BAB I
PENDAHULUAN
Jual – beli merupakan aktivitas yang dilakukan manusia umumnya dalam berekonomi baik
itu sebagai produsen ataupun konsumen, dalam islam istilah tersebut sering kita kenal dengan
muamalah artinya semua aktivitas yang lebih banyak dilakukan dengan manusia lainnnya
atau lebih bersifat dengan keduniawian, meskipun lebih bersifat keduniawian kita tidak boleh
menyimpang dari aturan Allah, sebab semua aktivitas manusia kelak akan dimintai
pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual – beli.
Dalam bertransaksi ( jual – beli ) di semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas
dari sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam islam disebut
dengan istilah khiyar artinya tawar – menawar / hak pilih. Pada makalah ini penyusun akan
mencoba membahas mengenai pengertian khiyar, hukum, macam-macam khiyar berikut
hikmahnya.
Selain aktivitas jual beli yang sering kita lakukan, masalah kerjasama atas tanah
pertanian pun menjadi persoalan pelik yang sering manusia hadapi. Karena kita tahu bahwa
manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih
di daerah pedesaan yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani
maupun buruh tani / penggarap. Oleh karena itu, pada makalah yang sangat padat ini pula
akan dibahas mengenai Musaqah ( bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap
dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberika hasil yang
maksimal ), Muzara’ah (kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani
penggarap dan bibit yang akan ditanam dari pemilik tanah ), sedang dalam Mukhabarah bibit
disediakan oleh penggarap tanah.
Penyusun berharap agar para pembaca makalah ini tidak merasa puas dengan tulisan ini, akan
tetapi harus lebih memacu semangat untuk lebih menggali kebenaran yang hakiki dengan
menggunakan referensi yang lebih banyak lagi, agar kita semua mempunyai pedoman dalam
beraktivitas dengan manusia lainnya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya. Aamin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHIYAR
1. Pengertian dan hukum Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para
ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya
transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi
(akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-Khiyar dengan :“Hak pilih bagi salah
satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau
membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang
melakukantransaksi.”Pengertian khiyar yang lain:“suatu keadaan yang menyebabkan aqid
(orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau
membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, khiyar aib, khiyar ru’yah atau
hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta;yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.).
Sedangkan menurut Rasyid (2002:206) dan Munir (1992:219) Khiyar artinya “Boleh memilih
antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual
beli)”.
Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli /
melakukan transaksi dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak
akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu. Status khiyar menurut ulama
fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam
mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
· Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan
akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad (toko) dan belum berpisah badan.
Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan
akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk
menjual dan atau membeli.
Dasar hukum adanya khiyar majlis ini adalah sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
“Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak
pilih, selama keduanya belum berpisah badan…(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah
ibn ‘Umar).
Para pakar hadits menyatakan bahwa yang dimaksudkan Rasulullah SAW. dengan kalimat
“berpisah badan” adalah setelah melakukan akad jual beli, barang diserahkan kepada pembeli
dan harga barang diserahkan kepada penjual. Imam an- Nawawi, muhadits dan pakar fiqh
Syafi’i, mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli telah berpisah badan,
seluruhnya diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan masyarakat setempat di mana jual beli
itu berlangsung. Dan khiyar Majlis tidak habis lantaran penjual atau pembeli meninggal
dunia, tapi khiyarnya berpindah kepada ahli waris yang bersangkutan.
Khiyar ‘Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah
pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan, dan cacat
itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Dasar hukum khiyar ‘Aib ini tertuang dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
“Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada
muslim lain, padahal pada barang terdapat ‘aib/cacat.”(HR. Ibn Majah dari ‘Uqbah ibn
‘Amir).
Khiyar ‘Aib ini menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya cacat pada
barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.
Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli
yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur
ulama fiqh, yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah
menyatakan bahwa khiyar Ru’yah disyari’atkan dalam islam berdasarkan sabda Rasulullah
SAW. yang mengatakan:
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila ia telah
melihat barang itu. (HR. ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
Khiyar Ru’yah menurut mereka mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan
dibeli. Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang ghaib tidak
sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut
mereka khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan yang dapat
membawa perselisihan. Hadits Rasulullah menyatakan:
“Rasulullah SAW. melarang jual beli yang mengandung penipuan.” (HR. al-Jama’ah
[mayoritas pakar hadits], kecuali al-Bukhari).
Khiyar Syarat, yaitu hak pilih yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan penjual),
atau salah satu dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan
akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari / tenggang waktu yangditentukan.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW. sebagai berikut:
“Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada penjual): Jangan ada
tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga hari.”(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar).
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar Syarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk
memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Adapun tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut jumhur ulama fiqh harus jelas. Apabila
tenggang waktu khiyar tidak jelas atau bersifat selamanya, maka khiyar tidak sah. Menurut
ulama Malikiyah, tenggang waktu dalam khiyar syarat boleh bersifat mutlak, tanpa
ditentukan waktunya.
Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas
dalam jual beli. Hikmah Khiyar di antaranya: Membuat akad jual beli berlangsung menurut
prinsip-prinsip Islam, yaitu kerelaan dan ridha antara penjual dan pembeli. Mendidik
masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan
barang dagangan yang baik, sepadan pula dengan harga yang dibayar.
Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar
bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
Terhindar dari unsur-unsur penipuan dari kedua belah pihak, karena ada kehati-hatian dalam
proses jual beli.
Khiyar dapat memelihara hubungan baik antar sesama. Sedangkan ketidakjujuran atau
kecurangan pada akhirnya akan berakibat penyesalan yang mengarah pada kemarahan,
permusuhan, dendam dan akibat buruk lainnya.
B. MUSAQAH
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan yang oleh penduduk Madinah
disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh, musaqah didefinisikan oleh para
ulama fiqh dengan: “Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat
dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.”
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun
dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
memberikan hasil yang maksimal.
Jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,
keduanya tokoh fiqh Hanafi, berpendirian bahwa akad musaqah dibolehkan yang bersumber
dari sebuah hadits dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang menyatakan: “Bahwa Rasulullah SAW.
melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa
mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu.”(HR. al-Jama’ah
[mayoritas pakar hadits]).
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah
adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan
dari pihak petani penggarap. Sedangkan jumhur ulama yang terdiri dari ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa transaksi musaqah harus memenuhi lima
rukun, yaitu:
Adapun syarat –syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap
bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh), dan berakal.
2. Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung
untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.
Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani
penggarap).
Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.