Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM OPERASI PENGGANTIAN

DAN PENYEMPURNAAN ALAT KELAMIN

Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Fikih Kontemporer

Dosen Pengampu”

Dr. H. Machfudz, M.Pd. I

Disusun oleh Kelompok 7 :

1. Sri Wahyuni (T20181352)


2. Firmansayah Ahmad Maulana (T20181379)
3. Rofiatus Surul (T20181398)
4. Amaliyatul Azizah (T20181400)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat
dan hidayah-Nya maka makalah ini dapat kami selesaikan yang berjudul " Hukum
Operasi Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin" ini tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju ke
zaman yang serba ilmiah dengan adanya Addin al-Islam yang beliau bawa.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah


Fikih Kontemporer yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami, dan tak lupa kepada seluruh pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya.

Kami menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari


kesempurnaan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materinya. Mohon
maaf apabila ada kesalahan dari makalah ini, karena kami masih dalam tahap
pembelajaran. Oleh karena itu dengan lapang dada kami menerima kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna perbaikan dimasa yang
akan datang . Akhir kata kami ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT, selalu
meridhoi usaha kami, Aamiin.

Jember, 12 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1: PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan penulisan 2

BAB 2: PEMBAHASAN

A. Pengertian Transeksual dan Operasi kelmain 3

B. Huku Mengganti Alat kelamin 4

C. Hukum Menyempuenakan Alat kelamin 7

D. Implikasi Transgender Terhadap Perkawinan dan Pewarisan 9

BAB 3: PENUTUP

A. Kesimpulan 15

B. Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, namun pada kenyataannya selain dua jenis
kelamin tersebut ada yang mengalami kebingungan dalam menentukan jenis
kelaminnya. Kebingungan yang dimaksud adalah adanya kesesuian anatar
jenis kelaminnya dan kejiwaannya. Tidak sesuainya jenis kelamin dan
kejiwaan ini bisa terjadi pada seseorang yang terlahir pada alat kelamin wanita
yang sempurna dan tidak cacat, tetapi dia merasa bukan seorang wanita
melainkan seorang pria atau sebaliknya, keadaan seperti ini disebut
transgender.
Hurlock (1978) menyatakan bahwa ketika seseorang pada masa kanak-
kanaknya memilki ketertarikan yang berbeda dengan gendernya (misalnya
dapat dilihat dari kegiatan ekstrakurikuler yang dipilihnya) serta perilakunya
(misalnya pada lelaki lebih sennag bermian dengan mainan boneka). Hal itu
dapat menimbulkan perasaan bersalah pada diri sendiri dan juga perilaku
diskriminasi dari orang lain. Sikap diskriminatif ini lebih banyak diterima oleh
anak laki-laki daripada anak perempuan (ketika anak perempuan bermian
tembak-tembakan, masih bisa mendapat toleransi, tetapi ketika anak lelaki
bermain boneka dapat menimbulkan deskriminasi). Salah satu cap terburuk
yang dilekatkan pada seorang anak laki-laki ialah julukan “kewanitaan”.
Walaupun anak perempuan yang tidak sesuai dengan jenisnya mungkin lebih
mendapat toleransi dari nak laki-laki.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan transeksual dan operasi kelamin?
2. Bagaimana hukum mengganti alat kelamin?
3. Bagaimana hukum menyempurnakan alat kelamin?
4. Bagaimana implikasi hukum transgender terhadap perkawinan dan
kewarisan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mnegetahui pengertian dari transeksual dan operasi kelamin.
2. Untuk mengetahui hukum mengganti alat kelamin.
3. Untuk mengetahui hukum menyempurnakan alat kelamin.
4. Untuk mengetahui implikasi hukum transgebder terhadap perkawinan dan
kewarisan.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transeksual/Transgender dan Operasi Kelamin


Istilah transeksual berasal dari dua kata trans (trance) yang berarti
menyebrang atau melintas1, dan seksual yang berarti karakteristik
kelamin.2Gabungan dua kata tersebut dalam kamus kedokteran memilki dua
pengertian yaitu: pertama, seseorang yang anatomi luarnya telah diubah
menjadi anatomi luar seks yang berlawanan, misalnya sebelum operasi
memilki organ kelamin berupa penis, melalui operasi penis tersebut dirubah
menjadi vagina. Kedua, bermakna seseorang yang menderit transeksualisme.
Transeksualisme sendiri diartikan sebagai manifestasi gangguan identitas
jenis kelamin berupa keinginan yang kuat dan menetap untuk melepaskan ciri-
ciri kelamin primer dan ekundernya dan mendapatkan ciri-ciri kelamin
lawannya.3
Sedangkan operasi perubahan kelamin adalah mengubah alat kelamin yang
ada agar lebih sama dengan kelamin lawan jenis. Operasi perubahan kelamin
pertama kali dilakukan di Eropa pada tahun 1930, namun operasi yang
menarik perhatian seluruh dunia dilakukan terhadap seorang mantan serdadu,
Chirtine (sebelumnya George) Jorgensen, di Copenhagen, Denmark, pada
tahun 1952. 4
Macam-macam operasi ganti kelamin sebagai berikut:
1. Asli laki-laki kemudan dirubah menjadi perempuan.
2. Asli perempuan kemudian dirubah menjadi laki-laki.
3. Sebenarnya laki-laki tapi karena mempunyai dua alat kelamin maka
dengan menghilangkan tanda-tanda perempuannya.

1
Surawan Martinus. Kamus terapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm 636
2
John Echols dan hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, pustaka utama.
Hlm 517
3
Huriawati dkk, Kamus kedokteran Dorland (terj). Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC, 2002. Hlm
2276
4
Gerald C. Davision, John M. Neale, Psikologi Abnormal Edisi Ke 9, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2006), hlm 618

3
4. Sebenarnya perempuan tapi karena mempunyai dua alat kelamin maka
dengan menghilangkan tanda-tanda laki-lakinya.
5. Sebenarnya dia laki-laki, tapi yang dibuang adalah tanda laki-lakinya.
6. Sebanrnya dia perempuan, tapi yang dibuang adalah tanda perempuannya.
B. Hukum Mengganti Alat Kelamin
Seorang laki-laki dilarang dalam islam menyamakan dirinya dengan
perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya dengan
laki-laki, baik perilakunnya, pakainnya,dan lebih-lebih ia mengganti
kelaminnya. Larangan ini mengandung dosa besar yang banyak melibatkan
pihak lain. Misalnya dokter yang mengoprasinya, orang-orang yang
memberikan dukungan moril dalam upaya pengoprasiannya dan sebagainnya.
Kesemuannya itu mendapatkan dosa yang sama,lebih lagi bila waria yang
berhasil mengganti kelaminnya, menggunakannya untuk mengadakan
hubungan seks dengan laki-laki. Maka ia mendapatkan lagi dosa besar, karena
digolongkan sebagai perbuatan homoseksual (al liwat) yang status hukumnya
sama dengan perzinaan. Berdasarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
“Apa-apa yang diharamkan menerimannya, diharamkan pula
memberinnya”.
Maksud kaidah ini adalah seorang waria diharamkan menerima
pemggantian kelamin dari dokter, maka diharamkan pula bagi dokter untuk
memberikan (membantu) waria itu dalam upaya tersebut. Orang-orang yang
memberikan fasilitas dan dukungan morilnya, termasuk kedua orang tuannya
yang memberikan izin untuk penggantian kelamin seorang waria, turut
menanggung dosannya. Jadi jelas, bahwa semua orang yang terlibat langsung
atau tidak langsung dalam upaya penggantian kelamin seorang waria,
mendapatkan dosa yang sama besarnya dengan dosa yang diperbuat oleh
waria itu.5
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat islam harus diperinci
persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga
bentuk operasi kelamin yaitu :

5
H. Sudirman. 2018. Fikih Kontemporer. Yogyakarta: CV Budi Utama. Hlm 28-35

4
1. Operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki kelamin normal.
2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau
vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ / jenis kelamin (penis
dan vagina).

Pertama, masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan


sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina
(farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak
dibolehkan dan diharamkan oleh syariat islam untuk melakukan operasi
kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional 11 tahun 1980 tentang operasi
perubahan/penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah
jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah. Menurut kitab tafsir seperti
tafsir ath-thabari, ash-shawi, al-khazin (1/405), al-baidhawi (II/117), zubatul-
Tafsir (hlm,123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan
manusia yang diharamkan karena termasuk “Mengubah Ciptaan Tuhan”
sebagaimana dimaksud dalam ayat. Yaitu, seperti mengebiri manusia,
homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan
sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang pria
berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya).

Syariat islam menilai jenis operasi ganti kelamin ini termasuk operasi yang
haram dikarenakan beberapa argument sebagai berikut :

1. Operasi termasuk mengubah ciptaan Allah SWT.


2. Operasi termasuk larangan tasyabbuh kepada lawan jenis. Jenis operasi
ganti kelamin termasuk dosa besar karena seorang laki-laki ketika

5
meminta operasi ini bermaksud hendak menyerupai perempuan, dan
begitu pula sebaliknya.

Kedua , operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil ( perbaikan atau
penyempurnaan ) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama,
diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki
lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani, baik penis
maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya
dibolehkan., bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal
karena kelainan sperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.

Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis


dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal
dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk
“mematikan” dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnnya, jika
seseorang memilki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan
kelaminnya memilki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan
spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoprasi penisnnya
untuk mengfungikan vaginannya dan dengan demikian mempertegas
identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan
penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa
mengganggu dan merugikan dirinnya sendiri, baik dari segi hukum agama
karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan
perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnnya.

Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan)


tersebut, menurut makhluf dan syalthut, syariat islam membolehkan dan
bahkan menganjurkan utnuk membuang penis yang berlawanan dengan
dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu , operasi kelamin yang dilakukan
dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila
seseorang memilki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada
rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginannya untuk

6
mengfungsikan penisnnya. Demikian pula sebaliknnya, apabila seeorang
memilki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminya sesuai
dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoprasi dan menutup luabng
vaginannya sehingga penisnnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai
laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina
seperti wanita, sedangkan dibagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim
dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan
kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat
dengan mengubah ciptaan Allah swt.

Ketiga, sementara operasi yang dilakukan pada seorang yang mengalami


kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau
takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan dengan hukum
akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas.
Menurut Wahab Az-zuhaili dalam al-fiqh al-islami wa adillatuhu bahwa jika
selama ini penetuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda
(khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah
lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris
dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya, perbaikan dan
penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi
kejelasan status hukumnya.
C. Hukum Menyempurnakan Alat Kelamin
Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat
kelamin laki-lakinya lebih dominan ataupun sebaliknya, melalui proses
operasi penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh, sehingga memiliki
implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan itu. Dibolehkannya operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi
bagian dalam alat kelamin orang yang mempunyai penyakit kelainan atau

7
kelamin ganda. Hal ini juga merupakan keputusan dari Nadhatul Ulama(NU)
PW Jawa Timur.6
Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) menurut para ulama operasi tersebut diperbolehkan secara
hukum syari’at bahkan dianjurkan dalam syariat sehingga alat kelamin
tersebut menjadi normal. Dan jika seandainya tidak dilakukan operasi
perbaikan atau penyempurnaan itu bisa mengalami kelainan psikis dan sosial
sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat
normal serta kadang mencari jalannya sendiri.7
Peranan dokter dan medis dalam penyempurnaan alat kelamin ini, jika
sesuai syari’at islam dan bahkan dianjurkan,maka ia mendapatkan pahala dan
termasuk perbuatan yang terpuji karena itu adalah anjuran bekerja sama dalam
ketaqwaan dan kebajikan. Hal ini sesuai dengan dasar hukum yang digunakan
MUI yaitu dalil Al-Qur’an QS. Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

ٰٓ َ ‫ْي َو ََل ْالقَ َ ۤل ِٕىدَ َو‬


‫َل‬ َ ‫ام َو ََل ْال َهد‬ َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬ ِ ‫شعَ ۤا ِٕى َر ه‬
َّ ‫ّٰللا َو ََل ال‬ َ ‫ٰ ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت ُ ِحلُّ ْوا‬
ۤ
‫طاد ُْوا َۗو ََل‬ ْ ‫ام َي ْبتَغُ ْونَ فَض اْل ِ ِّم ْن َّر ِِّب ِه ْم َو ِرض َْوا انا َۗواِذَا َحلَ ْلت ُ ْم فَا‬
َ ‫ص‬ َ ‫ٰا ِ ِّميْنَ ْال َبيْتَ ْال َح َر‬
‫علَى ْال ِب ِ ِّر‬ َ ‫ع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ا َ ْن تَ ْعتَد ْۘ ُْوا َوتَ َع َاونُ ْوا‬ َ ‫صد ُّْو ُك ْم‬َ ‫شن َٰا ُن قَ ْو ٍم ا َ ْن‬ َ ‫َيجْ ِر َم َّن ُك ْم‬
ِ ‫ّٰللا َش ِد ْيدُ ْال ِعقَا‬
‫ب‬ َ ‫ان َۖواتَّقُوا ه‬
َ ‫ّٰللا ۗا َِّن ه‬ ِ ‫اَل ْث ِم َو ْالعُد َْو‬
ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫َوالتَّ ْق ٰو ۖى َو ََل تَ َع َاونُ ْوا‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan)
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan
qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari
karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan
ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada
suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan

6
Septira Putri Mulyana, “Analisis Waria atau Transgender Melakukan Operasi Ganti Kelamin
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif” Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 18 No.2,
Desember 2019,hal. 273.
7
Muhammad Arif Nabil bin Adzimat,Skripsi. “Hukum Operasi Kelamin (Menurut Pandangan
Jawatan Kuasa Muzakarah Kebangsaan Islam Malaysia) Dalam Tinjauan Maqasid Syariah”
(Jambi: UIN Sulthan Thata Saifuddin Jambi, 2019), 34.

8
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

D. Implikasi Hukum Transgender Terhadap Perkawinaan dan Pewarisan


1. Hukum Transgender Terhadap Perkawinan
Operasi ganti kelamin merupakan suatu kesuksesan dalam dunia
kedokteran namun hal tersebut menyalahi hukum dan aturan syariat.
Dalam ilmu fiqih transgender berpengaruh terhadap masalah beribadah
haji, warisan, sholat jamaah, kehidupan sosial, hukum dan lain sebagainya.

Dewasa ini, terdapat orang-orang yang merasa tidak nyaman


dengan fisik mereka. Orang inilah yang disebut dengan istilah
transgender/ transseksual yaitu bentuk gangguan identitas gender di
mana seseorang merasa terjebak dalam tubuh yang salah, dikarakterisasi
dengan ketidaknyamanan atas keadaan anatomis tubuh, memiliki
keinginan untuk mengubah alat genitalnya dan hidup sebagai anggota
lawan jenisnya.8
Sebagian besar ulama menyatakan bahwa operasi demikian
diharamkan karena bermaksud mengubah ciptaan Allah SWT. Dalil-dalil
al-Qur’an yang dapat dikemukanan terkait hal ini antara lain yang
difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Najm ayat 45 yang artinya:
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan
pria dan wanita.”(Q.S. An-Najm: 45).
Majelis Ulama Indonesia pun melalui fatwa yang ditetapkan
Dewan Pimpinan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 yang
kemudian disempurnakan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
03/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyermpurnaan Alat
Kelamin telah menyatakan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan
suatu hal yang haram hukumnya.

8
Anita Wulandari, “Gambaran Proses Pengambilan Keputusan pada Transseksual Laki-Laki
yang Menjalani dan Tidak Menjalani Operasi Pengubahan Kelamin” (Skripsi Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006), hlm. 17

9
Selain itu, keharaman tersebut juga ditegaskan oleh fatwa yang
dikeluarkan oleh Yusuf Qardhawi. Beliau menyatakan dalam fatwanya
bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan laki-laki dan wanita dengan
susunan tubuh tertentu untuk melakukan tugasnya masing-masing dalam
kehidupan ini.
Sehingga, kita tidak boleh mengubahnya dengan paksa. Masing-
masing telah memiliki sifat yang berbeda-beda yang merupakan ciri khas
yang tidak dimiliki oleh yang lain. Misalnya sifat kebapakan yang tidak
dimiliki oleh wanita dan sifat keibuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki,
sehingga setiap usaha untuk mengubah sifat-sifat ini dilarang oleh agama
karena bertentangan dari fitrah serta lari dari syariat dan tanggung jawab.
Beliau juga menyatakan bahwa Allah telah menciptakan tiap jenis, jantan
dan betina, juga kecondongan kepada lawan jenisnya untuk saling bertemu
dan bergaul, yang kelak dari hubungan tersebut akan menghasilkan
keturunan dan anak cucu.
Dengan tidak sahnya perubahan status hukum tersebut secara
Hukum Islam, maka orang yang bersangkutan masih memiliki status
hukum sebagaimana yang ia miliki sebelum ia melakukan operasi
penggantian kelamin, sekalipun Pengadilan Negeri telah menetapkan
sahnya perubahan status kelamin. Oleh karena itu, apabila ia ingin
melakukan perkawinan, ia hanya dapat melakukan perkawinan dengan
seseorang yang memiliki status hukum yang berlawanan dengan status
hukum yang ia miliki berdasarkan Hukum Islam. Misalnya seorang laki-
laki melakukan operasi penggantian kelamin tanpa memiliki kelainan
apapun pada struktur biologis tubuhnya, maka setelah dilakukannya
operasi penggantian kelamin, ia akan tetap berstatus sebagai laki-laki,
tidak terjadi perubahan terhadap status hukumnya secara Islam. Oleh
karena itu, apabila kemudian ia ingin melakukan perkawinan dengan laki-
laki, hal tersebut tidak dapat dilakukannya karena perkawinan tersebut
akan menjadi perkawinan sesama jenis, suatu jenis perkawinan yang

10
diharamkan didalam Islam. Hubungan sesama jenis merupakan salah satu
jenis dosa besar.
Unsur-Unsur yang harus ada pada Hukum Perkawinan Islam
adalah laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Sehingga syarat
sah nya perkawinan ini ditentukan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki
atau perempuan).
Menurut Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 : Pasal 1
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.”9
Berdasarkan pasal tersebut, makna seorang pria atau wanita merupakan
salah satu penentu sahnya perkawinan (tidak perkawinan sejenis).
Hubungan sesama jenis atau dapat dinyatakan juga sebagai Liwat yang
lebih banyak dikenal sebagai homoseksual, merupakan hubungan seksual
atau kelamin sesama jenis, baik sesama laki-laki (gay) maupun sesama
perempuan (lesbian atau musahaqah).10
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwasanya hukum
perkawinan transgender baik dalam hukum islam maupun undang-undang
sangat dilarang adanya praktek transgender selain karena melanggar
fitrahnya juga akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap hak
dan kewajibannya dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
1. Hukum Transgender Terhadap kewarisan
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia.11
Pada asaznya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan atau harta benda saja yang diwarisi. Sebagaimana
yang tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 11 yang artinya:

9
Undang-undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) (Bandung: Citra Umbara. Cet.8, 2017), h. 2
10
Neng Djubaedah, et al., Aspek Pidana dalam Hukum Islam , (Jakarta: Cintya Press, 2005), hlm.
121.
11
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta:Bina Aksara, 2012), hlm. 1-2

11
“Pembagian waris itu telah ditetapkan untuk bagian laki-laki dan
perempuan dari peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tua yang
telah meninggal dunia dan kerabat dari seseorang yang telah
meninggalkan harta warisannya dan bagiannya telah ditetapkan
menurut ketentuan yang berlaku didalam nash”.
Oleh karena itu, penetapan kewarisan itu memegang peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sesuatu yang sangat
erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia karena setiap
manusia yang hidup akan mengalami peristiwa hukum yang lazim
disebut dengan kematian.12
Di Indonesia, hukum tentang kewarisan telah menjadi hukum
positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam memutuskan
kasus pembagian maupun persengketaan yang berkenaan dengan harta
warisan dan hal tersebut telah dituangkan dalam Buku II Kompilasi
Hukum Islam. Namun permasalahan yang sedang menjadi wacana
pemikiran para ulama saat ini, tentang kewarisan bagi Transgender.
Fenomena yang menjulang pada saat ini ketika seseorang itu merasa
tidak puas dengan kelamin yang dimilikinya sehingga mereka berpikir
bahwa melakukan operasi kelamin sebagai salah satu alternatif dalam
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Berkaitan dengan Transgender di dalam Islam dikenal dengan
Khuntsa. Istilah Khuntsa berasal dari bahasa Arab Khanatsa yang
berarti lunak atau melunak. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau “waria” (wanita-pria).
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Khuntsa adalah seseorang yang
diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan karena
memiliki alat kelamin secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat
kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan.

12
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadits (Jakarta:Tinta Mas), hlm.
9

12
Dalam hukum Islam orang seperti ini diistilahkan dengan Khuntsa Al-
Musykil.13
Namun demikian perlu dijelaskan bahwa secara hukum waria
dengan Khuntsa Al-Musykil ini tidak sama, sebab apabila diperhatikan
dalam kenyataan sehari-hari yang dimaksud dengan waria adalah orang
yang secara fisik berkelamin laki-laki namun secara hormonal atau
kejiwaan berperilaku atau berpenampilan sebagai seorang perempuan.
Namun yang dimaksud dengan khunsa al- musykil adalah seseorang
yang tidak jelas identitas kelaminnya baik disebabkan orang tersebut
berkelamin ganda atau tidak mempunyai kelamin sama sekali.14
Adapun cara menentukan status banci atau khuntsa yakni:
1). Ulama sepakat bahwa jika pada seorang banci tampak tanda-tanda
keluarnya mani, tanda-tanda kemampuannya untuk menghamili atau
bahkan kencingnya hanya dari zakar maka dia adalah laki-laki dalam
semua hukumnya, pewarisannya dan lain-lain.
2). Bila kelihatan tanda-tanda haid yang menyakinkan atau kehamilan atau
kencing hanya dari vagina, ulama sepakat bahwa dia adalah perempuan
dalam semua hukumnya pewarisannya dan lain-lain.
3). Kehamilan dan melahirkan. Bila ia hamil atau melahirkan bearti
statusnya perempuan sebab menurut qodratnya laki-laki tidak
melahirkan. Namun apabila terjadi kelainan seperti di atas maka
dinamakan khuntsa musykil.
4). Kalau tidak tampak apa pun dari apa yang telah disebutkan diatas
sedangkan air kencingnya keluar dari dua lubang secara serentak dan
sama, ulama sepakat bahwa dia khuntsa musykil.15
Apabila tanda-tanda yang telah disebutkan di atas sudah jelas maka
kategori khuntsa ini digolongkan dengan khuntsa ghoiru musykil. Maka
untuk kewarisannya dengan menentukan alat kelamin yang dapat diketahui

13
Efendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: Grafindo Persada,2001), hlm. 3-6
14
Efendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: Grafindo Persada,2001), hlm. 3-6
15
Mustofa Bisri, Ensiklopedia Ijmak Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka
Firdaus, 1987), hlm. 45

13
melalui tanda-tanda yang telah diketahui. Namun apabila tidak dapat
diketahui ciri-ciri secara jelas baik fisik maupun kelaminnya maka ini
digolongkan khuntsa musykil. Kewarisan Khuntsa musykil adalah orang
yang keadaannya musykil (sulit ditentukan), tidak diketahui kelelakiannya,
atau keperempuanannya. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada
kejelasan, kendati pun dalam keadaan tertentu kemustahilan tersebut dapat
diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang “air kecil”.
Bila seorang banci kencing sebagaimana kencingnya laki-laki, dia
adalah laki-laki yang mewarisi dengan hukum pewarisan laki-laki kalau
dia kencingnya sebagaimana perempuan maka dia mewarisi dengan
hukum pewarisan perempuan namun untuk kewarisan khuntsa musykil
diberi bagian perempuan jika bagian perempuan tadi menyamai bagian
laki-laki atau lebih sedikit. Jika seorang banci meninggal sebelum ia baligh
dan tanda-tanda belum tampak maka kewarisan baginya separuh bagian
laki-laki dan separuh bagian perempuan.
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya hukum waris bagi transgender
adalah sesuai fitrahnya yang pertama. Jika fitrahnya yang pertama
perempuan maka hukum warisnya mengikuti hukum waris perempuan
begitu juga sebaliknya.

14
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transeksualisme sendiri diartikan sebagai manifestasi gangguan identitas
jenis kelamin berupa keinginan yang kuat dan menetap untuk melepaskan ciri-
ciri kelamin primer dan ekundernya dan mendapatkan ciri-ciri kelamin
lawannya. Sedangkan operasi perubahan kelamin adalah mengubah alat
kelamin yang ada agar lebih sama dengan kelamin lawan jenis.
Seorang laki-laki dilarang dalam islam menyamakan dirinya dengan
perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya dengan
laki-laki, baik perilakunnya, pakainnya, dan lebih-lebih ia mengganti
kelaminnya.
Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat
kelamin laki-lakinya lebih dominan ataupun sebaliknya, melalui proses
operasi penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh, sehingga memiliki
implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan itu. Dibolehkannya operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi
bagian dalam alat kelamin orang yang mempunyai penyakit kelainan atau
kelamin ganda.
Bahwasanya hukum perkawinan transgender baik dalam hukum islam
maupun undang-undang sangat dilarang adanya praktek transgender selain
karena melanggar fitrahnya juga akan memberikan dampak yang sangat besar
terhadap hak dan kewajibannya dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Sedangkan Hukum waris bagi transgender adalah sesuai fitrahnya yang
pertama. Jika fitrahnya yang pertama perempuan maka hukum warisnya
mengikuti hukum waris perempuan begitu juga sebaliknya.
B. Saran
Kami menyadari dari materi makalah masih terdapat banyak kekurangan baik
dari penulisan maupun penyajian materi, sehingga saran dari teman dan dosen
sangat kami harapkan. Serta perlunya untuk teman-teman menambah
wawasan selain dari materi yang telah dipaparkan tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA
Martinus, Surawan. Kamus terapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Echols, John dan hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
pustaka utama.
Huriawati dkk, Kamus kedokteran Dorland (terj). Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC, 2002.
Davision, Gerald, Psikologi Abnormal Edisi Ke 9, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2006).
Sudirman. 2018. Fikih Kontemporer. Yogyakarta: CV Budi Utama
Putri, Septira, “Analisis Waria atau Transgender Melakukan Operasi Ganti
Kelamin Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif” Hukum dan
Ekonomi Islam, Vol. 18 No.2, Desember 2019,hal. 273.
Arif, Muhammad. Skripsi. “Hukum Operasi Kelamin (Menurut Pandangan
Jawatan Kuasa Muzakarah Kebangsaan Islam Malaysia) Dalam Tinjauan
Maqasid Syariah” (Jambi: UIN Sulthan Thata Saifuddin Jambi, 2019)
Wulandari, Anita. “Gambaran Proses Pengambilan Keputusan pada
Transseksual Laki-Laki yang Menjalani dan Tidak Menjalani Operasi
Pengubahan Kelamin” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2006)
Undang-undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) (Bandung: Citra Umbara. Cet.8, 2017)
Djubaedah, Neng. Aspek Pidana dalam Hukum Islam , (Jakarta: Cintya Press,
2005)
Sajuti. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta:Bina Aksara, 2012)
Perangin, Efendi. Hukum Waris (Jakarta: Grafindo Persada,2001)
Bisri, Mustofa. Ensiklopedia Ijmak Persepakatan Ulama dalam Hukum
Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus, 1987)

16

Anda mungkin juga menyukai