Anda di halaman 1dari 13

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh:

NAMA : 1. Abudiar Redondo 21030119130055

2. Hermalia Nur Indahsari 21030119120025

3. Lisa Deasari 21030119120009

4. Muhammad Pradiphta 21030119130063

5. M. Kersaning Alam 21030119140071

KELAS: C

TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2019
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركا ته‬

Puji syukur kami kehadirat Allas SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul tentang “Pandangan
Demokrasi Menurut Agama Islam”. Kami ambil materinya dari situs
“www.eramuslim.com dan situs islam lainnya, yang di berikan profesor kepada kami untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI).
Pada saat ini banyak sekali Negara yang menganut Sistem Demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya. Demokrasi sendiri artinya sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum.
Dengan adanya makalah ini kami selaku penyusun ingin memberikan sebuah
gambaran tentang demokrasi dalam pandangan agama islam. Namun kami selaku penyusun
minta maaf atas banyaknya kekurangan dari makalah ini,kami yakin bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penyusun menantikan saran dan usulan dari pembaca
untuk perbaikan penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

Semarang, 21 Oktober 2019

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.3 Manfaat..................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
2.1 Pengertian Demokrasi............................................................................................................5
2.2 Asal Usul Demokrasi.............................................................................................................5
2.3 Pandangan Ulama tentang demokrasi....................................................................................8
2.4 Persamaan dan Perbedaan Demokrasi dan Islam.................................................................10
2.4.1 Persamaan Islam & Demokrasi....................................................................................10
2.4.2 Perbedaan Islam & Demokrasi.....................................................................................10
BAB III................................................................................................................................................12
PENUTUP...........................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12
3.2 Saran....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rasulullah saw bersabda:

ِ ‫ل اَ تَقُو ُم السَّا َعةُ َحتَّى تَأْ ُخ< َذ أُ َّمتِي بِأ َ ْخ< ِذ القُ<ر‬
‫ ِش< ْبرًا بِ ِش<ب ٍْر َو ِذ َرا ًع<<ا‬،‫ُون قَ ْبلَهَ<<ا‬
َ ِ‫ َو َم ِن النَّاسُ إِاَّل أُولَئ‬:‫وم؟ فَقَا َل‬
‫ك‬ ِ ُّ‫س َوالر‬
َ ‫ار‬ِ َ‫ َكف‬،ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ يَا َرس‬:‫يل‬ َ ِ‫ فَق‬،»‫اع‬ٍ ‫بِ ِذ َر‬
Artinya: “Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-
generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan,
“Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana
lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy
(13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam
mengikuti umat lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan
dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik,
bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau
hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan
dibuang atau diabaikan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui demokrasi dalam
pandangan islam, asal- usul demokrasi, pandangan ulama tentang demokrasi , serta
persamaan-perbedaan demokrasi dan islam.

1.3 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Dapat mengetahui demokrasi dalam pandangan islam.
2. Dapat mengetahui asal-usul demokrasi.
3. Dapat mengetahui pandangan ulama tentang demokrasi.
4. Dapat mengetahui persamaan-perbedaan demokrasi liberal dan islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi


Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-
wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863)
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.”[1] Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat,
rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan
apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.Selain itu, demokrasi juga menyerukan
kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
2.2 Asal Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía)
“kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος
(Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan
abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul
revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk
sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu,
bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara
kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem
pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota
tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki,
monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang
mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung.
Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan
negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar
bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang
bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam
pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan
pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena,
hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem
Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas
Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir
pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-
tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu,
demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama
dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama
tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam
berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima
demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang
melingkupi kelahirannya.Kata-kata yang sering keluar yaitu:
1. Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa
hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh
lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di
tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu,
maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih
baik daripada hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan
kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw membacakan:

ِ ‫ارهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم أَرْ بَابًا ِم ْن ُد‬


ِ ‫ون هَّللا‬ َ َ‫اتَّ َخ ُذوا أَحْ ب‬
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah.” (QS. At Taubah : 31)
Ady bin Hatimr.a berkata:
‫يارسول هللا انهم لم يكونوا يعبدونهم‬
Artinya: “Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka
(rahib).”

Maka Rasul menjawab:


‫اجل ولكن يحلون لهم ما حرم هللا فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل هللا فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم‬
Artinya: “Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa
yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka
mengh aramkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany)
mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka
(rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan
sanad Hasan]
Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa
manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang
muslim untuk meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah
dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang
haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang
tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali
perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang
membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan
kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :
“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami
berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam
melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang
hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga
melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’
seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan,
homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem
sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi
membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak
aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun
tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan
suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-
sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan[4].
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal
dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan
mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar
dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan
cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak
(mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai
berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah
kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian
Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh
mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:

ِ ‫ْت أَ ْع‬
ِ َ‫صي ِه َوهُ َو ن‬
‫اص ِري‬ ُ ‫إِنِّي َرسُو ُل هَّللا ِ َولَس‬
Artinya: “Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia
adalah penolongku.” (HR Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau
kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil
untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak
memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang
Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini
juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut
demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi
sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh
massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi,
sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato
dalam bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of
freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”. (…mereka
adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan
berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya).
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas.
Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri
sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai
tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak
bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia
menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup.
Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan
sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang
memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak
kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya
moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak
sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak
mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis
Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan
yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
1 Demokrasi Ketuhanan
Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada
kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi
namun membuang apa yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita
memakai demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud
berdemokrasi namun hukum syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini
sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi saja, seperti orang mau
memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan
daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah.
Allah berfirman:

‫ين‬َ ‫اعنَا َوقُولُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا َولِ ْل َكافِ ِر‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
ِ ‫ين آ َمنُوا اَل تَقُولُوا َر‬
‫َع َذابٌأَلِيم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi
orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah 104)
“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para
sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula
kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka
katakan ialah ”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada
Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar
perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”.
Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut
kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata yang memang memiliki
pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.
2. Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)
Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan
yang seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]
Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama bahwa kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak
menetapkan hukum bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan
yang diharamkan Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.

ِ َ‫ق َوهُ َو خَ ْي ُر ْالف‬


َ‫اصلِين‬ َّ ‫إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِاَّل هَّلِل ِ يَقُصُّ ْال َح‬
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS Al An’am : 57)
Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib
menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:

‫ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر‬


ِ ‫فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)
Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih
pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat
dipahami dari hadis-hadis tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara,
kecuali dibai’at (diangkat) oleh umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum
muslimin. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:

َّ ‫الص<اَل ةُ َو‬
:‫الس<اَل ُم‬ َّ ‫ض أَوْ أَ ْكثَ َر فَاَل يَجُو ُز لِقَوْ لِ ِه َعلَ ْي ِه‬ ِ ْ‫فَأ َ َّما نَصْ بُ إِ َما َم ْي ِن فِي اأْل َر‬
‫ َوهَ َذا قَوْ ُل‬. ” َ‫ق بَ ْينَ ُك ْم فَا ْقتُلُوهُ َكائِنًا َم ْن َكان‬ َ ِّ‫َوأَ ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع ي ُِري ُد أَ ْن يُفَر‬ ‫“ َم ْن َجا َء ُك ْم‬
‫ ِم ْنهُ ْم إِ َما ُم ْال َح َر َمي ِْن‬،‫ك َغ ْي ُر َوا ِح ٍد‬
َ ِ‫ َوقَ ْد َح َكى اإْل ِ جْ َما َع َعلَى َذل‬،‫ُور‬ ِ ‫ْال ُج ْمه‬
“Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh
berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan
kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun
orangnya“(HR. Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang
yang telah menceritakan adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul
Haramain.”
Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum
syara’.Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang
termasyhur,
‫حكم الحاكم يرفع الخالف‬
Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah
syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri
mâ yahdutsu min musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan
baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).
2.4 Persamaan dan Perbedaan Demokrasi dan Islam

2.4.1 Persamaan Islam & Demokrasi


Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang
mempertemukan Islam dan demokrasi :
1. Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan
kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai
sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat
sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden.
Pembuatan
Undang-Undang atau hukum didasarkan pada al-Quran dan Hadist, ijma, atau
ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan
kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan
terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan
eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan
keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau
presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah
Swt.
2. Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat
pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian
bahwa rakyat harus
memahami Islam secara komprehensif.
3. Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya,
asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan
berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak
tertentu, seperti hak hidup dan bebas
mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.

2.4.2 Perbedaan Islam & Demokrasi


1. Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi
batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang
mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran
nasionalisme atau
rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat
tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam
Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang
mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna
kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam
sangat manusiawi dan bersifat internasional.
2. tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap
masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi
ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya
pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan,
peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup
pemenuhan kebutuhan duniawi materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih
utama dan fundamental.
3. kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan.
Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan,
kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak
mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat
tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, al-Quran dan
as-Sunnah tanpa mendapat sanksi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya
adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun
tidak langsung. Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis
besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya
atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Fakta juga membuktikan kerusakan masyarakat akibat dipakainya konsep
demokrasi ini, bukan hanya di Indonesia, namun juga di AS yang menjajakan konsep
ini. Allahu A’lam. (Insya Allah disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada
24 Maret 2013)
3.2 Saran
Demi mewujudnya demokrasi yang sesuai dengan cita-cita bangsa dalam
Pancasila, maka kita harus menjalani norma-norma yang menjadi pandangan hidup
demokrasi:
1. Pentingnya kesadaran akan pluralisme.
2. Musyawarah.
3. Pertimbangan moral.
4. Pemufakatan yang jujur dan sehat.
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi.
6. Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik
masing-masing.
7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan
system pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ni’matul Huda. Ilmu Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 195.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddqy. 1995. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. PT
Pustaka Rizki Putra:Jakarta. Hal 717-721.
Al Marsudi, Subandi. Pancasila dan UUD 45 : Dalam Paradigma Reformasi. 2012. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sulaiman, Asep. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.2012. Bandung: Asman Press
http://www.zulkieflimansyah.com/in/kompatibilitas-islam-dan-demokrasi.html
http://www.eramuslim.com/islam-dan-demokrasi.html
http://www.docstoc.com/docs/22801041/Lagi-Soal-Islam-dan-Demokrasi/
http://www.islamic-center.or.id/-slamiclearnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-
syariah/665-islam-dan-demokrasi

Anda mungkin juga menyukai