Anda di halaman 1dari 12

AHWAL YANG DIALAMI PARA SUFI

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Tasawuf)


DOSEN: Mubarak Taswin Dr.H, LC, M.H.I

Oleh: HI-33

WIWI RAMADANI (30800120085)

MUSYAWIRAH AZALIYYAH (30800120075)

ANDI NURHAFIDA AZIS (30800120073)

NURUL AINUN (30800120080)

LALA INDRIANI (30800120088)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhamad
SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Perlu diketahui, bahwa makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf. Materi-materi bahasan yang terdapat dalam makalah ini sangat
membantu khususnya dalam bahasan ahwal yang dialami para sufi. Dengan segala kerendahan
hati saran dan kritik demi perbaikan selanjutnya, penulis sambut dengan senang hati. Dalam hal
ini penulis mengharapkan saran-saran yang membangun ke arah yang positif demi perbaikan
selanjutnya.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
kepada bapak Mubarak Taswin Dr.H, LC, M.H.I selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu
Tasawuf dan tak lupa pula kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian penulisan
makalah ini, penulis ucapkan banyak terima kasih semoga amal baik mereka senantiasa di terima
di sisi Allah SWT. Aamiin.
Akhirnya penulis mohon maaf dan maklum yang sebesar-besarnya apabila dalam
menyusun dan menyajikannya kurang berkenan. Dengan mengharap ridha Allah SWT, mudah-
mudahan makalah ini menjadi wasilah sebagai amal shaleh („ilmun yun tafa‟u bihi).

Demikian kata pengantar ini penulis sampaikan kepada pembaca, saran dan kritik
membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini akan penulis terima dengan
senang hati. Dan hanya kepada Allah SWT kita mengharapkan hidayah dan taufik-Nya. Aamiin..

Makassar, 21 September 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................1
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG ..................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH ..............................................................................................4
1.3 TUJUAN ......................................................................................................................4
1.4 MANFAAT ..................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................5
2.1 Definisi .........................................................................................................................5
2.2 Tingkatan Ahwal...........................................................................................................5
2.2.1 Muraqobah ............................................................................................................5
2.2.2 Musyahadah ..........................................................................................................6
2.2.3 Khauf .....................................................................................................................6
2.2.4 Raja‟ ......................................................................................................................7
2.2.5 Syauq .....................................................................................................................7
2.2.6 Qurbah .................................................................................................................7
2.2.7 Tuma‟ninah............................................................................................................8
2.2.8 Yaqin .....................................................................................................................8
2.3 Hubungan Antara Maqamat Dengan Ahwal ..................................................................9
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 10
3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................... 10
3.2 SARAN ...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 11

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Bicara Tasawuf, pasti membuatkan seseorang memikir akan kelembutan dalam ilmu
kerohanian dan kebathinan. Dalam arus modernitas yang semakin berkembang dengan pesat ini,
kebanyakan manusia begitu lalai dalam menjalani kehidupan karena begitu serasa dengan
teknologi-teknologi yang semakin canggih. Fenomena yang biasa muncul dari kekeringan
spiritualitas ini ditandai semakin jauhnya manusia dari Tuhan. Penyebab dapat dideteksi melalui
fenomena kehidupan manusia yang terus dihadapkan pada situasi persaingan kepentingan,
sedangkan eksistensis manusia banyak yang diabdikan pada tujuan dan pamrih ekonomi. Mereka
hidup dalam apa yang disebut oleh Max Webber sebagai “semangat kapitalisme”modern.
Dengan bertasawuf seseorang akan mengenal akan kewujudan konsep bertarekat yakni jalan
menuju kepada Allah swt. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohani (riyadah) penyucian
dan pengobatan hati, lalu secara bertahap akan menempuh suatu fase-fase yang dikenal sebagai
maqam yakni tingkatan dan hal (keadaan), Sebelum mereka akan berakhir dengan mengenal
ma‟rifat kepada Allah swt. Dalam bertasawuf juga dikenal istilah “ahwal” bentuk jamak dari
“hal” yang biasa diartikan sebagai keadaan mental (mantel states) yang dialami oleh para sufi
disela-sela perjalanannya.1
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan
dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi
yang singgah dalam kolbu merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis,
memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat pada Allah dengan cara
berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya
dalam kalbu hamba tersebut. Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti
yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa
senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka
setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam adalah upaya
(makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya
perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang
turun dari tuhan ke dalam hati manusia, tanpa ia mampu menolaknya bila datang, atau
meraihnya bila pergi, dengan ikhtiarnya sendiri . Maka, lanjut al-Hujwiri, sementara istilah
maqam menunjuk kepada jalan sang pencari, istilah hala menunjuk kepada nikmat dan
kemurahan yang tuhan anugrahkan kepada hati hambanya, dan yang tidak berkaitan dengan

1
Asnawiyah. (2014, april 23). MAQAM DAN AHWAL: MAKNA DAN HAKIKATNYA, 16.

3
kezuhudan sang hamba. Olek karenanya, maqam termasuk dalam kategori tindakan, sedang hal
termasuk dalam kategori anugerah. Al-Sarraj dan kebanyakan kaum sufi beberapa sudah disebut
diatas sepakat bahwa hal merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam adalah upaya
(makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya
perjuangan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, maqam berarti menunjuk kepada sebuah kerja
aktif sedang seseorang yang menerima hal adalah pasif dalam keadaannya. Namun ada yang
mengatakan, perbedaan ini hanya pada tatanan teoritis belaka dan tidak mempengaruhi pada
aspek praktinnya. 2

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan ahwal?


2. Bagimana tingkatan ahwal dalam tasawuf?
3. Apa hubungan antara maqamat dengan ahwal dalam tasawuf?

1.3 TUJUAN

1. Mengetahui definisi ahwal yang dialami para sufi.


2. Memahami tentang tingkatan ahwal dalam tasawuf.
3. Mengetahui hubungan antara maqamat dengan ahwal dalam tasawuf.

1.4 MANFAAT

1. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pribadi dengan memahami ahwal yang
dialami para sufi.
2. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca tentang ahwal itu sendiri
dan perbedaan antara maqamat dengan ahwal dalam tasawuf.

2
Ni'am, S. (2014). TASAWUF STUDIES: Pengantar Belajar Tasawuf (1 ed.). (R. KR, Penyunt.) Depok,
Yogyakarta, Indonesia : Ar-Ruzz MEDIA.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Ahwal adalah jamak dari kata hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dialami
oleh para ahli sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ahwal juga bisa diartikan
dengan situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai suatu karunia Allah Swt, bukan
dari hasil usahanya. Ahwal atau hal, merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, sedih,
perasaan takut dan sebagainya. Dapat pula diartikan dengan keadaan-keadaan spiritual. Sebagai
anugerah dan karunia Allah Swt kepada hati para penempuh jalan spiritual. Ahwal dan hal,
merupakan suatu anugerah dan rahmat dari Tuhan, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi
seorang sufi dalam perjalanannya mendekatkan diri dengan Tuhan. Kata Imam Qusyairi
menjelaskan: “Maka setiap hal merupakan karunia, dan setiap maqam adalah upaya. Pada Al-hal,
datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam, menempati maqamnya dan orang-orang yang
berada dalam hal, bebas dari kondisinya.” Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat
karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehinya tetap harus melalui upaya
dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. 3 Dalam pandangan Harun Nasution sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis,
takut, senang, dan sebagainya. Oleh karena itu ada istilahistilah lain yang termasuk kategori hal,
yaitu al-muraqabat wa al-qurb, alkhouf wa al-roja (takut dan penuh harap), at-tuma‟ninah
(perasaan tenang dan tentram), al-musyahadat (menyaksikan dalam pandangan batin), alyaqin
(penuh dengan keyakinan yang mantap), al-uns (rasa berteman), attawadlu‟ (rendah hati dan
rendah diri), at-taqwa (patuh), al-wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas. 4

2.2 Tingkatan Ahwal


2.2.1 Muraqobah
Mengekalkan pengetahuan si hamba bahwa Tuhannya sentiasa melihat perlakuannya.
Atau ada yang mengatakan arti Muraqobah itu ialah memfana‟kan (meniadakan) si hamba
akan afa'alnya, sifat dan zatnya di dalam afa'al, sifat dan zat Allah. Firman Allah swt dalam
surah al-Ahzab ayat 52:

ْ ‫ّٰللاُ َع ٰلً ُك ِّل ش‬


)۲۵(‫ٍَءٍ َّزقِ ُْبًا‬ ‫ۗ َو َكانَ ه‬
Artinya: “... dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.”

3
Amin, T. J. (t.thn.). Kamus Ilmu Tasawuf.
4
Dr. H. Badrudin, M. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. (A. A. Dzawafi, Penyunt.) Banjarsari C1/1
Serang: Penerbit A-Empa.

5
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, dalam kemaksiatan
dan dalam hal yang mubah. Sesungguhnya, tanda bahwa hati seseorang masih hidup adalah
ia dapat merasakan sifat-sifat Allah dan merasakan bahwa Allah melihat serta mendengar
apa yang ia bicarakan walaupun hanya di dalam hati, ini merupakan maqam muraqobah.

2.2.2 Musyahadah
Melihat Tuhannya yang sebenarnya (al-Haq) di dalam setiap zarrah daripada segala
zarrah al-wujud yang ada, disertai dengan mesuci dan membersihkan dari setiap perkara
yang tidak layak dengan kebesaran-Nya. Firman Allah dalam surah Qaf ayat 37:

)۷۳(‫ش ِهُْد‬
َ ‫س ْم َع َوه َُى‬ ٌ ‫ا َِّن فِ ٍْ ٰذ ِل َك لَ ِر ْك ٰسي ِل َم ْه َكانَ لَهٗ قَ ْل‬
َّ ‫ب اَ ْو ا َ ْلقًَ ال‬
Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia
menyaksikannya.”

Derajat-derajat (tingkatan-tingkatan) musyahadah: Pertama, Musyahadah kepada


segala perbuatan Allah SWT. Kedua, Musyahadah kepada segala sifat-sifat Allah SWT.
Ketiga, Musyahadah kepada zat Allah SWT. Tanda ketajaman hati adalah bahwa mata
hatinya (bashirah) dapat menembus apa yang ada dalam dunia ini dan seakan-akan
menyaksikan Allah. Ini merupakan maqam musyahadah.

2.2.3 Khauf
Imam al-Ghazali berkata, “ketahuilah bahwa hakikat dari takut yakni khauf adalah
kepedihan dan terbakarnya hati karena diperkirakan akan tertimpa musibah sesuatu yang
tidak menyenangkan di masa yang akan datang, khauf kepada Allah kadang timbul karena
dosa dan kadang pula timbul karena seseorang mengetahui sifat-sifat-Nya yang
mengharuskannya untuk takut kepada-Nya. Inilah tingkatan khauf yang paling sempurna.
Firman Allah swt dalam surah As-Sajadah ayat 16:

)۶۱( َ‫ط َم ًع ۖا َّو ِم َّما َزشَ ْق ٰى ُه ْم َُ ْى ِفقُ ْىن‬


َ ‫ع ْىنَ َزبَّ ُه ْم خ َْىفًا َّو‬
ُ ‫اج ِع ََ ْد‬
ِ ‫ض‬َ ‫تَتَ َج ٰافً ُجىُ ْىبُ ُه ْم َع ِه ْال َم‬
Artinya: “lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada
Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang
Kami berikan.”

Dalam Qawa‟id at-Tashawwuf, Ahmad Zaruq menyatakan, “Diantara yang


memotivasi amal adalah rasa takut, yakni pengagungan yang disertai keseganan, dan Kauf
adalah bergetarnya hati karena Allah.”

6
2.2.4 Raja’
Menurut Ahmad Zaruq, definisi raja‟ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang
dibuktikan dengan amal. Kalau bukan demikian, maka itu adalah keterpedayaan. Firman
Allah swt dalam surah Al-Ankabut ayat 5:

(۵)
Artinya: “Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, Maka Sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
Raja‟ menuntut kepada tiga perkara, yaitu: pertama, Cinta kepada apa yang
diharapkannya. Kedua, takut harapannya itu hilang. Ketiga, berusaha untuk mencapainya.

2.2.5 Syauq
Syauq (kerinduan) seorang hamba adalah kejenuhan untuk tetap tinggal di dunia,
karena ia sangat rindu untuk bertemu dengan Kekasihnya.
Rasulullah saw pernah mengungkapkan dalam doanya:
“saya memohon kepada-Mu (ya Allah) nikmat menatap Wajah-Mu yang Mulia dan
rindu untuk bertemu dengan-Mu.” (Hadis riwayat an-Nasai dan al-Hakim, dari „Ammarah)
Ketahuilah bahwa kerinduan itu tidak bisa digambarkan kecuali dengan bertatap muka
atau tanpa bertatap muka. Tapi jika sama sekali tidak pernah menatap muka, sudah pasti
tidak akan ada kerinduan. Dan kesempurnaan semacam ini hanya ada di akhirat. Ada pula
orang mengatakan, “Isyq adalah mengoyak tabir dan menyingkap rahasia. Wajd
(kegahirahan/kecintaan yang luar biasa) adalah ketidakmampuan roh menahan dominasi
kerinduan (syauq) ketika dirasakan manisnya berzikir, sehingga kalau salah satu anggota
tubuhnya terputus, ia tidak akan merasakan dan menyadarinya.” 5

2.2.6 Qurbah
Suatu keadaan spiritual qurbah (kedekatan) bagi hamba yang telah menyaksikan
dengan mata hatinya akan kedekatan Allah swt dengannya. Baik secara lahiriah maupun
rahasia hati. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 186:

ْ ‫ساَلَ َك ِعبَاد‬
ٌ َ‫ٌِ َعىِّ ٍْ فَ ِاوِّ ٍْ قَ ِس‬
)۶۸۱(.... ‫ْب‬ َ ‫َواِذَا‬
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat....”

5
YN, H. (2016). Tasawuf dan Pluralisme.

7
Al junaid rhm, berkata, “perlu engkau ketahui bahwa Dia dekat dengan hati para
hamba-Nya sesuai dengan kadar kedekatan tautan hati para hamba dengan-Nya. Maka
lihatlah apa yang dekat dengan hati anda?”
Hal qurb ini, menurut al-Sarraj, membutuhkan hal mahabbah dan khauf. Qurb yang
berarti keadaan rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah hanya dapat dicapai oleh dua
keadaan: mahabbah (perasaan cinta) dan khauf (perasaan takut). Jika yang dominan dalam
hati sang hamba adalah rasa cintanya kepada Allah, maka qurb itu berbentuk mahabbah.
Namun jika perasaan takutnya lebih besar, maka qurb itu berbentuk khauf.

2.2.7 Tuma’ninah
Tuma‟ninah (ketenangan) adalah kondisi spiritual yang tinggi. Di mana ia merupakan
kondisi spiritual orang hamba yang akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam,
dzikirnya jernih dan hakikatnya tertancap kokoh. Firman Allah dalam surah alFajr ayat 27:

ُ ‫َٰٰۤاَََّت ُ َها الىَّ ۡف‬


ُۗ)۵۳( ‫س ۡال ُم ۡط َم ِٕٮىَّة‬
Artinya: “Hai jiwa yang tenang.”
Dalam sebuah tafsir disebutkan,“Yang merasa tenang dengan keimanan.” Menurut
Sahl ibn Abdullah, jika hati sang hamba bersemayam di dalam Tuhannya dan merasa tenang
bersamaNya, maka akan menguatkan kondisi rohaninya, jika sudah menguat ia akan merasa
intim terhadap apapun.

2.2.8 Yaqin
Keyakinan, percaya mutlak kepada kearifan Tuhan adalah keadaan tertinggi yang
diharapkan pengembara atau penempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (salik),
dan orang yang telah mencapainya tidak perlu lagi menyingkap misteri-misteri ghaib.
Keyakinan memenuhi hati dengan cahaya yang membebaskan hati dari kabut kegelisahan
dan keraguan yang menyebabkan berhembusnya angin kebahagiaan dalam hati manusia.
Mencapai tingkatakan Musyahadah dan Al-Yaqin, menurut pengakuan Sufi amat sulit dan
payah serta jarang orang yang memperoleh karunia yang semulia itu.
Rasulullah saw bersabda: “Memohonlah kepada Allah swt, ampunan, afiat
(kesehatan), dan yaqin (keyakinan sejati), baik di dunia maupun di akhirat” (H.r Ahmad
dari Abu Bakar, Tirmidzi dari riwayat Abdullah bin Muhammad bin Ubaid, dan Nasa‟I dari
beberapa riwayat). Syeikh Abu Nashr as-Sarraj rhm, berkata: “Dalam beberapa tempat,
Allah swt telah menyebutkan tentang yaqin dengan tiga macam: Ilmu Yaqin, „Ainul-Yaqin
dan Haqqul-Yaqin.”
Ilmu yaqin ialah ilmu yang terhasil dengan dalil akal. „ainul yaqin pula ialah
pengetahuan yang terhasil dengan dilihatnya sendiri dan Haq Yaqin adalah fana‟ si hamba

8
berupa sifat Tuhannya dan baqa‟ bersama dengan Dia. Abu bakar Al-Warraq berkata: “yakin
terdiri atas tiga macam, yaitu yakin khabar, yakin dalalah, dan yakin musyahadah.”6

2.3 Hubungan Antara Maqamat Dengan Ahwal


Kaum sufi mengatakan, “Hal adalah anugerah (mawhab), dan maqam adalah perolehan
(kasb).” Tiada maqam yang tidak dimasuki hal dan tiada hal yang terpisah dari kesatuan dengan
maqam. Tentang hal dan maqam, sumber perselisihan adalah bahwa sebagian syeikh Sufi
menyebut ini hal, dan sebagaian lagi maqam. Sebab seluruh maqam adalah hal, dan akhirnya
adalah maqam, seperti taubat (al taubah), mawas diri (muhasabah), dan renungan disertai rasa
takut (muraqabah). Awalnya, masingmasing itu adalah sebuah hal yang mengalami perubahan
dan penurunan, ketika mendekati perolehan (kasb), ia menjadi maqam, segenap hal diterangi
oleh berbagai perolehan (makasib) dan sebagian maqam ialah berbagai anugerah (mawahib).
Dalam hal, anugerah bersifat batiniah, manakala maqam, perolehannya bersifat lahiriah, dan
anugerah bersifat batiniah.
Perbedaan antara keduanya adalah maqamat diperolehi melalui kegiatan beribadah dan
latihan-latihan spiritual, sedangkan ahwal merupakan anugerah semata dari Allah swt. Ahwal
adalah karunia dari Tuhan sementara maqamat diperolehi. Ahwal datang dari musim semi
kemurahan hati dan maqamat dicapai melalui perlaksaan ikhtiar.
Berlawanan dengan sifat ini, hal berdekatan dengan maqam berarti bahwa ia dapat dilampui
hanya apabila sepenuhnya terkuasai dan segala kondisinya terpenuhi. Lebih jauh lagi, untuk
mencapai maqam yang lebih tinggi harus terus besertakan maqam dibawahnya, bukan menjadi
penghalangnya. Hal itu ialah suatu perkara yang datang ke dalam hati orang yang salik, baik itu
suka dan duka atau haibah (gerun). Jika pergi dan datang dalam keadaan tiada tetap tanpa
perbuatan dan usahanya, maka dinamakan “hal”. Sebaliknya, jika ia kekal sehingga menjadi
tabiatnya, dinamakan “maqam”. Ini karena, hal itu adalah dengan pemberian anugerah-Nya,
sedang maqam itu adalah dengan diusahakan. 7
Abdullah Ibn Alawi al-Haddad mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendapat para
Sufi di atas. Menurut Al Haddad, ahwal adalah suatu kondisi (keadaan) batin yang dialami
seorang Sufi dalam keadaan belum mantap, Kemudian ketika kondisi batin itu telah mantap
maka disebutlah ia maqam. Ahwal dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh seseorang
karena pengaruh dari ilmu di sebabkan ilmu dapat membuahkan hal dan hal dapat menghasilkan
maqam.8

6
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan. 86 halaman, 46-54
halaman. Banda Aceh.
7
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan. 86 halaman, 54-57
halaman. Banda Aceh.
8
Bagir, H. (2005). Buku Saku Tasawuf (1nd ed.). Bandung, jl. Yodkali, N0:16: Mizan Media Utama
(MMU).

9
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Ahwal adalah jamak daripada kata hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang
dialami oleh para ahli sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ahwal juga bisa
diartikan dengan situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai suatu karunia Allah
Swt, bukan dari hasil usahanya. Ahwal atau hal, merupakan keadaan mental seperti perasaan
senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya. Dapat pula diartikan dengan keadaan-keadaan
spiritual. Sebagai anugerah dan karunia Allah Swt kepada hati para penempuh jalan spiritual.
Ahwal dan hal, merupakan suatu anugerah dan rahmat dari Tuhan, hal bersifat sementara, datang
dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekatkan diri dengan Tuhan. Meski para
sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa
menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba
sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan,
sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan
pergi. Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Qurb,
Mahabbah, Khawf, Raja‟, Syawq, „Uns, Thuma „Ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada
setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing.

3.2 SARAN
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan adanya
tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata kuliah Studi Hadits kita bisa
membedakan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar.
Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam
penyampaian. Untukitu, kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan guna
memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amiin.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amin, T. J. (t.thn.). Kamus Ilmu Tasawuf.


Asnawiyah. (2014, april 23). MAQAM DAN AHWAL: MAKNA DAN HAKIKATNYA, 16.
Bagir, H. (2005). Buku Saku Tasawuf (1nd ed.). Bandung, jl. Yodkali, N0:16: Mizan Media Utama
(MMU).
Dr. H. Badrudin, M. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. (A. A. Dzawafi, Penyunt.) Banjarsari C1/1 Serang:
Penerbit A-Empa.
Ni'am, S. (2014). TASAWUF STUDIES: Pengantar Belajar Tasawuf (1 ed.). (R. KR, Penyunt.) Depok,
Yogyakarta, Indonesia : Ar-Ruzz MEDIA.
Tengah, M. K. (2020, januari 02). Maqamat dan Ahwal Menurut Pandangan Sufi. 86 halaman, 46-54
halaman. Banda Aceh.
YN, H. (2016). Tasawuf dan Pluralisme.

11

Anda mungkin juga menyukai