Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TENTANG

KEKUASAAN NEGARA DI
INDONESIA DAN DI DUNIA

NAMA
KELOMPOK:
1. INTAN NURAFNIH
2. SITI NURIYAH
3. SELLI ANGGRAENI
4. M.VIKRI
5. EKA WAHYU P.
6. A.GHOZI A.
XI-IPS 1
SMA AVISENA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR

0
Puji dan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa,karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Di dalam makalah yang berjudul KEKUASAAN
NEGARA DI INDONESIA DAN DI DUNIA ini akan dibahas megens jenis-jens
kekusasaan di indonesia dan di dunia dan bentuk-bentuk negara.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu pembimbing kami


karena telah mengarahkan kami dalam penyusunan makalah melalui
penyampaian materi tentang kekuasaan negara di indonesia dan di dunia.

Dalam penyusunan makalah ini tak luput dari kesalahan,untuk itu kami
mohon maaf atas kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Dan demi
menghasilkan makalah yang lebih baik, kami mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih..!

SIDOARJO, 20 Agustus 2016

PENYUSUN

DAFTAR ISI

1
Kata Pengantar.....................................................................................................1

Daftar Isi..............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

            A.Latar Belakang masalah........................................................................3

            B.Rumusan masalah ................................................................................4

            C.tujuan....................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

            A.Definisi kekuasaan................................................................................5

            B.Definisi kekuasaan menurut beberapa ahli ........................................5

            C.Macam-macam cara menyelenggarakan kekuasaan............................6

            D.Sumber kekuasaan................................................................................6

E. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal dan horizontal.............. 8

F. Jenis-jenis kekuasaan............................................................................8

G.Bentuk Negara......................................................................................12

H.Bentuk pemerintahan..........................................................................17

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan..........................................................................................22

            B.saran...................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................22

BAB I

2
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang masalah


Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok
manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atu kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan
dari orang yang mempunyai tujuan itu.Maksudnya seseorang mempunyai
kemampuan mempengaruhi tingkah laku laku orang lain atau sekelompok
orang berdasarkan kewibawaan,wewenang,karisms atau kekuasaan fisik yang
dimiliki.Dalam buku dasar-dasar ilmu politik,Miriam Budiarjo menuliskan
bahwa:Menurut Robert M.Mac Iver,”kekuasaan sosial adalah kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain,baik secara langsung dengan
jalan memberi perintah,maupun secara tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.”kekuasaan biasanya
berbentuk hubungan (relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang
memerintah dan pihak yang lain untuk diperintah (the ruler ans the ruled),satu
pihak yang memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi
perintah.”Diantaranya banyak bentuk kekuasaan ,ada satu bentuk yang sangat
penting,yaitu kekuasaan politik.Dalam hal ini kekuasaan politik adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang
kekuasaan itu sendiri.

Diantaranya konsep politik yang banyak dibahas adalh kekuasaan.Hal


ini tidak mengherankan sebab konsep sangat krusial dalam ilmu sosial pada
.Pada umumnya,dan ilmu politik khususnya.Pada suatu ketika politik
(politic)dianggap identik dengan kekuasaan,dan kekuasaan dianggap sebagai
cara untuk mencapai hal yang diinginkan,antara lain membagi sumber-sumber
dinataranya kelompok-kelompok dalam masyarakat.

B.Rumusan masalah
3
1. Mengapa seorang pelaku mempunyai kekuasaan ?
2. Apa arti kekuasaan itu sendiri?
3. Apa sumber dari kekusaan?
4. Apa saja jenis-jenis kekuasaan dan jenis-jenis bentuk negara

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kekuasaan menurut beberapa ahli?
2. Untuk mengetahui apa saja sumber kekuasan itu?
3. Untuk mengetahui jenis-jenis kekuasaan an bentuk negara

BAB II
PEMBAHASAN

4
A.Definisi kekusaan
Telah muncul banyak definisi beberapa ahli,seperti W.connoly (1983)
dan S.LUKES (1947) menganggap kekuasaan sebaga konsep yang
dipertetangkan (a conseted concept) yang artinya merupakan hal yang
tidak dapat dicapai suatu consesus.Perumusan yang umumnya di kenal
bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseoramg atau suatu kelompok
manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rup sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang mempunyai tujuan itu.Dalam hal ini pelaku bisa
berupa seorang,sekelompok orang,atau suatu kolektifitas.”’kekuasaan
biasanya berbentuk hubungan (relationship)dalam arti bahwa satu pihak
yang memerintah dan pihak lain yang diperintah.Satu pihak yang memberi
perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”

B.Defini kekuasaan menurut beberapa ahli


1. Max weber (wirtschaft and gesellshaft (1992):kekuasaan adalah
kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial,melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan ,dan apapun dasar
kemampan ini.
2. Haroid D.lasswell dan Abraham Kaplan yang definisinya sudah menjadi
rumusan klasik menyebutkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan
dimana seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan ke pihak pertama.
3. Barbara Goodwin (2003) seorang ahli kontemporer,mendefinisikan
bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang
bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih
,seandainya ia tidak dilinatkan.Dengan kata lain memaksa seseorang
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kehendaknya.Biasanya kekuasaan di selenggarakan melalui isyarat yang
jelas.Ini sering dinamakan kekuasaan mainfest.Namun kadang-kadang
isyarat itu tidak ada,misalnya dalam keadaan yang oleh Cari Friendrich
dinamakan the rule of anticipated reactions.Perilaku B ditentukan oleh
reaksi yang diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh
B.Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan implisit.Suatu
contoh dari kekuasaan manifes ialah jika seseorang polisi menghentikan
seseorang pengendara motor karena melanggar peraturan lalu

5
lintas.Contoh dari kekuasaan implisit ialah seorang anak sekolah
membatalkan rencana unruk main bola dan memutuskan untuk
membuat pekerjaan rumahnya,karena takut akan dimarahi bapaknya.

C. MACAM-MACAM CARA UNTUK MENYELENGGARAKAN


KEKUASAAN
a. Dengan cara kekerasan fisik
b. Kekuasaan dapat juga diselenggarkan lewat koersi,yaitu melalui
ancaman akan diadakan sanksi.
c. Persuasion yaitu proses menyakinkan,berargumentasi atau
menunjuk pada pendapat seorang ahli.
d. Pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya untuk
mengatasi masalah sampah dapat melakukan sanksi negatif
dengan mendenda tiap pelanggar. Akan tetapi karena pengawas
terbatas mungkin pemerintah cenderung memeberi sanksi positif
misalnya,berupa hadiah kepada rukun tetangga yang paling
bersih. Kadang hal ini dinamakan sanksi positif.

D. SUMBER KEKUASAAN
Sumber kekuasaan dapat berupa kedududkan misalnya seorang komandan
terhadap anak buahnya atau seorang majikan terhadap pegawainya,
sumber kekuasaan dapat juga pula berupa kekayaan.Misal seorang
pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atau seorang politikus atau
seoarang bawahan yang mempunyai hutang yang belum di bayar kembali.
Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan atau agama.Di banyak
tempat alim ulama’ mempunyai kekuasaan terhadap umatnya ,sehingga
mereka dianggap sebagai pemimpin informal yang perlu di perhitungakan
dalam proses pembuatan keputusan di tempat itu.Kita perlu membedakan
dua istilah menyangkut konsep kekuasaan:

1. Cakupan kekuasaan (Scoope of power)


menunjuk pada kegiatan ,perilaku,serta sikap serta sikap dan
keputusan-keputusan yang menjadi objek dari kekuasaan.Misalnya
seorang direktur perusahaan mempunyai kekuasaan untuk memecat
seorang karyawan (asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
6
berlaku),akan tetapi tidak mempunyai kekusaan terhadap karyawan
diluar hubungan kerja ini.
2. Wilayah kekuasaan (domain of power)
Menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang
atau kelompok yang berkuasa,jadi menunjuk pada pelaku,kelompok
organiasasi atau kolektifitas kena sasaran .Misalnya seorang direktur
perusahaan mempunyai kekuasaan tas semua karyawan dalam
perusahaan itu,baik di puasat maupun yang di cabang-cabang.
 Taloct parsons
Seorang sosiolog terkenal Taloct parsons,yang cenderung
melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk
mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat
keputusan-keputusan yang mengikat di dukung dengan sanksi
yang negatif

Dalam perumusan Taloct persons yang diterjemahkan secar bebas


mengatakan :

Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya


kewajiban-kewajiban yang mengikat,oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu
sistem dalam suatu organisasi kolektif.

Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif.Jika


ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif
wajar,terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.

Jadi ,Persons melihat segi positif dari kekuasaan jika di hubungkan


dengan authority dan kemungkinan-kemungkinan.Rencana-rencana dapat
terlaksana dengan baik.

E. PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA SECARA


VERTIKAL DAN HORIZONTAL
Pembagian kekuasaan dibedakan menjadi pembagian kekuasaan secara
vertikal dan pembagian secara horizontal.pembagian kekuasaan secra vertikal

7
dapat diartikan bahwa kekuasaan di bagi secra terotorial atau wilayah
kekuasaan.

1. Pembagian kekusaan secara horizontal

Pembagian kekuasaan secara horizontal dilakukan menurut fungsi


lembaga-lembaga tertentu.Pada tingkatan pemerintahan daerah yang
sederajat, yakni antara pemerintahan Daerah (kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Tingkat provinsi,antara
Pemerintah Provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur) dan DPRD provinsi. Tingkat
kabupaten antara pemerintahan kabupaten/kota (Bupati/Wakil Bupati atau
Walikota/Wakilkota) dan DPRD Kabupaten/Kota.

2. Pembagian kekuasaan secara vertikal

Pembagian kekusaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara


beberapa tingkatan pemerintah. Pembagian kekuasaan sexcara vertikal di
negara indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul akibat adanya asas desentralsasi
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

F. JENIS-JENIS KEKUASAAN

1. Monarki dan Tirani


Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di
mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para
pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang
oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam
proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau
persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan
yang dominan.

Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah
Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan
Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif,
misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah

8
masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun
masih menerapkan sistem monarki.

Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan


pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat
konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern
sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan,
kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan
praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang
telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya
pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.

Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa
kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak
dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di
Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah
keturunannya.

Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran
kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler,
atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis
kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di
mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap
kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.

2. Aristokrasi dan Oligarki

Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan
yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan
oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada
satu orang (mono) melainkan beberapa (few).

Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam


masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik
yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang
tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum
bangsawan (aristokrasi).

Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada
pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak
bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa
duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya,
berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para
bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan
atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.

Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi
9
di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin
uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum
bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.

Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya
kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan),
maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai
‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen,
dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki.

Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan
House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului
dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh,
meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan
jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang
lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.

3. Demokrasi dan Mobokrasi

Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka
kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan
demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi
langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).

Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa


perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di
mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya
demokrasi langsung yaitu:

 Jumlah warganegara harus kecil.


 Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
 Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
 Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.

Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu


ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata
berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya
masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan
pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah
demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh
sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses
pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan
demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa
kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi
langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.

10
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya
untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini
dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat
yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke
parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.

Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya


anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan
memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi
keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi
wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira
mewakili 300.000 orang pemilih.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat
UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses
pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat
yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi
langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan
biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis
ketimbang demokrasi langsung.

Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi
tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin
kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin
didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau)
bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan
demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari
demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang
dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.

4. Timokrasi

Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah disebutkan
oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates dalam menggambarkan rezim
pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu
seseorang yang gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi
tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah Aristokrasi yang
tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan Oligarki.

Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan kehormatan
dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan dari kekuasaan di tangan
beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan
pribadi atau kelompok, maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di
dalam Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala proses
peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi merosot menjadi Oligarki.

11
5. Oklokrasi

Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam anarki
massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun, karena --biasanya--
kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau massa besar, mereka memerintah
memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori
ini, di mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan
inkonstitusional.
6. Plutokrasi

Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh orang-orang kaya.
Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi
ekstrim ketimpangan antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat
(penguasa dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik,
melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti
ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.

7. Kleptokrasi

Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaan


publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut
sebagai korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis
menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam kantong-kantong
pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat publik, maka semakin
mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan Kleptokrasi

G. BENTUK NEGARA
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu
Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya
jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan
analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal
untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.

1. Negara Konfederasi

Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh
yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu
atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat
perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota
Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”

12
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka
Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat.
Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-
negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan
Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk
mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan
Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan
masing-masing negara.

Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada


masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak
mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun
terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri
sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.

Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya


bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional.
Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun
mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih
jelasnya, mari kita lihat skema berikut:

Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju


Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas
antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat
misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B,
dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.

Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan


oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk
bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang
kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya
bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan
negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara
anggota Konfederasi.

13
2. Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang
kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak
ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan
pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas
(melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan
pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang
yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di
Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-
waktu.

Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian


kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai
desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan
dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada
pemerintah pusat.

Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah
kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam
konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi
itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan
tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya
yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.

Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena


aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen
pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian
ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.

Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama


diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara
Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas
(keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk
lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut:

14
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang
ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di
wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi
pemerintah daerah itu sendiri.

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing


penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak
dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat
kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah
ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.

3. Federasi

Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan


nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau
wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang
dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki
kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup
tajam.

Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-
negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau
berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan
kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.

Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire,


New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New
Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska,
Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri
melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal
sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C.
(District Columbia) itu!

15
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara
Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk
membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk
organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara
Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-
undang dari pusat.

Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang


pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi
Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat
ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal
tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara
Federasi:

Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik
negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk
di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.

Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam
konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar
sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian
sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah
dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa
Orde Baru.

Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang
negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan
monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan
politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara
Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.

16
H. BENTUK PEMERINTAHAN
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer

Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara


langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke
dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan
hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.

Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut


Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta
membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah
suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).

Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu
untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara
memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih
tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan
umum.

Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara
pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri.
Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet,
di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga
anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang
punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau
mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.

Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%),
maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya.
Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi
perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini,
tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara
mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri
sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya,
perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai
representasi rakyat hasil pemilihan umum.

Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan


sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke
dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen
menjadi ‘oposisi.’

Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi


membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet
bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan

17
perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana
‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.

Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer


murni adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet, arises out of the
legislative assembly;
The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote of “no
confidence” by a majority of the legislative assembly.

Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam


parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas perdana menteri
dan kabinet. Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen,
maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial bagi
“mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri
dan para menterinya amat bergantung pada kepercayaan politik yang diberikan para
anggota parlemen. Sebab itu, secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet
ada di bawah parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif.

Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2


varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer Transaksional.

Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai memperoleh


mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini, maka hubungan antara legislatif
dan eksekutif bersifat hirarkis di mana legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang
dilakukan Walter Bagehot (1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih
terjadi antara kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif.
Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan ada di tangan
kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di
dalam parlemen. Kondisi lain yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam
kabinet semakin beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan
politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara yang menganut
demokrasi Westminster.

Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam parlemen,


eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi. Kabinet dalam koalisi ini
bertahan selama koalisi mampu menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan
minoritas mungkin saja terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak
membangun aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat hirarkis
dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya.

2. Bentuk Pemerintahan Presidensil

Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat.


Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu
sama lain.

18
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih
anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak
prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet.
Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana
dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara
mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat
efektif jika salah satu partai menang secara 51%.

Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota


kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa reformasi, pemenang
pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas,
sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan
pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP,
PAN, dan PKB.

Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen


(DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati
nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden
tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran
yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak
kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi,
berbeda dengan Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung
jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya
kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri
tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil,
hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen
melainkan rakyat secara langsung.

Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai berikut:

 Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia
merupakan “kepala eksekutif.”
 Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling
bergantung.
 Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan
pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.

Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional. Keduanya
independen satu sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif
tidak lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan
legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan
atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan yang mengemuka.

Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden dalam


melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya dalam hal presiden
mengimplementasikan kebijakan.

19
Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya presiden atau bukan,
pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawar-menawar dengan presiden seputar
kepentingan partai mayoritas tersebut. Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak
membutuhkan kabinet yang merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan
eksekutif yang otonomi tercipta.

Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang memadai
dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk kabinet yang
mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan persetujuan dengan
parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang
terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu dan
tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat gangguan tersebut.

Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan substansial
bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin melakukan transaksi dengan
parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam rangka menghubungkan legislatif dan
eksekutif bersama dan memfasilitasi tawar-menawar legislatif.

3. Semi Presidensil

Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem


pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial. Lebih lanjut,
Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial adalah:

 Presiden dipilih langsung oleh rakyat;


 Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas;
 Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan
dari mayoritas di parlemen.

Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”. Dual
executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala negara yang kurang otoritas politiknya,
tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat
Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan merefleksikan
demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet,
dan Parlemen berbeda-beda antara negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial
tersebut.

Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2) President-


Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya praktek-praktek Semi-Presidensial
untuk hanya secara ketat dimasukkan ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek
tersebut dalam hal kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di
masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu negara, sementara
amat lemah di negara lainnya.

20
Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan kabinet secara
eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen. Ini berbeda dengan President-
Parlementer dimana perdana menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak
yaitu presiden dan mayoritas parlemen.

Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang berhak


memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat dekat dengan
Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu bahwa presiden punya
kewenangan konstitusional untuk bertindak secara independen di hadapan parlemen.
Keindependenan tersebut bisa dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan
undang-undang.

Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan


konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di Premier-Presidensil.
Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang
dinominasikan untuk menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh
mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan pertanggungjawaban ganda
perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada presiden dan parlemen. Sistem ini juga
menempatkan presiden dalam posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil .

4. Hybryd Lainnya

Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan yang


bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial. Model pemerintahan
ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki
jangka waktu kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga ada di
Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat sekaligus punya posisi yang
punya ketergantungan tinggi pada parlemen.

Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan sistem


pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari Matthew Soberg Shugart
berikut ini:

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam suatu hubungan kekuasaan selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak
lain.Jadi,selalu ada hubungan tidak seimbang.Ketidak seimbangan inilah yang dering
menimbulkan ketergantungan.Semakin tidak seimbang maka semakin besar pula sifat
ketergantungannya.

B. SARAN
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu pengetahuan
kepada para pembaca,dan disarankan pada pembaca untuk mencari referensi yang lebih
banyak lagi,baik dari sosial media maupun media lain.

DAFTAR PUSTAKA

Rodee,Carlton clymer dkk,pengantar ilmu politik,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2011

Budiardjo,Miriam,Dasar-Dasar ilmu politik,Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2007.

www.setabasri01.blogspot.co.id

22

Anda mungkin juga menyukai