Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Antara Pemilik Sawah Dan Pengelola
(Studi Di Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)
Abstrak
Perjanjian penggarapan tanah pertanian dengan sistem bagi hasil telah dilaksanakan sejak dahulu
bahkan sudah turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya Pada masyarakat Desa Timbang
Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada awalnya bagi hasil tanah
pertanian ini lebih bersifat sosial untuk menolong sesama warganya dan tidak terlalu dianggap
sebagai suatu usaha bisnis, masyarakat tidak mengetahui adanya hukum positiv yang menagatur
tentang perjanjian bagi hasil yaitu UU Nomor 2 Tahun 1960. Permasalahan dalam penelitian ini
Apakah pelaksanaan bagi hasil di Desa Timbang Lawan telah memberi rasa keadilan bagi
Pemiliknya,Bagaimana hak dan kewajiban bagi hasil hasil tanah pertanian antara pemilik sawah dan
Penggarap,dan Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi si penggarap jika si pemilik tidak
memenuhi apa yang sudah ddisepakati di awal perjanjian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pelaksanaan Perjanjian bagi hasil tanah sudah dikenal lama oleh masyarakat timbang lawan
Langkat telah memberi rasa keadilan bagi pemiliknya, pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa
Timbang Lawan dilakukan dengan memakai hukum adat yang telah lama berjalan di masyarakat
timbang lawan Langkat. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya hukum positiv yang
mengatur tentang perjanjian bagi hasil yaitu undang undang nomor 2 tahun 1960, adanya perma no
4 tahun 1964 dan peraturan lainya yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil. Hak dan kewajiban
dalam bagi hasil tanah pertanian adalah bahwa hak pemilik tanah merupakan kewajiban bagi
penggarap dan/atau sebaliknya. Walaupun tidak diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian bagi
hasil, namun pemilik dan penggarap telah memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban untuk
masing-masing pihak. Perlindungan hukum bagi Penggarap jika Pemilik tidak mensepakati apa yang
diperjanjiakan, UU Nomor 2 Tahun 1960 memberikan perlindungan kepada penggarap dan pemilik,
Namun dari hasil penelitian masyarakat di Desa timbang lawan banyak yang tidak mengetahui
adanya Undang undang Nomor 02 tahun 1960, sehingga Penyelesaian sengketa antara pemilik dan
penggarap di desa Timbang Lawan diselesaikan melalui musyawarah bersama. Terkadang
penyelesain sengketa juga melibatkan lurah. Belum pernah ada yang menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan.
Kata Kunci: Perjanjian, Bagi hasil Pertanian, Pemilik Sawah, Pengelola, Desa Timbang
Lawan Kecamatan Bahorok
Abstract
In the community of Timbang Lawan Village, Bahorok District, Langkat Regency, North Sumatra,
initially this agricultural land profit sharing was more social in nature to help fellow citizens and is not
considered as a business venture, the community does not know of any positive law governing profit-
sharing agreements, namely Law Number 2/1960. The problems in this study include: Has the
implementation of profit-sharing in Timbang Lawan Village given a sense of justice? for the owner,
what are the rights and obligations for the production of agricultural land between the owner of the
field and the cultivator, and what is the form of legal protection for the cultivator if the owner does not
fulfill what was agreed at the beginning of the agreement. The results showed that the implementation
of the land production sharing agreement had been known for a long time by the weigh opponent
Langkat community and had given a sense of justice to the owner, the implementation of the profit
sharing agreement in the Timbang Lawan village was carried out using customary law that had been
running for a long time in the weigh opponent Langkat community. Most of the people are not aware
of the existence of positive laws governing profit-sharing agreements, namely Law Number 2 of 1960,
the existence of Perma Number 4 of 1964 and other regulations governing profit-sharing agreements.
The rights and obligations in the production sharing of agricultural land are that the rights of the land
owner are the obligations of the cultivators and/or vice versa. Although not explicitly agreed in the
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 369
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
profit sharing agreement, the owners and cultivators have understood what the rights and obligations
of each party are. Legal protection for cultivators if the owner does not agree on what is agreed upon,
Law Number 2 of 1960 provides protection for cultivators and owners, however, from the results of
research, many people in the village of weighing opponents do not know of the existence of Law
Number 02 of 1960, so that the settlement of disputes between the owners and cultivators in Timbang
Lawan village are resolved through joint deliberation. Sometimes dispute resolution also involves the
lurah. No one has ever resolved a dispute through the courts.
1 3
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal.51. Sejarah Pembentukan Undang-Udang pokok Agraria, isi
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, dan Pelaksanaan , Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 116.
4
Sejarah Pembentukan Undang-Udang pokok Agraria, isi A.P. Parlindungan, Undang-Undang Bagi
dan Pelaksanaan , Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 116. Hasil di Indonesia, Bandung: Mandar Maju: 1991, hal. 2.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 370
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
sebelumnya oleh kedua belah pihak. Dalam Pada masyarakat Desa Timbang
perkembangannya, perjanjian bagi hasil Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten
kemudian mendapat pengaturan dengan Langkat, Sumatera Utara, pada awalnya bagi
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang hasil tanah pertanian ini lebih bersifat sosial
Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan untuk menolong sesama warganya dan tidak
pada hukum adat di Indonesia. terlalu dianggap sebagai suatu usaha bisnis
Perjanjian tentang tanah termasuk dalam dan oleh karena itu untuk mengetahui, perlu
hukum tanah dalam keadaan bergerak, dilakukan penelitian hukum yang bersifat
karena dalam perjanjian tentang tanah ini hak- empiris dengan menggunakan metode
hak manusia atas tanah bergerak, yaitu pendekatan yuridis empiris, dengan maksud
beralih dari seseorang kepada orang lain. untuk menguraikan bagaimana
Dengan demikian, perjanjian tentang tanah ini sesungguhnya pelaksanaan perjanjian bagi
adalah merupakan suatu perbuatan hukum hasil tanah pertanian dalam pelaksanaannya
yang bertujuan untuk memperoleh hak-hak di Desa Timbang Lawan, Kecamatan
atas tanah ataupun memindahkan hak-hak Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera
atas tanah.5 Utara, bila ditinjau dari segi aspek hukum.
Perjanjian tentang tanah dapat dibagi Secara umum pelaksanaan perjanjian
6
atas 2 (dua) golongan yaitu: bagi hasil tanah pertanian di Desa Timbang
1. Perjanjian tentang tanah bersegi satu Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten
atau sepihak (eenzijdig) berarti perolehan Langkat, Sumatera Utara, dimana
hak. masyarakat petani masih berpedoman pada
2. Perjanjian tentang tanah bersegi dua kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sejak
(tweezijdig) berarti peralihan hak. lama. Masyarakat masih menggunakan
Menurut penjelasan Undang-Undang hukum adat sebagai acuan. untuk
Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 1 Huruf d bahwa melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah
hasil tanah ialah hasil tanah bersih, yaitu hasil pertanian. Sistem bagi hasil tersebut menjadi
kotor setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, dan sebuah isu hukum dimana dinilai kurang
biaya untuk menanam (tandur) dan menguntungkan dibanding sistem sewa,
panen.Salah satu prinsip dasar dari hukum karena resiko usaha yang disebabkan oleh
agraria nasional (UUPA) yaitu “Landreform” kegagalan tidak hanya ditanggung petani atau
atau “Agraria Reform” Prinsip tersebut dalam pengelola tetapi ditanggung pula oleh pemilik
ketentuan UUPA diatur dalam Pasal 10 ayat lahan sendiri.
(1) dan (2) yang memuat suatu asas yaitu,
bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri yang dalam pelaksanaanya diatur tersebut diatas, dapat dirumuskan beberapa
5 7
Rosnidar Sembiring, Op.Cit.,hal.127. Undang-Undang No 5 Tahun 1960
6
Ibid., hal 127.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 371
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
1. Bagaimana pelaksanaan bagi hasil di Desa Penelitian ini bersifat deskriptif analitis
Timbang Lawan telah memberi rasa artinya menguraikan atau mendeskripsi data
keadilan bagi Pemiliknya? yang diperoleh secara normatif dan empiris,
2. Bagaimana hak dan kewajiban bagi hasil lalu diuraikan untuk melakukan telaah
hasil tanah pertanian antara pemilik sawah terhadap data tersebut secara sistematis.
dan Penggarap? Analitis dimaksudkan gambaran fakta yang
3. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum diperoleh secara cermat bagaimana
10
bagi si penggarap jika si pemilik tidak menjawab.
memenuhi apa yang sudah ddisepakati di Sifat penelitian yang digunakan dalam
awal perjanjian? penulisan tesis ini adalah bersifat deskiptif
analitis. yaitu suatu metode yang digunakan
C. Metode Penelitian untuk menggambarkan dan menganalisisi
mengenai situasi atau kejadian dan
Metode adalah proses, prinsip dan tata
menerangkan hubungan antara kejadian
cara memecahkan suatu masalah sedangkan
tersebut dengan masalah yang akan diteliti.11
penelitian adalah pemeriksaan secara
Penelitian ini bermaksud
berhati- hati, tekun dan tuntas terhadap suatu
menggambarkan, menelaah, menjelaskan
gejala untuk menambah pengetahuan
dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
manusia, maka metode penelitian dapat
teori maupun praktek dari hasil penelitian di
diartikan sebagai proses prinsip – prinsip dan
lapangan.12
tata cara untuk memecahkan masalah yang
2. Sumber Data
dihadapi dalam melakukan penelitian.8
Sumber data dalam penelitian ini adalah
8Metode penelitian yang digunakan dalam
berasal data primer yang diperoleh dari
penelitian tesis ini adalah:
penelitian lapangan sedangkan data
1. Jenis dan Sifat penelitian
sekunder dengan menggunakan bahan
Jenis penelitian yang digunakan dalam
hukum yaitu: Bahan Hukum Primer.
penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis
Bahan hukum primer merupakan bahan
empiris. Penelitian yuridis empiris yaitu suatu
hukum yang mengikat atau yang membuat
metode pendekatan yang dipergunakan untuk
orang taat pada hukum seperti peraturan
memecahkan objek penelitian dengan
perundang-undangan, dan putusan hakim.
meneliti data sekunder terhadap data primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam
di lapangan, karena hukum yang pada
penelitian ini yakni:13
kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh
manusia yang hidup dalam masyarakat.9
8 11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ronny Hanitijo Sumitro, Metodologi
Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, Penelitian Hukm dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia,1990, hlm.9.
12
hal. 6 Soerjono Soekanto (selanjutnya Soerjono
9
Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Soekanto I), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:
Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Universitas Indonesia Press, 1982, hlm. 63
13
hal.43 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian
10
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum, Cetakan ke-16, Rajawali Pers, Jakarta, 2018, h.
Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu media 113.
Publishing, 2012, hal. 47.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 372
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
14 15
Ibid hal 114 Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982, hlm. 63
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 373
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
17
16
Burhan Bungin, Analisis Data Ibid., h. 112.
Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan 18
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum
Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Adat (Bandung; Mandar Maju, 1992) h. 227
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 53 19
Pasal 1 huruf a UU No. 2 Tahun 1960,tentang bagi hasil
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 374
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
Pemilik itu bisa juga merupakan badan mengenai perjanjian bagi hasil tanah
hukum, lebih jauh dijelaskan dalam pertanian ini.
penjelasan Pasal 2 “ Bagi masyarakat adat yang penting
dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur
No. Kesepakatan f % subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana
dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada
1. Ada 30 100
kesepakatan (mufakat) yang biasa dikenal
2. Tidak Ada - -
dengan istilah konsensualisme.
JUMLAH 30 100
No. Pengetahuan UU
Tabel 1. Pengetahuan Responden terhadap f %
Bagi Hasil
Undang-Undang bagi hasil. (30 Responden)
1. Tahu 3 7.5
Sumber: Data Primer. 2. Tidak Tahu 27 92.5
Pengetahuan responden terhadap Undang-
JUMLAH 30 100
Undang Bagi Hasil Nomor 2 Tahun 1960
dapat dilihat pada Data tabel di atas. Tabel 2. Kata sepakat dalam perjanjian bagi
Perjanjian bagi hasil pada masyarakat hasil. (30 Responden)
Timbang Lawan, umumnya berdasarkan adat Sumber: Data Primer
setempat, tidak berdasarkan undang- undang Dari Data Primer tabel 2 di atas, dari 30
bagi hasil. 20 (tiga puluh) responden 100 % (seratus
Walaupun ada juga responden yang persen) menyatakan bahwa, pihak-pihak
mengetahui Undang-Undang tersebut ada 3 yang mengadakan transaksi bagi hasil
(tiga) responden (7.5 %) dan responden yang berdasarkan kata sepakat. Dengan
menyatakan ketidaktahuan dengan adanya tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 mengenai pokok-pokok perjanjian berarti
tersebut (68,75%).21 perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau
Jadi, kenyataannya yang ada di Desa detik tercapainya konsensus. Jadi, kata
Timbang Lawan perjanjian bagi hasil ini dibuat sepakat dalam perjanjian bagi hasil di Desa
berdasarkan hukum adat/ kebiasaan Timbang Lawan ini yang menjadi landasan
setempat. Karena, masih banyaknya lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil
masyarakat yang tidak mengetahui adanya tanah pertanian.22
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini juga Sah nya perjanjian bagi hasil tanah
sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh pertanian menurut UU Nomor 2 Tahun 1960,
dan berkembang dengan kebiasaan yang adalaa: 23
dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam a. Dalam Pasal 3 ayat (1) dirumuskan, bahwa
menentukan bagaimana mekanisme semua perjanjian bagi hasil harus dibuat
oleh pemilik dan penggarap sendiri secara
20 22
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif, Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021,pukul Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul
10.00 wib 10.00 wib
21 23
Ibid UU No. 2 Tahun 1960 Tentang perjanjian
bagi hasil tanah
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 375
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
tertulis dihadapan Kepala Desa tempat ketentuan yang disebutkan dalam surat
letaknya tanah yang bersangkutan, perjanjian itu, khususnya mengenai hak-
dengan dipersaksikan oleh 2 orang, hak dan kewajiban-kewajiban mereka
masing-masing dari pihak pemilik dan masing-masing. Jika pemilik dan
penggarap. Maksud dari ketentuan ini penggarap mengadakan syarat- syarat
ialah: yang tidak diperbolehkan atau
1. Agar dapat dihindarkan terjadinya bertentangan dengan penetapan kepala
keragu-raguan di kemudian hari, yang daerah mengenai imbangan pembagian
mungkin menimbulkan perselisihan hasil tanahnya, maka hal itu hendaknya
mengenai hal sesuatu yang diberitahukan pula pada mereka untuk
bersangkutan dengan perjanjian itu ditiadakan atau diganti dengan syarat lain.
(jangka waktu perjanjian, hak-hak dan c. Oleh Kepala Desa hendaknya juga
kewajiban- kewajiban pemilik dan lain diperiksa, apakah pemilik berwenang
sebagainya). mengadakan perjanjian bagi hasil
2. Agar dapat diselenggarakan pula mengenai tanah yang bersangkutan.
pengawasan, baik secara preventif, Apakah penggarap memenuhi syarat
supaya ketentuan-ketentuan dari UU sebagai yang disebutkan dalam Pasal 2,
Nomor 2 Tahun 1960 itu diindahkan yaitu bahwa ia harus seorang petani.
sebagaimana mestinya.Jika pemilik Sebagaimana diketahui, maka jika
tanah belum dewasa ia diwakili oleh penggarap dengan perjanjian yang
walinya, yang bertindak untuk dan diadakan itu akan mempunyai tanah
atas namanya, jika pemilik sudah garapan lebih dari 3 hektare maka
sangat lanjut usianya atau sakit diperlukan izin dari Camat yang
sehingga tidak dapat datang sendiri bersangkutan (Surat Keputusan Nomor
kehadapan Kepala Desa untuk SK. 322/Ka/1960). diperlukan izin dari
menandatangani surat perjanjian itu, Camat kalau jangka waktu perjanjian
maka dapatlah pemilik tersebut kurang dari apa yang ditentukan dalam
diperkenankan menunjuk kuasa Pasal 14 (yaitu untuk sawah 3 tahun dan
untuk menandatangani atas tanah kering 5 tahun). Untuk
namanya. Didalam hal yang mempersingkat waktu, maka izin itu dapat
demikian, maka didalam surat diminta bersamaan dengan diajukannya
perjanjian yang bersangkutan supaya surat perjanjian yang bersangkutan
dicatat pula alasan, mengapa pemilik kepada Camat untuk disahkan.
tidak dapat menandatanganinya d. Jika penggarap itu adalah suatu badan
sendiri. hukum, maka sebelum perjanjian bagi
b. Oleh Kepala Desa yang bersangkutan hasil diadakan dengan pemilik daerah
pada waktu diadakan perjanjian Swantantra Tingkat II (sekarang daerah
hendaknya dijelaskan kepada pemilik dan Kabupaten/Kota) dari daerah tempatnya
penggarap ketentuan-ketentuan dari UU tanah yang akan dibagihasilkan itu, yaitu
Nomor 2 Tahun 1960 serta ketentuan- kalau badan hukum tersebut berbentuk
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 376
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
koperasi tani atau koperasi desa. bermanfaat, bagi pemilik tanah maupun
Mengenai badan-badan hukum lainnya bagi pembangunan dan pembukaan tanah
izin itu harus diminta kepada Menteri yang masih merupakan padang ilalang
Agraria (Pasal 2 ayat (2) jo. Surat atau hutan semak belukar. Dalam
Keputusan Nomor SK./322/Ka/1960). menentukan diizinkan atau tidaknya suatu
Dalam penjelasan UU Nomor 2 Tahun badan hukum menjadi penggarap, harus
1960 dinyatakan, bahwa pada asasnya diadakan penilaian dari sudut kepentingan
badan-badan hukum apapun juga dilarang desa atau kepentingan umum. Didalam
untuk menjadi penggarap, karena dalam pemberian izin kepada koperasi desa dan
perjanjian bagi hasil ini penggarap koperasi tani itu hendaknya diminta
haruslah seorang petani, tetapi ada pertimbangan pada instansi-instansi
kalanya, bahwa justru untuk kepentingan setempat yang bersangkutan, misalnya
umum atau kepentingan desa, sesuatu pejabat-pejabat dari jawatan agraria,
badan hukum perlu diberi izin untuk koperasi, pertanian dan lain-lain yang
menjadi penggarap atas tanah-tanah yang dianggap perlu.
terlantar di desa-desa. Dalam hal ini e. Surat-surat perjanjian bagi hasil dibuat
hanyalah koperasi-koperasi tani atau desa dalam rangkap tiga, yang asli dibubuhi
yang akan diizinkan dan bukan badan- materai, disimpan pemilik atau penggarap
badan hukum lain, seperti PT, CV dan lain sebagai turunan. Lembar kedua dan ketiga
sebagainya. Di samping itu adakalanya tidak ditanda tangani oleh pemilik,
juga sesuatu badan hukum yang penggarap dan para saksi, tetapi
berbentuk Perseroan Terbatas atau merupakan turunan yang diberikan oleh
Yayasan perlu dipertimbangkan untuk Kepala Desa. Dengan demikian tak perlu
diberi izin menjadi penggarap. Misalnya bermaterai. Surat perjanjian itu dicatat oleh
dalam hubungannya dengan usaha Kepala Desa di dalam buku register.
pembukaan tanah secara besar-besaran f. Oleh karena keadaan daerah tidak selalu
di daerah Sumatera, Kalimantan dan lain- sama, maka kiranya kuranglah bijaksana
lainnya. daerah – daerah itu masalah jika besarnya biaya administrasi yang
pembukaan tanah yang pertama, jadi boleh dipungut oleh Kepala Desa
dalam tahun- tahun yang pertama, ialah berhubung dengan pekerjaannya yang
pekerjaan berat yang umumnya perlu bersangkutan dengan pembuatan surat-
dibantu dengan tenaga mesin, seperti surat perjanjian itu ditetapkan secara
traktor dan lain sebagainya, dalam hal ini sentral. Lebih tepatlah kiranya bilamana
suatu perusahaan pembukaan tanah yang penetapan itu diadakan untuk tiap-tiap
berbentuk bukan koperasi, akan tetapi Daerah Swatantra Tingkat II dipersilahkan
Yayasan atau Perseroan Terbatas kiranya untuk menetapkan besarnya biaya yang
dapat dipertimbangkan juga untuk dapat dimaksudkan itu, untuk daerahnya
diterima sebagai penggarap dalam batas masing-masing. Untuk tidak menambah
waktu yang ditentukan. Pengusahaan beratnya beban pihak-pihak yang
tanah yang dimaksudkan itu akan sangat bersangkutan maka penetapan biaya
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 377
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
tersebut janganlah hendaknya melampaui hal-hal yang memaksa dan terbatas terhadap
Rp. 10,- (sepuluh rupiah) untuk tiap tanah-tanah yang biasanya diusahakan
perjanjian, yang harus dibayar oleh sendiri oleh pemilik. Misalnya jika pemilik
pemilik, kecuali penggarap adalah suatu perlu naik haji, sakit keras atau hal lain
badan hukum, dalam hal mana sebagainya dan hanya menghendaki
penggaraplah yang membayarnya. perjanjian untuk jangka waktu satu tahun saja,
g. Surat-surat perjanjian yang ditandatangani karena tanah yang dikerjakan sendiri pada
oleh pemilik, penggarap, para saksi dan tahun berikutnya akan diusahakan kembali.
Kepala Desa secepat mungkin diajukan Demikian pula kiranya diberikan izin kepada
kepada Camat untuk memperoleh orang yang menyewa tanah selama masa
pengesahan. jangka waktu kurang dari yang ditentukan
h. Surat-surat perjanjian yang diterima oleh menurut Pasal 4, serta dapat membagi
Camat itu dicatat dalam buku register. hasilkan tanah tersebut kepada yang
Oleh Camat diadakan pemeriksaan menyewa sesuai jangka waktu lamanya
apakah segala sesuatu yang sudah persewaan tersebut. Agar pihak-pihak yang
memenuhi atau tidak bertentangan dengan berkepentingan dapat segera memperoleh
ketentuan-ketentuan dari UU Nomor 2 tahun kepastian mengenai perjanjian yang
1960 serta dengan penetapan Kepala Daerah dilakukan tersebut, maka hendaknya para
mengenai imbangan pembagian hasil camat memberi keputusan untuk
tanahnya. Jika diperlukan izin bagi penggarap mengesahkan perjanjian yang diterima dalam
karena tanah garapannya melebihi 3 hektare waktu paling lama 1 (satu) minggu.
(Pasal 2 ayat (2) jo surat keputusan Nomor Perjanjian-perjanjian yang telah
SK. 322/Ka/1960) maka hendaknya mendapat pengesahan Camat diumumkan
diperhatikan apa yang disebut dalam oleh Kepala Desa dalam kerapatan desa/adat
Penjelasan UU Nomor 2 tahun 1960, yang yang akan datang berikutnya.
harus dipakai sebagai pedoman. Pada Namun dari hasil penelitian yang Penulis
asasnya seorang petani yang sudah lakukan di Kecamatan Timbang lawan,
mempunyai tanah 3 hektare tidak Pelaksanaan perjanjian bagi hasil tidak sesuai
diperkenankan untuk mendapat tanah dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun
garapan lagi, tetapi kalau luas tanah yang 1960, Lurah/kepala desa bahkan camat tidak
melebihi 3hektare itu tidak seberapa (sebagai memiliki andil dalam pelaksanaan perjanjian
pedoman ditetapkan paling banyak ½ bagi hasil yang dilaksanakan oleh masyarakat
(seperdua) hektare maka tidaklah ada Desa Timbang Lawan. Masyarakat hanya
keberatan untuk diberi izin). Di dalam hal-hal memakai hukum adat, dimana kebiasaan
yang sama dapat diberikan izin untuk masyarakat hanya melakukanya secara
mengadakan perjanjian dengan jangka waktu
yang kurang dari 3 tahun untuk sawah dan 5
tahun untuk tanah kering telah diberikan
contohnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2)
di atas. Izin itu hanya dapat diberikan dalam
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 378
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
kesepakatan berdua, dan tidak pernah diatur Timbang Lawan “Jangka waktu perjanjian
secara tertulis, tidak ada keharusan dibuat di bagi hasil ini selama 4 bulan. Maksimalnya 1
muka pejabat-pejabat adat (kepala tahun bisa 3 kali panen, dan minimal 1 tahun
persekutuan hukum) ataupun Lurah/kepala 2 kali panen. Tergantung alam dan cuaca.
desa. Bagi hasil itu sendiri berasal dari hukum Namun desa timbang lawan untuk sawah
sudah memiliki hasil yang maksimal
adat, yang biasanya disebut juga dengan hak
menggarap, yaitu hak seseorang untuk dikarenakan sudah ada sistem perairan dan
Jangka waktu perjanjian Bagi Hasil diatur Semua kaidah hukum yang dilakukan
dalam Pasal 4 Undang Undang No 2 Tahun mempunyai tujuan utama untuk mencapai
1. Perjanjian bagi hasil diadakan untuk sekali bahwa dengan penerapan kaidah
waktu yang dinyatakan di dalam surat hukum tersebut keadilan benar-benar akan
tercapai. Hal ini disebabkan, pertama, kaidah
perjanjian tersebut pada Pasal 3, dengan
ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu hukum itu sendiri mempunyai sifat yang
tahun dan bagi tanah kering sekurang- karena kaidah hukum itu sendiri merupakan
ciptaan manusia. Kedua, karena disepanjang
kurangnya 5 (lima) tahun.
2. Dalam hal-hal yang khusus, yang proses penegakan dan penerapan hukum
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda banyak kemungkinan terjadinya distrosi.
daripada yang ditetapkan dalam ayat (1) milik pihak lain. Menurut Hukum Adat
di atas, bagi hasil yang biasanya imbangan pembagian hasil di tetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak yang
diusahakan sendiri oleh yang
mempunyainya. umumnya tidak menguntungkan bagi pihak
3. Jika pada waktu berakhirnya perjanjian penggarap. Hal ini disebabkan karena tanah
bagi hasil di atas tanah yang yang tersedia untuk di bagi-bagikan tidak
seimbang dengan jumlah petani yang
bersangkutan masih terdapat tanaman
yang belum dapat dipanen, maka memerlukan tanah garapan.
24 26
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif, Pasal 4 Undang-Undang No 2Tahun 1960
27
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
10.00 wib. Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul
25
Ibid 10.00 wib.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 379
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
28
Pasal 10 Undang –Undang Pokok Agraria
29
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021,pukul
10.00 wib.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 380
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
bisa disepakati bersama. Perjanjian bagi hasil pemilik dan penggarap telah memahami apa
didasarkan atas rasa kepercayaan di antara yang menjadi hak dan kewajiban untuk
kedua pihak yang mana pemilik sawah masing-masing pihak.
menginginkan petani pengarap mulai dari Dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil,
mengolah hingga memetik hasilnya dengan maka pemilik berhak atas bagian tanah yang
pembagian berdasarkan kesepakatan yang ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat
sesuai dengan hukum kebiasaan yang II setempat. Dilain pihak yang menjadi
30
berlaku. kewajiban pemilik sekaligus merupakan
Perjanjian bagi hasil pada pada mulanya kewajiban penggarap seperti yang diatur
tunduk pada ketentuan–ketentuan hukum pada, yakni: Larangan pembayaran uang atau
adat. Hak dan kewajiban masing–masing pemberian benda apapun juga kepada pemilik
pihak, yaitu pemilik tanah maupun penggarap yang bersangkutan dengan maksud untuk
ditetapkan atas dasar kesepakatan berdua, memperoleh hak mengusahakan tanah
32
dan tidak pernah diatur secara tertulis, tidak pemilik dengan perjanjian bagi hasil.
ada keharusan dibuat di muka pejabat- Pelanggaran terhadap larangan tersebut
pejabat adat (kepala persekutuan hukum). pada point di atas berakibat, bahwa uang
Hal ini dapat menimbulkan keragu- yang dibayarkan atau harga benda yang
raguan hukum dan perselisihan antara pemilik diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik
tanah dan penggarap. Bagi hasil itu sendiri dari hasil tanah termaksud dalam Pasal 7.33
berasal dari hukum adat, yang biasanya Larangan adanya pembayaran oleh
disebut juga dengan hak menggarap, yaitu siapapun, termasuk pemilik dan penggarap,
hak seseorang untuk mengusahakan kepada penggarap atau pemilik dalam bentuk
pertanian di atas tanah milik orang lain apapun juga yang mempunyai unsur-unsur
dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi ijon.
antara kedua belah pihak berdasarkan Dengan tidak mengurangi ketentuan
persetujuan, dengan pertimbangan agar pidana Pasal 15, maka apa yang dibayarkan
pembagian hasil tanah antara pemilik dan tersebut pada point 3 di atas, tidak dapat
penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.
agar terjamin pula kedudukan hukum yang Kewajiban membayar paj pajak mengenai
layak bagi penggarap dengan menegaskan tanah yang bersangkutan dilarang untuk
hak-hak dan kewajiban, baik dari penggarap dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau
maupun pemilik.31 penggarap itu adalah pemilik tanah yang
Hak pemilik tanah merupakan kewajiban bersangkutan.
bagi penggarap dan/atau sebaliknya. Dengan berakhirnya perjanjian bagi
Walaupun tidak diperjanjikan secara tegas hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu
dalam perjanjian bagi hasil tersebut, namun maupun karena salah satu sebab pada Pasal
30 32
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif, Ibid
33
Seketeris Desa Timbag Lawan, Kecamatan Bahorok 20 Pasal 7 UU Undang-Undang No 2Tahun
November 2021,pukul 10.00 wib. 1960
31
K. Wantjik Saleh, Hak anda Atas Tanah,
Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1987, hal.51
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 381
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
34 35
Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 2 tahun 1960 Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul
10.00 wib.
36
Ibid
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 382
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
37
Pasal 3 undang nomor 2 tahun 1960
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 383
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
38 40
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif, Hasil wawancara dengan Bapak Haidir
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021,pukul warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada
10.00 wib. tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib.
41
Hasil wawancara dengan Bapak Haidir
39
Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada
1960 tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib.
42
Ibid
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 384
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
43 45
Ibid Aspek Keadilan dalam perjanjian bagi hasil
44
Hasil wawancara dengan Bapak Haidir tanah pertanian di Desa Sedah kecamatan Jenengan
warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada Kabupaten Ponorogo, Riski Citra Dewi, Universitas
tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib Sebelas Maret Surakarta, 2011
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 385
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
perimbangan pembagian hasil sebagai dapat dilihat bahwa apa yang berlaku pada
berikut: 60% (enam puluh perseratus) untuk masyarakat di Desa Timbang Lawan
penggarap tanah. 20% (dua puluh perseratus) Kecamatan Bahorok dalam melakukan
untuk pemilik tanah. 20% (dua puluh perjanjian bagi hasil, umumnya mengikuti
perseratus) untuk Pemerintah yang ketentuan sebagaimana diatur menurut adat
diserahkan kepada Panitia Landreform kebiasaan yang berlaku di tempat tersebut.
Kecamatan setempat.46 Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Pada umumnya masyarakat desa oleh Ter Haar, bahwa perjanjian paruh hasil
Timbang Lawan menggunakan sistem tanam dapat diakhiri setiap kali panen.48
kontrak dimana 1 rantai tanah dikira 4 kaleng. Menurut para Kepala Desa dan
1 kaleng dinilai 10 kg. Dimana dipakai dulu perangkat serta Camat di daerah Desa
biaya sewa tanahnya selama 4 bulan sampai Timbang Lawan Kecamatan Bahorok,
panen baru dibagikan hasil sewanya. Hasil ketentuan hukum adat tersebut sudah cukup
panen biasanya 1 rantai paling sedikit 12 memadai dan bahkan jika ketentuan UU
kaleng dan maksimalnya sampai 20 kaleng Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan
tergantung cara merawat sawah. Namun yang jangka waktu minimal 3 tahun untuk sawah
pasti si pemilik tanah setidaknya mendapat 4 dan 5 tahun untuk tanah kering itu diterapkan
kaleng setiap 1 rantai. Ukuran 1 rantai 20x20 kepada masyarakat, dikhawatirkan akan
Meter = 400 meter persegi. Untuk bibit benih, menimbulkan masalah baru, dimana banyak
perawatan, dan pupuk seluruhnya pemilik yang akan enggan menyerahkan
dibebankan kepada penggarap. Pemilik tanahnya untuk diusahai orang lain
hanya menunggu menikmati hasil setelah berdasarkan perjanjian bagi hasil,
selesai panen. Namun pembayaran perjanjian dikarenakan jangka waktu yang lama. Hal ini
bagi hasil juga di bayar seluruhnya di bagian tentu saja akan berdampak negatif artinya
47
terahkir setelah hasil panen keluar. penggarap akan sulit memperoleh tanah
Ketentuan mengenai jangka waktu garapan.49
perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian Berakhirya perjanjian bagi hasil tanah
yang berlaku di Kecamatan Bahorok pertanian di Desa Timbang Lawan yang
Kabupaten Langkat sebagaimana yang telah khususnya antara pemilik tanah dan
diuraikan di atas, sangat berbeda dengan penggarap tanah dapat terjadi karena telah
ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 2 berakhirnya jangka waktu dan dapat juga
Tahun 1960, dalam Pasal 4 ayat (1) terjadi sebelum berakhirnya jangka waktu.
menegaskan bahwa perjanjian bagi hasil Sebanyak 70 % responden menyatakan
untuk lahan sawah sekurang-kurangnya 3 alasan berakhirnya perjanjian bagi hasil
tahun dan tanah kering minimal 5 tahun. Disini karena penggarap sudah tidak mampu
46 48
Pasal 1 Peraturan mentri pertanian dan B. Ter Haar Bzn, Op.Cit. h. 108.
49
agraria nomor 4 tahun 1964 tentang penetapan Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
perimbangan khusus dalam pelaksanaan perjanjian bagi Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul
hasil 10.00 wib.
47
Hasil wawancara dengan Bapak Haidir
warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada
tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 386
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
mengerjakan lagi tanah yang digarapnya berakhirnya berjanjian yang tidak dilaporkan
sehingga tanah tersebut di kembalikan oleh kepala desa.
kepada pihak pemilik tanah. Kendala kendala penghambat
Alasan lain pemutusan perjanjian terlaksananya perjanjian bagi hasil di Desa
bagi hasil dikarenakan apabila perjanjian bagi Timbang Lawan menurut Undang-Undang
hasil atau sewa menyewa sudah dimulai Nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
namun tiba tiba pemilik tanah ingin hasil yang sering dikeluhkan oleh petani
menjualkan tanahnya kepada orang lain apabila pelaksanaan perjanjian bagi hasil
dikarenakan butuh dana secepat mungkin. mengikuti aturan Undang-Undang adalah
Maka dalam hal ini si pembeli tanah yang masalah proses yang rumit dan jangka waktu
akan mendapatkan perjanjian bagi hasil yang lama untuk pembuatan perjanjian bagi
50
nantinya. hasil.52
Dalam Undang-undang nomor 2 tahun Selain itu kurangnya informasi
1960 ditentukan bahwa berakhirnya mengenai undang undang no 2 tahun 1960.
perjanjian harus berdasarkan kesepakatan Dan ketiadaan data tentang petani yang
para pihak dan dilaporkan oleh kepala desa. terlibat dalam perjanjian bagi hasil tanah
Hal ini juga tidak sesuai dengan Undang- pertanian. sehingga tidak ada data yang
51
undang Nomor 2 Tahun 1960. akurat mengenai jumlah petani yang
Para responden mengatakan proses melaksanakan perjanjian bagi hasil di Desa
berjanjian yang tidak dihadapan kepala desa Timbang Lawan.
maka mengenai berakhirnya perjanjian tidak Perjanjian yang dilakukan karena
perlu dilaporkan oleh kepala desa. kesepakatan para pihak yang hanya
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa dilakukan secara lisan, menimbulkan resiko.
Timbang Lawan tidak sesuai dengan Undang- Pihak yang sering menanggung risiko adalah
Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang para Penggarap dikarenakan biaya bibit,
perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasil perawatan, dan pupuk ditanggung penggarap
masih dilakukan secara hukum kebiasaan dahulu. Sementara si pemilik tanah
yang telah mereka laksanakan secara turun- menunggu sampai tiba hasil sawah sudah di
temurun. Biasanya diawali oleh pemilik tanah panen. Dalam pelaksananaanya perjanjian ini
yang menawarkan petani penggarap untuk juga sering terjadi sengketa antara pemilik.
menggarap lahan pertanian sehingga Sengketa yang terjadi dalam perjanjian
perjanjian tersebut berbentuk lisan. Sehingga bagi hasil, umumnya terjadi karena perjanjian
mengenai jangka waktu perjanjian tidak tidak dibuat secara tertulis (lisan), terkadang
ditentukan, tidak ada kepastian hukum para pihak lupa, berapa biaya yang telah
mengenai hak dan kewajiban, serta dikeluarkan oleh pemilik maupun penggarap
untuk pengolahan tanah/lahan seperti biaya
50 52
Hasil wawancara dengan Bapak Haidir Hasil wawancara dengan Bapak Haidir
warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada
tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib
51
Pasal 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun
1960
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 387
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
membajak, bibit, upah aron, pupuk, obat- maupun tentang berakhirnya jangka waktu
obatan dan lain-lain, sehingga timbul perjanjian.53
sengketa mengenai jumlah biaya yang harus Dan dari kenyataan di lapangan bahwa
dipotong/dikurangi dari hasil panen sebelum para responden belum pernah menyelesaikan
dibagi kepada masing-masing pihak. sengketa melalui pengadilan, karena
Alasan lain perselisihan sering terjadi kalaupun ada sengketa biasanya hanya
dikarenakan objek tanah yang digarap dijual menyangkut hal-hal yang kecil saja, sehingga
oleh penggarap. Pemilik tanah membutuhkan dapat diselesaikan melalui musyawarah
uang mendesak sehingga menjual tanahnya antara kedua belah pihak, kadangkala
disaat tanah tersebut masih digarap oleh diikutsertakan keluarga untuk
penggarap. menyelesaikannya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentang perjanjian Bagi Hasil, di undangkan
sejak tanggal 7 januari 1960 dan berlaku
untuk seluruh masyarakat. Undang- Undang
ini bertujuan untuk memperbaiki nasib para
penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-
benar dilaksanakan, menurut Boedi Harsono
akan mempunyai efek yang sama dengan
penyelenggaraan redistribusi tanah kelebihan
Tabel 3. Penyelesaian Sengketa antara tanah absentee terhadap penghasilan para
Pemilik dan Penggarap di Desa Timbang petani penggarap, karena menurut Undang-
Lawan Kecanatan Bahorok (30 Responden).
Undang ini mereka akan menerima bagian
Dari data tabel di atas, diketahui bahwa yang lebih besar dari hasil tanahnya54
bila ada sengketa antara pemilik dan Undang Undang ini memberikan
penggarap baik mengenai biaya pengolahan perlindungan kepada Penggarap,
tanah maupun tentang jangka waktu sebagaimana dalam Pasal 5 menyebutkan
berakhirnya perjanjian bagi hasil mapun tanah “Dengan tidak mengurangi berlakunya
yang tiba tiba dijual oleh pemilik, maka ketentuan dalam pasal 6, maka perjanjian
menurut 1 responden (3%) diselesaikan bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan
melalui musyawarah bersama antara pemilik hak milik atas tanah yang bersangkutan
dan penggarap saja, dan 3 responden (10%) kepada orang lain. Didalam hal termaksud
dimusyawarahkan bersama lurah, sedangkan dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban
selebihnya 26 responden (87%) belum pernah pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu
mengalami sengketa dalam perjanjian bagi beralih kepada pemilik baru. Jika penggarap
hasil, baik karena imbangan pembagian hasil meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu
53 54
Hasil wawancara dengan Bapak Haidir Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
warga desa Timbangan kecamatan Bahorok, pada Jilid I, Jembatan,2005, Jakarta,
tanggal 20-November-2021, Pukul 15.00 wib
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 388
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak pihak, setelah usahanya untuk lebih
55
dan kewajiban yang sama. dahulu mendamaikan mereka itu tidak
Undang undang memberikan berhasil.
perlindungan kepada penggarap, dimana jika 3. Didalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini
tanah yang digarap dijual kepada pihak lain, Kepala Desa menentukan pula akibat
maka perjanjian bagi hasil tetap berjalan dan daripada pemutusan itu.
beralih kepada pemilik baru. Dan jika 4. Jika pemilik dan/atau penggarap tidak
penggarap meninggal dunia maka perjanjian menyetujui keputusan Kepala Desa untuk
bagi hasil beralih atau dilanjutkan oleh ahli mengijinkan diputuskannya, perjanjian
warisnya. sebagai yang dimaksud dalam ayat 1
Pemutus perjanjian bagi hasil menurut UU pasal ini dan/atau mengenai apa yang
Nomor 02 tahun 1960 adalah: dimaksud dalam ayat 3 diatas, maka
1. Pemutusan perjanjian bagi-hasil sebelum soalnya dapat diajukan kepada Camat
berakhirnya jangka waktu perjanjian untuk mendapat keputusan yang mengikat
termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya kedua belah fihak.
mungkin dalam hal-hal dan menurut 5. Camat melaporkan secara berkala kepada
ketentuan-ketentuan dibawah ini: 56 Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II
a. atas persetujuan kedua belah fihak semua keputusan yang diambilnya
yang bersangkutan dan setelah mereka menurut ayat 4 pasal ini.
laporkan kepada Kepala Desa; Pemutus perjanjian bagi hasil menurut
b. dengan izin Kepala Desa atas tuntutan UU nomor 02 Tahun 1960 hanya bisa
pemilik, didalam hal penggarap tidak dilakukan dengan kesepakatan kedua belah
mengusahakan tanah yang pihak, dan harus dilaporkan kepada kepala
bersangkutan sebagaimana mestinya desa. Jika pemilik dan/atau penggarap tidak
atau tidak memenuhi kewajibannya menyetujui keputusan Kepala Desa untuk
untuk menyerahkan sebagian dari hasil mengijinkan diputuskannya, perjanjian
tanah yang telah ditentukan kepada sebagai yang dimaksud dan/atau mengenai
pemilik atau tidak memenuhi bahan- apa yang dimaksud maka soalnya dapat
bahan yang menjadi tanggungannya diajukan kepada Camat untuk mendapat
yang ditegaskan didalam surat keputusan yang mengikat kedua belah fihak.57
perjanjian tersebut pada pasal 3 atau Undang Undang Nomor 02 Tahun 1960,
tanpa izin dari pemilik menyerahkan mengatur hak hak pemilik dan penggarap.
penguasaan tanah yang bersangkutan Serta memberikan perlindungan kepada para
kepada orang lain. pihak dalam pelaksanaan perjanjian bagi
2. Kepala Desa memberi izin pemutusan hasil.
perjanjian bagi-hasil yang dimaksud dalam Hasil penelitian di Desa Timbang Lawan,
ayat 1 pasal ini dengan memperhatikan pada umumnya masyarakat lebih memilih
pertimbangan-pertimbangan kedua belah sistem perjanjian Bagi Hasil mendasarkan
55 57
Pasal 5, Pasal 6 UU No 2 Tahun 1960 Pasal 6 Undang Undang No 2 Tahun 1960
56
Pasal 6 UU No 2 Tahun 1960
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 389
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
pada Hukum Adat setempat (kebiasaan sehingga tidak memerlukan acara secara
setempat secara turun temurun). formal.
Kendala – kendala yang muncul Dari Pengamatan penelitian dilapangan
mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun ketidak bekerjanya bentuk perjanjian
1960 Di Desa Timbang Lawan tidak dapat mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2
terlaksana / tidak dapat di pergunakan dalam Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil di
pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil adalah Desa Timbang Lawan, faktor utama yang
58
karena : mempengaruhi adalah budaya masyarakat
1. Hampir seluruh masyarakat di Desa setempat. Mereka lebih mengutamakan
Timbang Lawan tidak mengetahui budaya tolong menolong dalam melakukan
keberadaan Undang- Undang Nomor 2 perjanjian penggarapan sawah melalui bagi
Tahun 1960 untuk mengatur perjanjian hasil secara Adat, yaitu secara lisan atau
Bagi Hasil. Hal ini terjadi karena dengan kepercayaan dan kesepakatan
kurangnya kegiatan penyuluhan dari tentang imbangan pembagian hasilnya.
pihak pemerintah khususnya kegiatan Budaya demikian sangat melekat pada
penyuluhan dari pihak pemerintah masyarakat setempat, sehingga apabila
Kecamatan, khususnya tentang mereka melakukan penggarapan sawah
penyuluhan pertanian. dengan Bagi Hasil mendasarkan pada
2. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Undang-Undang, mereka masih takut menjadi
Timbang Lawan yang relatif rendah, bahan omongan (gunjingan) masyarakat,
sehingga sulit untuk diajak maju, dengan khususnya para penggarap yang masih
belajar sesuatu hal yang baru. Mereka tetangga dalam satu desa. Rasa gotong
lebih memilih kegiatan disawah atau ke royong dan kebersamaan dan saling tolong
kota untuk berdagang atau sebagai menolong masih melekat pada pola
buruh industri atau pabrik dari pada kehidupan masyarakat di Desa Timbang
belajar menerima perubahan ataupun Lawan.
ikut berpartisipasi dalam penyuluhan –
III. Kesimpulan
penyuluhan.
A. Kesimpulan
3. Faktor budaya yang sangat melekat
1. Pelaksanaan Perjanjian bagi hasil tanah
pada diri masing masing masyarakat
sudah dikenal lama oleh masyarakat
Desa Timbang Lawan yang masih
timbang lawan Langkat telah memberi
mempercayai penggunaan adat
rasa keadilan bagi pemiliknya,
kebiasaan secara turun tmurun yang
pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa
biasa mereka lakukan untuk
Timbang Lawan dilakukan dengan
melaksanakan perjanjian Bagi Hasil
memakai hukum adat yang telah lama
karena ada pengaruh unsure-unsur
berjalan di masyarakat timbang lawan
tolong menolong antara sesama
58
Hasil wawancana dengan Ahmad Syarif,
Seketeris Desa Timbag Lawan, 20 November2021, pukul
10.00 wib.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 390
Vol. 3, No. 2, Juni 2022
C.Makalah/Penelitian/Kertas Kerja
D.Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahorok,Langkat
https://infoalamat.com/desa-kelurahan-di-
kecamatan-bahorok-kabupaten-langkat-
sumatera-utara
E.Wawancara