Anda di halaman 1dari 6

Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa bencana adalah

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengganggu kehidupan dan penghidupan masayarakat,
disebabkan oleh faktor alam dan non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologi.
Definisi bencana seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar yaitu :
1. Terjadinya peristiwa atau gangguan terhadap masyarakat.
2. Peristiwa atau gangguan tersebut membahayakan kehidupan dan fungsi dari masyarakat.
3. Mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi sumber daya mereka.
Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI, 2013) menggolongkan bencana ke dalam tiga jenis yaitu
bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
a. Bencana Alam : Bencana yang terjadi akibat serangkaian peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami,
tanah longsor, banjir, angin topan, gunung meletus dan kekeringan.
b. Bencana Non Alam : Bencana yang terjadi akibat serangkaian peristiwa non alam seperti epidemi dan
wabah penyakit, gagal modemisasi, dan kegagalan teknologi.
c. Bencana Sosial : Bencana ang terjadi akibat serangkaian peristiwa ulah/interpensi manusia dalam
beraktifitas yang meliputi teror dan konflik sosial antar kelompok maupun antar komunitas.
Semakin besar bencana terjadi , maka kerugian akan semakin besar apabila manusia, lingkungan, dan
infrastruktur semakin rentan (Himbawan, 2010). Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka
masyarakat tersebut dapat mengatasi masalah sendiri peristiwa yang mengganggu. Bila kondisi
masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam, maka tidak akan terjadi bencana.
Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(BAKORNAS PB, 2002) dalam arahan kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia bahwa tingkat
kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor berpengaruh terhadap
terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada ‘kondisi rentan’.
Sementara itu, BAKORNAS PB mengartikan ancaman atau bahaya sebagai suatu kejadian atau peristiwa
yang berpotensi menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, kerusakan lingkungan dan
menimbulkan dampak suatu kondisi yang ditentukan oleh psikologis. Hubungan ancaman (bahaya) dan
kerentanan sebagai berikut :
Ancaman + Kerentanan = Bencana.

BENCANA NON-ALAM DI PANTAI TANJUNG BAYANG


Sampah merupakan ancaman polusi yang saat ini menjadi masalah terbesar di dunia. Sampah dapat
berasal dari daratan, yang kemudian dibawa oleh aliran air laut dan berakhir di daratan kembali. Sampah
laut merupakan permasalahan yang sangat penting, dikarenakan dampak yang ditimbulkan oleh sampah
laut dapat mengancam kelangsungan dan keberlanjutan hidup biota yang terdapat di perairan.
Masalah persampahan merupakan salah satu bencana non-alam yang ada di lingkungan masyarakat
pesisir pantai Tanjung Bayang.
Ancaman : Banyaknya gazebo-gazebo yang disediakan untuk pengunjung yang berwisata di Pantai
Tanjung Bayang yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah yang baik (kurangnya fasilitas tempat
sampah di lokasi ini), sampah-sampah tidak dikelola dengan baik, serta tidak adanya pembersihan
pantai secara berkala. (kegiatan manusia di lingkungan darat dan laut).
Bencana : Banyaknya sampah berserakan di pinggir pantai
Risiko : Sampah yang berserakan di pinggir pantai membuat keindahan pemandangan dari
Pantai Tanjung Bayang menjadi terganggu. Selain itu, banyaknya jumlah sampah yang tidak dikelola
dengan baik, bisa menimbulkan/menjadi sumber penyakit bagi masyarakat, baik yang bermukim disekitar
pesisir Pantai Tanjung Bayang maupun para wisatawan yang datag berkunjung. Tak hanya itu, sampah-
sampah yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan bencana alam, salah satunya adalah banjir.

Sampah yang Berserakan di Pantai Tanjung Bayang


Sumber: Tradventure Makassar

Sumber: Celebesonline.com
Beberapa Contoh Jenis Sampah yang Ada di Kawasan Pesisir Pantai Tanjung Bayang
Sumber: Dokumentasi Pribadi

KEARIFAN LOKAL YANG DIMANFAATKAN ORANG-ORANG TERDAHULU UNTUK BERADAPTASI


DENGAN ALAM
Tercatat sekitar 80% penduduk bumi memiliki kearifan lokal (Keraf, 2010). Keadaan
tersebut dapat dijadikan rujukan untuk hidup dan bertahan lebih lama sebagai jawaban untuk
kehidupan modern. Kehidupan modern saat ini memiliki kegiatan eksploitasi alam dengan
intensitas yang tinggi, merupakan tanda kerusakan lingkungan/alam juga bertambah luas.
Kemajuan teknologi tidak menjamin suatu negara/daerah untuk lebih bertanggung jawab
terhadap lingkungan. Namun, pola pikir dan gaya hidup masyarakat memiliki peran penting
dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Kearifan lokal merupakan bagian dari masyarakat untuk bertahan hidup sesuai dengan
kondisi lingkungan, sesuai dengan kebutuhan, dan kepercayaan yang telah berakar dan sulit
untuk dihilangkan, begitu pula Sumarmi dan Amirudin (2014) menjelaskan bahwa kearifan lokal
merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam
suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan
dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah
sebagai berikut. Pertama, Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai elemen
perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal
memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Keempat, mengubah pola pikir dan
hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/
kebudayaan yang dimiliki. Kelima, mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus
sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir,
bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran
bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin, 2014).
Kearifan lokal merupakan wujud dari perilaku komunitas atau masyarakat tertentu
sehingga dapat hidup berdampingan alam/ lingkungan tanpa harus merusaknya. Prawiladilaga
(2012) menguraikan bahwa kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan dalam
masayarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan kebendaan, sering kali di
dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama, adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai
lain yang bermanfaat seperti untuk kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Merujuk
pengertian tersebut dapat dijelaskan pula bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat
mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna mengelola dan
menjaga lingkungan dengan bijaksana.
Masyarakat yang hidup dan menyatu dengan lingkungan alam dapat ditemukan di
Kampung Naga dan Kuta, Kabupaten Tasikmalaya. Semua masyarakat adat hidup menyatu
dengan alam bersifat feminisme terhadap alam, hormat terhadap semua komponen alam, seperti
terhadap tanah, air, binatang, tumbuhan, gunung, sungai, dan sebagainya sebagai hubungan relasi
yang harus dihormati (Darusman, 2014). Kondisi serupa juga ditemukan pada masyarakat adat
Desa Kemiren. Begitu juga dengan perbuatan untuk memanfaatkan lingkungan harus meminta
izin terlebih dahulu, jika pada masyarakat Kampung Naga terdapat berbagai jenis larangan untuk
menebang pohon tertentu, maka pada masyarakat adat Desa Kemiren terdapat larangan untuk
menebang pohon/bambu pada lokasi tertentu.
1) Di Jawa
a. Pranoto Mongso Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani
pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah
pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan
kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang
bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana
mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso
maka alam dapat menjaga keseimbangannya. Urut-urutan pranoto mongso menurut Sastro
Yuwono (http://kejawen.co.cc/pranoto mongsoaliran musim jawa Asli ) adalah sebagai berikut :
1. Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di
sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo.
2. Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga
mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas.
3. Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai kering dan
anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air dan panas.
Palawija mulai panen.
4. Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai
menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah
5. Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani mulai
membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo,
pohon asam berdaun muda.
6. Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim orang membajak sawah,
petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan,
banyak buah-buahan.
7. Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para petani mulai menanam padi,
banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang
8. Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28 Februari
Padi mulai hijau, uret mulai banyak
9. Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah
berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara
10. Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen,
banyak hewan bunting
11. desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya
12. sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan
memasukkannya ke lumbung. Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga
mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani.
Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri
untuk mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi
tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.
b. Nyabuk Gunung.
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang
dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro.
Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis
kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan
membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
c. Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin)
Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut,
tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut
kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar,
hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut
berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon
tersebut ada sumber air.
2) Di Sulawesi
Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan
menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat
aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat.
Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang
penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan
pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Agar tetap terjaga. Dewan Adat karampuang sebagai
simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan
pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui
bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan,
ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M
Akhmar dan syarifuddin, 2007:3).
Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan oleh seorang galla (pelaksana harian
pemeritahan adat tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat paska
turun sawah (mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai sutu bentuk ketetapan
bersama dan semua warga komunitas adat karampuang harus mematuhinya.
Contoh kearifan tradisional dalam bentuk larangan (Muh Basir Said Dan Ummanah
dalam Andi M Akhmar dan syarifuddin, 2007:3) adalah :
“Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko
matarata’ni manuke” artinya “jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan adat belum
bangun, jangan pul;a memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masuk kandangnya” =
“jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari”.
Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya
hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan
mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian
pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
Contoh Kearifan Tradisional dalam Bentuk Sanksi :
“Narekko engka pugauki ripasalai” artinya Jika ada yang melakukannya akan dikutuk =
jika melanggar akan dikenakan sanksi adat.
Maksud dari ungkapan tersebut adalah jika ada warga komunitas adat Karampuang yang
melakukan pelanggaran atau tidak mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan
ajakan dan larangan yang difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar
kecilnya sanksi tergantung dari pelanggarannya.

Anda mungkin juga menyukai