Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HALANGAN MENIKAH DAN PERNIKAHAN YANG DILARANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqih Munakahat dan Mawaris

Dosen Pengampu : Fathiyaturrahmah, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 03 :

Nuri Isnayni (T20181380)

Siti Aisyiah (T20181388)

Muhammad Anas Dairobi (T20181377)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TAERBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
SEPTEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah SWT yang talah memberikan limpahan rahmat,Taufiq dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Sholawat dan salam
semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan jalan
kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Adapun yang menjadi judul dari makalah ini adalah “Halangan Menikah dan Pernikahan yang
Dilarang”.

Kami berterimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr.H.Babun Suharto,SE,MM selaku rektor IAIN JEMBER yang telah
memfasilitasi kami dalam proses pembelajaran.

2. Ibu Fathiyaturrahmah, M.Ag. Selaku dosen pembimbing kami yang berperan begitu besar
dalam terselesainya makalah ini.

3. Serta kepada teman-teman kelompok 03 yang telah berusaha semaksimal mungkin dalam
terselesainya makalah ini.
Malakah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun,
kami menyadari dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kukurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik,
saran dan pesan dari para pembaca supaya kedepannya kami mampu menyuguhkan materi yang
lebih baik lagi.

Jember, 27 Maret 2020

Penyusun

DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR .................................................................................…………………ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................………………...iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................………………….1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...1
C. Tujuan……………………………………………….……………………………….2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................………………….3

A. Bentuk-bentuk halangan menikah...................…………………….……………..….4


B. Jenis-jenis pernikahan yang dilarang...........................................................................8

BAB III ............................................................................................................................….....15

A. Kesimpulan……………………………………………...………………………..……15
B. Saran…………………………………………………...………………………………16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................………………….17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at islam. Hukum
yang harus dipatuhi oleh semua umat islam diseluruh penjuru dunia. Baik laki-laki, maupun
perempuan tidak ada perbedaan dimata Allah SWT. Tetapi yang membedakan hanyalah
ketaqwaan kita.

Salah satu dari syari’at islam adalah tentang perkawinan. Hal ini sudah diatur dalam
hukum islam baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadist Rasulullah SAW. Perkawinan
merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak
umat islam yang melakukan perkawinan, dimana pernikahan inin mencegah perbuatan yang
melanggar norma-norma agama dan menghindari zina.

Sebagian umum manusia sudah mengetahui pengertian dari pernikahan apalagi bagi
yang sudah mengalaminya. Namun sebagian belum tahu yang sesuai dengan syari’at islam
dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan mulai dari ta’aruf atau perkenalan, khitbah,
akad, sampai halangan menikah dan pernikahan yang dilarang. Dengan makalah ini berusaha
untuk mengulas yang berhubungan dengan apa yang ada bubungannya dengan pernikahan
salah satunya yaitu “Halangan Menikah dan Pernikahan yang Dilarang”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja halangan-halangan seseorang untuk menikah?
2. Apa saja jenis-jenis pernikahan yang dilarang dalam islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahi halangan-halangan seseorang untuk menikah.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis pernikahan yang dilarang dalam islam. Selain itu
juga menambah wawasan kepada pembaca tentang pernikahan yang dilarang
oleh islam agar kita sebagai mahasiswa tidak terjebak kedalam hal-hal yang
dilarang oleh agama islam.

BAB II
3
PENDAHULUAN

A. Halangan Pernikahan Menurut Islam


Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam perkawinan
ialah larangan untuk kawin antara seorang pria dengan seorang wanita, sedangkan menurut
syarâ’ , larangan tersebut dibagi dua, yaitu halangan abadi (haram ta’bîd) dan halangan
sementara (haram gairu ta’bîd/ ta’qít). Wanita yang terlarang untuk dikawini itu disebut
mahram. Diantara larangan-larangan ada yang telah disepakati dan ada yang masih
diperselisihkan.

1. Mahram Ta’bîd adalah orang-orang yang selamanya haram dinikahi. Larangan yang
telah disepakati antara lain:
a. Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang haram dinikahi
untuk selamanya (ta’bîd) karena pertalian nasab adalah:
1. Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan
garis keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya
keatas).
2. Anak perempuan kandung, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam
garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak
laki-laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4. Bibi, adalah saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah
atau ibu dan seterusnya keatas.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan yaitu anak perempuan saudara laki-laki
atau perempuan dan seterusya.1
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang; 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau pun keatas, 2) Bergaris keturunan menyamping, yaitu antara saudara, sdengan saudara
orang tua dan antara orang dengan saudara neneknya.2

b. Persusuan (Radha’ah) menurut pandangan para ulama’ bahwa larangan nikah


karena hubungan sesuauan adalah sampainya air susu wanita ke dalam perut anak
yang belum mencapai usia dua tahun Hijriyah.

1 Syaikh Hasan Ayub, Fiqih Keluarga. (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2011), Hal: 158
2 Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, 96.
4
Wanita atau laki-laki yang mempunyai mahram dari jalur susu mempunyai
keistimewaan dan kekebalan hukum sebagaimana mahram yang terbentuk dari jalur nasab.
Yaitu antara laki-laki dan wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh saling
mengawini. Para ulama klasik sepakat bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan
sesusuan adalah segala macam susuan yang dapat menjadi sebab haramnya perkawinan, yaitu
dimana anak menyusu tetek dengan menyedot air susunya, dan tidak berhenti dari menyusui
kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa paksaan. Hubungan sesusuan yang diharamkan
adalah:

1). Ibu susuan (Ibu radâ’/ murdî’ah / wanita yang menyusui), yaitu ibu yang menyusui,
maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi
anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan. 2) Nenek susuan, yaitu ibu
dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang
menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram melakukan
perkawinan. 3) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan
suami dari ibu susuan dan seterusnya keatas. 4) Kemenakan susuan perempuan; anak
perempuan saudara ibu susuan. 5) Saudara sesusuan perempuan, saudara seayah kandung
maupun seibu. 3

c. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan


kerabat semenda

Keharaman ini disebutkan dalam surat An-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci tersebut; 1)
Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau
ayah. 2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu anak
tersebut. 3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah. 4) Ibu tiri, yakni
bekas istri ayah, untuk kali ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu
dengan ayah. Persoalan dalam hubungan musaharah adalah keharaman ini disebabkan karena
semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau dapat juga dikarenakan perzinahan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah hanya
disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan alasan tidak
layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan musaharah. Sebaliknya, Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah, disamping
disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinaan.

3 Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal: 33
5
d. Perzinaan
Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik dengan perempuan pelacur atau
perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali setelah masing-
masing mengatakan bertaubat. Firman Allah SWT. Dalam surat An-Nûr ayat 3, Apabila
pezina benar-benar bertaubat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya di masa
lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi berbuat zina, diikuti dengan ketaatan
menjalankan aturan-aturan Allah SWT. Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa perkawinan
laki-laki dengan wanita zina dibolehkan, sebab ia tidak tersangkut kepada hak orang lain,
bukan istri dan bukan pula orang yang menjalani ‘iddah.
2. Haram Gairu Ta’bíd, maksudnya adalah orang yang haram dikawin untuk masa
tertentu (selama masih ada hal-hal yang mengharamkannya) dan saat hal yang
menjadi penghalang sudah tidak ada, maka halal untuk dikawini. Seperti pertalian
mahram antara laki-laki dengan perempuan iparnya (saudara perempuan istri), antara
laki-laki dengan bibi istri dan seterusnya.
a. Beda Agama, yaitu laki-laki dan perempuan musyrik haram dinikahi. Maksudnya
musyrik ialah yang menyembah selain Allah. Tidak halal bagi seorang muslim
dan tidak sah pernikahannya atas orang kafir dan orang murtad karena ia telah
keluar pada aqidah dan petunjuk yang benar. Dalil atas keharamannya adalah
firman Allah SWT, Al-Baqarah ayat 24:

ْ ‫فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا َولَ ْن تَ ْف َعلُوا فَاتَّقُوا النَّا َر الَّتِي َوقُو ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ ۖ أُ ِع َّد‬
‫ت لِ ْل َكافِ ِرين‬

Artinya: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Al Baqarah ayat 24.
Dalam hal jika salah seorang dari istri keluar dari agama Islam (murtad) maka
secepatnya bercerai secara mutlak. Baik murtad-nya sebelum bercampur maupun
sesudahnya. Demikian menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Maliki. Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat, jika nikahnya sebelum terjadi bercampur,
harus secepatnya bercerai. Namun, jika murtad-nya setelah bercampur, hendaknya
ditunggu hingga iddah-nya selesai. Apabila suami istri itu sama-sama murtad
maka hukumnya seperti ketika terjadi murtad salah satu di antara mereka, yaitu
terjadi keduanya bercerai. Sedangkan Hanafi berpendapat tidak harus cerai.

6
b. Masa Iddah, (waktu Tunggu) adalah seoramg istri yang putus perkawinannya
dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan
pengadilan. Masa iddah tersebut berlaku pada istri yang sudah melakukan
hubungan suami istri. Lain halnya dengan istri yang belum melakukan hubungan
suami istri (qabla dhukul), tidak mempunyai masa iddah. Hal ini berdasrkan
firman Allah SWT. Surah Al-Ahzab: ayat 49
Mkljsjfshhd
Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

1) Bagi seorang istri yang putus prkawinannya, berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali
qabla dhukul, dan perkawinannnya putus bukan karena suami.
2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila pernikahan putus karena kematian, walaupun qabla dhukul, waktu
tunggu ditetapka 130 hari.
b. Apabila pernikahan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid, ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 hari.
c. Apabila pernikahan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila pernikahan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena prceraian sedang antara
janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dhukul.
4) Bagi pernikahan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang
pernikahan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddahtidak
haid karena menyusui, maka iddahnya 3 kali waktu suci.4

4 Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. {Jakarta : Sinar Grafika, 2012} , 87

7
B. Jenis-Jenis Pernikahan Yang Dilarang.
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah
pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan.
Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya. Adapun bentuk-
bentuk pernikahan yang dilarang dalam islam antara lain :

1. Nikah Mut'ah
 Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati.
Adapun secara istilah, mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu. Pernikahan ini akan berakhir
sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi
nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.

Dalam kitab minhajul muslimin disebutkan " Nikah mut'ah adalah nikah yang
dilakukan sampai batas waktu tertentu baik masa itu lama ataupun sebentar, seperti laki-laki
menikahi perempuan pada masa tertentu seperti satu bulan atau satu tahun."5

Contoh nikah mut’ah misalnya;

a. Nikah yang dimaksudkan hanya untuk satu tahun, satu bulan, atau satu minggu saja.
b. Seseorang yang melakukan tugas disuatu tempat untuk beberapa waktu kemudian
menikah ditempat tugas itu dengan maksud untuk menmceraikan kembali istrinya
setelah tugasnya selesai. Pernikahan ini dilarang karena hanya untuk memuaskan
hawa nafsu saja.6
 Hukum
Hukum nikah ini adalah batal, dan jika terjadi maka wajib fasak ( rusak ) dan mahar
wajib dibayar jika telah menyetubuhi perempuannya dan jika belum bersetubuh maka tidak
wajib membayar mahar.

Sesungguhnya Rosulullah melarang nikah mut'ah dan daging himar pada masa perang
khoibar.

ِ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ َو َسلَ َمةَ ب ِْن اأْل َ ْك َو‬


َ َ‫ع ق‬
‫ال‬

5 Minhajul Muslimin halaman 437


6 Ibid, Hal: 81-82.
8
‫تَ ْمتِعُوا‬€‫ ْد أَ ِذنَ لَ ُك ْم أَ ْن ت َْس‬€َ‫لَّ َم ق‬€‫ ِه َو َس‬€ْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬€‫ص‬
َ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل ِإ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ِ ‫َخ َر َج َعلَ ْينَا ُمنَا ِدي َرسُو ِل هَّللا‬
‫يَ ْعنِي ُم ْت َعةَ النِّ َسا ِء‬

Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra. ia berkata: Seorang yang akan memberikan
pengumuman dari Rasulullah saw. keluar menghampiri kami dan berkata: Sesungguhnya
Rasulullah saw. sudah mengizinkan kamu sekalian untuk menikahi kaum wanita secara
mut`ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya yang demikian sampai hari
kiamat.

Berdasarkan hadis diatas dapat disimpulkan bahwa dengan dalil apapun nikah mut’ah
adalah haram hukumnya. Walaupun ada beberapa sahabat Nabi SAW.yang menghalalkan
nikah mut’ah itu, antara lain: Ibnu Abbas, beberapa ulama’-ulama’ Mekah dan ulama-ulama
Syiah.

Mengenai masalah anak yang dilahiarkan dari pernikahan ini statusnya adalah maenjadi
anaknya sendiri, Akan tetapi tidak ada thalak dan li’an, juga tidak ada waris mewarisi antara
suami istari, anak berhak mewaris dari ayah maupun ibunya begitu juga sebaliknya.

2. Nikah Syighor
 Pengertian nikah syighor
Nikah syighar ialah nikah tukar-menukar. Yaitu: seorang laki-laki menikahkan seorang
wanita yang ada dibawah perwaliannnya dengan laki-laki lain dengan perjanjian bahwa laki-
laki lain menikahkan pula seorang wanita yang dibawah perwaliannnya dengan laki-laki itu
tanpa kesediaan membayar mahar. Maharnya ialah kelamin masing-masing wanita itu yang
dimiliki laki-laki tersebut diatas.

Menurut para ahli fiqih, mereka bersepakat bahwa nikah syighar itu haram hukumnya.
Seandainya telah terjadi, maka nikah tersebut dinyatakan batal. Adapun dasarnya ialah:

Hadis Nabi SAW.: Dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra. Berkata: “Rasulullah telah melarang nikah
syighar”.(H.R. Bukhari Muslim).

Sebabnya nikah syighar diharamkan ialah karena dalam sighat nikah tidak disebutkan
kesediaan membayar mahar dari calon suami kepada calon istriya. Apabila dalam sighat akad
tersebut, oleh pihak-pihak calon suami dinyatakan, kesediaan membayar mahar kepada calon-
calon istri, maka nikah itu adalah sah hukumnya.
9
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah syighar itu dapat disahkan apabila suami-
suami bersedia membayar mahar mistli kepada istri-istrinya.7

Definisi nikah ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:

Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, “Nikahkanlah aku
dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata,
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara
perempuanku dengan dirimu. 8

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas
kawin ataukah tidak .

3. Nikah Muhallil

a. Pengertian nikah tahlil

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh
suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita
tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali)
setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal
lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain.

Menurut hukum islam seorang istri yang telah ditaalak tiga, oleh suaminya, tidak
diperbilehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kalau belum memenuhi syarat-syarat
tertentu yaitu;

1. Harus nikah dengan laki-laki lain.


2. Sudah berhubungan sebagai suamin istri
3. Ditalak oleh suaminya yang baru tadi
4. Habis masa iddahnya.
Syarat-syarat tersebut diatas, berdasarkan pada firman Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah
ayat 230:

‫ظنَّٓا أَن يُقِي َما ُحدُو َد‬


َ ‫فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل تَ ِحلُّ لَ ۥهُ ِم ۢن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَن ِك َح َزوْ جًا َغ ْي َر ۥهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َمٓا أَن يَتَ َرا َج َعٓا إِن‬
7 Ibid. Hal: 84
8 Hadis Shahih Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416).
10
َ ‫ٱهَّلل ِ ۗ َوتِ ْل‬
َ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬

Artinya:“ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-
Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Dari firman Allah diatas bahwa, pernikahan yang sebenarnya dengan tujuan yang
sesuai dengan ketentuan agama, jadi harus sudah terjadi percampuran antara keduanya,
sehingga kalau terjadi pernikahan yang belum pernah terjadi antara keduanya dan kemudian
sisuami meninggal dunia atau bercerai dengan istrinya, maka siistri tadi belum boleh
dikawini kembali oleh bekas suaminya yang tekah mentalaknya tiga kali itu.

Menurut Imam Syafi’i nikah muhallil hukumnya sama dengan nikah mut’ah, haram
hukumnya kalau tujuannya dinyatakan dalam shigat akad nikah. Akan tetapi jika tujuannhya
itu tidak dinyatakan dalam sighat nikah maka nikah itu sah hukumnya. Apabila sebelum
terjadi pernikahan antara keduanya sudah terjadi permufakatan, tetapi dalam akad nikah tidak
dinyatakan, maka nikahnya tetap sah tetapi mengadakan permufakatan itu hukumnya makruf.
Jadi Imam Syafi’i tidak memperbolehkannya karena seolah-olah wali si perempuan yang
dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ ku nikahkahn engkau dengannya dengan syarat
setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya “. Berarti ada
batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.

Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami
sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat
menikahi wanita tersebut setelah masa ‘iddahnya selesai.

Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian
menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat
menikahi mantan isterinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

4. Nikah Badal

Artinya pernikahan dengan saling tukar-menukar istri, misalnya seorang yang telah
beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan

11
kesepakatan kedua belah pihak. Seorang laki-laki akan berkata kepada laki-laki lainnya:
Tinggalkan istrimu untukku. Maksudnya engkau melepas istri dan aku juga melepas istri aku
sementara. Hal ini haram dan termasuk perbuatan zina.

5. Nikah Istibda’
Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan
laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut.
setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.
Nikah ini tujuannya hanya untuk mendapatkan anak. Maka pernikahan ini haram hukumnya.

6. Nikah Righoth

Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi


wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu
diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang
dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri. Pernikahan ini
dianggap seperti zina, jadi haram hukumnya.

7. Nikah Baghoya

Yaitu pernuikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa
wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara
wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki
tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang
menghamili.

8. Nikah dengan wanita pezina

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ين‬ َ ِ‫ك ۚ َوحُرِّ َم ٰ َذل‬


€َ ِ‫ك َعلَى ْٱل ُم ْؤ ِمن‬ ٌ ‫ٱل َّزانِى اَل يَن ِك ُح إِاَّل َزانِيَةً أَوْ ُم ْش ِر َكةً َوٱل َّزانِيَةُ اَل يَن ِك ُحهَٓا إِاَّل َزا ٍن أَوْ ُم ْش ِر‬

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-
orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

12
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang
pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-
laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

َ ِ‫ت ۚ أُو ٰلَئ‬


ٌ‫ك ُمبَ َّرءُونَ ِم َّما يَقُولُونَ ۖ لَهُ ْم َم ْغفِ َرة‬ ِ ‫ات لِلطَّيِّبِينَ َوالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَا‬
ُ َ‫ت ۖ َوالطَّيِّب‬
ِ ‫ات لِ ْل َخبِيثِينَ َو ْال َخبِيثُونَ لِ ْل َخبِيثَا‬
ُ َ‫ْل َخبِيث‬

ٌ ‫َو ِر ْز‬
‫ق َك ِري ٌم‬

Artinya “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik
(pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan
rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan
ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi. Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak
menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang
terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”

9. Nikah saat melakukan Ihrom

Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan
sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam

“ Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”

10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga

Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami
untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang
wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya
diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

13
Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 230:

‫ظنَّٓا أَن يُقِي َما ُحدُو َد‬


َ ‫فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل تَ ِحلُّ لَ ۥهُ ِم ۢن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَن ِك َح َزوْ جًا َغ ْي َر ۥهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َمٓا أَن يَتَ َرا َج َعٓا إِن‬
َ ‫ٱهَّلل ِ ۗ َوتِ ْل‬
َ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬

yang artinya “ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-
Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin
kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah
bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali
kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam,

“ Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”

11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan

Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nisa’ ayat 23:

َ ْ‫ت َوأُ َّمهَاتُ ُك ُم الاَّل تِي أَر‬


‫ض ْعنَ ُك ْم‬ ِ ‫َات اأْل ُ ْخ‬
ُ ‫خ َوبَن‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم أُ َّمهَاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأَ َخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخااَل تُ ُك ْم َوبَن‬
ِ َ ‫َات اأْل‬ ْ ‫حُرِّ َم‬
ْ ‫ُور ُك ْم ِم ْن نِ َسائِ ُك ُم الاَّل تِي َدخ َْلتُ ْم بِ ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا د‬
‫َخَلتُ ْم بِ ِه َّن‬ ِ ‫ات نِ َسائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الاَّل تِي فِي ُحج‬ ُ َ‫َّضا َع ِة َوأُ َّمه‬ َ ‫َوأَ َخ َواتُ ُك ْم ِمنَ الر‬
ً‫غفُورًا َر ِحيم‬ َ َ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم َو َحاَل ئِ ُل أَ ْبنَائِ ُك ُم الَّ ِذينَ ِم ْن أَصْ اَل بِ ُك ْم َوأَ ْن تَجْ َمعُوا بَ ْينَ اأْل ُ ْختَ ْي ِن إِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ إِ َّن هَّللا َ َكان‬ َ ‫فَاَل ُجن‬

artinya “ Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu,


saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan
dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang
satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak
tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya),
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah

14
terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-
Nisaa' : 23]

12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. AN-Nisa’ ayat 24 yang artinya:

"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana".

13. Nikah dengan lebih dari empat orang

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ْ‫اح َدةً أَو‬


ِ ‫ث َو ُربَا َع ۖ فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬
َ َ‫َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِكحُوا َما ط‬
َ ِ‫ت أَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰ َذل‬
‫ك أَ ْدن َٰى أَاَّل تَعُولُوا‬ ْ ‫َما َملَ َك‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil,
maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-
isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda” Tetaplah engkau
bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia
akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi

15
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersaba “ Pilihlah empat orang dari mereka”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan diatas maka sudah jelas bawasannya halangan menikah itu ada
lima yaitu, antara lain:

1. Hubungan Nasab
2. Hubungan Persusuan
3. Masa Iddah

16
4. Perzinaan
5. Beda Agama
Dan pernikahan yang dilarang dalam agama islam yakni sebagai berikut:

1. Nikah Mut'ah

2. Nikah Syighor

3. Nikah Muhallil

4. Nikah Badal

5. Nikah Istibdlo’

6. Nikah Righoth

7. Nikah Baghoya

8. Nikah dengan wanita pezina/sifah

9. Nikah saat melakukan Ihrom

10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga

11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan

12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami

13. Nikah dengan lebih dari empat orang.

B. Saran
            Dari uraian kami diatas semoga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi kita agar
dapat melakukan pernikahan yang sesuai dengan islam dan menjauhi pernikahan-pernikahan
yang dilarang dalam islam. Dan kami mohon kritik serta saran, terutama dari ibu dosen dan
teman-teman sekiranya dalam makalah ini terdapat kekurangan yang sekiranya dapat
membangun kami agar menjadi lebih baik dilain kesempatan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ayub, Syaikh Hasan. 2011. Fiqih Keluarga. Jakarta: Pustaka Kautsar.

Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8

Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty

Ali, zainuddin. 2012. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika

18
Hadis Shahih Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416).

Minhajul Muslimin.

19

Anda mungkin juga menyukai