Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGANTAR HUKUM INDONESIA


PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA

Disusun Oleh :

1. Ananda Viola Maharani 2308010234


2. Salsabila Triandani 2308010229
3. Eka Lintang Nuril 2308010230
4. Dismas Arya Diputra 2308010241
5. Muhammad Alfibriano 2308010238
6. Destika Santi Putri 2308010232
7. Meylisa Asmiati 2308010236

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pembagian Kekuasaan
Negara”.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memahami lebih dalam tentang konsep pembagian
kekuasaan dalam negara, yang merupakan prinsip dasar dalam sistem pemerintahan
demokrasi. Melalui pembagian kekuasaan, kita dapat memastikan bahwa tidak ada satu
lembaga atau individu yang memiliki kekuasaan absolut, sehingga mencegah penyalahgunaan
kekuasaan.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang asal-usul konsep pembagian kekuasaan,
bagaimana konsep ini diterapkan dalam berbagai sistem pemerintahan, dan pentingnya
pembagian kekuasaan dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan makalah ini
di masa mendatang.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam memahami
pentingnya pembagian kekuasaan dalam sebuah negara.

Semarang, 26 September 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... iv
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ iv
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ v
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................. vi
2.1 Pembagian Kekuasaan secara Horizontal dan Vertikal ................................................. vi
2.2 Tujuan Pemisahan Kekuasaan....................................................................................... viii
2.3 Diskresi sebagai Bentuk Pembagian Kekuasaan ........................................................... viii
2.4 Paradigma Pengaturan Pemisahan Kekuasaan ..............................................................ix
BAB III ............................................................................................................................................ x
PENUTUP........................................................................................................................................ x
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................ x
3.2 Saran ...................................................................................................................................... x
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................xi

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan
hukum1. Secara Etimologis, istilah negara berasal dari bahasa Inggris (state), Belanda
(staat), Italia (e’tat), Arab (daulah). Kata staat berasal dari kata Latin, status atau
statum yangberarti menaruh dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, menempatkan
diri2. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara
negara di satu pihak dan hukum di pihak lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara
ketertiban hukum (rectsorde). Oleh karena itu, Negara membutuhkan hukum dan
sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara 3.

Sebagai halnya mengenai konsepsi pemisahan kekuasaan yang diutarakan


Montesquie, terdapat tiga kelembagaan dalam sebuah negara yang menjalankan
fungsi dan perannya masing-masing yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ketiga fungsi tersebut secara umum memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda
serta tidak saling mencampuri satu sama lain meskipun pada tataran implementatif
tidak demikian halnya. Banyak negara seperti Inggris, Amerika dan beberapa negara
lainnya yang menerapkan sistem tersebut, namun pada faktanya tetap ada hubungan
yang saling mengontrol (Check and Balance) antara ketiganya, karena itu tetap ada
hubungan yang terjalin disana meskipun masih tetap terdapat pembagian yang tegas
dalam lembaga-lembaga itu4.

Prinsip pembagian kekuasaan di Indonesia dianut UUD 1945 selama kurun waktu
1970-1998. Akibatnya sangat berpengaruh terhadap sistem kekuasaan di Indonesia
sebagaimana tercermin dari berbagai produk hukum. Dalam konteks kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Agung dan peradilan yang ada dibawahnya hanya dijadikan
corong undang-undang dan bukan corong hukum dan keadilan. Sehingga kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 UUD
1945, tidak sepenuhnya dapat diwujudkan5.

Di Indonesia, asas kekuasaan negara menurut perspektif UUD 1945 (sebelum


amandemen) tidak meyakini asas pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation
of power), tetapi mempraktikkan asas pemisahan kekuasaan dalam arti formal
(division of power). UUD 1945 (sebelum amandemen) memastikan bahwa kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dijalankan seutuhnya oleh MPR. Artinya, sumber
kekuasaan itu hanya ada di rakyat dan MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk
dan atas nama rakyat. Sumber kekuasaan diberikan pada MPR dan berfungsi terus dan
tidak habis, walaupun sebagian kekuasaan diberikan kepada lembaga negara lain.
Artinya, konteks hubungan MPR dengan lembaga negara dibawahnya adalah asas

1
Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta,h. 19.
2
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 23.
3
Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 20.
4
Lieberman, Jethro K. "Separation of Powers." Microsoft®️ Encarta®️2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2005.
5
Janpatar Simamora, 2016, Considering Centralization of Judicial Review Authority in Indonesia Constituti

iv
“delegasi kekuasaan” (delegation of power). Pada asas delegasi kekuasaan, MPR
sebagai lembaga tertinggi negara mendistribusikan kekuasaannya kepada lembaga-
lembaga negara yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sehingga, lahirlah
pertanggungjawaban kekuasaan dari penerima delegasi kepada pemberi delegasi,
yaitu lembaga-lembaga tinggi negara kepada lembaga tertinggi negara 6.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan pembagian kekuasaan negara secara horizontal dan vertikal
2. Tujuan Pemisahan Kekuasaan
3. Diskresi sebagai Bentuk Pembagian Kekuasaan
4. Paradigma Pengaturan Pemisahan Kekuasaan

6
Ibid, 3.

v
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Kekuasaan secara Horizontal dan Vertikal


1. Horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi
lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Berdasarkan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara horizontal pembagian kekuasaan
negara di lakukan pada tingkatan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.

Pembagian kekuasaan pada tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara


lembagalembaga negara yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat
pemerintahan pusat mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran
klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga jenis kekuasaan
(legislatif, eksekutif dan yudikatif) menjadi enam kekuasaan negara, yaitu7:

a. Kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan


Undang-Undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.

b. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang


dan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Kekuasaan ini dipegang oleh
Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.

c. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.


Kekuasaan ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.

d. Kekuasaan yudikatif atau disebut kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan


untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

7
http://pkn-ips.blogspot.co.id/2014/10/konsep-pembagian-kekuasaan-negara-di.html, diakses tgl 9 Januari
2018 pukul 14.50

vi
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.

e. Kekuasaan eksaminatif/inspektif, yaitu kekuasaan yang berhubungan


dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

f. Kekuasaan moneter, yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan melaksanakan


kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
serta memelihara kestabilan nilai rupiah. Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank
Indonesia selaku bank sentral di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 23 D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-
undang

Pembagian kekuasaan secara horizontal pada tingkatan pemerintahan daerah


berlangsung antara lembaga-lembaga daerah yang sederajat, yaitu antara Pemerintah
Daerah (Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Pada tingkat provinsi, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah
provinsi (Gubernur/wakil Gubernur) dan DPRD provinsi. Sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah
Kabupaten/Kota (Bupati/wakil Bupati atau Walikota/wakil Walikota) dan DPRD
kabupaten/kota.

2. Vertikal
Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal di negara


Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
(pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota). Pada pemerintahan daerah
berlangsung pula pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh
pemerintahan pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh
Pemerintahan Pusat dalam bidang administrasi dan kewilayahan. Pembagian
kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi dari diterapkannya asas
desentralisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

vii
Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan wewenang pemerintahan
kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan
mengatur sendiri urusan pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan
dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal 8.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. Pemberian otonomi kepada daerah bertujuan meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam
pelaksanaan kepada masyarakat maupun meningkatkan kestabilan politik dan
kesatuan bangsa9.

2.2 Tujuan Pemisahan Kekuasaan


Indonesia sudah pernah memberlakukan tujuan implementasi praktik pemisahan
kekuasaan dalam sistem presidensial. Proses perubahan pertama sampai keempat
UUD NRI 1945, MPR memiliki kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan yang
mengemuka yaitu:
(1) tidak mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945~
(2) tetap mempertahankan NKRI~
(3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
(4) hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 dimasukkan ke dalam
pasal-pasal (batang tubuh)~
(5) Disepakati dan melakukan perubahan dengan cara adendum. Selain itu, pembagian
kekuasaan dirumuskan dengan tegas dengan prinsip checks and balances 10.

Teori konstitusi konvensional menyederhanakan dan mencerminkan perbedaan antara


sistem presidensial dan parlementer. Hal ini, bagaimana sistem parlementer sering
mematuhi persyaratan pemilu karakteristik presidensialisme, seperti sistem
presidensial kadang-kadang rentan terhadap pemilihan secara paksa yang
berhubungan lebih dekat dengan parlementarisme.

2.3 Diskresi sebagai Bentuk Pembagian Kekuasaan


Pemikiran diskresi sebagai bentuk pembagian kekuasaan antara pemerintah
(eksekutif) dan pembentuk undang-undang (legislatif) di awali dari pemikiran filsuf
inggris, John Locke tentang pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu, pendapat Locke
akan dipakai untuk memahami hakikat diskresi sebagai bentuk pembagian kekuasaan.

Di dalam two treatises on civil goverment (1690), John Locke mengkritik kekuasaan
mutlak raja-raja Stuart serta sebagai pembenaran revolusi gemerlap pada tahun 1688
(glorious revolution of 1688). John Locke memisahkan tiga macam kekuasaan negara

8
ibid
9
HAW. Widjaja, 1998, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 147.
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010:458
viii
yaitu: legislative, executive, dan federative 11. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut
memberikan inspirasi kepada Montesquieu 12. Dalam bukunya esprit des lois (1948),
Montesquieu dengan teori trias politica-nya membagi menjadi 3 (tiga) kekuasaan
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan di Amerika Serikat
adalah gambaran pelaksanaan ide trias politica Montesquieu. Ketiga kekuasaan
tersebut harus dipisahkan secara mutlak sehingga muncul adanya check and balance.
Pemisahan kekuasaan dengan asas ‘check and balance’ seperti di Amerika Serikat
bisa mengurangi timbulnya tirani dan diktator13.

Montesquieu mengharapkan pemisahan kekuasaan secara tegas pada ketiga cabang


kekuasaan tersebut, baik berkaitan dengan fungsi maupun alat kelengkapannya
(organ) yang melaksanakan kekuasaan tersebut. Pemisahan kekuasaan sebagai
prasyarat independensi yudikatif, karena akan melindungi kemerdekaan individu dan
hak asasi manusia. Asas persamaan di depan hukum sebagai suatu elemen yang
substansial dalam konsep the rule of law. Pemisahan kekuasaan dipandang sebagai
sesuatu yang absolut oleh Montesqueiu.

2.4 Paradigma Pengaturan Pemisahan Kekuasaan


Paradigma pengaturan pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan presidensial
Indonesia tidak menganut sistem dari negara manapun, melainkan suatu sistem khas
bagi Indonesia. Hal ini, tercermin dari proses pembentukan yang digali dari nilai-nilai
kehidupan NKRI sendiri. Menurut UUD NRI Tahun 1945, kedudukan Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kekuasaan tertinggi
negara di bawah pengawasan parlemen. Khususnya, pengaturan kehidupan
kenegaraan, baik yang terdapat dalam beberapa pokok-pokok sistem pemerintahan
sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Indonesia pascaperubahan konstitusi masih tetap menganut sistem pemerintahan


presidensial berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:
“(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar; dan (2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu
oleh satu orang Wakil Presiden”.

Artinya, The Founding Father bangsa menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia secara
hitrogen meliputi struktur sosial, budaya dan agama maupun wilayah luas
memerlukan pemerintahan efektif dan politik stabil. Jawaban paling tepat adalah
pemerintahan menggunakan sistem presidensial, pemikiran Giovanni Sartori
sebagaimana dikutip A. B. Kusuma menyatakan bahwa: “Semua sistem konstitusi
yang benar selalu mengandung sistem checks and balances, all truly constitusional
system are systems of checks and balances

11
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 151–52
12
Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Jakarta: Elsam, 1997), 48–49
13
Lihat CC. Rodde et.al, Pengantar Ilmu Politik (Introduction to Political Science), cet. IV, diterjemahkan oleh
Zulkifli Hamid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 66–67. Lihat juga Suparto, “Pemisahan Kekuasaan,
Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen Menurut Islam,” JURNAL SELAT Volume. 4, no. 1
(Oktober 2016): 117–18.

ix
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian, yaitu pembagian kekuasaan
secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan horizontal
pada tingkat pemerintahan pusat mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi enam kekuasaan negara yaitu kekuasaan
konstitutif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, eksaminatif/inspektif
dan kekuasaan moneter. Sedangkan pembagian kekuasaan horizontal pada tingkat pemerintahan
daerah berlangsung antara lembaga-lembaga daerah yang sederajat, yaitu antara Pemerintah
Daerah (prov/kab/kota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD prov/kab/kota).

Pembagian kekuasaan secara vertikal berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka arah analisis pengaturan dan praktik pemisahan
kekuasaan dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia mengandung materi muatan
pertimbangan landasan filosofis, sosiologis, yuridis maupun politis bersumber Pancasila dan
UUD 1945, baik sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945. Khususnya,
pascaperubahan konstitusi keblablasan dan dinyatakan sah oleh lembaga legislatif.
Konsekuensinya, padahal ini merupakan sebuah kekhawatiran. Konsep arah pemisahan
kekuasaan dalam konteks kekinian tidak menunjukkan respon positif.

3.2 Saran
Sebaiknya di rumuskan dalam konstitusi mengenai negara hukum mana sesungguhnya bangsa
Indonesia saat ini. Apakah negara hukum dalam arti rechtsstaat atau Negara hukum dalam arti
the rule of law atau justru merupakan negara hukum dengan ciri khas tersendiri. Dengan jelasnya
negara hukum apa yang dianut bangsa Indonesia ini akan menyebabkan seluruh proses
penyelenggaraan pemerintahan atau negara benar-benar didasarkan pada kaidahkaidah yang
tertuang dalam konstitusi itu sendiri.

x
DAFTAR PUSTAKA

Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta,h.
19.

Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
h. 23.

Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 20.

Lieberman, Jethro K. "Separation of Powers." Microsoft®️ Encarta®️2006 [DVD]. Redmond,


WA: Microsoft Corporation, 2005.

Janpatar Simamora, 2016, Considering Centralization of Judicial Review Authority in


Indonesia Constituti

Ibid, 3.

http://pkn-ips.blogspot.co.id/2014/10/konsep-pembagian-kekuasaan-negara-di.html, diakses
tgl 9 Januari 2018 pukul 14.50

ibid

HAW. Widjaja, 1998, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.
147.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010:458

Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 151–52

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Jakarta:


Elsam, 1997), 48–49Lihat CC. Rodde et.al, Pengantar Ilmu Politik (Introduction to Political
Science), cet. IV, diterjemahkan oleh Zulkifli Hamid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000),
66–67. Lihat juga Suparto, “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman
Yang Independen Menurut Islam,” JURNAL SELAT Volume. 4, no. 1 (Oktober 2016): 117–
18.

xi

Anda mungkin juga menyukai