Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah


“ al khiyar - as salam “
Semester 3 tahun akademik 2023/2024
Dosen pembingbing
Laila Nur milah m. Si

Di susu oleh
Andriansyah 2223.01
Sri wulandari 2223.021

Perguruan tinggi agama islam darussalam sukabumi tahun pelajaran 2023/2024


Jln pasar ikan cibaraja cisaat Selajambe kab sukabumi
A LATAR BELAKANG

Khiyar merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
melaksanakan berbagai aktifitas bisnis, khususnya dalam persoalan jual beli. Saking
pentingnya persoalan ini, maka para ulama fikih (fuqaha’) membahasnya secara panjang lebar
dalam pembahasan tersendiri atau setidaknya dalam sub pembahasan tersendiri pada bab buyu’
(jual beli). Atas dasar itulah, maka dalam pembahasan kali ini, penulis membahas persoalan
khiyar baik dari aspek definisi khiyar, dasar hukumnya, klasifikasinya, problematikanya,
dampaknya serta hikmah disyari’atkannya khiyar. Padahal salah satu prinsip pokok dalam
transaksi jual beli adalah harus didasari oleh sikap saling suka atau saling ridha (Innamal bai’
‘an taradin; hanya saja jual beli harus didasari saling meridhai) sebagaimana dijelaskan dalam
hadis Nabi. Atas dasar itulah, agama memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang
melakukan transaksi atau akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu
melangsungkan transaksi (akad) jual beli atau membatalkannya, atau yang sering disebut
dengan khiyar.

Sedangkan mualamalah assalam iyalah Diantara bukti kesempurnaan agama Islam


ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan
kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang
demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa
ada unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).

Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan


barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia juga
mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada
saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan
keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan
modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat
menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga Dengan demikian
selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban
apapun. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama. Jual-
beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari
riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari’at jual-beli salam
sesuai larangan memakan riba.
BAB ll
PEMBAHASAN
A PENGERTIAN Al KHIYAR
Kata khiyar menurut bahasa artinya memilih antara dua pilihan. Sedangkan menurut istilah
khiyar ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad (transaksi) jual
beli atau membatalkannya. Khiyar hukumnya mubah bagi penjual dan pembeli dengan cara
membuat kesepakatan dalam akad jual beli. Khiyar sangat bermanfaat bagi penjual dan
pembeli, sehingga dapat memikirkan sejauh mana kebaikan dan keburukannya agar tidak
terjadi penyesalan di kemudian hari. Biasanya penyesalan terjadi dalam akibat kurang berhati-
hati, tergesa-gesa, dan kurang teliti dalam melakukan transaksi jual beli. Secara bahasa, khiyar
artinya memilih yang terbaik. Dalam aktivitas jual beli, terdapat hak bagi penjual dan pembeli
untuk meneruskan akad atau membatalkan sesuai pertimbangan masing-masing
Islam memiliki aturan mengenai jual beli yang disebut dengan khiyar. Etika ini
mengatur hak dan hal lain yang harus diperhatikan bagi penjual maupun pembeli. Dalam bisnis,
khiyar menjadi panduan agar kedua belah pihak tidak akan mengalami kerugian atau
penyesalan setelah transaksi, misalnya yang terkait mengenai barang ataupun harga.Khiyar
adalah sebuah aturan dalam hukum perniagaan Islam untuk melindungi penjual dan pembeli.
Meskipun pada dasarnya berdagang adalah untuk meraih keuntungan, khiyar tetap harus
dilakukan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jadi, yang dimaksud khiyar adalah memilih di
antara dua perkara yaitu melanjutkan atau membatalkan jual beli. Kali ini kita akan melihat
salah satu bentuk khiyar yang dikenal dengan khiyar majlis. Khiyar majlis adalah khiyar yang
terjadi di tempat akad jual beli berlangsung hingga yang melakukan jual beli berpisah. Arti lain
dari khiyar adalah suatu hak untuk menentukan antara meneruskan akad jual beli atau tidak
diteruskan (ditarik kembali tidak jadi jual beli). Jadi, dapat dikatakan bahwa khiyar adalah
meminta yang terbaik dari dua pilihan yakni melanjutkan atau membatalkan transaksi jual-beli.
M. Abdul Mujieb mendefinisikan bahwa “Khiyar adalah hak memilih atau menentukan
pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atau
dibatalkan”. Hak khiyar dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah akan meneruskan
jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang diperjualbelikan.
Dasar hukum khiyar terdapat dalam hadits Ibnu Umar yang meriwayatkan Rasulullah SAW
bersabda:
‫ار َما َل ْم َيتَف ََّر َقا َوكَانَا َجمِ ْي ًعا أَ ْو يُ َخ ِي ُِّر أَ َحدُهُ َما ْاْلخ ََر َفإِ ْن َخي ََّر أَ َحدُهُ َما اْلخ ََر فَتَ َبا َي َعا‬ ِ ‫الر ُجالَ ِن فَكُل َواحِ د مِ ْن ُه َما ِب ْالخِ َي‬
َّ ‫ِإذَا تَ َبا َي َع‬
‫ب ْالبَ ْي َع‬ َ ‫ب ْالبَ ْي َع َو ِإ ْن تَف ََّرقَا بَ ْعدَ أَ ْن تَبَايَ َعا َولَ ْم يَتْ ُركْ َواحِ د مِ ْن ُه َما ْالبَ ْي َع فَقَدْ َو َج‬
َ ‫علَى ذَلِكَ فَقَدْ َو َج‬ َ .
Artinya: “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing
dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih
berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun
jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka
jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah
seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).”
(HR Bukhari dan Muslim).

Berikut penjelasan lengkap tentang tujuan, jenis, dan hikmah khiyar dalam jual beli sesuai
syari’ah
B. Tujuan Khiyar
Dalam buku Hukum Kontrak Keuangan Syariah karya Dr. Mardani, tujuan khijar adalah:
1. Untuk menjamin agar kontrak yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh.
2. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan stabilitas dalam berkontrak.
3. agar para pihak yang melakukan kontrak itu tidak menanggung kerugian setelah
kontraknya dilaksanakan.
Selain itu, Fathurrahman Djamil dalam Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah juga menyampaikan dua tujuan khiyar yaitu
.1. Memberikan hak kepada para pihak agar tidak mengalami kerugian atau penyesalan di
belakang hari oleh sebab-sebab tertentu yang timbul dari transaksi yang dilakukannya, baik
mengenai harga, kualitas, atau kuantitas barang.
2.Penjamin akad yang diadakan benar benar terjadi atas kerelaan penuh dari pihak yang
bersangkutan.
C. Hukum Khiyar
Hukum khiyar dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi jual beli. Begitu juga menurut
ulama fiqih, khiyar dibolehkan dalam syariat Islam didasarkan pada suatu kebutuhan yang
mendesak dengan cara mempertimbangkan kemaslahatan bagi masing-masing pihak yang
melakukan sebuah transaksi.Adapun dasar hukum secara umum dari khiyar adalah sebagai
berikut: :
Dari Ibnu Umar Ra, dari Rasulullah Saw bersabda, “Apabila dua orang melakukan jual
beli, maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan
atau meneruskan jual beli) selama mereka belum berpisah atau masih bersama; atau jika salah
seorang di antara keduanya menentukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang
menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar itu, maka jadilah jual
beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan masing-masing dari keduanya
tidak mengurungkan jual beli, maka jadilah jual beli itu.” (Muttafaq Alaih, dan lafazh hadits
ini menurut riwayat Muslim).
D. Jenis jenis al khiyar
Para ulama membagi khiyar ke dalam lima jenis yaitu
1.Khiyar Majelis
Khiyar majlis yakni hak memilih dari penjual dan pembeli yang berakad untuk membatalkan
akad, selama keduanya masih di tempat (majelis) dan belum berpisah. Batasan melakukan
khiyar majlis yaitu selama penjual dan pembeli masih bertatap muka. Khiyar ini mengatur
proses transaksi di lokasi akad jual beli. Kedua pihak memiliki hak untuk memilih. Selain itu,
dapat meneruskan jual beli yang telah disepakati atau diakadkan dalam majelis tersebut.
A Penjual dan pembeli berpisah dari tempat semula. Biasanya, kedua belah pihak akan lebih
berhati-hati dengan memberikan pesan sebelum berpisah, seperti, “Kalau boleh sekarang, kalau
nanti saya tidak mau,
B Penjual dan pembeli berpisah dari tempat semula. Biasanya, kedua belah pihak akan lebih
berhati-hati dengan memberikan pesan sebelum berpisah, seperti, “Kalau boleh sekarang, kalau
nanti saya tidak mau,”
Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka
(mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau
salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.Namun jika salah satu
pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu,
dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara
mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR Bukhari
dan Muslim). Apabila keduanya sudah berpisah, maka tidak dapat melakukan akad jual beli
lagi.
Rasulullah SAW bersabda: “Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya
belum berpisah.” (HR Bukhari Muslim).
2.Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah khiyar yang disyaratkan oleh salah satu pihak saat berlangsungnya akan
jual beli. Khiyar inibiasa disebut sebagai garansi, jadi jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka
akad jual beli akan bbatal Masa berlaku khiyar syarat yaitu tiga hari, sebagai contoh seorang
pembeli berkata kepada penjual, “Saya mau membeli radio ini jika anak saya merasa cocok,”
jika radio tersebut sudah dicoba dan anaknya menyukainya, maka jual beli dapat diteruskan.
Namun jika anaknya tidak setuju, jual beli dapat dibatalkan. Hal ini merupakan hak memilih
berdasarkan persyaratan. Saat akad jual beli, kedua pihak dapat memilih untuk meneruskan
atau membatalkan proses transaksi jual beli dengan batasan waktu. Setelah waktu yang
ditentukan tiba, maka proses transaksi jual beli itu wajib dipastikan apakah dilanjut atau tidak.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan
jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hak pilih selama tiga
hari, jika kamu rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.”
(HR Ibnu Majah).Yaitu hak bagi pembeli untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya,
karena obyek yang dibeli belum dilihat ketika akad berlangsung. Khiyar ru’yah ini berlaku
untuk pembeli, bukan untuk penjual. Pengertian ru’yah dalam konteks ini ialah mengetahui
dan melihat sesuatu menurut cara yang seharusnya, bukan hanya sekedar melihat saja tetapi
juga meneliti, membuka dan membolak-balikkan. Kalau sekedar melihat saja, maka bukan
dinamakan ru’yah.
3.Khiyar ‘Aibi
Khiyar ‘aibi artinya khiyar cacat. Secara istilah, khiyar ‘aibi merupakan khiyar karena
adanya cacat barang yang dibeli namun tidak diketahui saat jual beli berlangsung. Khiyar ‘aibi
merupakan hak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad jual beli karena adanya
cacat atau aib pada barang. Biasanya hal ini terjadi saat pembeli sama sekali tidak mengetahui
dalam barang yang dibeli itu ada cacat. Contohnya, makanan kue yang sudah basi, buku yang
dalamnya ada beberapa halaman hilang atau sobek, dan lain sebagainya. Jika pembeli
mengetahui cacat barang saat telah berpisah, dia memiliki hak untuk mengembalikannya pada
penjual dan meminta ganti barang yang lebih baik atau meminta kembalikan uang sesuai
dengan perbandingan kerusakannya. Jika terjadi perselisihan, Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan
penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih.” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).
Maksud dari khiyar ini adalah pembeli mempunyai hak pilih untuk membatalkan akad jual beli
atau meneruskannya karena terdapat cacat pada barang yang dibelinya. Cacat barang tersebut
dapat mengurangi manfaat barang yang dibeli. Rasulullah Saw. Bersabda:
Artinya:”Dari Aisyah Ra. Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki membeli budak dan telah
tinggal bersamanya beberapa waktu, kemudian ditemukan cacat pada budak tersebut, lalu hal
itu diadukan kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. Memerintahkan supaya budak itu
dikembalikan kepadanya.” (HR. Abu Dawud).
Adapun syarat barang disebut cacat antara lain:
Cacat barang yang dibeli merupakan hal yang penting Contohnya adalah membeli kambing
untuk kurban ternyata telinganya sobek. Hal ini bisa membatalkan kurban yang dilakukan.
Cacat yang ada sulit Cacat barang terjadi ketika barang masih di tangan penjual. Haram
hukumnya bagi penjual untuk menjual barang yang cacat tanpa menjelaskan cacatnya kepada
pembeli. Sebagaimana hadis Nabi Saw.:
Artinya:”Seorang muslim itu saudara orang muslim, tidak halal bagi seorang muslim
menjual kepada saudaranya barang cacat kecuali ia jelaskan.” (HR. Ibnu Majah).

4.Khiyar Ta’yin
Khiyar ta’yin yaitu hak pilih pembeli dalam menentukan salah satu barang yang berbeda dalam
segi harga maupun kualitas yang telah disebutkan dalam akad jual beli. Misalnya, seorang
penjual berkata “Saya jual kepadamu salah satu dari dua kerudung ini yang akan kamu beli
dalam waktu tiga hari.” Lalu, calon pembeli menjawab “Saya terima.” Berdasarkan khiyar
ta’yin tersebut calon pembeli berhak memilih salah satu dari dua kerudung tersebut sesuai
dengan akad yang telah disepakati.
5.Khiyar Ru’yah
Yaitu hak bagi pembeli untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya, karena obyek yang
dibeli belum dilihat ketika akad berlangsung. Khiyar ru’yah ini berlaku untuk pembeli, bukan
untuk penjual. Pengertian ru’yah dalam konteks ini ialah mengetahui dan melihat sesuatu
menurut cara yang seharusnya, bukan hanya sekedar melihat saja tetapi juga meneliti,
membuka dan membolak-balikkan. Kalau sekedar melihat saja, maka bukan dinamakan
ru’yah. Dalam hal ini Rasulullah Saw. Bersabda:
Artinya:”Siapa saja yang membeli sesuatu yang belum dilihatnya, maka ia berhak khiyar
bila telah melihatnya.” (H.R. At-Tirmizi).
Seiring dengan semaraknya dunia usaha dan pesatnya kemajuan teknologi sehingga
mempermudah terjadinya transaksi jual beli, maka jual beli juga dapat dilakukan melalui
internet, telepon, SMS, dan lainnya. Pembeli dapat memesan barang dengan membuat
kesepakatan jenis, jumlah, tipe, dan hargabarang yang dilakukan tanpa melalui pertemuan
secara tatap muka. Barang dikirim dengan disertai faktur pengiriman, dengan tujuan agar
barang yang dikirim dapat diteliti apakah sudah sesuai pesanan atau ada cacat (aib). Jika
ternyata barang itu ada cacatnya maka barang yang dikirim bisa dikembalikan dan dapat diganti
dengan barang yang lain sesuai pesanan. Model penjualan seperti ini diperbolehkan menurut
hukum Islam karena antara penjual dan pembeli tidak ada yang dirugikan. Adapun contoh bukti
faktur pengiriman barang memuat: nama barang, harga barang, jumlah pesanan, tempat
pengiriman, tanda tangan penerima, dan sebagainya. Khiyar ru’yah dimiliki oleh salah satu
pelaku akad untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli pada suatu barang yang belum
pernah dilihat sebelumnya.
Misalnya, pembeli hendak membeli komputer tapi tidak pernah melihat barangnya
sebelumnya, maka orang tersebut memiliki khiyar ru’yah begitu melihat barangnya. Sah
apabila pembeli tersebut ingin melanjutkan atau membatalkan akad jual belinya.

Hikmah Khiyar
1.. Khiyar membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam.
2. Pembeli mendapatkan barang yang sesuai dengan yang diinginkannya.
3. Penjual tidak semena-mena dalam menjual barang kepada pembeli.
4. Terhindar dari unsur-unsur penipuan.
5. Khiyar menumbuhkan sikap saling percaya antara kedua belah pihak.
B. PENGERTIAN ASSALAM
Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia
bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
syari’at. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat
umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan). Bagi
masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak mengherankan
kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik sebenarnya dalam Islam
Inilah yang mendorong penulisan artikel singkat ini. Semoga uraian singkat ini bisa bermanfaat
bagi kita semua dan kaum Muslimin umumnya.
Pengertian Bai’us Salam (Jual Beli Sistem Inden atau Pesan)
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (‫)التَّ ْس ِليْم‬. Kata ini semakna dengan as-salaf ]1)[‫(ال َّسلَف‬
yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari. Pengertian
ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
‫كُلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيئًا ِب َما أَ ْسلَ ْفت ُ ْم فِي ْاْلَي َِّام ْالخَا ِليَ ِة‬
(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah
kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]
Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan dimajlis
akad.[2] Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria
yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung. Dengan
demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan jenis jual beli
lainnya, diantaranya:
1.Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini
dinamakan juga as-salaf.
2.Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad
3.Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan,
“Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima ton beras
kepadanya.”Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam.
Sedangkan penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara
pembayaran kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan barang
yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang salam).[4]
Hukum Bai’us Salam (Jual Beli Sistem Pesan)
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`ân
dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
1.Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :

ُ‫يَا أَي َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَيْن إِلَى أَ َجل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282].
Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga tempo
tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân. (Kemudian
beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. [Hadits ini dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no.
340 dan beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam asy-Syâfi’i
rahimahullah no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18].
Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah tidak
dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik pembayaran
maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah penyerahan barang maka itu
dinamakan bai’us salam.[5]
2.alam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
ْ ‫ف فِى ت َْمر ف َْليُ ْسل‬
‫ِف فِى َكيْل َم ْعلُوم‬ ِ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َمدِينَةَ َوهُ ْم يُ ْس ِلفُونَ فِى ال ِثِّ َم‬
َ َ‫ َم ْن أَ ْسل‬: ‫ار ال َّسنَةَ َوال َّسنَتَي ِْن فَقَا َل‬ َ ُ‫صلَّى للا‬
َ ‫قَد َِم النَّبِى‬
ُ َ َ ُ ْ
‫َو َوزن َم ْعلوم إِلى أ َجل َم ْعلوم‬
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa
memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran,
timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti
diungkapkan Ibnu al-Mundzir rahimahullah dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah
rahimahullah menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau rahimahullah menyatakan, “Semua
ulama yag kami hafal sepakat menyatakan as-salam itu boleh. Kebolehan akad jual beli salam
(pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin
Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu– menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan
jual beli ini boleh. Karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual
beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran
tunai sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah
dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu– mengatakan,
“Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan
syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan kemudahan dan
mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan seluruh larangan
Allâh.
Kebutuhan masyarakat Terhadap Bai’us Salam
Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang
memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk
menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual sampel produk mereka
(sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan uang kontan. Uang kontan ini bisa
mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan produk,
seperti untuk membeli bibit, alat, pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi kebutuhan
diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah produk siap,
mereka bisa menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah ditentukan.
Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan mendapatkan
produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam fihi) tidak boleh
ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja
Rukun Jual Beli Salam
Adapun syarat-syarat salam menurut Saprida (2016: 125) yaitu:
Uang hendaknya dibayar di tempat akad (pembayaran dilakukan terlebih dahulu) Barangnya
menjadi hutang bagi si penjual. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan.
Artinya jika waktunya tiba, barang tersebut harus sudah ada. Implikasinya memesan buah-
buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah. Ukuran barang jelas, baik
takaran, timbangan, ataupun bilangannya menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya. Sifat-sifat ini harus jelas sehingga
tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara penjual dan pembeli.
Disebutkan tempat menerimanya
Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu :
Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap.
Contoh, perusahaan A di kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri
tertentu kepada perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di majlis akad
(tempat transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke pelabuhan Tanjung Emas di
Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi.
Dalam contoh diatas, rukun jual beli salam sudah terpenuhi, yaitu :
Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan Toyota Modal
as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan Shighah (transaksi) yaitu ijab dan
qabul ketika transaksi sedang berlangsung
Syarat-Syarat Jual Beli Salam
1.Melaksanakan pembayaran saat perjanjian jual beli.
2.Penjual memiliki hutang berbentuk barang yang telah dibayar oleh pembeli.
3.Barang akan diberikan dalam tenggat waktu sesuai perjanjian.
4.Keterangan jelas mengenai barang (ukuran, jumlah, wujud) untuk menghindari
kesalahpahaman.
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-syarat sah.
Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua yaitu :
Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi 09/Thn
XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
1.Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan
pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang
yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain
sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh
kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria
ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama
ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti
benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat
mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang
disepakati ketika akad.
2.Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi)
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf
(mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus
dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika
pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah
menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan
hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun,
kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya
dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad salam agar
pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama
berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-
salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk
kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang
yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.”
3.Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang
dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam,
warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga
barang.
Syarat-Syarat Jual Beli Salam
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-syarat sah.
Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua yaitu :
Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi 09/Thn
XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
1.Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan
pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang
yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain
sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh
kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria
ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama
ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti
benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat
mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang
disepakati ketika akad.[12]
2.Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi)
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf
(mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus
dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika
pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah
menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan
hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun,
kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya
dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad salam agar
pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama
berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-
salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk
kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang
yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.”
3.Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang
dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam,
warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga
barang.
Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib menyebutkan jenis
beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal barangnya, kualitas dan kuantitasnya,
perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun kapan. Kriteria-kriteria ini pasti
berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenis,
kualitas, asal daerah dan tahun panennya. Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hadits di atas :
‫يء فَفِي َكيْل َم ْعلُوم َو َو ْزن َم ْعلُوم إلى أَ َجل َم ْعلُوم‬ َ َ‫من أَ ْسل‬
ْ ‫ف في َش‬
Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran,
timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
4.Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan
barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫إلى أَ َجل َم ْعلُوم‬
Sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
Juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
ُ‫يَا أَي َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَيْن إِلَى أَ َجل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-Baqarah/2:282]
.Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam jual beli salam.
5.Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada
waktunya
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo.
Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan spekulasi
perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam.
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka jual beli salam
tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini juga akan sangat
berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan
yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang
6.Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan
sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang
sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa
mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa
saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang
dari miliknya atau dari perusahaannya.
DAFTAR PUSTAKA
kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148; Syarhul Mumti’, Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 9/48; Master Textbook Fiqhul Mu’âmalât, Program S2
MEDIU, hlm. 225 dan al-Fiqhul Muyassar, hlm. 92
[2] Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148
[3] Nihâyatul Muhtâj Syarhu Minhâjit Thâlibîn, ar-Ramli. Lihat, kitab Buhûts Fiqhiyyah Fi
Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[4] Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[5] Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t tentang hal ini dalam Syarhil
Mumti’ 9/49
[6] Al-Mughni, 6/385
[7] Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 150
[8] Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/60
[9] Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187
Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187-188 dengan
penambahan dari penulis.
[11] Lihat, Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîhul Fiqh fiddin, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’;
di hlm. 150, Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 151 dan Buhûts Fiqhiyyah
Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/196
[12] Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/197.
[13] I’lâmul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/20
[14] Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/200
[15] Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/194
[16] Lihat, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/59.
https://www.gramedia.com/literasi/khiyar-majlis-adalah/

Anda mungkin juga menyukai