Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENGANTAR ILMU POLITIK

KEKUASAAN: SUMBER KEKUASAAN, KONSEP KEKUASAAN


BARAT DAN TIMUR, PERBEDAAN KEKUASAAN DAN
KEWENANGAN, SERTA PENGARUHNYA

Oleh Kelompok 2 :

1. Dila Ravika (07031182126012) 7. Adinda Putri Maharani (07031282126163)


2. Tasya Afrilinita (07031182126014) 8. Anisah Rizqy Haryanti (07031282126164)
3. Marini Marcelinda (07031282126059) 9. Yoke Anindia Nurulita (07031282126175)
4. Fadiah Isnaini Syam (07031282126071) 10. Anyerlir Carrelyne Safitri (07031282126191)
5. Deswita Putri Denanda (07031282126116) 11. Josephine Samantha Tjitra (07031282126193)
6, M. Lutfi Amirul Mukminin (07031282126174) 12. Muhammad Duta A'izzatin (07031282126207)

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik


Dosen Pengampu : Januar Eko Aryansah, S.IP., SH., M.Si

Kelas C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
TAHUN PELAJARAN 2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa oleh karena berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kekuasaan :
Sumber Kekuasaan, Konsep Kekuasaan Barat dan Timur, Perbedaan Kekuasaan dan
Kewenangan, Serta Pengaruhnya” untuk memenuhi penilaian tugas kelompok Pengantar Ilmu
Politik.

Penyusun sadar bahwa masih terdapat banyak kekurangan baik dalam segi bahasa
yang digunakan juga dalam penyusunan materi yang ingin disampaikan kepada para pembaca,
akan tetapi penulis sudah berusaha semaksimal mungkin agar materi yang penulis sampaikan
pada makalah ini dapat tersampaikan dengan baik. Maka dari itu diharapkan kepada
pembaca untuk memberi kritik maupun saran kepada penulis sehingga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, 7 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................................. 2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................ 3
A. Definisi Kekuasaan......................................................................................................... 3
B. Sumber-sumber Kekuasaan.............................................................................................3
C. Konsep Kekuasaan Politik.............................................................................................. 5
D. Konsep Kekuasaan Barat................................................................................................ 6
E. Konsep Kekuasaan Timur............................................................................................. 10
F. Perbedaan Kekuasaan dan Kewenangan....................................................................... 15
G. Pengaruh Kekuasaan..................................................................................................... 16
BAB III.....................................................................................................................................19
PENUTUP................................................................................................................................19
A. Kesimpulan................................................................................................................... 19
B. Saran..............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dunia terdapat berbagai negara dengan berbagai macam peran politik yang
dimainkannya. Misalnya pada zaman dahulu, raja memainkan peran penting dalam suatu
daerah kekuasaannya. Seorang raja harus mampu memimpin dengan baik, merencanakan
strategi untuk penambahan daerah kekuasaan, menyelesaikan masalah yang dialami
warganya, dan berbagai tugas politik lainnya. Hal ini dikarenakan raja dianggap sebagai
pemilik kekuasaan tertinggi di daerah kekuasaannya. Kekuasaan ini lahir dari berbagai
sumber dan konsep yang ada. Kekuasaan sangat rentan disalahgunakan dan sering kali
kekuasaan ini dijadikan mantra yang mampu menundukkan berbagai strata sosial dari suatu
daerah.
Di dunia, terdapat setidaknya dua kekuasaan yang mampu menjadi model bagi kawasan
di sekitarnya. Kedua model kekuasaan ini datang dari daerah Barat dan Timur. Kedua
kawasan tersebut memiliki konsep kepemimpinan yang berbeda. Hal ini didasari oleh
berbagai macam faktor. Pemikir yang lahir dari kedua kawasan acuan tersebut juga memiliki
pandangan yang berbeda terhadap konsep kekuasaan itu sendiri. Pemikiran politik Barat
memfokuskan pembahasan politik pada cara berkuasa dan juga legitimasi sebuah kekuasaan.
Sebuah kekuasaan punya legitimasi jika diterima oleh rakyat (akseptabilitas). Sementara
konsep kekuasaan yang lahir dari belahan dunia timur dalam hal apapun bersifat teosentris,
berbeda dengan pemikiran-pemikiran Eropa yang lahir dari belahan dunia Barat yang lebih
bersifat antroposentris.
Selain kekuasaan, terdapat pula konsep kewenangan yang berbeda dengan kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
laku seseorang/kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sementara,
kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi. Hal ini
kemudian menimbulkan berbagai pengaruh bagi kehidupan sosial masyarakat yang ada.
Misalnya adalah timbulnya stratifikasi sosial yang sifatnya horizontal dengan pembagian
tugas sosial yang berbeda pula. Tidak hanya itu, terdapat berbagai macam pengaruh yang
timbul akibat suatu kekuasaan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan?


2. Apa saja sumber-sumber kekuasaan?
3. Bagaimanakah konsep kekuasaan menurut politik?
4. Bagaimanakah konsep kekuasaan Barat?
5. Bagaimana konsep kekuasaan Timur?
6. Apakah perbedaan dari kekuasaan dan kewenangan?
7. Apakah pengaruh dari kekuasaan?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari kekuasaan.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber dari kekuasaan.
3. Untuk mengetahui konsep kekuasaan menurut politik.
4. Untuk mengetahui konsep kekuasaan Barat.
5. Untuk mengetahui konsep kekuasaan Timur.
6. Untuk mengetahui perbedaan dari kekuasaan dan kewenangan.
7. Untuk mengetahui pengaruh dari kekuasaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kekuasaan
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat, negara, dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan
personal di antara dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis,
dan hubungan subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak
dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum dan
kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan. Berikut adalah pengertian kekuasaan menurut
para ahli :
1. Max weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992)
Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun
dasar kemampuan ini.
2. Strausz-Hupe
Menurut Strausz-Hupe, kekuasaan merupakan kemampuan untuk memaksakan
kemauan pada orang lain.
3. Wright Mills
Menurut Wright Mills, kekuasaan adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk
melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan
mempunyai sifat memaksa.
4. Talcot Parsons
Menurut Talcot Parsons, kekuasaan adalah kemampuan umum untuk menjamin
pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit organisasi
kolektif dalam suatu sistem yang merupakan kewajiban-kewajiban yang diakui
dengan acuan kepada pencapaian tujuan-tujuan kolektif mereka dan bila ada
pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif tertentu,
siapapun yang menegakkannya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan
publik untuk menegakkan aturan-aturan masyarakat yang bersifat memaksa demi
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
5. Harold D. Laswell
Menurut Harold D. Laswell, kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang
atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar
sesuai tujuan dari pihak pertama.

B. Sumber-sumber Kekuasaan
Menurut jurnal Agus Zaenul Fitri (2016) dikatakan bahwa sumber dan bentuk kekuasaan
kalau ditelusuri sejarahnya dapat dikembalikan pada pernyataan Machiaveli yang pertama
kali dikemukakan pada abad ke-16. Machiaveli menyatakan bahwa hubungan yang baik itu
tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan jabatan).
(Machiaveli. 1950: 95) Itulah sebabnya maka Amitai Etziomi membahas bahwa sumber dan

3
bentuk kekuasaan itu ada dua yakni kekuasaan jabatan (position power) dan kekuasaan
pribadi (personal power).
Raven bekerja sama dengan Kruglanski, menambahkan kekuasaan yang keenam, yakni
kekuasaan in-formasi (information power) Pada tahun 1979, Hersey dan Goldsmith
mengusulkan kekuasaan yang ketujuh, yakni kekuasaan hubungan (connection power). Jadi,
sumber-sumber kekuasaan terbagi menjadi 7, yaitu:
1. Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Kekuasaan ini ber-dasarkan atas rasa takut. Dengan demikian sumber kekuasaan
diperoleh dari rasa takut. Pemimpin yang mempunyai kekuasaan jenis ini mempunyai
kemampuan untuk mengenakan hukuman, dampratan, atau pemecatan. Dalam kehidupan
manusia pada umumnya, orang mempunyai kekuasaan ini selalu dihubungkan dengan
penggunaan kekerasan fisik atau bahkan diwujudkan dalam benturan senjata seperti
misalnya perang. Menurut David Kipnis, semua kekuasaan pada dasarnya ada pada orang,
hanya saja kekuasaan yang suka menyakiti atau menghukum orang lain seringkali
dipergunakan dan sulit dikendalikan. Dalam kehidupan organisasi, pimpinan atau manajer
yang menggunakan kekuasaan paksaan ini dapat dilihat dari tindakannya yang suka
menghukum, menunda pembayaran gaji dan kenaikan pangkat, dan bahkan memecat
pegawai.
2. Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan ini bersumber pada jabatan yang dipegang oleh pemimpin. Secara normal,
semakin tinggi posisi seorang pemimpin, maka semakin besar kekuasaan legitimasinya.
Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan
untuk mempengaruhi orang lain, karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia
mempunyai hak atau we wenang yang diperoleh dari jabatan dalam organisasinya.
Sehingga dengan demikian diharapkan saran-saran akan banyak diikuti oleh orang lain
tersebut.
3. Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Kekuasaan ini bersumber dari keahlian, kecakapan, atau pengetahuan yang dimiliki
oleh seorang pemimpin yang diwujudkan lewat rasa hormat, dan pengaruhnya terhadap
orang lain. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan keahliannya ini, kelihatannya
mempunyai keahlian untuk memberikan fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain.
4. Kekuasaan Penghargaan (Reward Power)
Kekuasaan ini bersumber atas kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau
hadiah bagi orang lain, misalnya gaji, promosi, atau penghargaan jasa. Dengan demikian
kekuasaan ini sangat tergantung pada seseorang yang mempunyai sumber untuk
menghargai atau memberikan hadiah tersebut. Tujuan dari kekuasaan ini dapat
diperkirakan secara jelas, yakni harus dinilai dengan hadiah-hadiah tersebut. Seorang
pemimpin atau manajer yang mempunyai potensi untuk melakukan penghargaan ini,
maka ia mempunyai kekuasaan atas bawahannya. Potensi itu selain dirupakan dengan
menambah nyamannya kondisi kerja, memperbaharui perlengkapan kerja, dan memuji
atas keberhasilan para pengikut menyelesaikan pekerjaannya.

4
5. Kekuasaan Referensi (Referent Power)
Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin. Seorang
pemimpin yang tinggi kekuasaan referensinya ini pada umumnya disenangi dan dikagumi
oleh orang lain karena kepribadiannya. Kekuatan pimpinan atau manajer dalam
kekuasaan referensi inisangat tergantung pada kepribadiannya yang mampu menarik pada
bawahan atau pengikutnya. Kesenangan daya tarik, dan kekagum. para bawahan dapat
memberikan identifikasi tersendiri terhadap pengaruh pimpinannya. Pimpinan yang selalu
tampil dengan pribadiannya yang jujur, satu kata dengan perbuatan, taat pada agama,
loyal pada undang-undang negara, sederhana gaya hidup dan tutur katanya, atau
mementingkan kepentingan orang banya daripada kepentingan sendiri, maka pemimpin
seperti ini mempunyai kekuasaan referensi yang tinggi.
6. Kekuasaan Informasi (Information Power)
Kekuasaan ini bersumber karena adanya ekses informasi yang dimiliki oleh pemimpin
yang dinilai sangat berharga oleh pengikutnya. Sebagai seorang pimpinan, maka semua
informasi mengenai organisas nya ada padanya, demikian pula informasi yang datang dari
luar organisasi. Dengan demikian pimpinan merupakan sumber informasi (lihat peranan
manajer sebagai informational rote di muka. Kekuasaan yang bersumber pada usaha
mempengaruhi orang lain karena mereka membutuhkan informasi yang ada pada
pimpinan, maka kekuasaan ini digolongkan pada kekuasaan informasi.
7. Kekuasaan Hubungan (Connection Power)
Kekuasaan ini bersumber pada hubungan yang dijalin oleh pimpinan dengan orang-
orang penting dan berpengaruh baik di luar atau di dalan organisasi. Seorang pemimpin
yang tinggi kekuasaan hubungannya ini cenderung meminta saran-saran dari orang-orang
lain karena mereka membantu mendapatkan hal-hal yang menyenangkan dan
menghilangkan hal-hal yang tidak menyenangkan dari kekuasaan hubungan ini.
Sumber dari kekuasaan politik dapat berupa kedudukan, kekayaan atau kepercayaan yang
dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
1. Sarana paksaan fisik
2. Keahlian
3. Hukum normatif
4. Status sosial
5. Popularitas
6. Jabatan
7. Massa yang terorganisir
8. kekayaan.
9. kepercayaan atau agama.

C. Konsep Kekuasaan Politik


Miriam Budiardjo dalam bukunya menjelaskan bahwa politik adalah semua kegiatan yang
menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Dalam
pembendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan konsep
dari kekuasaan yaitu sebagai berikut:

5
1. Influence adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap
dan perilakunya secara sukarela.
2. Persuassion adalah kemampuan untuk meyakinkan orang lain dengan argumentasi
untuk melakukan sesuatu.
3. Manipulasi adalah penggunaan pengaruh, dalam hal ini yang dipengaruhi tidak
menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang
kekuasaan.
4. Coercion adalah peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh
sesorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai
dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan.
5. Force adalah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi kebebasan menimbulkan
rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis terhadap pihak lain agar
melakukan sesuatu.

D. Konsep Kekuasaan Barat


Dalam konsep kekuasaan barat, diawali pada masa reinassance. Terdapat berbagai macam
tokoh yang lahir pada masa itu. Pemikiran politik Barat memfokuskan pembahasan politik
pada cara berkuasa dan juga legitimasi sebuah kekuasaan. Sebuah kekuasaan punya
legitimasi jika diterima oleh rakyat (akseptabilitas). Beberapa tokoh yang hidup pada masa
ini adalah :
1. Niccolo Marchiavelli (1469-1527 M)
Machiavelli sering disebut sebagai pemikir paling awal di masa renaissance. Ia
dikenal dengan 9 manifesto politiknya. Berikut beberapa isi dari manifesto tersebut :

1. Kekuasaan dan negara hendaknya dipisahkan dari moralitas dan Tuhan. Hal yang
pertama disampaikan Machiavelli adalah terkait dengan agama dan moralitas, yang
berarti etika tidak boleh dicampuradukkan dengan isu-isu tentang kenegaraan,
kekuasaan, dan politik.
2. Kekuasaan sebagai tujuan, bukan instrumen untuk mempertahankan nilai-nilai
moralitas agama. Sebaliknya, justru agama dan nilai moralitas harus dijadikan suatu
alat untuk mencapai kekuasaan. Ketika agama dan politik dicampurkan, sering kali
permasalahannya adalah kita gagal untuk membedakan ada 2 hal pola :
1) Pola bahwa agama yang menjadi tujuan
2) Politik sebagai alat
Sementara yang lain mengatakan sebaliknya, agama sebagai alat dan politik sebagai
tujuan. Ini bisa kita lihat dalam praktik kehidupan kita di Indonesia sendiri, Ketika
politik identitas naik, politik identitasnya dihubungkan dengan keagamaan, maka
terlihat sekali bahwa mereka menerapkan pola yang kedua yakni agama sebagai alat
dan politik sebagai tujuan. Dan ini bersesuaian dengan yang disampaikan oleh
Machiavelli.
3. Penguasa yang baik harus mengejar kejayaan dan kekayaan, karena kedua hal tersebut
merupakan nasib baik yang disiapkan bagi siapapun yang mampu menjadi penguasa.
Machiavelli meyakini adanya takdir baik seseorang dan beliau harus memenuhi takdir

6
baik tersebut. Takdir itu adalah takdir yang terkait dengan bahwa beliau harus
menjadi seorang penguasa.
4. Kekuasaan politik merupakan alasan paling masuk akal dari pembentukan negara.
Karena ada konsep kekuasaanlah maka negara harus dibentuk. Negara merupakan
simbolisasi kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua (all embracing),
menganjurkan negara kekuasaan (machstaat), dan bukan negara hukum (rechstaat).

Machiavelli adalah orang yang menganjurkan politik itu sebagai Panglima, kekuasaan
itu sebagai Panglima, bukan hukum yang menjadi Panglima. Segala sesuatunya itu terkait
dengan bagaimana caranya memperoleh kekuasaan. Dalam mempertahankan kekuasaan
setelah merebutnya, Machiavelli memberikan 2 cara :
a) Memusnahkan, membumihanguskan seluruh negara, dan membunuh seluruh
keluarga penguasa lama.
b) Melakukan kolonisasi atau menjalin hubungan baik dengan negara tetangga
terdekat.
Kekuasaan yang didapat secara keji dan jahat pada dasarnya bukanlah merupakan
nasib baik. Cara ini tidak akan menyebabkan seorang penguasa menjadi pahlawan yang
dihormati. Seorang penguasa seharusnya tidak melakukan kekejaman. Jika ia melakukan
kekejaman, hendaklah mengiringinya dengan tindakan simpatik kasih sayang kepada
rakyat dan menciptakan ketergantungan rakyat kepadanya. Hal ini dapat
menghindarkannya dari ancaman terjadinya pemberontakan.
Seorang pengusaha perlu mempelajari sifat yang terpuji maupun yang tidak terpuji. Ia
harus berani melakukan tindakan yang kejam, kikir, dan khianat asalkan baik bagi negara
dan kekuasaan. Untuk mencapai tujuan, cara apapun dapat dilakukan (tujuan
menghalalkan segala cara). Penguasa tidak perlu takut tak dicintai, asalkan ia tidak
dibenci rakyat. Penguasa negara dapat menggunakan cara binatang dalam menghadapi
lawan-lawan politiknya. Seorang penguasa dapat mencontoh perangai singa yang
menggertak di suatu saat dan perangai rubah yang tidak bisa dijebak saat yang lain.
Seorang penguasa yang mempunyai sikap yang jelas, baik sebagai musuh ataupun sebagai
kawan, akan lebih dihargai daripada bersikap netral.

2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)


Hobbes dikenal sebagai pemikir Barat di masa renaissance yang pertama kali
menyampaikan teori kontrak sosial sebagai basis bagi pembentukan lembaga negara. Kontrak
sosial diperlukan untuk menghentikan keadaan alamiah yang serba chaos.
1) Leviathan
Hobbes memperkenalkan sebuah teori terkait dengan pra-kondisi manusia yang
disebut sebagai kondisi Leviathan. Menurut Hobbes, kondisi manusia awalnya penuh
dengan situasi yang kacau, dan inilah kondisi alamiah manusia. Setiap manusia ataupun
komunitas manusia adalah monster (ia istilahkan dengan wujud bernama Leviathan) yang
siap saling menerkam satu dan lainnya. Keadaan alamiah itu seperti berada pada kondisi

7
perang. Setiap manusia selalu merasa takut ketika ada manusia lain yang memiliki lebih
banyak kepemilikan, kekuasaan, lebih tinggi strata sosialnya daripada dirinya.

2) Kontrak Sosial
Menurut Hobbes, kondisi alamiah ini harus dihentikan dengan membuat kesepakatan
kontrak sosial demi mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai.
Untuk itu, maka perlu adanya sebuah lembaga yang mengatur tatanan kehidupan yang
dalam hal ini disebut sebagai negara. Negara ada karena perjanjian bersama yang
dilakukan oleh rakyat untuk menghentikan jalannya keadaan alamiah yang terus menerus
terjadi.
3) Monarki Absolut
Negara ideal menurut Hobbes adalah ‘Monarki Absolut’ di mana sebuah negara
dipimpin oleh raja yang memiliki kekuasaan tidak terbatas (absolut). Kekuasaan tak
terbatas ini diperlukan untuk “menjinakkan” situasi alamiah berupa monster yang setiap
saat siap menciptakan chaos. Dalam hal ini, Hobbes mendorong rakyat untuk
menyepakati kontrak sosial dalam menunjuk seseorang raja atau sekelompok orang agar
menjadi penguasa absolut. Model negara seperti ini tetap dianggap berasal dari aspirasi
rakyat, karena meskipun berkuasa secara absolut, penguasa tersebut tetap merupakan
hasil pilihan rakyat.

3. John Locke (1632-1704)


John Locke juga memiliki pendapat bahwa kehidupan manusia didahului dengan keadaan
alamiah yang tidak teratur dan penuh dengan perkelahian. Hanya saja, keadaan alamiah itu
tidaklah se-chaos sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbe karena menurut Locke,
manusia bukanlah monster, karena mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar
dan apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
1) Mencegah Pelanggaran Hukum
Menurut Locke, manusia dalam keadaan alamiah bersifat merdeka dalam
mengatur tindakan mereka, mempergunakan barang miliknya tanpa perlu izin dan
tidak tergantung pada kehendak siapapun. Hukum diserahkan kepada setiap individu
sehingga tiap individu mempunyai hak untuk menghukum para pelanggar hukum
sampai pada tingkatan yang diperkirakan dapat mencegah pelanggar tersebut. Setiap
individu dapat menjadi pelaksanaan hukum, karena dalam kesamaan, tidak ada
individu yang lebih tinggi daripada yang lain. Setiap orang berhak memerintah diri
sendiri dan orang lain.
2) Negara : Penjamin Milik Pribadi
Menurut Locke, situasi tersebut terjadi di seluruh dunia. Tidak selalu masalah
perkelahian, bisa juga langsung mengatakan bahwa ‘Ini ada hukumnya loh’, ‘ini hak
saya’. Dan sebagainya. Situasi ini tetap dianggap chaos. Sebagai solusinya, dibuatlah
kontrak sosial yang menyepakati adanya negara atau pemerintahan yang memiliki
kewenangan terbatas. Fungsi pemerintahan adalah memelihara hak milik pribadi yang
paling fundamental, yaitu perdamaian, keselamatan dan kebaikan bersama setiap
warga masyarakat. Milik pribadi dapat dijamin dengan menetapkan hukum dan hakim

8
yang adil serta membentuk administrasi penegak hukum dan juga memelihara
persaingan ekonomi yang bebas dan sehat.
3) Monarki Konstitusional
Karena asumsi keadaan alamiahnya juga berbeda, konsep negara ideal yang
digagas Locke juga berbeda. Negara ideal menurut Locke berbentuk “Monarki
Konstitusional”. Negara tetap dipimpin oleh seorang raja. Akan tetapi, negara juga
punya kewajiban untuk memberikan jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan-
kebebasan pokok manusia (life, liberty, healthy, and property).

4. Montesquieu (1689-1755 M)
Montesquieu dikenal sebagai penggagas konsep Trias Politica, yang memisahkan
kekuasaan dalam 3 bentuk : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Konsep Trias Politica
disusun berdasarkan kepada gagasan tentang perlunya menjamin kebebasan politik rakyat
serta perlunya pemisahan kekuasaan negara agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang
dilakukan oleh negara terhadap rakyat.

1) Aristokrasi
Montesquiue berpendapat bahwa manusia secara alamiah itu berbeda-beda;
ada yang lebih cerdas, lebih kaya, dan lebih terhormat dari manusia lainnya. Karena
itu, kontrak sosial yang dibuat juga mengakomodasikan perbedaan-perbedaan tersebut.
Montesquieu mengakui kaum aristokrasi sebagai bagian dari keadaan alamiah yang
harus diakomodasi. Hak-hak bangsawan juga harus dihormati. Untuk itu,
Montesquiue menawarkan dua model majelis perwakilan rakyat : majelis tinggi dan
majelis rendah.

5. J.J Rousseau (1712-1778 M)


Rousseau berpendapat bahwa ada kehidupan awal manusia yang bersifat alamiah. Hanya
saja, berbeda dengan Hobbes ataupun Locke, dalam keadaan alamiah itu tidaklah terjadi
perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama.
1) Romantisme
Dalam keadaan ilmiah, manusia pada dasarnya baik, cinta damai, memiliki
kebebasan mutlak sejak lahir dan tidak suka perang. Manusia yang alami tidak punya
rasa benci, dendam, dan iri hati. Kebebasan merupakan determinan yang membuat
manusia menjadi “manusia-alamiah”. Untuk itu, negara ideal yang digagas oleh
Rousseau justru menggambarkan semangat romantisme, yaitu mendorong manusia
kembali ke alam.
2) Bentuk Republik
Dalam konsep ‘Kembali ke alam’, Rousseau mengidealisasikan manusia yang
liar tapi baik. Manusia alamiah menurutnya adalah tidak baik dan tidak buruk, tidak
egois dan tidak altruis, hidup polos dan mencintai diri secara spontan. Ia juga bebas
dari segala wewenang pegaruh kekusaan orang lain dan karena itu secara hakiki sama
kedudukannya. Rousseau berpendapat bahwa negara yang sah adalah negara yang
berbentuk “Republik”. Rousseau dalam hal ini pun menekankan pada apa yang

9
disebut “Kehendak umum” dalam menentukan jalannya pemerintahan. Pemikiran
Rousseau inilah yang disebut sebagai cikal bakal konsep demokrasi liberal.
3) Legitimasi dan Akseptabilitas
Salah satu benang merah dari berbagai pemikiran politik Barat itu adalah soal
legitimasi sebuah kekuasaan, berupa akseptabilitas dari masyarakat. Sebuah
kekuasaan punya legitimasi jika diterima oleh rakyat. Machiavelli merekomendasikan
penggunaan segala cara untuk merebut hati rakyat dan kemudian berkuasa. Hobbes
menyarankan pentingnya rakyat memilih seorang raja yang berkuasa secara absolut.
Locke menyarankan pilihan rakyat itu adalah raja yang kekuasaannya dibatasi oleh
konstitusi. Montesquieu lebih merekomendasikan kekuasaan yang mirip aristokrasi,
yang juga dipilih oleh rakyat. Adapun Rousseau merekomendasikan bentuk republic
yang menjadi cikal bakal demokrasi liberal.
4) Akseptabilitas Eksternal
Sejak dahulu, tidak ada satupun negara atau territorial yang tidak terhubung
dengan kawasan lainnya. Sebuah negara yang menciptakan peradaban pastilah
memiliki hubungan dengan negara atau kawasan lainnya. Setiap hubungan pastilah
menciptakan pola saling mempengaruhi, termasuk dalam hal legitimasi kekuasaan
negara-negara tersebut. Terkadang, masalah legitimasi kekuasaan sebuah negara tidak
hanya selalu urusan akseptabilitas dalam negeri, atau penerimaan dari rakyat yang
tinggal di dalam negara tersebut, melainkan legitimasi sebuah pemerintahan juga
harus memperhatikan penerimaan dari pihak luar (akseptabilitas eksternal). Ketika
berbagai Kawasan dunia semakin terhubung sama lain, pemikiran politik Barat juga
merambah kepada masalah kedaulatan dan akseptabilitas eksternal.

E. Konsep Kekuasaan Timur


Sebagai perbandingan pemikiran, pemikiran politik Islam yang lahir dari peradaban
Timur Tengah juga menawarkan pemahaman tentang konsep kekuasaan. Satu pemikiran
yang juga cukup menarik untuk diulas adalah tentang konsep power dalam kacamata sosiolog
dan antropolog Muslim seperti Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406) dan Al Mawardi. Konsep
kekuasaan dalam Islam tentu akan sangat berbeda dengan konsep barat karena pengaruh
kerangka berfikir konsep yang lahir di negara sekuler Eropa yang berbeda pula. Pemikiran
Islam yang banyak lahir dari belahan dunia timur dalam hal apapun bersifat teosentris,
sedangkan pemikiran-pemikiran Eropa yang lahir dari belahan dunia Barat lebih bersifat
antroposentris. Berikut beberapa pemikir politis yang berasal dari Timur :
a) Perspektif Ibnu Khaldun
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, Ibnu Khaldun dalam bukunya yang
berjudul Muqaddimah, menemukan dua tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan
yaitu: pertama negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi’i), dan kedua negara
dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi). Untuk menetapkan tipe negara dengan
tolok ukur kekuasaan. Penggunaan term ini, Ibnu Khaldun terinspirasi oleh sumber
pokok ajaran Islam (al-Qur’an). Ia menyatakan bahwa siyasah diniyah sebagai bagian
dari “mulk siyasi” merupakan tipe negara yang paling baik. Karena tipe ini, memiliki

10
karakteristik kecuali Al-Qur’an dan as-Sunnah, akal manusiapun sama-sama berperan
dan berfungsi dalam kehidupan negara. Siyasah Diniyah bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat.Tipe Siyasah
Diniyah, dipandang satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen.
Dengan kata lain bahwa Syari’ah, menurut Ibnu Khladun merupakan basis kekuasan
negara.
2) Mulk Tabi’i
Ibnu Khladun mengemukakan, bahwa tipologi negara oleh kekuasaan yang
sewenang-wenang (despotism) cenderung kepada “hukum rimba”. Keunggulan dan
kekuatan dalam tipe ini menjadi sangat berperan. Dalam hubungan ini, prinsip
keadilan diabaikan. Ibnu Khaldun, mengkualifikasikan negara dalam bentuk ini
sebagai negara yang tidak berperadaban.
3) Mulk Siyasah
Ibnu Khladun membagi menjadi tiga macam, yaitu Siyasah Diniyah atau
“Nomokrasi Islam” Siyasah diniyah, adalah suatu negara yang menjadikan Syari’ah
(Hukum Islam) sebagai fondasinya. Lalu Siyasah ‘Aqliyah yaitu negara yang hanya
mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum
yang bersumber dari wahyu. dan Siyasah Madaniyah. merupakan suatu negara yang
“diperintah” oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang
tidak mempunyai hak pilih.
Jika dibuat skema secara sistematis dapat dikemukakan sebagai berikut :

Mulk Tabi’i (Kekuasaan Alamiah) Mulk Siyasah (Kekuasaan Politik)


Ciri : tanpa peradaban Ciri : berperadaban
Contonya: despotisme Contoh :
1. Siyasah Diniyah (Nomokrasi
Islam)
2. Siyasah ‘Aqliyah (rasio)
3. Siyasah Madaniyah (republik a la
Plato)

Ciri ideal dari suatu negara adalah kombinasi antara Syari’ah dan kaidah-kaidah
hukum yang ditetapkan manusia dengan tetap merujuk pada Syari’ah. Dalam pemikiran
politik Islam terdapat paling tidak tiga paradigma tentang hubungan antara agama (Islam)
dan negara:

1. Paradigma Islam dan Negara tidak bisa dipisahkan (integrated)


Dalam pemikiran ini terdapat dua bentuk yaitu:
a. Pemikiran Teokratis dalam perspektif Syi’ah
Pemikiran teokratis memandang bahwa agama (Islam) dan negara
tidak dapat dipisahkan (integreted). Wilayah agama juga meliputi politik

11
negara. Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasat
“kedaulatan Ilahi”, dengan asumsi bahwa kedaulatan itu berasal dan berada di
“tangan” Tuhan. Berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan
diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad, legitimasi politik harus
berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh para
keturunan Nabi. Syi’ah lebih menekankan pada walayah (kecintaan dan
pengabdian kepada Tuhan), dan ‘ismah (kesucian dan dosa), yang hanya
dimiliki oleh para keturunan Nabi, sebagai yang berhak dan absah untuk
menjadi “kepala Negara” (Imam/Imamah). Negara dalam perspektif Syiah
sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan
mempunyai fungsi menyelenggarakan “kedaulatan Tuhan”(teokratis).
b. Pemikiran Teo-demokkrati dalam perspektif Maududi
Di dalam sejarah pemikiran Islam dikenal kelompok
“Fundamentalisme Islam”. Seperti halnya pemikiran Syi’ah, pemikiran
“penyatuan” agama dan negara juga menjadi anutan kelompok
fundamentalisme Islam. Kelompok fundamentalisme Islam yang ditokohi oleh
Mauddudi, menyatakan bahwa negara Islam yang berdasarkan syari’ah itu,
harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu:

(1) bahwa ia mengakui kedaulatan Tuhan


(2) menerima otoritas Nabi Muhammad
(3) memiliki status “wakil Tuhan”
(4) menerapkan musyawarah.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada
Tuhan, negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum
Tuhan, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan. Dalam perpektif demikian, konsepsi
Madudi tentang negara Islam lebih memilih istilah “Teo = demokratis”, dan menolak
istilah “Teokrastis” dalam perspektif Syi’ah. Karena dengan konsep demokratis ada
peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
2. Paradigma Simbiotik
Paradigma ini memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu
berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara karena
dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama karena
dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Salah seorang tokoh pemikir simbiosa ini adalah Al-Mawardi (w. 1058), ia
mengaskan dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthoniyah, bahwa kepemimpinan negara
(imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua
jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan
dua dimensi dari misi kenabian.

12
Konsepsi Al-Mawardi tentang negara, agama mempunyai posisi sentral sebagai
sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba
mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama,
dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik.

3. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik


antara agama dan negara. Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama
dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara
kepada Islam. Apabila kekuasaan negara dirumuskan dengan menggunakan metode
pembentukan garis “Dakwah” yang diimplementasikan oleh Rasulullah saw, kemudian
dikembangkan oleh Sholahuddin Sanusi, maka dapat dilihat dari sudut pandang dakwah
Islam perjuangan Nabi Muhammad saw, terbagi pada dua periode, yaitu: periode
Mekkah dan periode Madinah. Dakwah Nabi pada periode Mekkah menunjukkan posisi
Nabi sebagai “pemimpin agama”, sedang dakwah Nabi pada periode Madinah,
menunjukkan posisi Nabi sebagai “pemimpin agama dan pemimpin negara - Madinah al-
Munawwaroh. Bentuk Dakwah yang dilakukannya:

1) Irsyad (internalisasi = penanaman nilai-nilai ke-Islaman, dan bimbingan terhadap


para penganutnya)
2) Tabligh (transmisi dan penyebarluasan ajaran Islam)
3) Tadbir (rekayasa sumberdaya manusia)
4) Tathwir (pengembangan kehidupan muslim) dalam aspek-aspek kultur universal.
Prinsip amanat dalam politik cukup jelas, bahwa makhluk adalah hamba-hamba
Allah,dan para penguasa adalahwakil-wakil Allah untuk hamba-hambanya. Namun pada
saat yang sama, penguasa juga merupakan wakil-wakil hamba atas diri merekasendiri,
seperti dua orang yang bermitra (al-syarikah) (Ibnu Taimiyah, 1988: 19). Dengan kata
lain, kekuasaan adalah titipan Allah dan rakyat kepada para pemimpin/penguasa
untukditunaikan kepada yang berhak (Allah dan rakyat). Bila tidak, maka penguasa
tersebut termasuk telah berkhianat kepada Allah, Rasul, dan rakyat. Ini tentu berbeda
dengan pemahaman Al-Mawardi yang me-nganggap “amanat” lahir dari kontrak sosial
antara rakyat sebagai trustor dan pemimpin sebagai trustee.

b) Perspektif AL Mawardi
Dalam pandangan al-Mawardi, sebuah negara membutuhkan enam sendi utama untuk
berdiri; pertama, menjadikan agama sebagai pedoman. Agama diperlukan sebagai
pengendali hawa nafsu dan pembimbing hati nurani manusia. Agama merupakan fondasi
yang kokoh untuk menciptakan kesejahteraan dan ketenangan negara.
Kedua, pemimpin yang bijak dan memiliki otoritas yang melekat dalam dirinya
dengan kekuasaannya. Dengan kriteria ini seorang pemimpin dapat mengompromikan
beberapa aspirasi yang berbeda, sehingga dapat membangun negara mencapai tujuan.
Ketiga, keadilan yang menyeluruh yang dengannya akan tercipta kedamaian,
kerukunan, rasa hormat, ketaatan pada pemimpin, dan meningkatkan gairah rakyat untuk

13
berprestasi. Keadilan itu bermula dari sikap adil pada diri sendiri, kemudian kepada orang
lain. Keadilan kepada orang lain dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu;

1) Adil kepada bawahan (subordinat), seperti keadilan kepala negara kepada wakil
atau pejabat eksekutif bawahannya,
2) Adil kepada atasan (superior), yaitu keadilan yang dilakukan oleh rakyat kepada
kepala negara, untuk patuh, loyal dan siap membantu Negara
3) Adil kepada sejawat (peer), yaitu keadilan kepada orang yang setara, dengan cara
menghormati sikap mereka, tidak mempermalukan dan menyerangnya.
Keempat, keamanan semesta, yang akan memberi inner peace (kedamaian batin)
kepada rakyat, dan pada akhirnya mendorong rakyat berinisiatif dan kreatif dalam
membangun negara. Kelima, kesuburan tanah air yang berkesinambungan, yang akan
menguatkan inisiatif rakyat untuk menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan
ekonomis lainnya sehingga konflik antarpenduduk dapat dikurangi dan teratasi.
Kelima, harapan bertahan dan mengembangkan kehidupan. Kehidupan manusia
melahirkan generasi-generasi masa depan. Generasi sekarang harus mempersiapkan sarana
dan prasarana, struktur dan infrastruktur bagi generasi mendatang. Pemegang kekuasaan di
jabarkan ke dalam dua bentuk,
1. Wazir tafwidh
Yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan
kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat
dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh
ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan
khalifah.
2. Wazir tanfidz
Yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan
oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang dalam menentukan kebijaksanaan sendiri.
Kekuasaan dapat dimaknai sebagai bagian dari campur tangan manusia terhadap
kekuasaan Tuhan yang terejawantah dalam penguasaan di duniaberupa kekuasaan politik
dan ekonomi. Konsep kekuasaan sebagai titipan Allah menggambarkan bahwa ada Tuhan
sebagai “kausa prima” atau pemilik kekuasaan tertinggi. Seorang penguasa juga harus
menjalankan apa yang ada dalam konsensus yang telah disepakati baik di dunia maupun di
akhirat. Konsep transenden dan iman inilah yang menjadikan pemikiran Barat dan
pemikiran Islam terkadang sulit dipertemukan dalam beberapa hal.
Kekuasaaan dalam terminologi yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun dan AlMawar
adalah kekuasaan dari fungsi pengelolaan atau managerial yang jika terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan pengelolaan yang ada maka kekuasaan dapat dicabut oleh Kausa Prima
meski bentuknya sangatlah abstrak.Kepercayaan terhadap term term theologis inilah yang

14
akan menjadi dalih masyarakat melakukan kritik terhadap penguasa jika amanah yang
diberikan tidak dijalankan sebagaimana mestinnya.
F. Perbedaan Kekuasaan dan Kewenangan
Kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu
hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang
menjadi pijakan kemungkinan itu. Wewenang merupakan hak jabatan yang sah untuk
memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang,
seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
Sumber kekuasaan terdiri dari harta benda, status, wewenang legal, karisma, dan
pendidikan. Selain itu unsur kekuasaan juga berpengaruh yaitu meliputi: rasa takut, rasa cinta,
kepercayaan, dan pemujaan. Lapisan kekuasaan yaitu tipe kata, tipe oligarki, dan tipe
demokratis. Bentuk wewenang terdiri dari:
1. Wewenang karena karisma, tradisional, dan rasional.
2. Wewenang resmi dan tidak resmi.
3. Wewenang pribadi dan territorial.
4. Wewenang terbatas dan menyeluruh.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang/kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sementara,
kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi. Legitimasi
adalah pengakuan dan penerimaan kepada pemimpin (bersifat bottum up).
Secara umum ada dua bentuk kekuasaan:
1. Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut dan
didasarkan pada seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada
pemimpin.
2. Kedua kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi.
Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh
tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau tingkah laku orang lain atau
kelompok.
Kekuasaan adalah fakta penting dari kehidupan organisasi. Misalnya, manajer tidak
hanya harus menerima dan memahaminya sebagai bagian dari pekerjaan, tetapi harus juga
belajar cara menggunakannya tanpa menyalahgunakannya untuk mencapai sasaran sendiri
dan organisasi. Terdapat lima sumber kekuasaan menurut John Brenchdan Bertram Raven,
yaitu :
1. Kekuasaan menghargai (reward power)
2. Kekuasaan memaksa (coercive power)
3. Kekuasaan sah (legitimate power)
4. Kekuasaan keahlian (expert power)
5. Kekuasaan rujukan (referent power)

15
Ada dua pandangan yang menjelaskan wewenang formal (resmi):
1) Pandangan klasik (classical view) Wewenang datang dari tingkat paling atas,
kemudian secara bertahap diturunkan ke tingkat yang lebih bawah2. Pandangan
penerimaan (acceptance view). Sudut pandang wewenang adalah penerima
perintah, bukannya pemberi perintah. Pandangan ini dimulai dengan pengamatan
bahwa tidak semua perintah dipatuhi oleh penerima perintah. Penerima perintah
akan menentukan apakah akan menerima perintah atau tidak.
2) Wewenang adalah hak memerintah tentang orang lain untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Ada dua pandangan
yang berlawanan mengenai sumber wewenang: Pandangan klasik dan Pandangan
penerimaan. Manfaat pelimpahan wewenang mendorong terjadinya keputusan
yang lebih dalam berbagai hal dan penyelesaian pekerjaan akan dapat dilakukan
dengan lebih cepat sekiranya pelimpahan wewenang tersebut berjalan sebagaimana
mestinya dan diberikan kepada orang yang bertanggung jawab.
G. Pengaruh Kekuasaan
Kekuasaan seseorang ataupun suatu kelompok mampu memberikan pengaruh yang
besar bagi individu atau kelompok lainnya. Hal ini dapat dilihat dari masa lalu maupun
masa sekarang. Pengaruh kekuasaan dapat dilihat dari poin-poin berikut :

1. Terjadi kolonialisme dan imperialisme. Kolonialisme dan imperialisme mulai


berkembang pada abad ke-15. Kolonialisme adalah sebuah paham mengenai
penguasaan wilayah atau negara oleh bangsa lain. Tujuan dari kolonialisme adalah
memperluas wilayah kekuasaan bangsa. Sedangkan imperialisme adalah sebuah
sistem politik yang memiliki tujuan menjajah negara lain untuk memperoleh
kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar, Kolonialisme dan imperialisme terjadi di
Indonesia ketika Bangsa Eropa mulai masuk ke berbagai wilayah di dunia. Faktor
utama penyebaran kolonialisme beserta imperialisme adalah adanya Perang Salib dan
jatuhnya Konstantinopel oleh Turki Utsmani di tahun 1453. Saat itu, jalur
perdagangan Asia – Eropa ditutup sehingga Bangsa Eropa mencari jalur yang baru
untuk tetap melakukan perdagangan. Selain adanya Perang Salib dan jatuhnya
Konstantinopel, Bangsa Eropa memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
kolonialisme serta imperialisme karena mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
untuk mempelajari alam semesta, kondisi geografis, dan kehidupan dari bangsa-
bangsa lain.
2. Mendatangkan ideologi baru dan paham-paham baru. Pada zaman pergerakan
nasional, banyak paham-paham baru bermunculan yang mendorong gerakan
kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika seperti Indonesia dengan paham-
paham yang lahir di Eropa tersebut dipakai untuk menentang kolonialisme dan
imperalisme penjajah. Penyebaran paham-paham tersebut di kawasan Asia dan Afrika
tidak lepas dari dibukanya terusan Suez pada 1869
3. Akar dalam pembentukan hukum. Intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap
pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika

16
tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu
Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek
opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika
tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan
yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
4. Menguasai, menetap, menjajah, mengusir, menekan bahkan mengubah suatu sistem
pemerintahan dan kepolitikan
5. Mendidik masyarakat dengan etika politik dan norma yang berlaku. Fungsi etika
politik terbatas pada penyediaan pemikiran pemikiran teoritis untuk mempertanyakan
dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, rasional, objektif dan
argumentatif. oleh karena itu tugas etika politik subsider dalam arti membantu agar
pembahasan masalah-masalah ideologi dapat dijalankan dengan objektif artinya
berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua pihak
yang mengerti permasalahan. Etika politik dapat memberikan patokan-patokan,
orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang ingin menilai kualitas
tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia ( Soeseno, l988:2).
6. Menyejahterakan masyarakat. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup
penjelasan mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau
pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem
pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan
sosial sebagai haknya. Oleh karena itu negara kesejahteraan sangat erat kaitannya
dengan kebijakan sosial (social policy) yang mencakup strategi dan upaya-upaya
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui
perlindungan sosial (social protection) yang berupa jaminan sosial (baik berbentuk
bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety
nets).
7. Meningkatkan peluang terjadinya tujuan politik, yakni:
a. Agar kekuasaan yang ada di masyarakat maupun pemerintah diperoleh, dikelola,
dan diterapkan sesuai dengan norma hukum.
b. Menciptakan kekuasaan dalam masyarakat maupun pemerintah yang demokratis.
c. Membantu terselenggaranya kekuasaan pemerintah dan masyarakat yang mengacu
pada prinsip Negara
d. Menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.
e. Melindungi hak-hak semua warga negara Indonesia dan menjamin terlaksananya
kewajiban-kewajiban warga negara.
f. Menjaga keamanan dan perdamaian negara.
g. Menjaga kehidupan sosial yang seimbang untuk kemajuan bangsa.

Semakin banyak seseorang memiliki kekuasaan maka semakin banyak dia :


1. Berkomunikasi dengan orang lain;
2. Berperilaku cemas (solicitous);
3. Dihormati oleh orang lain.

17
Ketiga hal tersebut berarti bahwa mereka yang memiliki kekuasaan akan dihormati
oleh orang lain dan apabila mereka kurang memiliki kekuasaan dan ada di dalam pengaruh
orang yang memiliki kekuasaan maka mereka akan menghormati mereka yang lebih banyak
memiliki kekuasaan. Akan tetapi perbedaan yang besar mengenai kekuasaan di antara orang-
orang dapat berkaitan dengan kesuksesan kerja di dalam suatu organisasi. Apabila seorang
bawahan tidak memiliki kekuasaan yang layak, mereka sering tidak mampu untuk
menyelesaikan tugasnya karena mereka tidak mendapatkan sumber sumber atau bantuan yang
dibutuhkan. Hal tersebut pada gilirannya akan memperbesar kekuasaan pemimpin.
Lebih-lebih terjadinya jenjang kekuasaan yang besar sering mengarah kepada
penghindaran oleh orang yang berkekuasaan kecil dari orang yang berkekuasaan lebih besar
dan berkurangnya komunikasi di antara mereka. Setiap orang yang berkekuasaan harus peduli
terhadap masalah seperti itu dan perlu bekerja keras untuk membuat orang yang kecil
kekuasaannya menjadi cukup merasa senang untuk berkomunikasi dan bekerja sama. Tanpa
komunikasi yang akurat (dan) mungkin sumber-sumber yang banyak), orang yang
berkekuasaan akan kehilangan. sentuhan perasaannya dan mungkin akan membuat kesalahan.
Semakin orang diperlakukan seolah-olah memiliki kekuasaan semakin besar dia
memiliki kepercayaan diri yang besar. Merasa dihormati oleh orang lain maka orang yang
berkekuasaan memiliki kecenderungan untuk mulai memandang dirinya sendiri sebagai
orang penting, di mana mereka akan selalu memikirkan tentang diri mereka sendiri. Oleh
karena itu orang yang berkekuasaan cenderung untuk saling melihat satu sama lainnya.
Semakin banyak orang memiliki kekuasaan, semakin banyak orang tersebut
cenderung untuk mengidentifikasikan dengan orang lain yang juga memiliki kekuasaan.
Mereka yang memiliki kekuasaan yang beratribut tinggi akan lebih tertarik dan
berkomunikasi dengan kekuasaan yang beratribut tinggi pula dibanding dengan mereka yang
hanya memiliki kekuasaan yang kecil. Dalam hubungannya dengan organisasi

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang/kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sementara,
kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi. Terdapat
berbagai macam sumber kekuasaan yang ditemui di dunia. Konsep yang dipakai untuk
melakukan suatu kekuasaan biasanya dipengaruhi oleh kekuasaan kawasan Barat dan Timur.
Pengaruh dari adanya suatu kekuasaan mampu menimbulkan dampak yang meluas dan tidak
terbatas. Oleh sebab itu, hendaknya kekuasaan digunakan dengan cara yang terbaik pula.
B. Saran
Untuk mewujudkan suatu kekuasaan yang baik, diperlukan proporsi sumber dan konsep
kekuasaan yang baik. Hal ini mengingat pengaruh dari kekuasaan yang sangat universal. Dari
bahasan kekuasaan yang ada, masih diperlukan penelitian dan perbaikan terhadap bentuk
kekuasaan sehingga terjadi stabilitas dalam pengaruh kekuasaan yang diberikan. Penulis
selalu terbuka untuk kritik dan saran yang akan diberikan kepada makalah yang kami buat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Triantini, Z. E. (2019). Meta Konsep Kekuasaan dan Demokrasi Dalam Kajian Teori Politik.
Politea: Jurnal Politik Islam, 2(2), 1-18.
Diana, R. (2017, may). Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan Vol. 13, No. 1. Retrieved oct 6,
2021, from CORE: https://core.ac.uk/download/pdf/235572335.pdf
Effendi, M. R. (2002). Kekuasaan Negara dalam Islam (Pendekatan Dakwah). Retrieved oct
6, 2021, from Neliti
Pramudibyanto, H. (2017). KESEIMBANGAN KEKUASAAN DAN PENGARUH DALAM
KONTEKS KOMUNIKASI ORGANISASI. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL &
INTERNASIONAL.
Diana, B. A. (2020). Pengaruh Politik Dalam Birokrasi Pemerintahan. Ministrate: Jurnal Birokrasi dan
Pemerintahan Daerah, 2(1), 1-7.
Fitri, Agus Zaenul. (2016). "Seni dan Kekuasaan Dalam Kepemimpinan". Diakses dari :
http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/3739/1/SENI%20DAN%20KEKUASAAN%20DALAM%20KEPEMIMPIN
AN%20%28AGUS%20ZAENUL%20FITRI%29.pdf , pada 07 Oktober 2021 pukul 14:10

20

Anda mungkin juga menyukai