Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

OPERASI GANTI KELAMIN DAN OPERASI


SELAPUT DARA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Masail Fiqhiyah (Fikih Kontemporer)

Dosen Pengampu :
Pahrurraji, M.Pd.

Disusun Oleh : Kelompok 2


Mahda Amini NIM. 2022110009
Norlia Ramadani NIM. 2022110018
Salimah NIM. 2022110024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................... 1

A. Operasi Ganti Kelamin ................................................................ 1


1. Pengertian Transgender ..................................................... ... 1
2. Hukum Operasi Ganti Kelamin Dalam Islam ................... ... 2
3. Konsekuensi Hukum dari Pergantian Kelamin ................. ... 6
B. Operasi Selaput Dara ................................................................... 8
1. Pengertian Operasi Selaput Dara .......................................... 8
2. Hukum Melakukan Operasi Selaput Dara ............................ 9
3. Dampak Operasi Selaput Dara ............................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .. 18

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Operasi Ganti Kelamin


1. Pengertian Transgender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, yang berarti jenis kelamin.
Secara terminologi transgender adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat
berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. Transgender
merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya
kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya
ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam
bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada
operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery).1
Di dalam pandangan Islam istilah transgender memiliki istilah dalam
Islam yaitu Al-mukhannits (lelaki yang berperilaku seperti perempuan) Wal
Mutarajjilat (Perempuan yang berperilaku seperti laki-laki). Mukhonnats bisa
dibagi menjadi dua macam. Pertama; Mukhonnats pembawaan, artinya sejak
lahir dia memang memiliki gaya berbicara, cara jalan, dan sifat-sifat sepert
wanita. Kedua; Mukhannats dibuat-buat (takalluf), artinya, asal fitrahnya
adalah lelaki, tetapi karena pergaulan yang salah dia menjadi pribadi yang
berusaha mengimitasi wanita. Gerak-geriknya dibuat-buat agar seperti wanita,
dan lama-lama dia nyaman dengan kebiasaan tersebut.2
Menurut Tony, S.Psi., M.Psi., dosen Psikolog Sosial Universitas
Surabaya. Ia memaparkan bahwa kecenderungan seseorang memilih sebagai
transgender lantaran dari faktor biologis alias sudah ada sejak lahir. Biasanya
mereka akan merasakan pemberontakan jiwa ketika beranjak remaja. Ketika
usia tersebut, manusia akan mencari jati diri mereka. Nah disinilah awal mula

1
Misra Netti, “Pelarangan Transgender Menurut Buya Hamka (Dalam Kitab Tafsir Al-
Azhar)”. Jurnal An-Nahl. Vol, 9. No, 1. 2022. h. 29-30.
2
Rozikin, LGBT dalam Tinjauan Fikih, (Malang: UB Press, 2017), h. 189.

1
mereka merasakan adanya hal yang tak sesuai dari dirinya. Sedangkan faktor
lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan
membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan. Pada
masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, pergaulan seks
dengan pacar, suami atau istri. Bergaul dan hidup dengan orang yang
mengalami transgender juga dalam membentuk diri seseorang dan ikut
menjadi transgender.3
2. Hukum Operasi Ganti Kelamin Dalam Islam
Para ulama pada umumnya mengharamkan tindakan operasi ganti
kelamin karena hal itu dianggap telah mengubah ciptaan Allah SWT. Bukan
sekedar mengubah bagian-bagian tubuh untuk tujuan penyempurnaan
(kamāliyāt atau taĥsīniyyāt), tetapi mengubah total jenis kelamin yang
implikasinya dalam agama sangat luas.4
Karena jenis kelamin yang dimiliki oleh seseorang adalah merupakan
kodrat (ketentuan) Allah, maka dalam hukum Islam tidak diperbolehkan
melakukan operasi perubahan kelamin. Adapun dalil-dalil yang
mengharamkan operasi ganti kelamin antara lain sebagai berikut:
ِ‫ٓاٰيَيُّها النَّاس اِ ََّّن خلَ ْقٓن ُكم ِمن ذَ َك ٍر َّواُنْثٓى وجع ْلٓن ُكم شعوًب َّوقَب ۤا ِٕىل لِت عارفُوا ۚ اِ َّن اَ ْكرم ُكم ِعْن َد ٓاّلل‬
ْ ََ ْ َ َ َ َ َ ‫َ َ َ ْ ُ ُْ ا‬ ْ ْ َ ُ َ
‫اَتْ ٓقى ُك ْم ۗاِ َّن ٓاّللَ َعلِْي ٌم َخبِ ٌْي‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal” (Q.S Al-Hujurat [49]: 13)5

3
Suhairi, “Hukum Transeksual dan Kedudukan Hukum Pelakunya dalam Kewarisan Islam “.
Nizham. Vol, 5. No, 1. 2016. h. 98-99.
4
Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an,
2012), h.13.
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Syamil Cipta Media,
2019), h. 517.

2
Terkait dengan operasi ganti atau perubahan kelamin tersebut, maka
kandungan ayat yang dapat ditarik adalah bahwa setiap manusia harus
mensyukuri karunia Tuhan yang telah memberikan jenis kelamin yang
normal tanpa harus merubah jenis kelamin tersebut karena tindakan itu adalah
bentuk dari melawan kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pencipta
segala bentuk pluralitas termasuk jenis kelamin. Di dalam hukum Islam
orang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin dari jenis kelamin
aslinya sejak ia dilahirkan menjadi jenis kelamin yang berlawanan dengan
jenis kelamin aslinya tersebut dilarang dan merupakan suatu perbuatan dosa
karena telah mengubah apa yang telah dikodratkan oleh Allah kepada
manusia. Dalam dalil Al-Qur’an yang lain juga Allah berfirman:

‫َّخ ِذ‬
ِ ‫َّوََلُ ِضلَّنَّهم وََلُمنِي نَّهم وَ َٓلمرََّّنُم فَلَي ب تِ ُك َّن آذَا َن ْاَلَنْع ِاِم وَ َٓلمرََّّنُم فَلَي غَِي َّن خ ْلق ٓاّللِ ۚ ومن يَّت‬
ْ ََ َ َ ُ ُ ْ َُ َ َ َُ ْ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ
‫الشَّْي ٓط َن َولِيًّا ِم ْن ُد ْو ِن ٓاّللِ فَ َق ْد َخ ِسَر ُخ ْسَر ااَّن ُّمبِْي ناا‬
Artinya: “Dan pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-
angan kosong pada mereka, dan akan kusuruh mereka memotong telinga-
telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan
aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar
mengubahnya)." Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain
Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata.” (Q.S An-
Nisa’[4]: 119)6

Kandungan hukum dari ayat ini adalah bahwa yang termasuk merubah
ciptaan Allah adalah dengan mengebiri, homo seksual, lesbian, menyambung
rambut dengan sopak, artinya orang pria berpakaian dan bertingkah laku
seperti wanita atau sebaliknya. dan praktik praktik lain yang tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar terhadap
perubahan bentuk fisik manusia dengan berbagai tindakan termasuk operasi
plastik dan operasi ganti kelamin.7

6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 97.
7
Asman, “Tranformasi Gender ke Transgender dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal
Kajian Keluarga, Gender dan Anak. Vol, 4. No, 1. 2021. h. 25-26.

3
Sedangkan hadis yang melarang adanya operasi ganti kelamin bagi
mereka yang normal yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
dan enam ahli hadist lainnya dan nilai hadist nya shahih :

ِ ‫ اُملغَِي‬،‫ات لِْلُحس ِن‬


‫ات َخ ْل َق هللاِ تَ َع َال‬ ِ ‫ والْمت ََفلَِج‬،‫ات‬ ِ ِ
ِ ‫ والْمت نَ ِم‬،‫ات‬ ِ ِ
َ ُ ُْ َ َُ َ ‫ص‬ َ َ ُ َ َ‫لَ َع َن هللاُ الْ َواِشَات َوالْ ُم ْستَ ْوِش‬
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Allah Swt., mengutuk
para wanita tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan bulu
muka, yang meminta dihilangkan bulu mukanya, dan para wanita yang
memotong (pangur) giginya yang semuanya itu dikerjakan dengan maksud
untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.”

Hadits di atas menegaskan, bahwa apa yang telah diciptakan oleh Allah
tidak boleh dirubah. Demikian pula seorang pria atau wanita yang lahir
normal jenis kelaminnya tetapi karena lingkungan, menderita kelainan
semacam kecendrungan seksnya yang menjadikan “banci” dengan
berpakaian dan bertingkah laku yang berlawanan dengan jenis kelaminnya.
Sebab pada hakikatnya organ/jenis kelaminnya normal tetapi psikisnya tidak
normal. Dan Islam pun melarang seseorang berpakaian dan bertingkah laku
berlawanan dengan jenis kelaminnya. Begitu pula dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah :

‫الر ُج ِل‬ ِ َِّ ‫ول‬ َّ ‫أ‬


ُ َ‫ُس لُْب َس ََة الْ َم ْرأَِة َوالْ َم ْرأَِةَ تَ ْلب‬
َّ َ‫ُس لُْب َسَة‬ ُ َ‫الر ُج َل يَْلب‬
َّ ‫ لَ َع َن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬ َ ‫َن َر ُس‬
Artinya: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang
memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-
laki.” (HR. Ahmad no. 8309)8

Berdasarkan putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan


bahwa “mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya
dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram” dikarenakan mengubah
ciptaan Tuhan yang memang sudah menjadi kodratnya, namun bila hanya
untuk penyempurnaan itu dibolehkan, berarti orang yang mengalami kelainan

8
Suhairi, “Hukum Transeksual dan Kedudukan Hukum Pelakunya dalam Kewarisan Islam “.
h. 100.

4
atau memiliki dua kelamin atau dapat disebut kelamin ganda itu
diperbolehkan melakukan operasi. Hal ini berdasarkan ketetapan fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980
tentang operasi atau penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini boleh
sekalipun diubah jenis kelamin yang semula sebelum diubah. Guna
menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh
dilakukan berdasarkan prinsip Mashalih Mursalah karena kaidah fiqih
menyatakan Adh Dhararu Yuzal (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut
imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya, termasuk suatu
kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam.9

Dalam fiqih klasik dijelaskan bahwa seorang mukhannits dan


mutarajjil statusnya tidak berubah. Disampaikan dalam kitab
Hasyyatussyarwani: “Sendainya ada seorang lelaki mengubah bentuk dengan
bentuk perempuan atau sebaliknya, maka jika ada lelaki menyentuhnya tidak
batal wudhunya dalam permaslahan yang pertama (lelaki yang mengubah
bentuk seperti wanita), dan batalnya wudhunya di dalam permasalahan yang
kedua (wanita yang mengubah bentuk seperti laki-laki) karena dipastikan
bahwa tidak ada perubahan secara hakikat, yang berubah tidak lain hanya
berubah bentuk luarnya saja. Maka demikian, meskipun seseorang yang telah
mengalami transgender atau transeksual, maka tetap tidak bisa mengubah
statusnya, dengan kata lain yang laki-laki tetap laki-laki dan yang perempuan
tetap perempuan.10

Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau


penyempurnaan) ini, menurut para ulama diperbolehkan secara hukum
syari’at. Jika kelamin seseorang tidak mengalami lubang yang berfungsi
untuk mengeluarkan air seni dan mani, baik penis maupun vagina, maka
operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan, bahkan
dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal. Hal ini berdasarkan

9
Irvan Hasbiyulloh dan Abdur Rahim, “Peranan Negara Mengantisipasi Transgender dalam
Perspektif Hukum Islam”. Journal of Islamic Law. Vol, 5. No, 2. 2021. h. 299.
10
Ibid, h. 298.

5
prinsip “Mashlahah Mursalah” karena kaidah fikih menyatakan “adh-
Dhararu Yuzal” artinya bahaya itu harus dihilangkan, yang menurut Imam
asy-Syatibi menghindari dan menghilangkan ini sejalan dengan hadis Nabi
Muhammad Saw., yaitu dari Usamah bin Syarik menceritakan, ada seorang
Arab Badui bertanya kepada Nabi Saw: Artinya: “Wahai Rasulullah, apakah
kita boleh berobat? Nabi bersabda, “Berobatlah, karena sesungguhnya Allah
tidak menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya)”,
mereka bertanya, “apa itu”? Nabi bersabda, “penyakit tua”. (HR. Tirmidzi)

Adapun Hadis Nabi melarang orang mengubah ciptaan Allah Swt.,


sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan lain-lain dari Ibnu Mas’ud,
apabila tidak membawa maslahah yang besar, bahkan mendatangkan
mafsadat (resiko). Misalnya pengebirian seorang pria dengan mengangkat
testisnya, yang bisa menyebabkan kemandulan tetap. Tetapi apabila
mengubah ciptaan Allah itu maslahah yang besar dan menghindari mafsadah,
maka Islam membenarkan tindakan tersebut. Misalnya khitan anak pria
dengan jalan menghilangkan kulub (qulfah), itu dibenarkan oleh Islam bahkan
hukumnya sunah. Sebab kalau kulub itu tidak dipotong, justru akan menjadi
sarang timbulnya penyakit kelamin. Demikian pula operasi kelamin bagi yang
lahir tidak normal jenis kelaminnya (banci alami) diizinkan oleh Islam,
apabila secara medis bisa diharapkan terwujudnya kemaslahatan yang besar
bagi yang bersangkutan untuk kesehatan fisik dan mentalnya, dan setiap
perubahan akan ada konsekuensi hukum yang ia peroleh, seperti batasan
aurat, posisi sholat dalam berjamaah, perkawinan dan kewarisan.11

3. Konsekuensi Hukum dari Pergantian Kelamin


Tidak hanya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, operasi
penggantian jenis kelamin juga dapat menimbulkan masalah hukum bagi
subjek yang melakukan operasi itu sendiri. Masalah hukum yang paling umum
timbul atau dipermasalahkan adalah mengenai hukum waris. Dengan adanya
pergantian kelamin yang dilakukan oleh seseorang, maka secara langsung

11
Agususanto dkk, “Perubahan Status dan Akibat Hukum Pelaku Transgender Terhadap
Kewarisan dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab”. Jurnal Qiyas. Vol, 5. No, 1. 2020, h. 10.

6
akan mempengaruhi kedudukannya dalam pembagian harta warisan, terutama
jika orang yang bersangkutan adalah seorang muslim. Dengan bergantinya
jenis kelamin seseorang dari pria menjadi wanita ataupun sebaliknya maka
kedudukan dan haknya sebagai penerima waris juga akan berganti. Dalam hal
ini, kejelasan mengenai jenis kelamin seseorang sangat diperlukan. Jika terjadi
kasus seperti yang telah disebutkan di atas (seseorang yang memiliki alat
kelamin ganda) atau didalam Islam disebut Khunsa, maka akan sulit
ditentukan apakah ia memperoleh bagian warisan seperti layaknya bagian pria
atau wanita. Maka agar tidak terjadi kekeliruan, operasi penggantian kelamin
sebaiknya dilakukan. Untuk penyelesaian hukumnya beberapa alternatif
berikut ini:
a. Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia
lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi
perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada
umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan
oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin.
b. Jika operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan atau
penyempurnaan dan bukan penggantian jenis kelamin. Maka pada
umumnya itu masih bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika kelamin
seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air
seni dan/atau sperma, maka operasi untuk memperbaiki atau
menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi
kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit
yang harus diobati.12
c. Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk
memperjelas dan memfungsikan secara optimal salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan
menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang
memiliki alat kelamin pria dan wanita, sedangkan pada bagian dalam

12
Gibtiah, “Studi Perbandingan tentang Khunsa dengan Transseksual dan Transgender (Telaah
Pemikiran Ulama’ Klasik dan Ulama’ Modern)”. Intizar. Vol, 20. No, 2. 2014. h. 358-359.

7
tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan
spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh menghilangkan alat
kelamin prianya untuk memfungsikan alat kelamin wanitanya dan dengan
demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan
syariat karena keberadaan zakar yang berbeda dengan keadaan bagian
dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi
hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah
dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan
sosialnya.13

B. Operasi Selaput Dara


1. Pengertian Operasi Selaput Dara
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran,
bagi kalangan lapis atas, problematika keperawanan menjadi bukan lagi
masalah serius sebab ketidakperawanan yang ditandai dengan selaput dara
(hymen) yang rusak oleh faktor apa pun bisa dipulihkan kembali dengan cara
operasi selaput dara atau operasi pengembalian keperawanan (ritqu ghisya’ al-
bikarah). Selaput dara adalah selaput tipis yang ada di dalam kemaluan
wanita, yang oleh masyarakat sering disebut keperawanan. Karena jika selaput
dara tersebut belum pecah atau sobek menunjukkan bahwa wanita tersebut
masih perawan, dan belum pernah melakukan hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, walaupun tanda ini tidaklah mutlak, karena ada sebagian
wanita yang tidak pecah selaput daranya saat melakukan hubungan seksual.
Keperawanan sama seperti anggota tubuh lainnya, bisa tertimpa kerusakan,
baik secara keseluruhan atau sebagian darinya, dikarenakan oleh kecelakaan
yang disengaja ataupun tidak disengaja, atau karena perbuatan manusia, dan
perbuatan itu sendiri bisa jadi merupakan maksiat atau bukan maksiat.14
Keperawanan dalam islam tidak hanya cantik luarnya saja akan tetapi
wanita yang mampu menjaga kemaluannya, jika seorang perempuan bisa

13
Ibid, h. 360.
14
Achmad Muchsin Kamaludiningrat dkk, Kebidanan Dalam Islam, (Yogyakarta: Quantum
Sinergis Media, 2012), h. 169.

8
menjaga keperawanannya maka perempuan itu beragama baik, seperti hadits
yang diriwayatkan oleh HR. Ibnu Hibban dalam sabda Nabi saw:

َ ُ‫الدنْيَا الْ َم ْرأَِة‬


ُ‫الصا ََلَة‬ ِ ‫َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬
ُّ ‫ اَلدُّنْيَا َمتَاعٌ َو َخ ْيٌ َمتَ ِاع‬:‫اص‬
Artinya: “Dari Amr Bin Ibnu As, “dunia itu harta benda, dan sebaik-baik
harta benda dunia adalah perempuan yang shaleha.”(HR. Muslim).15
Di al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an disebutkan, secara harfiah, ritqu
dapat diartikan menjadi “menempelkan atau merapatkan”. Dalam Alquran,
lafadz ritq disebut satu kali yaitu pada surat Al-Anbiya ayat 30 dengan arti
“sesuatu yang padu”. Sedangkan ghisya’ al- bikarah berarti selaput dara yaitu
permukaan daging tipis dan lembut yang terletak pada kelamin wanita. Dokter
Yasin Nuaim dalam bukunya “Fikih Kedokteran” (terjemahan)
mendefinisikan operasi selaput dari sebagai “memperbaiki dan
mengembalikannya pada tempat semula atau pada tempat yang dekat
dengannya”.16
2. Hukum Melakukan Operasi Selaput Dara
Operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah
memperbaiki dan mengembalikannya pada tempat semula. Masalah ini adalah
masalah baru yang tidak disebutkan dalam nash dan termasuk masalah
kontemporer yang belum ditemui oleh para ulama pada masa lalu sehingga
penetapan hukumnya dapat diambil ijtihad dengan melihat berbagai aspek,
tujuan, kaidah secara umum dan manfaat serta mudharat yang dihasilkan dari
perbuatan tersebut.17
Permasalahan operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan
hukumnya tidak disebutkan di dalam nash syari’at, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Meskipun demikian, para ulama kontemporer
memberikan pendapat tentang hukumnya. Ulama kontemporer memiliki 4
pendapat mengenai masalah operasi selaput dara, yakni:

15
Aa Sofyan, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Operasi Selaput Dara dan Keharmonisan
Keluarga”. Jurnal Hukum dan Pengkajian Islam. Vol, 2. No, 2. 2022. h. 85.
16
Achmad Muchsin Kamaludiningrat dkk, Kebidanan Dalam Islam, h. 170.
17
Hifdhotul Munawaroh, “Sadd Al- Dzari’at dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih
Kontemporer”. Jurnal Ijtihad. Vol, 12. No, 1. 2018. h. 79.

9
a. Tidak boleh merapatkan selaput dara secara mutlak. Ini pendapat Syaikh
al-‘Izz bin Abdussalam dan Muhammad Mukhtar al-Salami.
b. Boleh merapatkan selaput dara ketika robek di usia muda dengan sebab
selain persetubuhan. Dibolehkan juga bila suami hadir dan
menginginkannya. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad Mukhtar al-
Salami.
c. Boleh merapatkan selaput dara pada kasus-kasus berikut: Apabila
robeknya selaput dara karena cacat fisik, baik di usia muda atau di usia tua
apabila robeknya karena paksanaan atau karena cacat yang memalukan,
seperti pendarahan atau pengangkatan tumor. Atau karena sesuatu yang
mengakibatkan robeknya selaput dara, seperti akibat melompat, olahraga
atau yang semisalnya, apabila robeknya karena pemerkosaan, dan ini telah
dibuktikan. Haram apabila robeknya karena zina tanpa paksaan. Ini adalah
pendapat Dr. Taufiq al-Wa’i.18
Syekh Muhammad Khalid Mansur mengungkapkan kebolehan
merapatkan selaput dara dalam kondisi-kondisi berikut:
a. Apabila sebab robeknya selaput dara karena insidental yang tidak
dianggap maksiat secara syara’, dan bukan karena persetubuhan dalam
ikatan nikah, yaitu: apabila disangka kuat bahwa seorang perempuan muda
akan menerima kekejaman dan kezhaliman berdasarkan kebiasaan dan
tradisi, maka wajib merapatkan selaput dara. Sedangkan apabila tidak
disangka kuat demikian, maka memperbaiki selaput dara hukumnya
mandub.
b. Apabila sebab robeknya adalah zina yang tidak tersebar beritanya di
tengah masyarakat, maka dokter memiliki pilihan antara melakukan
operasi atau tidak, namun melakukan operasi lebih kuat.
Syekh Muhammad Sholih al-Munajid dalam pembahasan qadhaya
fiqhiyah mu’ashirah mengelompokkan pendapat ulama kepada dua jenis:
a. Pendapat pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak operasi
tersebut. Apalagi jika rusaknya selaput dara disebabkan karena wanita

18
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fath al-Bari (Beirut: Daar al-Ma’rifat, 1379 H), h. 377

10
tersebut pezina. Pendapat ini dikemukakan Muhammad al-Mukhtar al-
Syanqithi. Ia lebih mengedepankan dampak buruk dari operasi perbaikan
selaput dara tersebut. Sebagaimana kaidah fiqih mencegah kemudharatan
harus didahulukan daripada meraih kebaikan. Misalkan, seorang yang
akan menjalani operasi selaput dara tentu akan terbukalah aurat
mughallazahnya. Hal ini bertentangan dengan kaidah fiqih yang melarang
mencegah sesuatu yang haram dengan yang haram pula. Ibaratnya, hanya
mencuci baju dengan air kencing. Menghindari kemudharatan dengan
melakukan hal yang diharamkan, tentu hasilnya nol.
b. Pendapat kedua, para ulama yang memperbolehkan operasi ini dengan
alasan-alasan tertentu. Misalkan, seorang wanita yang rusak selaput
daranya karena kecelakaan, penyakit, olahraga, atau mengalami
pemerkosaan. Sedangkan bagi wanita yang memang masuk dalam kategori
pezina, mereka tetap diharamkan untuk melakukan operasi. Bahkan,
sebagian ulama dari kalangan ini pun membolehkan wanita yang dahulu
khilaf melakukan zina, namun telah bertobat nasuha dari dosanya.
Pendapat ini dipegang ulama Mazhab Hanafi. Mereka lebih
mengedepankan dampak positif dari tindakan tersebut. Menurut mereka,
wanita-wanita yang diberi pengecualian tersebut sejatinya masih disebut
perawan. Mereka dapat menikah layaknya wanita perawan lainnya. Sementara,
wanita yang dahulu khilaf berbuat zina, ulama Hanafiyah menegaskan untuk
tetap memelihara aibnya, termasuk dengan jalan operasi pemulihan selaput
dara. Syari’at menegaskan, seseorang harus menutup aib dan maksiat yang
pernah dilakukannya. Demikian disebutkan dalam Majma’ al-Anhur fi Syarh
Multara al-Abhur.
Menurut Abu Hanifah, jika masyarakat mengetahuinya sebagai seorang
perawan, mereka akan mencelanya jika dia mengakui perbuatan zinanya. Oleh
karena itulah, dia tidak perlu mengakuinya. Dengan demikian, cukuplah sikap
diamnya (sebagai bentuk persetujuan nikahnya) agar maslahatnya tidak
terabaikan, jelas ulama Mazhab Hanafiyah dalam kitab Nash al-Rayah.
Dengan operasi pemulihan selaput dara tersebut, seorang wanita yang memang
sejatinya perawan bisa terselamatkan dari prasangka buruk calon suami dan

11
keluarga suaminya.19 Hal ini berdalil dengan firman Allah swt. dalam Q.S. al-
Hujurat/49: 12
ۚ ِ ِ ِ ِ ‫ٰي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا‬
‫ضا‬‫ض ُك ْمبَ ْع ا‬
ُ ‫ب بَ ْع‬ َ ‫اجتَنبُوا َكث ايا م َن الَّظَّ ِن إِ َّن بَ ْع‬
ْ َ‫ض الَّظَّ ِن إ ْْثٌ ۖ َوََل ََتَ َّس ُسوا َوََل يَ ْغت‬ ْ َ َ َ َ
ِ ‫اّلل تَ َّو‬ َّ ‫َح ُد ُك ْم أَ ْن ََيْ ُك َل ََلْ َم أ َِخ ِيه َمْي تاا فَ َك ِرْهتُ ُموُهُ ۚ َواتَّ ُقوا‬ ُِ ‫أ‬
‫يم‬
ٌ ‫اب َرح‬ ٌ ََّ ‫اّللَ ۚ إِ َّن‬ َ‫بأ‬ُّ ‫َُي‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian purba-sangka itu dosa, dan janganlah mencari-
cari keburukan orang dan janganlah menggunjungkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”20

Ulama-ulama kontemporer menilai pendapat kedua inilah yang lebih


kuat. Hal ini berdalil dengan kaidah fiqih, al-dharar yuzal (yang berpotensi
membawa kemudharatan harus dicegah). Soal membuka aurat ketika operasi,
hal ini bisa diperbolehkan. Berdalil dengan kaidah, sesuatu yang masyru’
(disyariatkan) akan menjadikan wasilahnya juga ikut masyru’. Misalkan, shalat
yang hukum masyru’, hal-hal yang menjadi wasilah hingga terlaksananya
shalat juga menjadi masyru’ seperti wudhu dan tayamum. Demikian juga
operasi perbaikan selaput dara. Jika dari segi hukumnya sudah di hukum boleh,
hal-hal yang menjadi wasilah seperti teknis operasinya juga menjadi boleh.
Namun, para ulama mensyaratkan operasi tersebut harus dilakukan oleh dokter
wanita.21

Dalam literatur-literatur fiqih, hukum pernikahan biasanya


disandingkan atau dikaitkan dengan bagaimana kondisi seseorang. Ada
kalanya nikah itu dibolehkan, diwajibkan, disunnahkan, bahkan diharamkan.
Sama halnya dengan pernikahan ini, penentukan hukum hymenoplasty ini juga

19
Nur Aflaha Hasan dan Rosmita,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Operasi Selaput Dara
Wanita”. Jurnal Studi Islam dan Bahasa Arab. Vol, 1. No, 1. 2022. h. 98-99.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 517.
21
Nur Aflaha Hasan dan Rosmita,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Operasi Selaput Dara
Wanita”. h. 100.

12
dikaitkan dengan bagaimana seorang gadis itu kehilangan keperawanannya.
Berikut adalah penjelasan hukum operasi selaput dara (hymenoplasty) :

a. Wajib
Jika sobeknya selaput dara disebabkan oleh kecelakaan atau perbuatan
yang bukan maksiat secara syariat dan bukan hubungan seksual dalam
pernikahan, maka terdapat dua hukum yakni wajib dan sunnah. Wajib
dilakukan operasi pengembalian selaput dara jika diyakini si gadis akan
menerima kezhaliman karena adat istiadat dengan harapan bahwa dengan
dilakukannya operasi akan menghilangkan yang kemungkinan besar akan
terjadi.
b. Sunnah
Operasi selaput dara ini dihukumi sunnah jika diperkirakan
kemudharatan yang akan terjadi itu kecil. Adapun yang dijadikan sebagai
batasan untuk menetapkan urgen tidaknya operasi tersebut adalah tabiat dan
adat istiadat masyarakat dimana gadis itu tinggal di dalamnya.
c. Haram
Keharaman operasi selaput dara ini disebabkan oleh dua hal: pertama,
penyebab hilangnya selaput dara ini karena hubungan seksual dalam
pernikahan, maka hymenoplasty ini hukumnya haram atas janda atau wanita
yang dicerai, karena tidak ada kepentingan di dalamnya. Terlebih lagi
diharamkan untuk yang sudah menikah karena itu sama saja dengan main-
main, ditambah lagi tidak diperkenankannya dokter melihat aurat kecuali
dalam keadaan darurat. Kedua, jika penyebabnya adalah zina yang diketahui
masyarakat, baik yang diketahui melalui putusan pengadilan bahwa si gadis
berzina, atau karena perbuatan zina itu dilakukan berulang-ulang, atau
karena pernyataan dari si gadis itu sendiri, dan dia terkenal sebagai pelacur,
maka operasi yang dilakukan terhadap gadis ini tidak ada kemaslahatannya
sama sekali.
d. Boleh (Mubah)
Jika hilangnya keperawanannya tidak diketahui oleh masyarakat, maka
dokter bisa memilih untuk melakukan operasi atau tidak. Dan

13
melakukannya lebih baik jika memungkinkan, karena perbuatannya ini
termasuk menutupi aib.
Terkait dengan menutupi aib ini, terdapat beberapa hukum: pertama,
menutup aib itu haram jika mengakibatkan hilangnya hak-hak manusia;
kedua, wajib hukumnya menutupi aib secara nyata mengakibatkan terjadi
mudharat atau kerusakan; ketiga, sunnah jika yang melakukan maksiat telah
bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya; keempat, makruh apabila
seseorang yang telah taubat tadi kembali mengulangi perbuatannya, maka
menutupi aib itu makruh; dan kelima, mubah jika tidak diketahui apakah
pelaku itu bertaubat atau tidak.22
3. Dampak Operasi Selaput Dara
Upaya untuk memperbaiki selaput dara seseorang yang telah sobek
dapat mendatangkan beberapa manfaat yang sejalan dengan tujuan Islam,
antara lain;
a. Menutup aib seseorang
Apapun sebab hilangnya keperawanan seorang gadis, operasi selaput
dara dapat menutupi aibnya. Menutup aib dalam kasus ini dapat dilakukan
dengan dua cara; tidak menyebarluaskan aib itu atau mengembalikan
keperawanan yang hilang. Menutupi aib sendiri adalah tujuan syari’at
yang mulia, sebagaimana hadits nabi yang artinya: “Tidaklah seseorang
menutupi aib orang lain di dunia, kecuali Allah akan menutupi aibnya
pada hari kiamat.” (HR Muslim).
b. Mencegah Prasangka buruk orang lain
Operasi selaput dara dapat mencegah prasangka buruk seseorang
pada gadis-gadis yang kehilangan keperawanan mereka secara tidak
sengaja yang tidak bersalah. Menyebarkan prasangka baik ini merupakan
salah satu tujuan syari’at.23 Allah berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 12:

‫ي‬ ِ
‫ب‬ ‫م‬
ُّ ‫ك‬ ‫ف‬
ْ ِ‫ي لَوََلا اِ ْذ َِسعتموُه ظَ َّن الْمؤِمن ون والْمؤِمنٓت ًِبَنَْف ِس ِهم خيۙا َّوقَالُوا ٓه َذا ا‬
ٌْ ٌ ْ ‫ُ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ َ ْا‬ ُ ْ ُ ُْ َ ْ
22
Muhammad Nu’aim Yasin, Fiqih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 264-
265.
23
Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer dalam
Perspektif Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 112-113.

14
Artinya: “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik
sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita
bohong itu dan berkata, "Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata."24
c. Melindungi keluarga
Operasi selaput dara dapat melindungi keluarga yang akan dibentuk
di kemudian hari dari kehancuran. Jika gadis yang kehilangan
keperawanannya secara tidak sengaja menikah, dan suaminya mengetahui
dia tidak perawan lagi, maka hal tersebut dapat menimbulkan prasangka
dan hilangnya kepercayaan antara keduanya.
d. Mewujudkan keadilan antara pria dan wanita
Bagi lelaki, apapun kejelekan dan kekejian yang dilakukannya, tidak
akan menimbulkan pengaruh fisik pada tubuhnya. Ini berbeda bagi
wanita, yang akan disalahkan secara sosial dan adat atas hilangnya
kegadisannya, walaupun kadangkala keperawanannya itu hilang bukan
karena kemaksiatan. Mewujudkan keadilan antar manusia di hadapan
syari’at adalah salah satu tujuan Islam.
Para ahli fikih sejak dahulu telah membuat konsensus bahwa
perbuatan zina tidak ditetapkan karena sekedar hilangnya keperawanan
seorang gadis. Hukum Islam tidak menetapkan atas seseorang gadis yang
hilang keperawanannya hukuman apapun di dunia, jika tidak dikuatkan
dengan pengakuan darinya atau persaksian dari empat saksi yang adil.
Dengan adanya operasi selaput dara, maka dapat diwujudkan keadilan
antara pria dan wanita.25
e. Mendidik masyarakat
Operasi selaput dara yang dilakukan seorang gadis yang hilang
keperawanan mempunyai pengaruh yang mendidik pada masyarakat
secara umum, dan pada si gadis secara khusus. Karena jika suatu
kemaksiatan ditutupi, maka bahayanya akan terbatas diwilayah yang
sempit. Mungkin saja hanya terbatas pada sang pelaku jika dia tidak

24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 351.
25
Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer dalam
Perspektif Islam, h. 114.

15
bertaubat, dan jika dia bertaubat maka hilanglah pengaruhnya sama
sekali.
Tetapi jika hal itu tersebar di tengah masyarakat, maka pengaruh
buruknya akan bertambah luas, dan akan berkurang rasa segan orang
untuk melakukannya. Jika sampai pada titik nadir, maka kemaksiatan
dianggap sepele. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kemaksiatan
itu jika disembunyikan, tidaklah berbahaya kecuali pada pelakunya, dan
jika disebar luaskan dan tidak diingkari akan berbahaya bagi masyarakat
umum.”
Di sisi lain, operasi selaput dara selain mendatangkan beberapa manfaat
juga dapat mendatangkan beberapa mudharat, antara lain :
a. Penipuan
Mengembalikan keperawanan bagi wanita yang telah melakukan
zina mengandung unsur penipuan bagi para lelaki yang akan
menikahinya di kemudian hari. Karena keperawanan yang menjadi
simbol kesucian seorang wanita, yang jika hilang bisa menjadi salah satu
indikasi atas kemaksiatan yang pernah dilakukan, tertutupi dengan
operasi ini. Dalam al-Qur’an Allah memerintahkan orang yang beriman
untuk tidak menikahi wanita pezina atau musyrik, kecuali oleh lelaki
sesama pezina atau musyrik.26 Allah berfirman dalam QS an-Nuur ayat
3:
ۚ
ِ‫الزانِيَةُ ََل ي ْن ِكُحها اََِّل ز ٍان اَو م ْش ِرٌك وح ِرِم ٓذل‬ ِ ِ ِ ِ
‫ك َعلَى‬
َ َ َُ ُ ْ َ َ ُ َ َ َّ ‫اِن ََل يَْنك ُح اََّل َزانيََةا اَْو ُم ْش ِرَكَةا َّۖو‬
ْ ‫اَ َّلز‬
‫ي‬ ِِ
َ ْ ‫الْ ُم ْؤمن‬
Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-
laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
mukmin.”27

26
Ibid, h. 115.
27
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 350.

16
Menurut imam Qurtubhi, jika seorang lelaki pezina menikah dengan
seorang wanita suci, atau seorang wanita pezina menikah dengan lelaki
suci, maka mereka harus diceraikan bila mengamalkan dzahir ayat ini.
Dari sisi lain, suami punya hak untuk membatalkan pernikahan jika
sebelumnya dia telah mensyaratkan keperawanan sang istri dan
ternyataterjadi sebaliknya.
b. Mendorong untuk melakukan perbuatan keji
Operasi selaput dara juga mungkin dapat mendorong perbuatan keji
di tengah masyarakat. Karena dengan dapatnya dikembalikan lagi
keperawanan yang hilang, rasa segan dan tanggung jawab pada diri
seorang gadis akan hilang, dimana biasanya rasa seperti itu dapat
mencegahnya untuk berbuat zina, karena dia mengetahui bahwa
perbuatan itu dapat berpengaruh dan membekas pada tubuhnya. Ini tentu
saja beretentangan dengan tujuan syari’at dalam pencegahan zina, dan
menutup semua pintu yang dapat mengantarkan kepada tujuan itu, baik
secara langsung maupun tidak, seperti pensyari’atan hukum dera bagi
penzina, perintah menutup aurat dan lainnya.
c. Membuka Aurat
Kemaluan wanita dan sekitarnya merupakan aurat yang paling vital
menurut semua ulama fikih. Aurat ini hanya boleh diperlihatkan kepada
pasangan hidup, aurat istri hanya dilihat suami, begitu juga aurat suami
hanya boleh dilihat isteri. Membuka aurat, apalagi yang paling vital,
tidak diperbolehkan kecuali terpaksa dan sangat dibutuhkan. Tidak ada
alasan kesehatan yang mendesak untuk melakukan operasi selaput dara
kecuali jika terjadi luka akibat sobeknya keperawanan.28

28
Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, 20 Kasus Kedokteran Kontemporer dalam
Perspektif Islam, h. 116.

17
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2019. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Syamil Cipta
Media.
Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
2012. Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains. Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur'an.
Muchsin, Achmad Kamaludiningrat dkk. 2012. Kebidanan Dalam Islam. Yogyakarta:
Quantum Sinergis Media.
Nu’aim, Muhammad Yasin. 2006. Fiqih Kedokteran. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Rozikin. 2017. LGBT dalam Tinjauan Fikih. Malang: UB Press.
Thaib, Hasballah dan Zamakhsyari Hasballah. 2011. 20 Kasus Kedokteran
Kontemporer dalam Perspektif Islam. Medan: Perdana Publishing.
Aflaha, Nur Hasan dan Rosmita. 2022. ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Operasi
Selaput Dara Wanita”. Jurnal Studi Islam dan Bahasa Arab. Vol, 1. No, 1.
Agususanto dkk. 2020. “Perubahan Status dan Akibat Hukum Pelaku Transgender
Terhadap Kewarisan dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab”. Jurnal Qiyas.
Vol, 5. No, 1.
Asman. 2021. “Tranformasi Gender ke Transgender dalam Perspektif Hukum Islam”.
Jurnal Kajian Keluarga, Gender dan Anak. Vol, 4. No, 1.
Gibtiah. 2014. “Studi Perbandingan tentang Khunsa dengan Transseksual dan
Transgender (Telaah Pemikiran Ulama’ Klasik dan Ulama’ Modern)”. Intizar.
Vol, 20. No, 2.
Hasbiyulloh, Irvan dan Abdur Rahim. 2021. “Peranan Negara Mengantisipasi
Transgender dalam Perspektif Hukum Islam”. Journal of Islamic Law. Vol, 5.
No, 2.
Munawaroh, Hifdhotul. 2018. “Sadd Al- Dzari’at dan Aplikasinya Pada Permasalahan
Fiqih Kontemporer”. Jurnal Ijtihad. Vol, 12. No, 1.
Netti, Misra. 2022. “Pelarangan Transgender Menurut Buya Hamka (Dalam Kitab
Tafsir Al-Azhar)”. Jurnal An-Nahl. Vol, 9. No, 1.

18
Aa Sofyan, Aa. 2022. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Operasi Selaput Dara dan
Keharmonisan Keluarga”. Jurnal Hukum dan Pengkajian Islam. Vol, 2. No, 2.
Suhairi. 2016. “Hukum Transeksual dan Kedudukan Hukum Pelakunya dalam
Kewarisan Islam “. Nizham. Vol, 5. No, 1.

19

Anda mungkin juga menyukai