , dan tata hubungan yag jelas antara lembaga-lembaga
eksekutif , legislatif, dan yudikatif. Demokrasi pada periode ini telah dimulai dengan
terbentuknya DPR-MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih Presiden dan Wakil
Presiden.

4
C. Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama kebebasan, persaudaraan, persamaan, tasy’ri dan hukum. Sistem
pemerintahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk demokrasi menurut pengertian Yunani
kuno dan juga menurut pemahaman kita sekarang. Sistem Demokrasi juga diterapkan dalam
hubungannya dengan Negara-negara lain (internasional), landasannya adalah asas kebebasan,
persaudaraan, dan persamaan antar bangsa, baik bangsa kecil maupun besar. Dengan
terbentuknya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam skala Internasional, merupakan salah
satu wadah kuat untuk memantapkan perdamaian di dunia. Tetapi Islam dan kaum muslimin
menyadari bahwa berdirinya Perserikatan Bangsa-bangsa atas dasar demokrasi, bukanlah suatu
hal yang gampang. Islam juga menyadari bahwa untuk menyakinkan semua bangsa agar
dengan suka rela menerima sistem tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh sebab
itu, prinsip-prinsip pada suatu zaman memang harus ditetapkan, tetapi kemudian pada zaman
lain prinsip-prinsip tersebut perlu dirombak atau diganti untuk mengikuti perkembangan
keadaan. Sistem pemerintahan pada bangsa-bangsa penganut paham Demokrasi berbeda-beda.
Seperti sistem pemerintahan Inggris bersifat Parlementer, sedangkan Amerika bersifat Federal
dengan kekuasaan legislative berada di tangan kongres. Bangsa-bangsa tersebut merumuskan
perundang-undangannya melalui dewan perwakilan yang benar dipilih secara jujur,
diperdebatkan secara bebas dan memutuskan sesuatu berdasarkan cara mayoritas. Sistem
Demokrasi yang mereka anut bersumber semboyan orang Prancis : Kebebasan, Persaudaraan,
dan Persamaan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam, kita harus kembali kepada prinsip-
prinsip utama yang telah ditetapkan sebagai landasan kehidupan manusia. Singkatnya, setiap
sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip Demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-
kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. “Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu “ (Al-imran : 159), “sedangkan urusan mereka dimusyawarahkan diantara
mereka” (Asy-syura : 38). Oleh sebab itu, sistem pemerintahan yang berdasarkan
Permusyawaratan model Islam harus dapat mewujudkan Kebebasan, Persaudaraan dan
Persamaan bagi manusia. Prinsip-prinsip tersebut, seperti :
1. Prinsip Persaudaraan.
Dalam konteks ini, secara tegas Al-qur’an menyatakan :” Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara” , “ Sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki
dan seorang perempuan, serta kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian
disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian” (Al-hujarat : 10& 13).
Warna kulit, kebangsaan dan bahasa, bagi islam bukanlah alasan untuk membeda-bedakan
manusia. Islam tidak mengutamakan orang Arab dan mengecilkan orang non Arab.
2. Prinsip Persamaan.
Persamaan dalam Islam merupakan contoh tertinggi yang patut diteladani. Persamaan tidak
hanya sebatas yang ditetapkan Undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup
persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan
keterpautan rezeki, ilmu, serta berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi.
3. Prinsip Kebebasan.
5
Kebebasan pada prinsipnya merupakan di mana setiap individu mempunyai hak dan
menggunakan hak tersebut sekehendaknya, dengan satu catatan bahwa kebebasan tersebut
tidak merugikan dan mengganggu kebebasan orang lain. Bentuk kebebasan yang tersurat
dan tersirat dalam semboyan Revolusi Prancis adalah yang terpenting kebebasan berfikir
dan mengeluarkan pendapat. Dalam islam pun kebebasan justru dalam bentuk dan makna
yang lebih luas, kita dapat lihat, misalnya bagaimana di kalangan kaum muslim Ahli
Sunnah terdiri dari empat mazhab, yang mana mereka selalu ada perbedaan dalam berfikir
dan berpendapat, akan tetapi disanalah letak kebebasan tersebut.
Kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang merupakan semboyan demokrasi
dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama islam. Prinsip-prinsip ini secara
nyata menuntut suatu bangsa melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga
perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas, dan menerima prinsip suara mayoritas.
Dalam hal pengambilan keputusan ini gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah
Tasy’ri (legislations) dan masalah hukum. Karenanya seseorang betapa-pun tinggi
kedudukannya, tidak berhak menetapkan suatu keputusan secara paksa.

D. Isu Gender dalam Islam dan Demokrasi


1) Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah swt berdasarkan kudratnya
masing-masing. Para pemikir Islam mengartikan qadar di dalam Al-Quran dengan ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah swt bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki
kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan
antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah swt lebih
menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah
menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan
dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-
Nisa‟ ayat 1.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun
hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan
manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk
dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS
51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai
kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial
ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan
menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan
perempuan dinyatakan di dalam Al Qur‟an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas
perempuan dieksplisitkan Al Qur‟an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga

6
tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang
normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu.
Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar
belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut
terformulasi dalam bahasa hukum (syari‟at). Syari‟at adalah suatu wujud formal wahyu
dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu
(normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al
Qur‟an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara
berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang
realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Gender dalam pandangan Islam melihat bahwa jenis laki-laki dan perempuan sama
di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami)
adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa‟: 34), namun kepemimpinan ini
tidak boleh mengantarnya kepada kesewenangwenangan, karena dari satu sisi Al-Quran
memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain
Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan
memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
2) Dalam Perspektif Demokrasi
Jika dilihat dalam konteks landasan hukum, kesetaraan gender di bidang politik
sebenarnya telah memiliki banyakjaminan hukum yang diatur oleh negara karena
pentingnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Namun hal ini belum
maksimal dalam memberikan akses, partispasi, keterwakilan perempuan di bidang politik.
Berikut beberapa peraturannya; Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Republik Indonesia 1945. UU ini menjelaskan bahwa segala warga negara,
artinya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan kesempatan yang
sama di bidang politik. Hal ini termaktub dalam pasal 27 dan 28. Kedua, Undang-Undang
Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan. UU
ini menjelaskan bahwa Konvensi Internasional mengenai Hak-Hak Politik Wanita telah
disahkan pada tahun 1952 dan Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor
68 Tahun 1958. Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan dan laki-laki mempunyai hak
untuk memilih dan dipilih untuk menduduki badan-badan yang pilih secara umum tanpa
diskriminasi. Ketiga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Undang-Undang ini ini mewajibkan negara peserta membuat peraturan-peraturan untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita dibidang politik. Hal ini terliat dalam pasal 2,
pasal 3, pasal 4, pasal 7 dan pasal 8. Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang
mengatur persoalan partisipasi dan keterwakilan perempuandalam bidang politik seperti
yang telah dijabarkan sebelumnya jika dilihat secara kuantitatif maupun kualitatif tetap
dalam realitas nyata masih saja diskriminasi.

7
Selanjutnya usaha yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di
bidang politik terkait keterwakilan perempuan diantaranya: pertama, melakukan
peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dengan melakukan pendidikan
politik. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 bahwa
partai politik harus melakukan pendidikan politik dan juga recruitmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan
gender. Kedua, melakukan peningkatan keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi
strategis, karena masih banyaknya anggota partai politik yang enggan memberikan peranan
penting dan mengeluarkan dana yang lebih demi keterwakilan perempuan, masih
banyaknya partai politik yang mengutus beberapa perempuan atas dasar keterwakilan
perempuan sebagai pemenuhan syarat belaka. Oleh sebab itu, usaha penguatan tindakan
khusus sementara pada pemilu sangat penting. Ketiga, usaha dalam meningkatkan partipasi
perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang sangat penting. Sebab, jika partisipasi
perempuan dalam proses pengambilan keputusan minim, maka ini akan berdampak pada
proses legislasi, anggaran serta pengawasan yang belum berfokus pada kesetaraan gender.
Legislasi yang berfokus pada kesetaraan gender ternyata belum sesuai dengan
prinsip-prinsip HAM dan Gender. Lembaga legislatif seharusnya membentuk peraturan
perundang-undangan yang berspektif HAM dan Gender, sehingga parameter atau indikator
yang diperlukan menjadi jelas. Persoalan anggaran yang harus reponsif terhadap gender
merupakan suatu metode atau cara menganalisis anggaran negara dengan melihat
bagaimana transparansi pemerintah dan memastikan adanya pemberian pelayanan publik
yang efisien, berkesetaraan dan berkeadilan gender. Serta selanjutnya persoalan usaha
pengawasan yang responsif, dimana pengawasan ini merupakan proses
pertanggungjawaban secara moral dan politik orang-orang yang menjadi perwakilan rakyat
dalam pelaksanan kekuasaan politik. Prinsip pengawasan yang legislatif terhadap eksekutif
sebenarnya untuk menjamin keberhasilan pemerintah perwakilan yang akuntabel melalui
institusi yang melekat dengan kedaulatan rakyat.Pada kenyataannya, mewujudkan sistem
politik yang berkeadilan dan kesetaraan gender bukanlah suatu hal yang mudah, melihat
masih melekatnya budaya patriarki dalam diri masyarakat. Perlu rasanya untuk
membangun sinergitas dari semua pihak dalam mewujudkan sistem politik yang
berkesetaraan gender. Masih banyaknya tantangan serta permasalahan yang sedang
dihadapi pada masa pemerintahan bapak presiden Jokowi saat ini terkait pengesahan
beberapa Peraturan Perundang-undangan yang melindungi hak-hak perempuan seharunya
menjadi fokus kita bersama, sehingga ketika perempuan sudah memiliki power di sistem
politik terutama dalam lembaga legislatif, hal-hal seperti itu sekiranya bisa di selesaikan
dengan cepat dengan mempertimbangakan aspek-aspek keadilan dan kesetaraan gender.

8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan polituk
dimana individu- individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat. Menurut masykuri abdillah, prinsip demokrasi terdiri dari tiga
yaitu: persamaan, kebebasan, dan pluralisme.
Sejarah penegakan demokrasi di Indonesia terbagi menjdi 4 periode yaitu:
1. Demokrasi periode 1945-1959 (parlementer)
2. Demokrasi Periode 1959-1965
3. Demokrasi periode 1965-1998
4. Demokrasi 1998-sekarang (era reformasi)
Sistem pemerintahan yang berdasarkan Permusyawaratan model Islam harus dapat
mewujudkan Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan bagi manusia yang merupakan
semboyan demokrasi juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama islam. Prinsip-prinsip ini
secara nyata menuntut suatu bangsa melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga
perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas, dan menerima prinsip suara mayoritas. Dalam
hal pengambilan keputusan ini gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah Tasy’ri
(legislations) dan masalah hukum. Karenanya seseorang betapa-pun tinggi kedudukannya,
tidak berhak menetapkan suatu keputusan secara paksa.
B. Saran
Penulis menyadari akan kekurangan yang ada pada makalah ini, namun semoga apa yang
disampaikan dalam makalah ini memberikan manfaat bagi setiap yang membacanya. Kritik
dan saran sangat penulis nantikan guna memperbaiki makalah yang penulis susun. Terima
kasih.

9
DAFTAR PUSTAKA

Kasmawati. (2013). Gender dalam Perspektif Islam. Sipakalebbi', 55-68.


Subaidi, Q. (2011). Kepekaan Gender dalam Islam dan Demokrasi. Jurnal Agama dan Hak Azazi
Manusia, 149-182.
Susfita, N. (2015). Islam dan Demokrasi (Telaah Pemikiran Politik M. Husein Haikal). Tasamuh,
149-158.
https://matabanua.co.id/2021/10/25/perempuan-dan-demokrasi-kesetaraan-gender-dalam-
berpolitikkan-indonesia/
https://www.academia.edu/8697693/Makalah_Demokrasi

iii

Anda mungkin juga menyukai