Anda di halaman 1dari 10

M.

Sulaeman Jajuli: Kepastian Hukum Gadai Tanah 221

KEPASTIAN HUKUM GADAI TANAH DALAM HUKUM ISLAM


DI KABUPATEN BOGOR

M. Sulaeman Jajuli
FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jl. KH Ahmad Dahlan, Cireundeu, Jakarta Selatan
E-mail: jaka_jajuli@yahoo.com

Abstract. Legal Certainty of Mortgage Land under Islamic law in Bogor. Mortgage practice in Indonesian society
is universal sociological phenomenon and occurs in every place. It is conventional and carries out from generation to
generation. For citizen of Bogor, the mortgage land has been done since long time ago. This goes without proof documents
as legal certainty. Meanwhile, academically, legal certainty is a theory that has not been developed by Islamic jurists.
Keywords: legal certainty, mortgage land, Islamic law

Abstrak. Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Hukum Islam di Kabupaten Bogor. Praktik gadai di masyarakat
Indonesia merupakan gejala sosiologis yang bersifat universal dan terjadi di setiap tempat.Praktik gadai berkembang
di masyarakat Indonesia dewasa ini bersifat konvensional dan berdasarkan kebiasaan yang telah terjadi secara turun-
temurun.Bagi masyarakat Kabupaten Bogor, gadai tanah sudah lama dilakukan. Praktik gadai tanah yang terjadi selama
ini berjalan tanpa bukti dokumen sebagai kepastian hukum.Sementara itu, secara akademik, jaminan kepastian hukum
merupakan teori yang belum banyak dikembangkan oleh para ahli hukum Islam.
Kata kunci: kepastian hukum, gadai tanah, hukum Islam

Pendahuluan Gadai dalam Pelbagai Perspektif


Pelaksanaan gadai merupakan tradisi yang telah ter­ Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah
biasa dilakukan masyarakat. Karena kebutuhan yang yang bersifat sementara. Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 5
mendesak maka gadai tanah menjadi solusi untuk Tahun 1960 mengatur tentang Peraturan Dasar Pokok-
memenuhi hajat manusia. Hal itu beralasan karena pokok Agraria menyatakan bahwa:
dalam akad gadai barang yang dijadikan sebagai Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud
agunan dapat diambil kembali dan agunan menjadi dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak
hak miliknya ketika seseorang memiliki modal untuk usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
penebusan. bertentangan dengan UU ini dan hak-hak tersebut
Syariat Islam memerintahkan umatnya untuk saling diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
tolong menolong baik dalam bentuk pinjaman gadai, Ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 56 Prp.
hukum Islam menjaga kepentingan murtahin agar Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
tidak dirugikan. Oleh sebab itu, diperbolehkan me­ menyatakan bahwa:
minta agunan sebagai jaminan utang. Apabila râhin Barang siapa yang menguasai tanah pertanian dengan
tidak dapat melunasi pinjaman, maka agunan tersebut hak gadai yang pada waktu dimulai berlakunya
dapat dijual. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal peraturan ini (29 Desember 1960) sudah berlangsung
7 (tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah
dengan istilah rahn (gadai).1 itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
Penjelasan pasal 7 UU No.56/Prpu/1960 menurut
Naskah diterima: 9 November 2014, direvisi: 28 Februari 2015, Boedi Harsono menyatakan:
disetujui untuk terbit: 11 Maret 2015.
1
Rachmat Syafe’i, “Konsep Gadai dalam Fiqh Islam: antara Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak
Nilai Sosial dan Komersial”, makalah di IAIN Syarif Hidayatullah, gadai sejak berlakunya peraturan ini (yaitu tanggal 1
(1999), h. 1. Januari 1961 yang sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun
222 Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

atau lebih), wajib dikembalikan tanah itu kepada Jual gadai merupakan penyerahan tanah serta
pemilik dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada pem­bayaran kontan dengan ketentuan râhin berhak
selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, mendapatkan kembali tanahnya melalui jalan pe­
maka dapat dihukum dengan hukuman kurungan nebusan. Gadai tanah tidak dijelaskan dalam Kitab
selama-lamanya 3 (tiga) bulan/atau denda sebanyak- Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) karena
banyaknya Rp 10.000,-.2
tanah merupakan benda tak bergerak dikategorikan
Undang-undang tersebut di atas secara teoritis me­ dalam hipotik.
nunjukkan pentingnya kepastian hukum.
Kasus sederhana yang terjadi dalam sengketa gadai
Kepastian hukum yang ada lahir dari filsafat tanah adalah banyaknya tanah yang dijadikan agunan
hukum yang menyatakan bahwa hukum perlu adanya tidak diambil kembali oleh pihak râhin. Alasan­nya biaya
ketegasan sehingga masyarakat memiliki pedoman yang pengambilan kembali tanah tersebut, pihak murtahin
jelas dalam melakukan atau tidak melakukan suatu menambah bayaran tanah dengan harga yang lebih
perbuatan. Akan tetapi, dalam realitas masyarakat yang murah dari harga yang seharusnya berlaku pada masa itu.
terjadi di Indonesia telah menjadikan hukum adat
Kasus gadai tanah memerlukan adanya kepastian
sebagai kepastian hukum sehingga Undang-undang ini
hukum sebagai penjelasan konkrit antara pihak râhin
tidak berjalan. Akibatnya banyak kendala khususnya
dan murtahin. Ketika tanah digarap selama 7 (tujuh)
murtahin yang merasa tidak puas dengan keputusan
tahun, maka tanah sudah harus dikembalikan kepada
Undang-undang tersebut.
pihak râhin sesuai dengan penjelasan Undang-undang.
Penjelasan pasal 7 di atas menyatakan bahwa tanah Lebih dari pada itu ketika pemilik tanah (râhin) me­
yang tergadai selama 7 tahun lebih harus dikembalikan ninggal dunia maka dimiliki oleh pihak penerima gadai
kepada pemiliknya tanpa uang tebusan. Râhin sebagai (murtahin) apalagi akad dilakukan tanpa bukti tertulis
pihak pemilik tanah merasa puas dengan keputusan dan tanpa ada saksi tetapi lebih menekankan kepada
dan peraturan tersebut, tanah dijadikan sebagai agunan kepercayaan satu sama lain. Ketika pemilik tanah
akan dikembalikan setelah tujuh tahun tanpa adanya meninggal dunia, tanah tersebut akan diambil hak
uang tebusan sedikitpun. Namun bagi murtahin yang miliknya oleh pihak murtahin dan ini sering terjadi di
terbiasa meminjamkan uang dan perbuatannya hampir masyarakat.4
seperti rentenir, adanya peraturan Perpu tersebut
Kepastian hukum dibutuhkan dalam tindakan
merasa haknya dikurangi dan menolak pengembalian
gadai tanah. Kepastian hukum tersebut merupakan
agunan yang dikelolanya sebelum marhûn bih diterima.
teori yang belum banyak dikembangkan oleh para ahli
Murtahin telah lupa dengan laba yang didapatkan, hukum Islam. Mereka hanya berfokus pada ketentuan-
laba akan terus berlipat dan yang mengemuka adalah ketentuan formal yang menyangkut tindakan kejahatan
tuntutan tebusan pada awal perjanjian yaitu kesepakatan baik perdata maupun pidana. Padahal, secara tersirat
transaksi bahwa gadai berakhir setelah piutang dibayar. dan tersurat dalam Alquran (Q.s. al-Baqarah: 283)
Jika hal ini terjadi, maka hukum gadai berakibat negatif. mengajarkan agar kepastian hukum menjadi bagian
M. Zuhailli menyatakan, “Transaksi gadai tanah penuh dari praktik tindakan ekonomi.
mubâdzir, ‘uyûb, banyak keprihatinan, kekurangan dan
Transaksi gadai tanah merupakan salah satu transaksi
penuh problematika”.3
yang bersumber dari hukum adat sampai sekarang masih
Pelbagai ekses akan terus mengundang perselisihan tetap berlaku di lingkungan hukum adat Indonesia.
jika murtahin tidak berperilaku layaknya rentenir. Ekses Pembentuk Undang-undang beranggapan bahwa
itu timbul selama tidak didukung dokumen-dokumen gadai tanah mengandung unsur pemerasan, maka di­
tertulis antara pihak râhin dan murtahin sehingga tidak keluar­kanlah aturan Pasal 7 No. 56/Prpu/1960 yang
adanya kepastian hukum. Ekses ketidakpastian hukum bertujuan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang
akan muncul persengketaan terhadap marhûn. Oleh berdasarkan hukum adat Indonesia, namun lembaga
karena itu, banyak pelaku murtahin menjadi rentenir dan peradilan dalam penerapannya masih tidak konsisten
diperlukannya peraturan baru untuk menjamin kepastian sehingga menimbulkan adanya dualisme yaitu gadai
hukum agar tidak merugikan di salah satu pihak. tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum
adat.
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
2008), h. 391. 4
Hasil wawancara sederhana antara penulis dengan salah seorang
3
Muhammad Zuhaylî, al-‘Uqûd al-Musammá, (Damaskus: tokoh masyarakat yang ada di Kabupaten Bogor pada hari Rabu, 21
Mathba’ah Khâlid Ibn al-Wâlid, 1983), h. 47. November 2012 pukul 14.00.
M. Sulaeman Jajuli: Kepastian Hukum Gadai Tanah 223

Hakikat dan fungsi gadai dalam Islam pada dasarnya Praktik gadai yang terjadi di Indonesia khususnya
semata-mata memberikan kesempatan saling tolong di Kabupaten Bogor terlihat sangat merugikan pihak
menolong, marhûn hanya sebagai jaminan bukan ke­ râhin. Râhin menggadaikan tanah karena adanya ke­
pentingan komersial dengan mengambil keuntungan butuhan. Hukum adat yang berlaku, râhin akan ter­
sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan ikat kepada lintah darat (rentenir) yang bertindak
orang lain,5 ayat Alquran surat al-Baqarah ayat 283 sebagai pelepas uang. Konsep gadai dalam ketentuan
men­ jelaskan bahwa gadai merupakan bentuk dari hukum adat yang ada di Kabupaten Bogor umumnya
konsep mu’âmalah, di mana sikap tolong menolong mengandung unsur ekspolitasi. Murtahin menerima
dan sikap amanah dengan menggunukan akad al- gadai pada umumnya memiliki ekonomi yang lebih
tabarru’ (segala macam perjanjian yang menyangkut kuat dibandingkan dengan râhin.6
transaksi dan tidak mengejar keuntungan (nonprofit Menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam
transaction). Akad ini dilakukan dengan tujuan gadai, maka tidak boleh diadakan syarat-syarat, seperti
tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, dikatakan, “Apabila râhin tidak mampu melunasi
sehingga tidak disyaratkan adanya imbalan apapun utang­nya hingga waktu yang telah ditentukan, maka
kecuali dari Allah) bukan akad al-tijâri (segala macam marhûn menjadi milik murtahin sebagai pembayaran
perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar hutang ketika akan melakukan akad.” Sebab ada ke­
keuntungan (profit orientation). Akad ini bertujuan mungkinan pada waktu pembayaran yang telah di­
mencari keuntungan dan bersifat komersial) sangat tentukan hutang, harga marhûn lebih kecil dari pada
ditonjolkan. Pada dasarnya gadai adalah untuk mem­ hutang râhin yang harus dibayar dan dapat merugikan
beri tingkat kepercayaan lebih tinggi kepada pihak pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan harga
yang berkepentingan. marhûn pada waktu pembayaran yang telah ditentukan
Hikmah dalam perjanjian rahn (gadai) terjadi jika lebih besar jumlahnya dari pada hutang yang harus
suatu transaksi dapat melindungi kepentingan dua dibayar, sehingga dapat merugikan pihak râhin.7
pihak, râhin dapat menerima bantuan dengan kesediaan Penerima gadai berhak menjual marhûn apabila
mem­berikan agunan guna pelunasan hutang. Murtahin râhin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada
juga lebih nyaman dari pembayaran yang tertunda saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai
dan perjanjian gadai merupakan antisipasi seandainya (marhûn) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman
pinjaman terabaikan. (marhûn bih) dan sisanya dikembalikan kepada râhin.8
Penjualan marhûn dilakukan ketika râhin benar-
Fungsi dan Tujuan Gadai benar tidak mampu mengembalikan utangnya,
Fungsi gadai sebenarnya memberikan kepastian murtahin boleh menjual tanah gadai tersebut setelah
hukum yang jelas dengan adanya porsi lebih besar dengan adanya persetujuan dari râhin, sisa dari uang yang telah
menaikan status jaminan dari tingkat minimal ke-level dijual harus dikembalikan kepada râhin, karena râhin
maksimal. Kedudukan lahan yang seharusnya sekunder yang berhak mengelola tanah dan pemilik utama dari
menjadi primer, sebab tanah yang digadaikan tidak akan tanah tersebut. Namun ketika murtahin menjaga tanah
terealisasi tanpa ada jaminan. Tanah produktif sangat dan mengolahnya, namun keuntungan yang didapatkan
berarti dan menjadi incaran utama murtahin. Sehingga melebihi dari piutang râhin.
jika jaminan merupakan sesuatu yang tidak berharga dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang mempunyai
tidak bermanfaat maka dapat dipastikan perjanjian gadai hak atas marhûn adalah pemberi gadai/râhin, walaupun
tanah tidak pernah ada. marhûn itu berada di bawah kekuasaan murtahin.9
Tujuan kepastian hukum terhadap perjanjian gadai Dasar hukum hal dimaksud sesuai hadits Nabi Saw.
tanah untuk menghindarkan terjadinya penghisapan yang artinya:
manusia oleh manusia dengan istilah lain disebut lintah
darat juga menghilangkan kebiasaan perilaku riba yang
diharamkan dalam syariat Islam yang telah merajalela 6
Muhammad Said Ramadhân al-Buthi, Fiqh al-Sîrah, cet. Ke-6,
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1977), h. 392.
di masyarakat. 7
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‘âmalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 110.
8
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika,
5
Muhammad dan Sholikhul Hadi, Pegadaian Syariah: Suatu 2008), h. 40.
Alternatif Konstruksi Sistem Pegadaian Nasional, (Jakarta: Salemba 9
Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshari, Problematika Hukum
Diniyah, 2003), h. 63. Islam Kontemporer, edisi ke-3, (Jakarta: LSIK, 1997), h. 333.
224 Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

َ ‫َال َر ُس ْو ُل اهللِ َص‬


‫لى‬ َ ‫َع ْن أَِب ُه َرْيـ َرَة َر ِض َي اهللُ َعنْ ُه ق‬
َ ‫ ق‬: ‫َال‬ digadaikan kepadanya. Dengan demikian murtahin
mendapatkan dua keuntungan; Pertama, uang atau
‫احبِ ِه الَّ ِذي‬
ِ ‫الرْه َن ِم ْن َص‬ َّ ‫ الُيـ ْغلِ ُق‬:‫اهللُ َعلَيْ ِه َو َسل ََم‬
َّ ‫الرْه ُن‬ emas akan kembali sesuai dengan pengeluaran yang
diberikan dan kedua, dapat mengeksploitasi tanah
ُ ‫َرَهنَ ُه لَُه ُغنُ ُم ُه َو َعلَيْ ِه غ‬
‫ُرُم ُه‬ râhin. Bila râhin tidak mampu membayar hutangnya
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Saw. ber­ maka tanah tersebut dibeli dengan harga murah yang
sabda: Gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari tidak lazim dalam akad jual beli tanah yang berlaku.
manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia
wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan Larangan tidak boleh memanfaatkan gadaian
dan biaya).10 tanah itu bersifat universal, baik dalam gadai, jual
Hadits ini memberikan penjelasan bahwa marhûn beli maupun sewa menyewa atau transaksi lainnya.14
hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Melihat argumen Imam Syafi’i sedikit lemah, maka
Kepemilikan marhûn tetap melekat pada râhin. Imam Ibnu Qudamah menambah alasan lain bahwa
Oleh karena itu, manfaat atau hasil dari marhûn itu memanfaatkan jaminan dengan dua persyaratan yaitu,
tetap berada pada râhin kecuali manfaat atau hasil pemakainnya harus jelas dan untuk berapa lama, bila
dari murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa ketentuan ini dapat terlaksana dengan baik, maka riba
pemanfaatan marhûn oleh murtahin yang meng­akibat­ akan hilang dengan sendirinya.15
kan turun kualitas marhûn tidak dibolehkan kecuali Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian
diizinkan oleh râhin. 11 hutang, namun dalam gadai terdapat jaminan. Riba
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak terjadi dalam gadai apabila akad gadai ditentukan
dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka bahwa râhin harus memberikan tambahan kepada
boleh dijadikan sebagai khadam (penjaga), akan tetapi murtahin ketika membayar hutang atau ketika akad
apabila harta benda gadai berupa sawah, kebun, dan gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat ter­
se­macamnya maka murtahin tidak boleh mengambil sebut dilaksanakan.
manfaatnya12 Temuan penulis didapatkan dari hasil wawancara
Sebelum Islam hadir di Bogor pada abad ke-18, dengan Camat di Kecamatan Rancabungur bahwa di
praktik gadai tanah terbiasa dilakukan masyarakat. Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor pekerjaan
Buku yang menjelaskan tentang sejarah Bogor dikata­ utama masyarakatnya adalah petani, tanah yang di­
kan bahwa masyarakat di Bogor sudah terbiasa me­ kelola bukan tanah milik pribadi tetapi tanah gadaian,
lakukan gadai tanah. Pelaksanaan gadai dilakukan hampir 80% tanah tersebut telah dimiliki orang lain
oleh masyarakat jika mereka merasa terdesak dan dan keuntungan dari hasil olahan tanah tersebut di­
mem­ butuhkan uang. Kebiasan yang dilakukan itu ambil seluruhnya oleh murtahin. Râhin bekerja di
terus menerus terjadi dengan menggunakan hukum tanahnya sendiri hanya mendapatkan gaji di bawah
adat yang berlaku sampai sekarang.13 Kedatangan upah minimum regional (UMR). Hal seperti inilah
Islam bukan mencari pertentangan antara adat dengan yang terjadi di masyarakat Kecamatan Rancabungur
konsep hukum Islam yang telah sempurna. al-‘Urf Kabupaten Bogor.16
dan al-‘Âdah dalam gadai tanah telah ada sejak jaman Râhin memberikan tanahnya kepada murtahin
Belanda sampai sekarang berlaku turun temurun di sebagai agunan/jaminan atas pinjaman uang yang
Kabupaten Bogor. dibutuhkan, sampai beberapa tahun lamanya tanah
Murtahin memiliki dana lebih berupa uang dan emas tersebut diolah dan diambil hasilnya oleh murtahin
sehingga dapat memperluas sawahnya dengan mencari sampai keuntungan yang didapatkan dari marhûn me­
petani lain (râhin) yang tidak mampu agar tanah râhin lebihi dari uang yang dipinjamkan. Bila hal ini terjadi,
maka unsur riba akan terus timbul karena murtahin
10
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Kitab
al-Mawârid al-Dzam-ân (no.1123), ‘Abd al-Razzaq dalam kitab al-
Mushannaf (no.15033), Dâruquthni dalam kitab al-Sunan (3/32 no. 14
Fathi Durainy, al-Fiqh al-Muqâran ma‘a al-Madzâhib,
126), Abû Dawûd dalam kitab Sunan Abû Dawûd (no.187), al-Syâfi‘î (Damaskus: Thabarin, 1982), h. 551.
dalam kitab Tartîb al-Musnad (no. 568). 15
Ibn Qudamah, Abi Muhammad Abdillâh Ibnu Ahmad, al-
11
Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshari, Problematika Hukum Mughnî, Tahqîq. ‘Abdullâh bin ‘Abd al-Muhsin al-Turkî dan ‘Abd al-
Islam Kontemporer, edisi ke-3, h. 42. Fatah Muhammad al-Hulwu, cet.II, jilid VI, (Kairo: Hajar, 1412 H),
12
Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshari, Problematika Hukum h. 431.
Islam Kontemporer, edisi ke-3, h. 75. 16
Hasil wawancara penulis dengan camat Rancabungur pada
13
Tim Penulis Sejarah Bogor, Bogor Kota Hujan, (Bogor, Unpak hari Rabu, tanggal 22 Mei 2012, pukul 13.30 di kantor Kecamatan
Press, t.t), h. 10. Rancabungur.
M. Sulaeman Jajuli: Kepastian Hukum Gadai Tanah 225

mendapatkan keuntungan berlipat ganda, berbeda pelaksanaan gadai tanah namun gadai dalam arti
dengan râhin menjadi pekerja di tanahnya sendiri. hukum adat yang sudah berlaku dan berkembang di
Hasil laba garapan atau keuntungan dari gadai masyarakat selama ini. Adapun ketika memahami gadai
tanah yang produktif, subur tentu bisa didapat­ kan dalam hukum Islam, banyak masyarakat yang belum
ke­untungan yang berlipat ganda. Masalah garapan mengetahui gadai dalam hukum Islam. Apalagi ketika
berbicara mengenai kepastian hukum gadai tanah
tanah marhûn, tolak ulurnya menurut para ahli fikih
yang berkaitan dengan syarat dan rukun gadai dalam
sesuai dengan pertimbangan masing-masing. Di antara
Islam, mereka belum paham dan belum mengetahuinya
mereka ada yang mengatakan keuntungan dari gadaian
dengan baik oleh karena itu akad yang digunakan adalah
tersebut legal dan semua ulama mengatakan kalau
akad fasid karena syarat dan rukun dalam pelaksanaan
keuntungan itu illegal tidak sesuai syariat Islam.
gadai tidak terpenuhi.
Temuan sementara wawancara penulis dengan
be­berapa narasumber dari lima desa di Kecamatan Tabel 2
Rancabungur Kabupaten Bogor. Para petani merasa Hasil Kesimpulan Wawancara dengan Pelaku Gadai (râhin dan
kecewa dengan perlakuan gadai tanah yang terjadi saat murtahin)

ini. Kerugian petani sebagai râhin dan keuntungan No Pertanyaan Kesimpulan Jawaban Kesimpulan
murtahin tidak sesuai dengan hukum Islam dan
hukum agraria tanah (Hukum Nasional). Lebih dari 1 Pemahaman Masyarakat di 4 80,94%
pelaku gadai (empat) kecamatan, Masyarakat
itu, pelaku utama rentenir dan lintah darat adalah tentang 8 (delapan) desa telah mengetahui
orang-orang yang berilmu dan mengerti agama Islam Gadai Tanah mengetahui definisi definisi dan
dalam hukum gadai tanah menurut perkembangan
(para kyai atau para ustaz), merekalah yang menjadi adat yang hukum adat dan gadai tanah
murtahin dengan memiliki tanah yang sangat luas berlaku dan pelaku gadai tanah dalam hukum
berkembang menjadikan definisi adat.
hasil dari gadaian.17 selama ini. tersebut sebagai alasan
mereka melakukan
gadai. Bagi murtahin,
Tabel 1 melakukan gadai
Jumlah Pelaku Gadai tanpa Kepastian Hukum18 tanah yang terpenting
adalah membantu
No Nama Desa Jumlah Pelaku Gadai Keterangan râhin sekaligus mencari
keuntungan dengan
tanpa Kepastian Hukum menerima hasil gadaian
1 Bantar Sari 96 % dari 480 pelaku gadai 460 orang sebanyak-banyaknya.

2 Bantar Jaya 87 % dari 491 pelaku gadai 427 orang 2 Masyarakat Masyarakat di 8 Dari 320
mengetahui (delapan) desa râhin dan
3 Ciampea 90 % dari 340 pelaku gadai 306 orang dan memahami konsep murtahin yang
Udik memahami gadai tanah banyak diwawancarai
konsep gadai unsur eksploitasi yang 67% râhin
4 Ciampea 90 % dari 474 pelaku gadai 427 orang tanah namun dilakukan murtahin, menggadaikan
Jero menggadaikan karena kebutuhan yang tanah karena
karena sangat mendesak dan dalam keadaan
5 Arco 78 % dari 392 pelaku gadai 306 orang terpaksa tidak ada barang lain terpaksa.
yang bisa dijual maka
6 Lebak 86 % dari 371 pelaku gadai 319 orang menggadai merupakan
Wangi cara termudah
dilakukan râhin untuk
7 Karekel 92 % dari 380 pelaku gadai 349 orang mendapatkan bantuan.

8 Pamijahan 89 % dari 264 pelaku gadai 235 orang 3 Pelaku gadai Pelaku gadai sudah 21,56% pelaku
mengetahui lama melakukan gadai tanah,
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan solusi gadai. Sehingga khususnya
yang harus ketika ada masalah râhin merasa
masyarakat yang ada di 8 (delapan) desa, 4 (empat) dihadapi dalam pelaksanaan keberatan jika
kecamatan Kabupaten Bogor di atas dapat disimpulkan ketika ada gadai atau terdapat tanah yang
masalah yang kesalahpahaman antara digadaikan
bahwa masyarakat sebagai responden telah mengetahui terjadi dalam râhin dan murtahin harus diambil
pelaksanaan dalam waktu dan murtahin
gadai. biaya yang dikeluarkan ketika tidak
17
Hasil wawancara penulis dengan beberapa petani di lima desa pelaku gadai maka mampu
yaitu Desa Bantar Sari, Desa Bantar Jaya, Desa Rancasari, Desa Pasir mereka mengetahui membayar
Gaok, dan Desa Rancabungur, wawancara dilakukan pada setiap hari bahwa pengambilan hutang.
tanah oleh murtahin
Rabu bulan Februari 2011. bukan solusi sebenarnya
18
Data didapatkan dari hasil survei yang penulis lakukan pada walaupun itu menjadi
bulan Mei 2013 dengan membandingkan data di 8 (delapan) desa biasa dilakukan
dalam, “Buku Kuning Desa.”
226 Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

Tabel 3
4 Pemahaman Dari hasil wawancara 86,19% dari
Hasil Wawancara dengan Camat
pelaku gadai didapatkan jawaban 320 pelaku
terhadap bahwa pelaku gadai gadai belum
konsep gadai banyak yang belum mengetahui No Pertanyaan Kesimpulan
tanah dalam mengetahui arti pelaksanaan
hukum Islam gadai tanah dalam gadai tanah 1 Tanggapan camat Tanah di 4 (empat) kecamatan
hukum Islam, belum dalam hukum tentang gadai tersebut merupakan tanah yang
mengetahui hal-hal Islam. tanah subur sehingga banyak orang yang
yang berkaitan dengan tinggal di kecamatan tersebut dengan
syarat dan rukun gadai,
serta larangan riba pekerjaan sebagai petani, dan ketika
dengan mengambil mereka tidak memiliki modal untuk
keuntungan lebih bertani maka mereka menggadaikan
ketika pelaksanaan sebagian tanahnya yang dimiliki.
gadai tanah dilakukan.
2 Tanggapan camat Aturan gadai tanah dalam hukum
5 Pemahaman Masyarakat memahami 42.19% dari tentang aturan Islam yang ada di 4 (empat)
pelaku gadai dan mengetahui 320 orang
terhadap kepastian hukum sepakat bahwa gadai tanah dalam kecamatan banyak yang belum
jaminan dalam gadai tanah adanya tulisan hukum Islam diketahui dan dipahami oleh
kepastian sebagai bentuk bermeterai dan masyarakat serta gadai dilakukan
hukum dalam solusi ketika terjadi saksi-saksi, hanya dengan menggunakan hukum
masalah gadai masalah dalam gadai, merupakan adat yang berlaku.
tanah masyarakat mengetahui solusi yang
pentingnya saksi dan tepat sebagai 3 Tanggapan Pemahaman masyarakat tentang
kuitansi sebagai bentuk kepastian
kepastian hukum dalam hukum dalam camat tentang pentingnya memiliki surat tanah
gadai tanah. gadai tanah, surat-surat tanah itu masih kurang, khususnya ketika
walaupun masyarakat mereka melakukan akad gadai tanah,
kenyataan sebagai bentuk sehingga berakibat kepada tidak
81% pelaku kepastian hukum tidak adanya kepastian hukum yang
gadai tidak
melakukannya harus dimliki râhin ketika melakukan
karena unsur gadai, lebih dari pada itu banyak
saling percaya murtahin yang menjadi rentenir.
antar kedua
belah pihak. 4 Tanggapan Pemahaman masyarakat terhadap
masyarakat aturan gadai tanah dalam hukum
6 Pemahaman Masyarakat di 4 Dari 320 tentang UUPA UUPA masih sangat minim,
pelaku gadai (empat) kecamatan pelaku
terhadap banyak yang belum gadai yang (Undang-Undang sehingga akad dilakukan tanpa ada
Undang- mengetahui isi pokok diwawancarai, Pokok Agraria kepastian kapan tanah tersebut
Undang dari Undang-Undang 56,25% Pertanahan) yang harus dikembalikan kepada râhin
Agraria pasal 7 Agraria, Masyarakat menyatakan berkaitan dengan dan banyak masyarakat yang tidak
ayat I Nomor tidak pernah tidak
gadai tanah menggunakan tulisan sebagai bentuk
56 Prp. Tahun mendapatkan sosialisasi mengetahui
1960 tentang tentang pokok undang- akan adanya perjanjian antar mereka sehingga
penetapan undang tersebut dan UUPA gadai dilakukan sampai bertahun-
luas tanah Masyarakat tidak tersebut. tahun lamanya.
pertanian dapat menerapkan
pelaksanaan undang- 5 Tanggapan Upaya penanggulangan dari konflik
undang tersebut karena masyarakat dilakukan dengan asas musyawarah
terbiasa menggunakan tentang konflik dan kebersamaan dan jika kedua belah
hukum adat.
dalam masalah pihak masih tetap merasa belum puas
7 Peran ulama Ulama di 4 (empat) 61,88% gadai. dengan hasil dari perundingan maka
(Kiai dan kecamatan telah pelaku gadai kedua belah pihak menyerahkan
Asâtidz) dalam menjelaskan praktik menerima kasusnya kepada camat untuk
mensosialisasi­ gadai dalam sejarah informasi
kan hukum Islam, menjelaskan ulama mengambil jalan tengah yang terbaik
Islam yang pentingnya tolong menyampaikan untuk pihak râhin dan murtahin.
berkaitan menolong dan saling dakwah
dengan gadai membantu dalam berkaitan
tanah mu‘âmalah. Ulama juga dengan gadai Tabel 4
menjelaskan bentuk- tanah dalam Hasil Wawancara dengan Lurah/ Kepala Desa
bentuk riba yang terjadi hukum Islam,
dalam praktik gadai walaupun No Pertanyaan Kesimpulan
tanah dan terpenting kenyataan sulit
para ulama di 4 (empat) diterapkan oleh 1 Tanggapan Masyarakat di 6 (enam) desa
kecamatan tersebut masyarakat. masyarakat tentang yang ada di 4 (empat) kecamatan
telah menjelaskan
pentingnya gadai tanah telah memahami dan mengetahui
menerapkan hukum pelaksanaan gadai tanah dalam
Islam ketika melakukan hukum adat dan mereka melakukan
akad gadai tanah sudah puluhan tahun lamanya.
M. Sulaeman Jajuli: Kepastian Hukum Gadai Tanah 227

2 Tanggapan 1. Banyak para petani di 6 (enam) 2 Tanggapan tokoh Pelaksanaan gadai tanah yang terjadi
masyarakat tentang desa tersebut yang belum memahami masyarakat di masyarakat sekarang ini sudah
aturan gadai tanah aturan gadai tanah dalam hukum tentang aturan keluar dari asas hukum Islam yang
dalam hukum Islam sehingga mereka banyak yang gadai tanah dalam sesungguhnya, hal itu beralasan
Islam tidak mendapatkan manfaat dari hukum Islam karena banyaknya pelaku gadai yang
tanah yang mereka gadaikan. belum memahami aturan gadai tanah
2. Tanaman hasil gadaian rata- dalam hukum Islam.
rata secara keseluruhan diambil
keuntungannya oleh pihak pemilik 3 Tanggapan tokoh 1. Kepastian hukum gadai tanah
modal/murtahin. masyarakat dalam hukum Islam, pada awalnya
3 Tanggapan Masyarakat banyak yang belum tentang kepastian pelaksanaan gadai tanah sesuai
masyarakat tentang memiliki surat-surat tanah baik hukum dalam dengan hukum Islam yaitu dengan
surat-surat tanah leter C maupun leter A sehingga gadai tanah menonjolkan unsur saling tolong
sebagai bentuk tanah tersebut ada yang dimiliki menolong dan membantu antara
kepastian hukum sampai 4 (empat) kepemilikan dan pihak râhin dan murtahin serta adanya
itu diakibatkan karena tidak adanya bukti tulisan dan saksi-saksi, namun
surat-surat tanah. dewasa ini konsep tersebut telah
keluar dari jalur yang sesungguhnya.
4 Tanggapan Para pemilik modal banyak yang
2. Pelaksanaan gadai tanah di
masyarakat belum mengetahui UUPA sehingga
masyarakat umumnya lebih
tentang UUPA mereka sengaja mencari keuntungan
menonjolkan asas saling kepercayaan
(Undang-Undang dengan mendatangi para petani
sehingga mereka tidak membutuhkan
Pokok Agraria yang tidak mampu agar tanahnya
bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi.
Pertanahan) yang digadaikan.
berkaitan dengan 3. Tidak adanya bukti tertulis dalam
gadai tanah pelaksanaan gadai tanah dan tidak
ada saksi ketika melakukan akad gadai
5 Tanggapan 1. Para pekerja adalah râhin bekerja dapat menyebabkan pihak râhin yang
masyarakat tentang di tanah gadaian murtahin, karena dirugikan ketika terjadi konflik atau
murtahin yang kebutuhan yang mendesak sehingga meninggalnya râhin sehingga ahli
menjadi tuan di mereka menggadaikan tanahnya, waris tidak memiliki bukti kuat dalam
tanahnya râhin. namun tidak ada pekerjaan lain yang pengambilan kembali tanahnya yang
harus dilakukan akhirnya mereka telah digadaikan.
menjadi buruh dan bekerja di
sawahnya sendiri dengan upah yang 4 Tanggapan tokoh Perlu adanya sosialisasi yang jelas
sangat minimal dan mereka tidak masyarakat dari pihak aparat desa tentang
mendapatkan keuntungan selain dari tentang UUPA pentingnya UUPA dan saksi-saksi
upah bekerja. (undang-undang dalam pelaksanaan gadai dengan
2. Rata-rata buruh petani dibayarkan pokok agrarian menggunakan bahasa tulisan
harian dengan jam kerja dari pagi pertanahan) yang untuk menghilangkan konflik dan
pukul 07.00 sampai zuhur pukul berkaitan dengan persengketaan ketika terjadi kasus
12.00 dan dilanjutkan kembali dari gadai tanah atau masalah antara râhin dengan
jam 13.00 bakda zuhur sampai pukul murtahin.
17.00 dengan upah rata-rata perhari
Rp45.000,00 (empat puluh lima ribu 5 Tanggapan tokoh Gadai tanah sangat erat dengan unsur
rupiah). masyarakat eksploitasi, ada pihak yang dirugikan
3. Ketergantungan para petani kepada tentang riba dalam dan terdapat ketidakadilan dari
murtahin diakibatkan karena tidak gadai tanah kedua belah pihak. Awalnya saling
adanya kemampuan yang dimiliki membantu dan menolong namun
petani sehingga mereka hanya bisa pengambilan untung yang berlebihan
menjadi petani dan pemilik modal dan dilakukan murtahin sehingga
memberikan kemudahan berupa keuntungan yang didapatkan lebih
pinjaman dengan pembayaran adanya banyak dan itulah yang dikatakan
pemotongan gaji harian. riba yang telah lumrah dilakukan
murtahin.
Tabel 5 Pelaksanaan perjanjian gadai tanah ini biasanya me­
Hasil Wawancara dengan Tokoh Maysarakat/Tokoh Agama
makan waktu yang cukup lama dengan tidak adanya
No Pertanyaan Kesimpulan bukti tertulis. Râhin akan menemukan kesulitan pada
1 Tanggapan tokoh Pelaksanaan gadai tanah yang terjadi di waktu tanah yang dijadikan objek gadai/marhûn akan
masyarakat masyarakat sekarang ini sudah terbiasa ditebus kembali sedangkan murtahin menolaknya
tentang praktik menggunakan hukum adat dan mereka
dengan alasan bahwa perjanjian yang mereka lakukan
gadai tanah keluar dari asas hukum Islam yang
sesungguhnya, hal itu beralasan karena dahulu adalah perjanjian jual lepas bukan gadai.
banyaknya pelaku gadai yang belum Dengan terjadinya peristiwa seperti ini, barulah mereka
memahami makna dan konsep gadai
me­nyadari manfaat perjanjian yang dibuat dalam
tanah dalam hukum Islam.
bentuk tertulis.
228 Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

Pelaksanaan akad gadai tanah akan memiliki ke­ Penutup


pastian hukum jika pihak rahîn dan murtahin dapat Pelaksanaan aturan gadai tanah menurut hukum
mempergunakan kuitansi dan saksi sebelum akad Islam harus memenuhi unsur syarat dan rukun
di­­
lakukan. Karena ketika timbul sengketa antar gadai. Syarat gadai tanah tersebut adalah; dapat
kedua belah pihak maka kuitansi dan saksi tersebut diserahterimakan, bermanfaat, harta yang tetap atau
akan menjadi bukti yang kuat sebagai kepastian dapat dipindahkan, tidak bercampur dengan harta
hukum dalam pelaksanaan gadai, namun kenyataan orang lain, dan tanah gadai milik râhin. Adapun rukun
yang terjadi, banyak di antara masyarakat yang gadai adalah ‘âqid (adanya râhin dan murtahin), al-
tidak menggunakan akad tertulis, padahal konteks ma‘qûd (marhûn), al-ma‘qûd ‘alayh (marhûn bih) dan
dalam Alquran kalimat faktubuh bermakna agar shîghat. Praktik gadai tanah dalam istilah hukum Islam
adanya tulisan dalam utang piutang dan adanya disebut dengan bay al-wafâ’ bukan rahn karena syarat
marhûn sebagai jaminan utang piutang bukan berarti dan rukun yang terdapat dalam rahn sesuai dengan
penulisan utang menjadi tidak penting, tetap tulisan aturan yang terdapat dalam bay al-wafâ’.
sebagai bukti konkrit dalam pelaksanaan utang
piutang. Begitu juga dengan saksi, sangat dibutuhkan Pengertian kepastian hukum dalam pelaksanaan
ketika memang tulisan sebagai bahasa isyarat dan gadai tanah menurut hukum Islam adalah adanya bukti
saksi sebagai bukti penguat dalam pelaksanaan gadai. ter­tulis berupa dokumen-dokumen baik berupa materai,
Oleh karena itu para ulama dan asâtidz yang paham atau kertas yang bersegel serta adanya saksi-saksi baik
terhadap agama memiliki peran yang sangat penting dari pihak râhin maupun murtahin. Bagi masyarakat
dalam mensosialisasikan kepastian hukum baik dalam Kabupaten Bogor, kepastian hukum dianggap cukup
masalah syarat dan rukun akad gadai maupun dalam dengan adanya unsur kepercayaan kedua belah pihak
pelaksanaan gadai itu sendiri jangan sampai ada yang antara râhin dan murtahin tanpa menggunakan bukti
merasa terzalimi dan tidak mendapatkan keadilan dari atau dokumen serta saksi-saksi.
kedua belah pihak. Didasarkan kepada telaah hukum gadai tanah Islam,
Bentuk ketidakadilan itu terjadi jika pihak praktik gadai tanah di masyarakat Kabupaten Bogor
murtahin mendapatkan keuntungan lebih (riba) dari termasuk ke dalam kategori akad fasid. Dikatakan
pelaksanaan gadai; Pertama, murtahin mendapatkan akad fasid karena dalam pelaksanaannya terkandung
kesempatan untuk mengolah tanah gadaian dengan unsur riba yang dilarang oleh agama yaitu mengambil
hasil yang sangat melimpah. Kedua, murtahin akan keuntungan lebih dari barang yang dipinjamkan. Selain
mendapatkan uangnya kembali jika râhin sudah itu praktik gadai di kabupaten Bogor menjadi kurang
mampu membayarnya, bahkan tanah gadaian di­ sempurna bahkan tidak sah karena bertentangan
eksploitasi sepenuhnya sampai bertahun-tahun lama­ dengan perintah Allah dalam Alquran tentang asas
nya tanpa ada pemberian sedikitpun keuntungan ‘faktubuh’ (Q.s. al-Baqarah [2]: 282).[]
untuk râhin sebagai pemilik tanah dan perbuatan
seperti ini sudah masuk ke dalam riba fahisyah yang Pustaka Acuan
dilarang dalam agama. ‘Abidîn, Ibnu, Radd al-Mukhtar ‘alá al-Dûr al-Mukhtar,
Adanya Undang-Undang Pokok Agraria sebagai Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..
jawaban dari keresahan masyarakat adat terhadap Abu Zahrah, Muhammad, al-Milkîyah wa al-Nadzârîyah
pelaksanaan gadai tanah, namun sosialisasi dari al-‘Aqd fî al-Syar‘î, Beirut: Dâr al-Fikr, 1976.
Undang-undang tersebut tidak sampai kepada ma­ Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, Jakara: Sinar
syarakat bahkan banyak masyarakat yang belum me­ Grafika, 2008.
ngetahui akan keberadaan UUPA tersebut. Oleh
Bukhârî al-Ju‘fî, Imam Abi ‘Abdillâh Muhammad bin
karena itu, ketentuan perundang-undangan dalam
Ismâ‘îl bin Ibrâhim bin Mughîrah bin Bardizbah,
UUPA belum dapat memberikan jawaban yang
Shahîh Bukhârî, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
konkrit kepada masyarakat jika timbul sengketa antar
kedua belah pihak dan sampai saat ini masyarakat Fâris, Ibnu, Mu‘jam Muqayyis al-Lughah, Mesir: Dâr al-
di Kabupaten Bogor belum ada yang mengajukan Hadîts, 1422 H.
ke Pengadilan Negeri jika terjadi konflik dalam Fawdhillâh, M. Fawzî, al-Fiqh al-Islâmî wâfaqa
pelaksanaan gadai tanah. Manhaj al-Sanah al-Râbi‘ah, Damaskus: Mathba’ah
Thabarin, 1398 H.
M. Sulaeman Jajuli: Kepastian Hukum Gadai Tanah 229

Haidar, Ali, Durar al-Hukm Syarh Majallah al-Ahkâm Rawls, John, A Theory of Justice, London: Oxford
al-‘Adillah, Beirut: Dâr al-Kutûb al-‘Ilmîyah, t.t.. University Press, 1973.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Razi, Mukhtar al-Shîhah, Beirut: t.tp., 1952.
Djambatan, 2008. Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dâr al-Ma‘ârif, t.t.
Hakim, S.A., Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Sadaly, Hasan, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT Ichtiar
Tahunan, Jakarta: Bulan Bintang, 1965. Van Hoove, 2000.
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945
Diterbitkan atas kerja sama Dewan Syariah Nasional dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara,
dengan Bank Indonesia, 2003. 1979.Sutedi, Adrian, Hukum Gadai Syariah, Jakarta:
Ismatullah, Ded., Ilmu Negara dalam Perspektif Negara Alpabeta, 2011.
Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Saragih, Djare, Pengantar Hukum Adat Indonesia,
Jauzîyah, Ibnu Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi‘în an Rab al- Bandung: Tarsito, 1984.
‘Âlamîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.. Suhard, Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian,
Majid, Khudari, The Islamic Conception of Justice, (Pasal 7 UU No.56/Prp/1960), USA: Repository,
Baltimore: John Hopkins University, 1984. 2004.
Mandzûr, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Fikr, Suhendi, Hendi., Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
1972. Grafindo, 2002.
Masudi, Ghufron A., Fikih Muamalah Kontekstual, Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Grafindo Persada, 2010.
Muhammad dan Hadi, Sholikhul, Pegadaian Syariah: Syafe’i, Rachmat, “Konsep gadai dalam fiqh Islam:
Suatu Alternatif Konstruksi Sistem Pegadaian antara Nilai Sosial dan Komersial”, Makalah di
Nasional, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003. IAIN Syarif Hidayatullah,1999.
Naysâbûri, Imam Abi Husayn Muslim bin Hajjaj Syakir Sula, Muhammad, Asuransi Syariah, Teori dan
al-Khusayrî, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Fikr, Praktik, Jakarta: Gema Insan Press, 2004.
1993. Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Permaatmadja, Karnaen. A., Jejak Rekam Ekonomi Balai Pustaka, 1996.
Islam, Jakarta: Cicero Publishing, 2008. _____, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Poernomo, Pola Dasar Teori, Asas Umum Hukum Acara T Yanggo, Chuzaimah dan Anshari, Hafidz, Problematika
Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta: Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, 1997.
Liberty,1993. Thalib, Sajuti, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum
Praja, Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya, Adat dan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Bandung: Pustaka Setia, 2011. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja
_____, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Unisba Press, Grafindo Persada, 1998.
1996. Yazîd al-Qazwinî, al-Hafîdz Abi ‘Abdillâh Muhammad,
Qardhawi, Yusûf, al-Ijtihâd al-Mu‘âshir, Kairo: Dâr al- Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Tawzi wa al-Nasyr al-Islâmîyah, 1994. Zarqa, Ahmad, Syarh al-Qanûn, Damaskus: Mathba‘ah
Qudamah, Ibnu, Abi Muhammad ‘Abdillâh Ibnu al-‘Arabî, 1965.
Ahmad, al-Mughnî, Tahqîq. Abdullah bin ‘Abd al- Zarqa, Mustafa Ahmad, al-‘Uqûd al-Musammá,
Muhsin al-Turkî dan ‘Abd al-Fatah Muhammad al- Damaskus: Fata al-‘Arab,1965.
Hulwu, Kairo: Hajar, 1412 H.
_____, al-Madkhal al-Fiqh al-Islâmî fî Sawbat al-Jadîd,
Qurthubî, al-Kâfî fî Fiqh Ahl al-Madînah al-Maliki, Damaskus: Mathba‘ah al-Bay, 1968.
Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.t..
Zuhaylî, Muhammad, al-‘Uqûd al-Musammá, al-Bay al-
Rahardjo, Satjipt., Masalah Penegakan Hukum, Muqayyadah, al-Ijar, Damaskus: Mathba‘ah Khulid
Bandung: Sinar Baru, 1983. Ibn al-Walid, 1983.
Raharjo, M. Dawam., Etika Ekonomi dan Manajemen, Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa ‘Adillatuh,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
230 Ahkam: Vol. XV, No. 2, Juli 2015

_____, al-Fiqh al-Islâmî al-Milkîyah wa Tawabi‘ihi, Laman:


Damaskus: al-Wâhidah, 1981. Team Penulis Sejarah Bogor., (t.t), Bogor dan Kota
Zaydan, ‘Abd al-Karîm, Nidzâm al-Qadá fî Syarî‘atî al- Hujan, Bogor: Unpak Press, t.t.
Islâmî, Baghdad: Mathba‘ah al-‘Aynî, 1983. http://www.bogorkab.go.id/index.php?option=com_co
ntent&view=article&id=398&Itemid=57.

Anda mungkin juga menyukai