Anda di halaman 1dari 3

Mengatasi Perdagangan Manusia

Seorang peserta membawa poster yang menyuarakan pemberantasan perdagangan dan


perbudakan manusia, saat mengikuti aksi Women's March di depan Istana negara Jakarta, 3 Maret
2018.

Tidak sedikit pelaku perdagangan orang telah ditangkap tapi tindak kejahatan kemanusiaan
yang satu ini tak kunjung dapat dihapus. Bahkan ada indikasi tenaga kerja Indonesia dan orang-orang
yang menjadi korban cenderung terus meningkat.

Seperti dilaporkan Koran Tempo (26 Maret 2018), dalam satu bulan terakhir ini saja, Badan
Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian telah mengungkap tiga kasus perdagangan orang dengan
korban ratusan pekerja migran di Sudan, Arab Saudi, dan Gabon. Kasus ini adalah bagian dari tindak
kejahatan kemanusiaan yang berskala global, lintas negara, dan melibatkan jaringan internasional
yang benar-benar kuat.

Dalam lima tahun terakhir, kejahatan tersebut telah menimbulkan dampak negatif di banyak
negara, termasuk di Indonesia. Perdagangan manusia tidak hanya merupakan persoalan kriminalitas,
tapi juga berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak manusia yang paling fundamental, yaitu
hak untuk kebebasan, mendapat kehidupan yang layak, memperoleh kesejahteraan, serta hak
manusia sebagai makhluk yang bermartabat (Brysk, 2011: 21-24). Perdagangan manusia merupakan
bentuk pelanggaran hak asasi yang sangat serius dan berat, serta biasanya terjadi bersamaan
dengan bentuk pelanggaran hak asasi lain, seperti perbudakan, penyelundupan, dan eksploitasi
manusia.

Kantor PBB Urusan Narkotik dan Kejahatan mendefinisikan perdagangan manusia sebagai
tindak kejahatan terhadap manusia dengan cara merekrut, mengangkut, memindahkan,
menyembunyikan, atau menerima seseorang melalui kekerasan, paksaan, dan tindakan jahat lainnya
dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka (2012: 4-5).
Tindak perdagangan orang ini sebetulnya bukan hal baru. Perdagangan orang telah terjadi
sejak dulu, ditandai dengan pemanfaatan tenaga kerja bergaji rendah atau mungkin tidak diberi
upah sama sekali, dan kualitas kehidupan yang sangat buruk, yang sering dikenal dengan istilah
budak. Perbudakan merupakan bentuk perdagangan manusia pada masa lalu ketika manusia diambil
paksa dari daerah asal dan dipindahkan ke suatu daerah untuk dipekerjakan secara paksa oleh
penjajah dari Eropa yang ketika itu menguasai perekonomian dan politik internasional (Obokata,
2006: 17-18).

Saat ini perdagangan orang tidak dilakukan secara terang-terangan seperti perbudakan pada
zaman dulu. Tapi apa yang terjadi sekarang sebetulnya tidak banyak berubah dari sisi substansi.
Banyak tenaga kerja asal Indonesia menjadi korban perbudakan modern karena berkaitan dengan
dua faktor. Pertama, status pekerja asal Indonesia yang kebanyakan ilegal. Diperkirakan sebanyak
1,9 juta dari 4,5 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang kebanyakan perempuan, tidak
memiliki dokumen resmi yang sah atau telah tinggal melewati batas izin tinggal. Dengan status yang
ilegal inilah pekerja migran sering tidak berdaya dan rentan menjadi korban eksploitasi serta
perlakuan salah dari majikan, calo, atau bahkan aparat keamanan setempat.

Ketika pemerintah mengeluarkan moratorium untuk tidak lagi mengirim tenaga kerja ke
negara tertentu, ternyata masih banyak tenaga kerja Indonesia yang nekat masuk ke negara lain
secara tidak resmi. Cara ini mereka tempuh, selain bertujuan untuk mencari sumber penghasilan
lebih, juga karena mereka biasanya menjadi korban bujuk-rayu calo yang banyak beroperasi di
berbagai desa. Padahal, dengan status sebagai pekerja ilegal, seluruh jaminan perlindungan yang
penting akhirnya tidak mereka dapat, sehingga tidak sedikit pekerja migran yang menjadi korban
tindak sewenang-wenang dari majikan atau pihak lain yang mengeksploitasi mereka.

Kedua, minimnya perlindungan dan cara kerja mafia perdagangan manusia yang memiliki
jaringan perekrutan hingga ke berbagai desa. Di Amerika Serikat, misalnya, menurut data Mentari
Human Trafficking Survivor Empowerment Programme yang berkantor pusat di New York, setiap
tahun sekitar 17-19 ribu orang dibawa ke Amerika Serikat untuk diperdagangkan. Mereka
kebanyakan adalah tenaga kerja dari desa yang kurang berpendidikan-khususnya perempuan-yang
tidak memahami risiko bila mereka mengadu nasib bekerja di luar negeri. Korban tidak hanya
perempuan, anak-anak di bawah umur pun menjadi korban potensial. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia mencatat, selama 2011 hingga Juli 2016, ada 860 laporan mengenai perdagangan anak
dan terdapat indikasi jumlahnya terus meningkat.

Selama ini, pemerintah sebetulnya telah menghukum ratusan pelaku dan menyelamatkan
ribuan warga Indonesia yang menjadi korban di luar negeri. Apakah ini membuat pelaku kapok?
Ternyata tidak. Masalahnya, jumlah aparat ke

amanan di bidang pengawasan masih kurang memadai. Dukungan dan keterlibatan


masyarakat sebagai pengawas juga masih kurang.

Untuk mencegah agar kasus perdagangan orang tidak makin marak, selain membutuhkan
konsistensi penanganan terhadap korban dan peran aktif pemerintah dalam perlindungan pekerja
migran, yang tak kalah penting adalah bagaimana mencegahnya sejak dini. Pemerintah harus
mengembangkan pendekatan sistem dukungan komunitas dengan merangkul berbagai kelompok
masyarakat untuk lebih peka dan ikut mengontrol mafia perdagangan manusia yang banyak
beroperasi di pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai