Anda di halaman 1dari 12

Kewenangan dan Legitimasi Politik

Disusun Oleh:
Kelompok 6
1. Dimas Hakiki M 2133001077
2. Tiara Mahrani M 2133001099
3. Sahril Mengku P 2133001157
4. Ngadiyanto 2133003005

Kelas : 203 SSR 203


Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengajar : Dr. Philips A. Kana , S.H., M.H.
Sugiman S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
Kewenangan dan Legitimasi Politik.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Pengantar
Ilmu Politik. Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Philips
A. Kana , S.H., M.H. dan Sugiman, S.H., M.H., selaku dosen Pengantar Ilmu
Politik. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada
pembaca tentang pandangan Kewenangan dan Legitimasi Politik.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan
dan ketaksempurnaan dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan adanya kritik
serta saran apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Jakarta, 09 Juni 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2

2.1 Sumber Kewenangan.....................................................................................2

2.2 Cara Mendapatkan Legitimasi.......................................................................8

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

3.1 Kesimpulan..................................................................................................12

3.2 Saran.............................................................................................................12

DAFTAR PUSAKA...............................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kewenangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep
kekuasaan. Namun demikian yang disebut kekuasaan tidak selalu berupa
kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan keabsahan. kewenangan
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimate power .
sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. apabila kekuasaan politik
dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk
mempengaruhi proses proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka
kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan
politik. Hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat termasuk
peraturan perundang-undangan ( Ramlan Surbakti,1999)
Dalam istilah lain kewenangan ini ialah kekuasaan formal yang sudah
memiliki keabsahan dan pengakuan dari rakyat. Kewenangan ini memunculkan
hak-hak tertentu sehingga penguasa dimungkinkan untuk melaksanakan suatu
kebijakan. Kewenangan ini memiliki sifat top-down atau dari penguasa ke rakyat.
Wewenang muncul sebab adanya dukungan dari masyarakat. Penguasa diberi
semacam hak untuk melaksanakan kebijakan yang berhubungan dengan
tugasnya. Munculnya hubungan antara masyarakat dengan penguasa karena
adanya suatu sikap saling paham antara yang memimpin dan dipimpin.
kewenangan sebagai hak moral untuk memerintah atau melakukan keputusan
politik, maka legitimasi adalah bentuk pengakuan atau penerimaan masyarakat
terhadap hak moral tersebut. Legitimasi merupakan suatu tahap yang harus dilalui
dan dimiliki yang akan mengantarkan pada tahap memiliki otoritas. Karena
legitimasi ini berarti masyarakat menerima dan mengakui kewenangan dan
kekuasaan.

1
Legitimasi ini artinya aturan yang memuat keabsahan dan terkandung
pengakuan secara resmi dan merupakan kualitas otoritas yang dianggap sah.
Apabila dalam sebuah sistem politik tercipta kesepakatan berkaitan dengan dasar-
dasar dan tujuan-tujuan masyarakat, keabsahan akan mampu tumbuh dengan
kokoh, sehingga unsur kekerasan dan pemaksaan yang digunakan oleh penguasa
bisa diminimumkan. Dengan demikian pemimpin sistem politik akan berupaya
untuk membangun dan mempertahankan legitimasi akan kekuasaannya karena hal
ini adalah dukungan yang paling mantap. Karena suatu sistem politik bisa abadi
jika sistem politik tersebut seluruhnya memperoleh pengakuan, penerimaan dan
dukungan dari rakyat. Jadi legitimasi bukan hanya dibutuhkan oleh pemerintah,
namun bagi unsur-unsur sistem politik yang ada.
Objek dalam legitimasi ini bukan hanya pemerintah saja namun termasuk
unsur-unsur sistem politik lainnya juga. Dalam artian yang lebih luas, legitimasi
berarti masyarakat mendukung sistem politik sementara dalam arti sempit berarti
dukungan masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa. Realita saat ini penguasa
biasanya berlomba-lomba untuk memperoleh legitimasi dari masa agar bisa
memperoleh atau mempertahankan kekuasaannya. Alhasil banyak penguasa yang
menggunakan cara tertentu yang tidak pantas agar bisa memperoleh legitimasi
dari publik. Disinilah letak permasalahan dari legitimasi. Permasalahan legitimasi
terletak pada pengambilan keputusan pemimpin yang tidak memakai
pertimbangan secara moral dan hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun
kelompok. Penguasa berupaya untuk mempertahankan legitimasinya dengan
mengharapkan dukungan dari masyarakat.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan
masalah yaitu:

1. Bagaimana Sumber Kewenangan?


2. Bagaimana Mendapatkan Legitimasi?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan masakalah ini yaitu :

1. Untuk mengetahui Sumber Kewenangan


2. Untuk mengetahui Cara mendapatkan legitimasi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sumber Kewenangan


Setiap orang yang mempunyai hak untuk memerintah selalu menunjukkan sumber
haknya. Sumber kewenangan untuk memerintah diuraikan sebagai berikut.
Menurut Ramlan Surbakti (1999), dalam ilmu politik sumber kewenangan dapat
dibedakan sebagai berikut:

Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah
berakar dipelihara secara terus-menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang
mengakar berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin
masyarakat ialah dari keluarga tertentu, dan yang dianggap memiliki “darah biru".
Siapapun yang menentang akan mendapat malapetaka (kualat). Oleh karena itu,
orang yang berkuasa menunjukkan sumber kewenangan memerintah sebagai
berasal dari tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu. Dasar
kewenangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi tradisi karena beliau merupakan keturunan langsung dari Sultan
sebelumnya. Demikian pula dengan Sultan Hamengkubuwono X.

Kedua, hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak
memerintah dianggap bersifat sakral. Orang yang berkuasa berusaha menunjukkan
pada khalayak, kewenangannya memerintah masyarakat berasal dari kekuatan
yang sakral. Kaisar Hirohito dari Jepang (dan penggantinya) menunjukkan
kewenangan sebagai Kepala Negara yang berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu
Omikami). Di Indonesia, khususnya di Jawa masih terdapat kepercayaan di antara
sebagian masyarakat bahwa kewenangan raja atau presiden (yang dianggap raja
berasal dari Wahyu Cakraningrat. Apabila seseorang tidak lagi menjadi raja atau
presiden berarti wahyu itu dianggap berpindah kepada raja atau presiden yang
baru.

Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik
penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang popular maupun karena
memiliki kharisma. Seorang pemimpin yang kharismatis merupakan seorang yang

4
memiliki kualitas pribadi sebab mendapat "anugerah istimewa" dari kekuatan
supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggota
masyarakat. Pemimpin ini biasanya mampu memukau massa dengan penampilan
dan kemampuan retorikanya. Mahatma Gandhi dan Bung Karno memiliki
kharisma karena penampilan dan kemampuan retoriknya. Namun, kepemimpinan
kharismatis tidak dapat diwariskan sebab sifatnya yang melekat pada pribadi
tertentu. Penampilan yang agung timbul karena kualitas fisiknya, seperti ganteng,
cantik, dan anggun, sedangkan pribadi yang popular timbul karena prestasinya
yang cemerlang dalam bidang tertentu, seperti olahraga, film, dan musik. Kedua
hal inipun menimbulkan kekaguman pada khalayak sehingga acap kali pula
digunakan sebagai sumber hak untuk memerintah.

Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang-undangan


yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi presiden, tetapi juga mengatur
prosedur dan syarat-syarat menjadi presiden dan wakil presiden. Apabila
seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan maka sumber kewenangannya berupa hukum.
Akan tetapi, perlu pula dicatat sumber kewenangan yang berdasarkan hukum
bukan monopoli negara-negara maju. Hal itu disebabkan masyarakat yang
strukturnya masih sederhana sekalipun sudah menggunakan prosedur hukum
(adapt-istiadat yang tidak tertulis) juga menentukan siapa dan bagaimana menjadi
pemimpin.

Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti
keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekayaan yang dimaksud ialah pemilikan uang,
tanah, barang-barang berharga, surat-surat berharga, sarana, dan alat produksi.
Keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu mencapai
tujuan masyarakat. Orang yang tidak memiliki keahlian akan patuh kepada orang
yang memiliki keahlian. Orang kaya akan dapat menjalankan pemerintahan bukan
untuk kepentingan sendiri karena dia sudah menikmati kepuasan dari kekayannya,
tetapi untuk masyarakat umum. Sejumlah orang memiliki kewenangan
memerintah sebab memiliki keahlian dalam bidang tertentu atau memiliki
kekayaan yang berlimpah. Dari kelima sumber kewenangan dapatlah disimpulkan

5
menjadi dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural
dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan bersifat prosedural
mengankut mekanismenya, sedangkan kewenangan yang bersifat substansial
menyangkut sosok pribadi yang akan memimpin. Dalam hal ini pengaruh budaya
dan keturunan (genealogi) sangat menentukan seberapa jauh kewenangan dapat
diperoleh dan diterima oleh masyarakatnya

2.2 Cara Mendapatkan Legitimasi


Setiap sistem politik termasuk yang paling menindas sekalipun memerlukan
legitimasi dari masyarakat Akibatnya, pemerintah yang berkuasa berupaya keras
untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi kewenangannya. Cara-cara
yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu simbolis, prosedural, dan materiil (Ramlan
Surbakti, 1999).

Pertama, memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi,


dan kepercayaan, dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-
simbol. Penggunaan simbol-simbol untuk mendapatkan dan mempertahankan
legitimasi cenderung bersifat ritualistik, sakral, retorik dan mercusuar atau bahkan
menara gading (kemegahan dan kejayaan). Upacara kenegaraan yang megah,
parade militer, penganugerahan tanda- tanda kehormatan dan penghargaan,
pementasan wayang dengan lakon tertentu, dan mengidentifikasi diri dengan
kelompok mayoritas dalam masyarakat (misalnya agama tertentu) merupakan
sejumlah contoh penggunaan simbol-simbol budaya yang bersifat ritualistik
Pengumpulan benda-benda yang dianggap keramat dan menggunakan angka
angka yang dianggap mengandung makna suci dan keberuntungan. Misalnya,
tujuh belas- delapan, dan empat lima merupakan contoh penggunaan simbol yang
bersifat retorik-perjuangan. Pada era Orde Baru digunakan pula berbagai retorika,
seperti pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, stabilitas, selaras-serasi-
seimbang konstitusional, dwifungsi, pemerataan, kebebasan yang bertanggung
jawab, manusia seutuhnya asas tunggal, toleransi, dan pengawasan melekat
melalui berbagai pidato dan pernyataan kebulatan tekad.

6
Kedua, dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materiil yang
berupa uang atau barang kepada masyarakat. Misalnya, menjamin tersedianya
kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana produksi
pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, kesempatan kerja, dan kesempatan
berusaha dan modal yang memadai. Selain itu juga memberikan fasilitas
dukungan sosial berupa bantuan tenaga teknis. Di Indonesia metode instrumental
dengan jelas dan nyata dapat dilihat dalam berbagai proyek Bantuan Beras Untuk
Masyarakat Miskin, Jaring Pengaman Sosial (JPS), Penghijauan, serta Bantuan
Tunai Langsung (BLT). Penggunaan metode instrumental jelas memerlukan
anggaran yang relatif besar dan dukungan fasilitas yang memadai

Ketiga, dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan para


wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, dan para anggota lembaga tinggi
negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. Penggunaan
metode prosedural atau pemilihan umum ini berlangsung mulai dari calon tunggal
sampai dengan calon bersaingan bebas, dan mulai dari yang bersifat umum,
langsung rahasia, serta jujur dan adil (fair) sampai dengan penuh manipulasi dan
intimidasi. Dalam sistem politik modern, penyelenggaraan pemilihan umum
dianggap cukup untuk menunjukkan suatu pemerintahan yang memiliki legitimasi
baik. Dalam konteks kepemimpinan, demokrasi menggusur posisi figur
kepemimpinan perorangan dan mengharuskan pengkoreksian dini dilandasi
diagnosa intelektual yang terarah tanpa mengabaikan nilai-nilai moral religi
seperti yang pernah diingatkan mendiang Presiden Soekarno: "Manusia harus
dikendalikan oleh unsur Ketuhanan bila tidak ingin dikuasai oleh tirani." "Tidak
siapapun akan dapat memimpin pemerintahan tanpa dilandasi oleh demokrasi
yang berada di atas segalanya", demikian ungkapan retorik Lord Bryce,
sejarahwan dan diplomat terkemuka dari Inggris.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam ilmu politik sumber kewenangan dapat dibedakan sebagai berikut:
Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Kedua, hak memerintah berasal dari
Tuhan, Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak memerintah dianggap bersifat
sakral. Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik
penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang popular maupun karena
memiliki kharisma. Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan
perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi presiden.
Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti
keahlian dan kekayaan.

Dari kelima sumber kewenangan dapatlah disimpulkan menjadi dua tipe


kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan
yang bersifat substansial.

Lalu cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan


legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu simbolis, prosedural, dan
materiil.

3.2 Saran
Tingkatkan komunikasi antara politisi dan masyarakat untuk menjelaskan
kebijakan dan tindakan politik dengan jelas dan terbuka. Kemudian berikan
kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses politik melalui
dialog publik dan konsultasi yang inklusif, serta tingkatkan pemahaman
masyarakat tentang politik melalui pendidikan politik yang memadai.

DAFTAR PUSAKA

8
P P, Trubus Rahardiansah, 2018. Pengantar Ilmu Politik Konsep Dasar,
Paradigma dan Pendekatannya, Jakarta: Universitas Trisakti.

Anda mungkin juga menyukai