Oleh
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana
dengan kehadirat-Nya lah kita dapat memperoleh kesehatan dan merasakan
nikmat kehidupan yang Ia berikan terhadap umatnya.
Kritik dan saran dan bimbingannya, baik dari dosen pembimbing, teman-
teman ataupun pembaca lainnya sangat kami harapkan agar menambah
kesempurnaan isi tugas ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................v
DAFTAR GRAFIK...........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................2
1.4 Manfaat..............................................................................................................3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
2.1 Analisis Sektor Unggulan Lokasi.......................................................................4
2.2 Sumber Daya Alam............................................................................................7
2.3 Analisis Potensi Ekonomi (Analisis Shift Share)...............................................8
2.4 Sumber Daya Manusia.......................................................................................9
2.5 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)................................................................9
2.6 Aksesibilitas.....................................................................................................10
2.7 Konsep Distribusi Barang................................................................................11
2.8 Rumah Pemotongan Unggas............................................................................13
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................15
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian.......................................................................15
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian..........................................................................15
3.3 Metode Pengumpulan data...............................................................................15
3.4 Instrumen Penelitian.........................................................................................16
3.5 Metode Analisis Peneltian................................................................................17
BAB IV GAMBARAN UMUM......................................................................................24
4.1 Gambaran Potensi Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan................................24
4.2 Gambaran Umum Kelembagaan Peternak Provinsi Sulawesi Selatan..............26
iii
4.3 Gambaran Umum Ekonomi Peternak Provinsi Sulawesi Selatan.....................28
BAB V ANALISIS PERENCANAAN............................................................................32
5.1 ANALISIS SEKTOR UNGGULAN (Analisis Location Quontient)................32
5.2 ANALISIS SUMBER DAYA ALAM.............................................................35
5.3 ANALISIS POTENSI EKONOMI (Analisis Shift Share)................................56
5.4 ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA.......................................................60
5.5 ANALISIS FASILITAS PRODUKSI..............................................................67
5.6 ANALISIS AKSESBILITAS...........................................................................69
5.7 ANALISIS JALUR DISTRIBUSI....................................................................79
5.8 ANALISIS BIAYA..........................................................................................82
BAB VI PERENCANAAN..............................................................................................87
6.1 Rencana Distribusi Produk Peternakan.............................................................87
6.2 Strategi Pengembangan Sektor Peternakan......................................................90
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................vii
LAMPIRAN.......................................................................................................................x
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Luas Daerah menurut Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan Tahun 2018........27
Tabel 4.2 Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018............................................29
Tabel 4.3 Persentase rumah tangga usaha peternakan menurut jenis ternak,....................31
Tabel 4.4 Persentase rumah tangga usaha peternak menurut jenis ternak dan status
penguasaan bangunan tempat tinggal (%)........................................................................33
Tabel 4.5 Presentase Rumah Tangga Usaha Peternakan Menurut Jenis...........................34
Tabel 4.6 Persentase Rumah Tangga Usaha Peternakan Menurut jenis Ternak............34Y
Tabel 5.1 Analisis Location Quontient Hasil Produksi dan Nilai Produksi Unggas Sulsel
2018.................................................................................................................................38
Tabel 5.2 Produksi Unggas Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018.........................41
Tabel 5.3 Nilai produksi Unggas Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018................43
Tabel 5.4 Hasil Analisis Shift Share Sektor Peternakan Unggas di Sulawesi Selatan......53
v
DAFTAR GAMBAR
YGambar 5. 1 Peta Grafik Produksi Ternak Unggas di Sulawesi Selatan Tahun 2018.........
Gambar 5. 2 Peta Potensi Sektor Peternakan Unggas Sulawesi Selatan...........................50
vi
DAFTAR GRAFIK
vii
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1
penyangga kebutuhan ibu kota baru, sehingga perlu adanya pengembangan
dibeberapa sektor salah satunya adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
yang merupakan sektor unggulan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu adanya analisis serta
perencanaan terkait dengan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Dalam
laporan ini, spesifik subsektor yang dibahas adalah subsektor buah-buaha,
subsektor peternakan unggas, subsektor perikanan, dan subsektor sayur-sayuran
di seluruh kabupaten pada Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut dilakukan
untuk pemenuhan konsumsi untuk keempat subsektor dengan berbagai
perimbangan sehingga Provinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi penyangga
untuk Ibu Kota Negara baru, serta dapat meningkatkan perekonomian Provinsi
Sulawesi Selatan
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
2
1.4.1 Sebagai bahan acuan bagi pemerintah setempat untuk menjadi perhatian
serius terhadap pengembangan komoditas dan distribusi ayam keluar
provinsi Sulawesi selatan.
1.4.2 Sebagai bahan referensi bagi peneliti yang akan melakukan kegiatan
penelitian selanjutnya.
Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas ruang lingkup materi dan wilayah.
Ruang lingkup materi bertujuan membatasi materi pembahasan yang berkaitan
dengan identifikasi wilayah penelitian. Sedangkan ruang lingkup wilayah
membatasi ruang lingkup wilayah kajian.
3
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
Sejak era reformasi telah terjadi pergeseran paradigma dari pola sentralisasi
menjadi pola desentralisasi atau otonomi daerah. Dimana pada era ini pemerintah
pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengolah
daerahnya secara mandiri. Hal ini telah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang
telah diamandemenkan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, dimana pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengatur dan
mengolah daerahnya sendiri demi kepentingan kesejahteraan masyarakatnya.
Proses pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan dan pelaksanaan,
kegiatan dilakukan oleh pemerintah daerah disebut dengan pola disentralisasi.
Selain itu, dalam hal pembiayaan dan keuangan daerah telah diatur dalam UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Di
mana bukan hanya pemerintah daerah yang bekerja, namun masyarakat turut andil
dalam pembangunan daerahnya. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
dalam pembangunan ekonomi daerah, yaitu dengan memanfaatkan secara optimal
sumber daya manusia dan alam yang dimiliki daerah tersebut agar memberikan
hasil yang optimal pula seperti adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Salah satu cara yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi
suatu daerah, yaitu dengan melihat data PDRB (Pendapatan Domestik Regional
Bruto) daerah tersebut. Dalam data PDRB terdiri dari beberapa jenis sektor
ekonomi yang menjadi indikator dalam pemanfaatan sumber daya daerah.
5
ekonomi yang menggambarkan tingkat pertumbuhan yang terjadi serta sebagai
indikator bagi daerah untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pembangunan
ekonomi daerah.
Samuelson dalam Sapriadi (2015), setiap negara atau wilayah perlu melihat
sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan
dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki
keuntungan kompetitif untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal
yang sama, sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat
berproduksi dalam waktu yang relatif singkat dan volume sumbangan untuk
perekonomian juga cukup besar.
2.1.1 Analisis LQ
6
Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainya yang kurang potensial
tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service industries (Sjafrizal,
1985 dalam Sapriadi, 2015).
7
Dalam studi kasus analisis pengembangan sektor peternakan unggas
Sulawesi Selatan, penulis menggunakan teknik analisis LQ dalam menentukan
sektor basis. Berdasarkan hasil analisis LQ, Kabupaten Luwu menempati posisi
pertama sebagai wilayah yang basis berdasarkan hasil LQ produksi, yaitu sebesar
4,96 dengan itik sebagai komoditas yang unggul. Kedua, yaitu Kabupaten Sidrap
yang memiliki nilai hasil LQ produksi sebesar 4,08 dengan ayam petelur sebagai
komoditas yang unggul. Ketiga, yaitu Kabupaten Pinrang yang memiliki nilai
hasil LQ produksi sebesar 3,46 dengan itik sebagai komoditas yang unggul.
Keempat, yaitu Kabupaten Bone yang memiliki nilai hasil LQ produksi sebesar
2,51 dengan ayam kampung sebagai komoditas yang unggul. Kelima, yaitu
Kabupaten Maros yang memiliki nilai hasil LQ produksi sebesar 1,67 dengan
ayam pedaging sebagai komoditas yang unggul. Sehingga, oleh sektor-sektor
basis tersebut dapat mendorong sektor non basis lainnya agar dapat bertumbuh
untuk peningkatan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan
8
2.2.2 Pengertian Permintaan
Dalam mendukung data lainnya terkait sektor unggulan pada suatu daerah
dilakukan analisis shift share. Analisis shift–share yang digunakan untuk
menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah.
Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya
dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan
dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional.
Suatu daerah yang memiliki banyak sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban
maka sektor tersebut pertumbuhannya secara nasional juga akan lamban. Hal ini
terjadi karena daerah-daerah lain tumbuh lebih cepat (Putra, 2011: 165). Analisis
shift share memiliki tiga komponen (Tarigan, 2005; Putra, 2011) yaitu:
1. National share untuk mengetahui pergeseran struktur perekonomian suatu
daerah yang dipengaruhi oleh pergeseran perekonomian nasional.
9
2. Proportional shift adalah pertumbuhan nilai tambah bruto suatu sektor i
dibandingkan total sektor di tingkat nasional.
3. Differential shift atau competitive position adalah perbedaan pertumbuhan
perekonomian suatu daerah dengan nilai tambah bruto sektor yang sama di
tingkat nasional. Rumus pertumbuhan ekonomi sbb:
Di mana:
10
2.4 Sumber Daya Manusia
11
Keberhasilan pembangunan manusia dapat dinilai dari seberapa besar
permasalahan yang dapat diatasi terlebih lagi permasalahan yang paling mendasar.
Permasalahan yang ada diantaranya berupa masalah kemiskinan, pengangguran,
pendidikan yang tidak menyeluruh dan masalah keberhasilan pembangunan
manusia dari aspek ekonomi lainnya. Tercapainya tujuan pembangunan yang
tercermin pada indeks pembangunan manusia sangat tergantung pemerintah
sebagai penyedia sarana penunjang (Marisca dan Haryadi, 2016).
2.6 Aksesibilitas
12
Faktor waktu tempuh sangat tergantung oleh ketersediaannya prasarana
transportasi dan sarana transportasi yang dihandalkan (reliable transportation
system), contohnya jaringan jalan yang berkualitas dan terjaminnya armada
yang siap melayani kapan saja.
2. Faktor biaya /ongkos perjalanan
Biaya perjalanan ikut berperan dalam menentukan mudah tidaknya tempat
tujuan dicapai, karena ongkos perjalanan yang tidak terjangkau
mengakibatkan orang (kalangan menengah kebawah) enggan atau bahkan
tidak mau melakukan perjalanan.
3. Faktor intensitas (kepadatan) guna lahan
Padatnya kegiatan pada suatu petak lahan yang sudah diisi dengan
beerbagai macam kegiatan akan berpengaruh pada dekatnya jarak tempuh
berbagai kegiatan tersebut dan secara tidak langsung hal tersebut ikut
mempertinggi tingkat kemudahan pencapaian tujuan.
4. Faktor pendapatan orang yang melakukan perjalanan
Pada umumnya orang mudah melakukan perjalanan kalau ia didukung
oleh kondisi ekonomi yang mapan, walaupun jarak perjalanan secara fisik
jauh.
13
sehingga penggunannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga,
tempat, dan saat dibutuhkan).
1. Produsen - Konsumen
Bentuk saluran distribusi yang paling pendek dan yang paling sederhana
adalah saluran distribusi dari produsen ke konsumen, tanpa menggunakan
perantara. Oleh karena itu saluran ini disebut saluran distribusi langsung.
2. Produsen - Pengecer - Konsumen
14
Seperti halnya dengan jenis saluran yang pertama (Produsen -
Konsumen), saluran ini juga disebut sebagai saluran distribusi langsung.
Disini, pengecer besar langsung melakukan pembelian kepada produsen.
Adapula beberapa produsen yang mendirikan toko pengecer sehingga dapat
secara langsung melayani konsumen.
3. Produsen - Pedagang Besar - Pengecer - Konsumen
Saluran distribusi semacam ini dinamakan sebagai saluran distribusi
tradisional. Disini, produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar,
kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer. Pembelian oleh
pengecer dilayani pedagang besar, dan pembelian oleh konsumen dilayani
pengecer saja.
4. Produsen - Agen - Pengecer - Konsumen
Disini, produsen memilih agen sebagai penyalurnya. la menjalankan
kegiatan perdagangan besar, dalam saluran distribusi yang ada. Sasaran
penjualannya terutama ditujukan kepada para pengecer besar.
5. Produsen - Agen - Pedagang Besar - Pengecer - Konsumen
Dalam saluran distribusi, sering menggunakan agen sebagai perantara
untuk menyalurkan barangnya kepedagang besar yang kemudian
menjualnya kepada toko-toko kecil. Agen yang terlihat dalam saluran
distribusi ini terutama agen penjualan.
15
bahwa RPU merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam menyediakan
daging unggas yang sehat, berfungsi sebagai:
1. Tempat dilaksanakannya pemotongan unggas secara benar.
2. Tempat dilaksanakannya pemeriksaan kesehatan unggas sebelum
dipotong (ante mortem) dan daging unggas (post mortem) untuk
mencegah penularan penyakit unggas ke manusia.
3. Tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit unggas yang
ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna
pencegahan dan pemberantasan penyakit unggas menular di daerah asal
unggas.
1. Sarana jalan yang baik menuju Rumah Pemotongan Unggas yang dapat
dilalui kendaraan pengangkut unggas hidup dan daging unggas.
16
2. Sumber air yang cukup dan memenuhi persyaratan baku mutu air minum
sesuai dengan SNI 01-0220-1987. Persediaan air yang minimum harus
disediakan yaitu 25-35 liter/ekor/hari.
3. Sumber tenaga listrik yang cukup.
4. Persediaan air yang bertekanan 1,05 kg/cm2 (15 psi) serta fasilitas air
panas dengan suhu minimal 82o C.
5. Kendaraan pengangkut daging unggas.
METODE PENELITIAN
17
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data (Ridwan, 2010). Pengumpulan data dilakukan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
18
teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan observasi,
wawancara, dan dokumentasi.
A. Observasi
Observasi menurut Sutopo (1996:59) digunakan untuk menggali data dari
sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta
rekaman gambar. Teknik observasi dilakukan peneliti dengan mengadakan
pengamatan secara langsung di lokasi penelitian. Dengan tujuan
mengidentitifasi kondisi eksisting kawasan penelitian. Untuk penelitian ini,
peneliti melakukan observasi secara langsung dengan cara survei lapangan di
sektor wilayah unggulan masing-masing komoditi.
B. Wawancara
19
dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mendapatkan data dari meninjau buku,
karya ilmiah, dan hasil penelitian, serta peraturan-peraturan sebagai acuan dalam
pengerjaan laporan penelitian (Jonathan, 2006).
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 3.
Berbicara mengenai analisis sektor basis dan non-basis untuk menilai keunggulan
sector peternakan unggas, serta analisis potensi ekonomi suatu wilayah, maka
peneliti menggunakan dua jenis analisis data, yaitu Analisis Location Quotient
dan Analisis Shift Share. Adapun analisis lain yang digunakan adalah Analisis
Regresi Linear yang bertujuan menghitung pengaruh jarak terhadap tarif reefer
container 20 feet.
20
Analisis location quotient (LQ) merupakan suatu analisis yang digunakan
untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor ekonomi di suatu
wilayah yang memanfaatkan sektor basis atau leading sektor. Teknik LQ banyak
digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi
spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan
ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai
leading sektor suatu kegiatan ekonomi industri. Dasar pembahasannya sering
difokuskan pada aspek tenaga kerja dan pendapatan. Rumus matematika
(Daryanto dan Hafizrianda, 2010:21):
Dimana:
a) Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yaitu sektor yang tingkat spesialisasinya
lebih tinggi dari pada tingkat wilayah acuan
b) Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yaitu sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih rendah dari pada tingkat wilayah acuan
c) Jika LQ = 1, maka tingkat spesialisasi daerah sama dengan tingkat wilayah
acuan.
21
Penggunaan analisis location quotient dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sektor unggulan untuk komoditi unggas di Provinsi Sulawesi Selatan.
Adapun tabel yang dihasilkan dari analisis ini, yaitu LQ hasil produksi dan LQ
nilai produksi dengan ‘harga’ sebagai nilai pembandingnya.
Dimana:
22
Yit = PDRB Sumatera Barat sector i, akhir tahun analisis.
Catatan:
PB = KPP + KPPW
23
Di mana:
Analisis regresi linear yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi linear sederhana. Analisis regresi linier sederhana digunakan untuk
mengetahui pengaruh atau hubungan secara linear antara satu variabel independen
dengan satu variabel dependen. Variabel yang diuji dalam analisis ini adalah
variabel jarak antar pelabuhan dan variabel tarif reefer container 20 feet dimana
variabel jarak merupakan variabel dependen dan tarif merupakan variabel
independen. Analisis ini digunakan untuk menghitung pengaruh jarak terhadap
tarif reefer container 20 feet. Berikut merupakan interprestasi Ouput Analisis
Regresi Linear berdasarkan SPSS:
24
Variabel independen yang dimasukkan ke dalam model adalah tarif dan
variabel dependennya adalah jarak antar pelabuhan. Metode regresi
menggunakan Enter.
C. Output ANOVA
ANOVA atau analisis varian, yaitu uji koefisien regresi secara bersama-
sama (uji F) untuk menguji signifikansi pengaruh beberapa variabel
independen terhadap variabel dependen. Analisis ini lebih tepat diterapkan
pada regresi berganda.
25
D. Output Coefficients
1. Unstandardized Coefficients, adalah nilai koefisien yang tidak
terstandarisasi atau tidak ada patokan, nilai ini menggunakan satuan
yang digunakan pada data pada variabel dependen, misalnya Rp, %
dsb. Koefisien B terdiri nilai konstan (harga Y jika X = 0) dan
koefisien regresi (nilai yang menunjukkan peningkatan atau penurunan
variabel Y yang didasarkan variabel X), nilai-nilai inilah yang masuk
dalam persamaa regresi linier.
2. Standard Error adalah nilai maksimum kesalahan yang dapat terjadi
dalam memperkirakan rata-rata populasi berdasar sampel. Nilai ini
untuk mencari t hitung dengan cara koefisien dibagi standard error.
3. Standardized Coefficients (nilai koefisien yang telah terstandarisasi
atau ada patokan tertentu, nilai koefisien Beta semakin mendekati 0
maka hubungan antara variabel X dengan Y semakin tidak kuat.
4. t hitung adalah pengujian signifikansi untuk mengetahui pengaruh
variabel X terhadap Y, apakah berpengaruh signifikan atau tidak.
Untuk mengetahui hasil signifikan atau tidak, angka t hitung akan
dibandingkan dengan t tabel.
5. Signifikansi, adalah besarnya probabilitas atau peluang untuk
memperoleh kesalahan dalam mengambil keputusan. Jika pengujian
menggunakan tingkat signifikansi 0,05 artinya peluang memperoleh
kesalahan maksimal 5%, dengan kata lain kita percaya bahwa 95%
keputusan adalah benar.
26
harus ada tanah dan lapangan pekerjaan yang ditambah. Dari pernyataan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa pertumbuhan penduduk mempengaruhi permintaan
bahwa tingkat permintaan terhadap lapangan pekerjaan juga akan meningkat. Dari
kesimpulan ini dibuat hipotesis bahwa peningkatan jumlah penduduk juga
berpengaruh terhadap peningkatan jumlah permintaan daging unggas. Untuk
menentukan laju pertumbuhan produksi sector peternakan unggas dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus laju pertumbuhan ekonomi. Rumus laju
pertumbuhan ekonomi terbagi atas dua, yaitu untuk menghitung laju pertumbuhan
setiap tahun dan untuk menghitung pertumbuhan tahunan dalam beberapa periode.
1. R(t-1, t) = (PDt – PDt-1)/PDt-1 x 100%
2. R(t0, tn)=((nilai akhir/nilai awal)1/t - 1) x 100.
Keterangan:
R = tingkat pertumbuhan ekonomi dalam satuan persentase (%)
PDt = produksi unggas pada tahun t
PDt-1 = produksi unggas pada tahun sebelumnya (t-1)
Metode ranking adalah suatu metode penilaian yang didasarkan urutan dari
yang terbaik hingga yang terendah yang disusun secara keseluruhan. Dalam
penelitian ini, metode ranking digunakan untuk menentukan kabupaten yang
memiliki potensi sector peternakan unggas berdasarkan beberapa kategori mulai
dari berpotensi hingga tidak berpotensi. Dalam penentuan peringkat terdiri atas
beberapa tahap diantaranya.
27
3. Menghitung total peringkat berdasarkan 3 kriteria dan kemudian diurutkan
dari yang terkecil ke yang terbesar.
4. Penentuan kawasan berpotensi menggunakan metode kuartil.
Kuartil adalah ukuran letak yang membagi data menjadi empat bagian yang
sama sesuai dengan urutannya. Terdapat tiga macam kuartil, yaitu kuartil pertama
atau kuartil bawah (Q1 ), kuartil kedua atau kuartil tengah (Q2 ), dan kuartil
ketiga atau kuartil atas (Q3 ). Metode kuartil dalam analisis ini dilakukan untuk
membagi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam 4 kategori kawasan potensial
sector peternakan berdasarkan total ranking yang diperolah dari analisis dengan
metode ranking (ranking method). Adapun rumus kuartil yang digunakan adalah
Keterangan:
Q1=Kuartil 1
Q2=Kuartil 2
Q3=Kuartil 3
n = Total data
28
Setelah mendapatkan nilai kuartil, data dapat dibagi dalam 4 kategori
diantaranya adalah kabupaten sangat berpotensi, berpotensi, kurang berpotensi,
dan tidak berpotensi. Dimana kabupaten dengan nilai peringkat yang berada di
bawah kuartil 1 termasuk dalam kategori sangat berpotensi, kabupaten dengan
nilai peringkat yang berada diantara kuartil 1 dan kuartil 2 termasuk dalam
kategori berpotensi, kabupaten dengan nilai peringkat yang berada diantaranya
kuartil 2 dan kuartil 3 berada pada kategori kurang berpotensi, dan yang berada
diatas kuartil 3 berada pada kategori tidak berpotensi.
29
BAB IV GAMBARAN UMUM
GAMBARAN UMUM
4. 1. 1 Komoditi Unggas
Sulawesi Selatan terkenal sebagai gudang ternak dan bibit ke Seluruh
Indonesia dalam rangka pengadaan ternak nasional dengan jumlah populasi
1.221.603 ekor, menempati urutan kedua setelah Jawa Timur dengan populasi
2.878.163 ekor (Ditjennak 2014). Namun selama lima tahun terakhir mengalami
peningkatan secara dratis dari 722.433 ekor (tahun 2016) menjadi 783.609 ekor
(tahun 2018) dengan rata-rata peningkatan 1,61% setiap tahunnya (BPS Sulawesi
Selatan, 2019).
Terjadinya peningkatan atau penurunan populasi ternak di Sulawesi
Selatan, salah satu penyebab-nya adalah kurang tersedianya pakan yang cukup
dan berkualitas. Padahal kondisi ini semakin sulit terpenuhi akibat semakin
terbatasnya lahan potensial sebagai sumber pakan dan lahan ternak karena adanya
pergeseran penggunaan lahan subur menjadi pemukiman. Akibatnya peternak
semakin sulit mendapatkan pakan dan lahan yang cukup bagi ternaknya, terutama
di daerah musim kemarau.
Dinas Pertanian dan Peternakan telah menetapkan beberapa hewan ternak
sebagai sektor unggulannya yaitu: Sapi, Ayam, Kambing, domba, kerbau. Sektor
unggulan tersebut telah membuktikan dirinya dengan hasil produksi yang tinggi
dan telah melakukan distribusi keluar daerah. Salah satu hewan tersebut yaitu
ternak ayam memiliki jumlah produksi yang hampir mendekati provinsi lain yang
jumlah produksi unggul yaitu Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun,
walaupun demikian provinsi Sulawesi selatan telah melakukan distribusi ke
beberapa wilayah salah satunya yaitu: Kalimantan timur. Provinsi Sulawesi
selatan beberapa tahun terakhir telah melakukan distribusi ke Kalimantan timur
sebanyak (1,49%) tentu angka tersebut cukup besar disbanding kota-kota lainnya.
30
Dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah produksi ternak di Sulawesi selatan. Berdasarkan data –data yang
dikumpulkan terkait distribusi, dapat disimpulkan bahwa distribusi ayam Sulawesi
selatan dapat bersaing dengan provinsi ataupun wilayah lain. Walaupun jumlah
distribusi Sulawesi selatan ke Kalimantan timur belum cukup banyak. Namun, hal
tersebut dapat di kembangkan dengan cara meningkatkan distribusi dan kualitas
distribusi ke Kalimantan timur. Kalimantan Timur Juga memiliki produksi yang
cukup besar sama dengan Sulawesi selatan namun, tidak mencukupi kebutuhan
masyarakatnya. Maka dari itu wilayah-wilayah lain semangat untuk melakukan
distribusi ke Kalimantan timur yang juga merupakan IKN (ibu Kota Baru).
Peternakan di Sulawesi Selatan memiliki potensi untuk bersaing dengan
wilayah-wilayah lainnya, namun harus mempertahankan eksistensi jumlah
produksi dan kualitas ternaknya. Kualitas ternak menjadi faktor penting bagi
konsumen, konsumen tentu akan enggan untuk membeli jika kualitas rendah dan
akan mengeluarkan uang lebih untuk membeli jika kualitas tinggi. Tenaga kerja
peternak perlu di berikan pelatihan khusus untuk pengembangan kulalitas dan
mutu hasil ternak.
4. 1. 2 Komoditi Perikanan
31
Berdasarkan buku Provinsi Sulawesi Selatan dalam angka tahun 2019,
produksi perikanan di Sulawesi Selatan pada tahun 2018 mencapai 366.540,6 ton
yang terdiri dari 339.868,7 ton perikanan tangkap di laut dan 26.671,9 ton
perikanan tangkap di perairan umum daratan. Rumah tangga yang mengusahakan
perikanan mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2017. Dimana
jumlah rumah tangga yang mengusahakan perikanan 53.368 di tahun 2017
meningkat menjadi 60.462 rumah ditahun 2018. Sedangkan produksi perikanan di
Sulawesi Selatan pada tahun 2017 mencapai 360.770,1 ton yang terdiri dari
330.502,0 ton perikanan tangkap di laut dan 29.268,1 ton perikanan tangkap di
perairan umum darat.
32
a. Budidaya Laut, komoditi perikanan yang dihasilkan dari budidaya laut di
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Ikan Bandeng (Chanos Chanos) dan
beberapa ikan lainnya juga binatang berkulit keras seperti Udang Windu
(Penaeus Monodon), Udang Putih (Penaeus Merguiensis), Udang Api-api
(Metapenaesus shrimp), Teripang (Holotheria Scbra) dan Kepiting (Scylla
Serrata). Untuk Provinsi Sulawesi Selatan, budidaya laut didominasi oleh
komoditi rumput laut.
Gambar 4.1 Contoh Budidaya Laut
Sumber: Google
b. Budidaya Tambak, komoditi perikanan yang dihasilkan dari budidaya tambak
di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Ikan Mujair (Tilapia Mosambica) , Ikan
Bentok (Anabas Testudineus), Ikan Bandeng (Chanos Chanos), Ikan Kakap
(Lates Calcerifer), Ikan Baronang (Siganus Guttatus), Ikan Nila
(Oreochoromis Niloticus), Ikan Mas (Cyprinus Carpio), Ikan Gurami
(Osphoro-nemus Goramy), Ikan Patin (Pangasius djamabal) dan Ikan lainnya.
Gambar 4.2 Contoh Budidaya Tambak
Sumber: Google
33
c. Budidaya Kolam, komoditi perikanan yang dihasilkan dari budidaya kolam di
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu beberapa jenis ikan dan udang. Ikan yang
dihasilkan diantaranya Ikan Mas (Cyprinus Carpi), Ikan Tawes (Barbodes
gonionotus), Ikan Mujair (Tilapia mosambica), Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus), Ikan Gurami (Osphronemus Goramy), Ikan Sepat Siam
(Trichogaster Trichopterus), Ikan Patin (Pangasius djambal), dan beberapa
ikan lainnya.
Sumber: Google
34
Sumber: Google
Dalam laporan sektor perikanan, analisis data berdasarkan data yang ada di
BPS dengan menampilkan hasil analisis data perikanan berdasarkan 3 subsektor
perikanan yaitu subsektor perikanan laut atau perikanan tangkap di laut, perairan
umum (inland water) atau perairan yang berada di darat, dan budidaya perikanan.
4. 1. 3 Komoditi Sayuran
35
Pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura merupakan
bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena
itu pengembangan komoditas tanaman pangan dan hortikultura harus dapat
tumbuh dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi sehingga mampu berperan
dalam penyediaan pangan bagi penduduk, penyediaan bahan baku industry,
peningkatan pendapatan petani, penyerapan lapangan kerja, serta peningkatan
penerimaan devisa melalui ekspor hasil komoditas tanaman pangan dan
hortikultura. Hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan diketahui sebagai lumbung
pangan di kawasan timur Indonesia dan telah memberikan kontribusi sangat besar
tidak hanya bagi masyarakat Sulawesi Selatan tapi juga memberikan sumbangan
yang cukup signifikan terhadap produksi pangan nasional khususnya komoditi
padi.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari setiap keunggulan yang
dimiliki dalam mewujudkan tujuan pembangunan, maka kemampuan untuk
memadukan secara bijak antara potensi alam yang strategis dengan sumber daya
manusia yang telah terbekali dengan nilai-nilai luhur di atas perlu dilakukan.
Pengembangan potensi harus selalu direncanakan dengan sebaik mungkin dan
dilaksanakan seefektif dan seefisien mungkin melalui berbagai aspek yang saling
terkait, saling mempengaruhi dan secara keseluruhan dikelola seoptimal mungkin
dan diharapkan bermuara pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
4. 1. 4 Komoditi Buah-Buahan
36
Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan pada Renstra 2013 – 2018 adalah Sulawesi
Selatan sebagai Pilar Utama Penyedia Pangan Nasional Berkelanjutan dan
Berdaya Saing. Sulawesi Selatan sebagai pilar utama penyedia pangan nasional
dimaksudkan bahwa Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Sulawesi Selatan sesuai tugas pokok dan kewenangan yang dimiliki berusaha
mempertahankan dan memantapkan peran Sulawesi Selatan sebagai Lumbung
Pangan dan Provinsi Penyelamat Pangan Nasional. Salah satu indikator
keberhasilannya adalah meningkatnya pengembangan dan produksi komoditas
unggulan hortikultura dari tahun ke tahun minimal 1% per tahun selama periode
2013 – 2018.
37
manis 15.489 ton, jeruk besar 33.398 ton, manga 167.727 ton, pisang 158.231 ton,
dan markisa 12.912 ton serta bantuan bibit buah-buahan 4 komoditi dan
bimbingan teknis buah-buahan 5 kali.
4. 2. 1 Komoditi Unggas
38
memperkuat kemandirian masyarakat peternak dalam pembangunan peternakan
yang berkelanjutan. Upaya pemberdayaan peternak dan kelembagaan peternak
yang berdaya saing tinggi, dilakukan melalui kebijakan penguatan kapasitas
kelembagaan peternak menjadi penguatan kelembagaan ekonomi peternak yang
diarahkan menjadi badan usaha milik peternak atau BUMP dalam bentuk koperasi
ternak dan atau pembentukan perseroan terbatas dan lain-lain yang dapat
meningkatkan status daya tawar peternak dengan berbagai pihak.
Anggota
Jenis Ternak
Koperasi Belum Ada
Tidak
Pelayanan Proses
Koperasi di Koperasi Tidak Administrasi Lainnya
Berminat
Desa Memuaskan Sulit
39
Kambing 1,43 64,32 32,97 0,78 0,35 0,15
40
menfasilitasi sebanyak 63 SMD dan kelompok binaannya untuk didorong
membentuk badan hukum koperasi. Untuk itu, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan telah mengusulkan kepada Kementerian Koperasi dan UKM
agar ditindaklanjuti dan difasilitasi pembentukan koperasi kepada 63 kelompok
peternak tersebut. Dan hal tersebut tentu dirasakan oleh Provinsi Sulawesi selatan
yang jumlah koperasi ataupun non koperasi yang ikut membantu peternakan
meningkat. Harapan pemerintah provinsi Sulawesi selatan peternak dapat
meningkatkan produktivitasnya dengan bekerjasama dengan koperasi ataupun
ukm yang ada. Terutama peternak dalam sektor unggas (ayam) diharpkan dapat
meningkatkan jumlah produktivitasnya sehingga dapat berpeluang
mendistribusikan ayamnya ke Ibu Kota Negara dan dapat mensejahterakan rumah
tangga peternak.
4. 2. 2 Komoditi Perikanan
41
Kelembagaan nelayan memiliki peran penting demi meningkatkan
ekonomi keluarga nelayan yang tidak memiliki modal untuk berlaut ataupu
menjual hasil tangkapannya. Di Sulawesi Selatan sendiri memiliki lembaga
lokal/organisasi nelayan yang biasa dikenal dengan istilah punggawa-sawi.
Punggawa adalah mereka yang memiliki modal (perahu dan alat tangkap),
pengetahuan dan kekuasaan. Sedangkan sawi adalah mereka (nelayan) yang tidak
memiliki apa-apa, kecuali tenaga.
Tabel 4.2 Jumlah RTP Perikanan Sulawesi Selatan menurut Jenis RTP dan Jenis
Kegiatan
42
RTP PUD 8.333 657.825 382.299 406.643 891.71
4. 2. 3 Komoditi Sayuran
Kelembagaan Gapoktan/Kelompok Tani Di Sulawesi Selatan
Dalam pembentukan kelembagaan petani di Provinsi Sulawesi Selatan
Merujuk pada Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani mengacu pada Permen
Pertanian No.82/ Permentan/OT.140/8/2013 Tentang pedoman Pembinaan
Kelompok dam Gabungan Kelompok Tani dan Permen Pertanian RI
No.67/Permentan/SM.050/12/2016 Tentang Pembinaan Kelembagaan Petani.
43
Gambar. Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani
44
Gambar. Dasar Hukum Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian
45
mendukung peningkatan produksi pangan strategis nasional
(padi,jagung,kedelai,aneka cabai, bawang merah,sapi,sawit,karet ,kakao dan kopi)
Kelembagaan GP3A
a. Masyarakat Petani
46
penggarap/penyakap, yang mendapat air dari jaringan irigasi, irigasi rawa,
dan pemakai air irigasi lainnya.
e. . KETENTUAN UMUM
• Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu
jaringan irigasi.
47
• Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian,
pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.
f. Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas
bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan
bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya. •
Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri
atas saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan
bagi sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya. • Jaringan
irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana
pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri atas saluran tersier,
saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta
bangunan pelengkapnya.
48
Kendari. Stasiun Penelitian Tanah Maros diserahkan dari Balitjas Maros tahun
1997 ke IP2TP Ujung Pandang. Pemda Sulawesi Selatan mengharapkan agar
status IP2TP Ujung Pandang ditingkatkan statusnya menjadi BPTP berdasarkan
surat Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 520/5456/Bappeda, tanggal 18
November tahun 2000.Dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna
pelaksanaan tugas dan fungsi pengkajian teknologi pertanian spesifik lokasi, maka
status IP2TP Ujung Pandang berubah menjadi Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Selatan, dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
350/KPTS/OT.210/6/2001, tanggal 14 Mei 2001, ditunjang dengan kebun
percobaan ( KP ) yang ada di Sulawesi Selatan dan Laboratorium masing-masing
adalah; KP. Mariri di Kab. Luwu Utara, KP. Bone-bone di Luwu Utara, KP.
Jeneponto di Jeneponto, KP. Gowa di Gowa dan Laboratorium Tanah Maros di
Maros.
4. 2. 4 Komoditi Buah-Buahan
49
yang berkaitan dengan Sistem Usaha Tani padi. Tujuh belas kelembagaan tersebut
adalah:
1. Kelompok Tani
50
4. Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA)
51
8. Koperasi Unit Desa (KUD)
9. Kelompok Arisan
13. Pasar
4. 3. 1 Komoditi Unggas
52
dan peternakan Provinsi Sulawesi selatan. Data pertama yang menjadi acuan
dalam melihat tingkat ekonomi peternak yaitu: Persentase rumah tangga usaha
peternak menurut jenis ternak dan status penguasaan bangunan tempat tinggal.
Data tersebut menunjukkan kekuasaan peternak berdasarkan bangunannya.
Tabel 4. 2 Persentase rumah tangga usaha peternak menurut jenis ternak dan status
penguasaan bangunan tempat tinggal (%)
Jumla
Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal (%)
h
Jenis Ternak
Milik Bebas Rumah
Sewa Lainnya
Sendiri Sewa Dinas
53
Itik Manila 97,49 0,68 1,62 0 0,21 100
Data kedua yang menjadi acuan dalam melihat tingkat ekonomi peternak
yaitu: Presentase Rumah Tangga Usaha Peternakan Menurut Jenis dan Sumber
listrik Usaha Utama. Data tersebut menunjukkan kualitas listrk yang digunakan
peternak dan kuantitas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sumber listrik
tersebut.
54
Bukan
Listrik PLN Listrik Non-PLN
Listrik
55
penggunaan listriknya lebih sedikit dibandingkan yang menggunakan PLN non
Subsidi. Namun, berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
telah meningkatkan kulitas peternakan dengan menggunakan listrik dibandingkan
dengan minoritas masyarakat yang tidak menggunakan listrik. Penggunaan listrik
tentu sangat berpengaruh dalam perkembangan ternak dan hasil produksi ternak.
Data terakhir yang menjadi acuan dalam melihat tingkat ekonomi peternak
yaitu: Persentase Rumah Tangga Usaha Peternakan Menurut jenis Ternak dan
sumber air minum yang utama. Data tersebut menunjukkan kualitas air yang
digunakan peternak dan kuantitas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan air
tersebut.
Jenis Ternak
Air Isi Sumur Mata Air Air
Ledeng Sumur Lainnya
Ulang Bor Air Sungai Hujan
56
Ayam Kampung 14,47 9,09 22,61 29,3 22,7 0,23 1,58 0,02
Itik Manila 21,14 9,85 31,37 31,11 5,79 0,09 0,51 0,14
57
mensejahterakan rakyat melalui penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan
protein hewani yang mencukupi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau.
4. 3. 2 Komoditi Perikanan
58
penurunan, berbanding terbalik dengan tahun 2017 dan 2018 yang mengalami
kenaikan yang signifikan yang bias dilihat di Grafik 1 Nilai Produksi Perikanan
Sulawesi Selatan.
KABUPATEN TOTAL TAHUN 2015 TOTAL TAHUN 2016 TOTAL TAHUN 2017 TOTAL TAHUN 2018 Total
59
Grafik 4.1 Nilai Produksi Perikanan Sulawesi Selatan
SULAWESI SELATAN
Rp80,000,000,000.00
Rp70,000,000,000.00
Rp60,000,000,000.00
Rp50,000,000,000.00
Rp40,000,000,000.00
Rp30,000,000,000.00
Rp20,000,000,000.00
Rp10,000,000,000.00
Rp0.00
2 01 5 20 1 6 2 0 17 20 1 8
60
4. 3. 3 Komoditi Sayuran
Nilai PDRB Sulawesi Selatan atas dasar dasar harga berlaku 2010 pada
tahun 2017 mencapai 418,93 triliun rupiah. Secara nominal, nilai PDRB ini
mengalami kenaikan sebesar 39,30 triliun rupiah dibandingkan dengan tahun 2016
yang mencapai 379,63 triliun rupiah. Naiknya nilai PDRB ini dipengaruhi oleh
meningkatnya produksi di seluruh lapangan usaha dan adanya inflasi.
61
Inflasi Sulawesi Selatan sampai saat ini masih didominasi oleh besarnya
andil inflasi kota Makassar, sementara bobot inflasi zona lainnya relatif terbatas.
Makassar memiliki porsi hingga 78% terhadap inflasi Sulawesi Selatan sejalan
dengan aktivitas ekonomi Sulsel yang masih berpusat di sekitar kota Makassar.
Selain aktivitas ekonomi, lebih beragamnya jenis konsumsi di kota Makassar
membuat komoditas penyebab inflasi di Makassar cenderung unik dibandingkan
zona lainnya. Sebagai contoh, angkutan udara hanya dicatatkan di zona Makassar
karena dominasi angkutan udara yang tinggi. Sementara itu, kontribusi zona
lainnya terhadap inflasi Sulsel masih belum signifikan yaitu Parepare (7%),
Palopo, (6,4%), Watampone (5,8%), dan zona Bulukumba (2,8%). Tekanan inflasi
pada triwulan II 2019 mengkonfirmasi bahwa zona Makassar merupakan
kontributor utama tekanan inflasi Sulsel diikuti Parepare dan Palopo.
62
4. 3. 4 Komoditi Buah-Buahan
Jika dilihat dari data, jumlah produksi buah-buahan lebih sedikit dibanding
jumlah konsumsi masyarakat di Sulawesi Selatan, hal ini dikarenakan jumlah
penduduk di Sulawesi Selatan meningkat tiap tahunnya yang membutuhkan
asupan gizi akan buah-buahan. Melihat banyaknya kebutuhan konsumsi buah-
buahan, permintaan buah-buahan di Sulawesi Selatan, usaha bertani/berkebun dan
berdagang buah-buahan memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan. Perlu
kiranya untuk dikembangkan strategi peluang usaha sebagai salah satu cara untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat., karena peluang usaha buah-buahan yang
ada di toko maupun pedagang kaki lima memiliki prospek usaha yang
menguntungkan, apalagi pada musim-musim buah tertentu. Hal ini juga akan
berpengaruh pada peningkatan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai
penunjang pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan dan akhirnya dapat
mengekspor ke luar wilayah.
63
sebagai media inteervensi perlu penguatan yakni penguatan pola pemberdayaan,
penguatan kualitas SDM dan penguatan penyuluhan. Disamping itu sangat
penting perhatian pemerintah dan peran swasta sebagai pengendali dan regulator
perlu digerakkan dalam meningkatakan kualitas fasilitas pertanian danperkebunan
buah untuk menunjang produktivitas buah sehingga ekonomi wilayah dapat
meningkat pula. Komoditi - komoditi yang saat ini memerlukan perhatian khusus
pemerintah yaitu: komoditi buah pepaya, durian, pisang,mangga dan jeruk besar..
Sector tersebut memerlukan perhatian khusus dikarekan sector tersebut
berpeluang melakukan distribusi ke berbagai daerah sehingga ekonomi wilayah
dapat meningkat dan kesejahteraan petani/pekebun dapat tercapai juga sehingga
terwujud keterpaduan dan keseimbangan tujuan membantu kehidupan petani dan
keberlanjutan pembangunan pertanian srta perkebunan yang lebih cerah .
64
BAB V ANALISIS PERENCANAAN
ANALISIS PERENCANAAN
5. 1. 1 Komoditi Unggas
Sedangkan untuk hasil analisis LQ nilai produksi, dapat dilihat pada tabel
5.1, Kabupaten Sidrap menempati posisi pertama sebagai wilayah yang basis
berdasarkan hasil LQ nilai produksi sebesar 3,95 dengan ayam petelur sebagai
komoditas yang unggul. Kedua, yaitu Kabupaten Luwu sebagai wilayah yang
basis berdasarkan hasil LQ nilai produksi, yaitu sebesar 3,63 dengan itik sebagai
komoditas yang unggul. Ketiga, yaitu Kabupaten Pinrang yang memiliki hasil LQ
nilai produksi sebesar 2,66 dengan itik sebagai komoditas yang unggul. Keempat,
Kabupaten Maros yang memiliki hasil LQ nilai produksi sebesar 2,25 dengan
ayam pedaging sebagai komoditas yang unggul. Kelima, yaitu Kabupaten Bone
yang memiliki hasil LQ nilai produksi sebesar 1,97 dengan ayam kampung
sebagai komoditas yang unggul.
65
Adapun perbedaan hasil analisis LQ hasil produksi dan nilai produksi ini
dipengaruhi oleh perbedaan harga. Harga ayam kampung per ekor Rp. 45.000,-,
ayam petelur Rp. 35.000,-, ayam pedaging Rp. 20.000,-, dan itik Rp. 40.000.
semakin tinggi harga maka nilai produksi juga akan menjadi semakin tinggi.
66
Tabel 5.1 Analisis Location Quontient Hasil Produksi dan Nilai Produksi Unggas Sulsel 2018
67
5. 1. 2 Komoditi Perikanan
Pada tabel 5.1 menjelaskan bahwa ada beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi
Selatan menjadi sektor basis komoditi perikanan berdasarkan pada hasil produksi
analisis LQ dan nilai produksi LQ. Berdasarkan tabel perbandingan di bawah ini,
hasil yang didapatkan adalah terdapat sejumlah wilayah yang memiliki hasil
produksi dan nilai produksi yang sama-sama basis dan tidak basis di Provinsi
Sulawesi Selatan berdasarkan masing-masing sektornya yaitu Kepulauan Selayar,
Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Pangkep, Barru, Soppeng,
Wajo, Sidrap, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Toraja Utara,
Makassar, Palopo, dan Parepare. Terdapat 19 Kabupaten yang memiliki
perbandingan sama terhapap basis dan tidak basis dalam hasil produksi perikanan
dan nilai produksi perikanan berdasarkan 3 subsektor yaitu subsektor perikanan laut,
perairan umum, dan budidaya. Adapun beberapa wilayah yang tidak sebannding
dengan LQ hasil produksi dan LQ nilai produksi yaitu:
1. Kabupaten Bantaeng pada subsektor perikanan laut berdasarkan hasil analisis
LQ pada hasil produksi yaitu basis sedangkan pada nilai produksi tidak basis,
sehingga walaupun hasil produksi perikanannya tidak unggul atau tidak basis
tetapi hasil jual beli perikanannya atau nilai uang yang didapatkan merupakan
basis di Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Kabupaten Maros dan Kabupaten Enrekang memiliki kasus yang sama pada
subsektor perairan umum, hasil produksi perikanannya menjadi basis atau
unggulan di Provinsi Sulawesi Selatan sedangkan pada hasil jual beli atau nilai
produksi perikanan menjadi tidak basis atau tidak unggul di Sulawesi Selatan.
Hal ini disebabkan karena nilai jual beli atau nilai produksi perikanan subsektor
pada perairan umum memiliki nilai yang rendah dibandingkan wilayah lainnya
di Sulawesi Selatan.
3. Kabupaten Bone dan Kabupaten Pinrang memiliki kasus yang sama yaitu pada
subsektor perikanan laut, hasil produksi menjadi unggul atau basis sedangkan
pada nilai produksi menjadi tidak basis. Hal ini disebabkan karena nilai jual beli
atau nilai produksi perikanan subsektor pada perikanan laut memiliki nilai yang
rendah dibandingkan wilayah lainnya di Sulawesi Selatan. Dan pada subsektor
budidaya perikanannya, hasil produksi menjadi tidak basis sedangkan nilai
produksi menjadi basis.
68
Tabel 5.1 Perbandingan Hasil LQ Hasil Produksi Perikanan Tangkap dan Hasil LQ Nilai Produksi Perikanan Tangkap 2018
LQ HASIL PRODUKSI LQ NILAI PRODUKSI
KABUPATEN
PERIKANAN LAUT PERAIRAN UMUM BUDIDAYA PERIKANAN LAUT PERAIRAN UMUM BUDIDAYA
Kep. Selayar 11,32 - 0,02 2,95 - 0,02
Bulukumba 2,58 - 0,86 2,05 - 0,50
Bantaeng 0,74 - 1,03 1,03 - 1,03
Jeneponto 0,91 - 1,02 0,93 - 1,09
Takalar 0,21 - 1,08 0,31 - 1,42
Gowa 3,80 42,26 0,42 1,00 7,54 0,65
Sinjai 5,19 - 0,61 2,67 - 0,17
Maros 4,70 4,28 0,62 1,25 0,88 0,88
Pangkep 0,55 - 1,05 0,75 - 1,19
Barru 8,75 - 0,27 1,62 - 0,73
Bone 1,34 0,04 0,97 0,73 0,02 1,20
Soppeng - 126,85 0,15 - 26,54 0,18
Wajo 0,36 5,35 1,03 0,45 5,67 1,04
Sidrap - 122,13 0,19 - 22,33 0,40
Pinrang 2,47 0,60 0,86 0,73 0,14 1,19
Enrekang - 1,99 1,09 - 0,43 1,56
Luwu 0,32 0,002 1,07 0,52 0,01 1,30
Tana Toraja - 6,08 1,06 - 1,18 1,52
Luwu Utara 0,10 0,13 1,09 0,30 0,77 1,38
Luwu Timur 0,35 0,15 1,07 0,36 0,15 1,39
Toraja Utara - 1,54 1,09 - 0,24 1,57
Makassar 10,52 - 0,10 2,18 - 0,43
Pare-pare 11,50 - 0,01 2,96 - 0,02
Palopo 1,63 - 0,95 2,03 - 0,51
Sumber: Analisis Penulis, 2020
69
5. 1. 3 Komoditi Sayuran
Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi penyalur komoditas
unggulan ke berbagai provinsi lain di Indonesia salah satunya ke Ibu Kota Negara
Baru Provinsi Kalimantan Timur yaitu Balikpapan dan Panajam Paser Utara.
Komoditas-komoditas yang dimaksud adalah komoditas dari sektor perikanan,
pertanian,peternakan maupun kehutanan. Dalam hal ini teori basis ekonomi sangat
erat kaitannya. Untuk memastikan komoditas apa saja yang menjadi produk unggulan
di Sulawesi Selatan dan kabupaten/kota mana saja yang menjadi penyuplai komoditas
unggulan, perlu dilakukan analisis LQ. Pada pembahasan laporan ini , komoditas
yang akan dibahas lebih lanjutnya terkhusus pada komoditas sayuran. Berikut adalah
tabel perbandingan analisis LQ pada hail produksi sayuran dan nilai produksi
sayuran perkabupaten Sulawesi Selatan Tahun 2018
70
4.1 Tabel Perbandingan Analisis LQ Hasil Produksi dan Nilai Produksi Sayuran Perkabupaten Sulawesi Selatan Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
LQ Hasil Produksi Sayuran tahun 2018 LQ Nilai Produksi Sayuran Tahun 2018
NO Kabupaten/Kota Bawang
Bawang Merah Cabai Kentang Kubis Petsai Cabai Kentang Kubis Petsai
Merah
1 Kep. Selayar 0,02 3,50 0 0 6,17 0,01 3,62 0 0 6,45
2 Bulukumba 0,2 3,40 0 0 5,18 0,20 3,28 0 0 5,05
3 Bantaeng 0,85 0,25 2,15 0,99 0,98 0,95 0,27 2,40 1,11 1,10
4 Jeneponto 1,20 1,72 0,41 0,44 1,34 1,01 1,44 0,35 0,38 1,13
5 Takalar 0,6 3,02 0 0 3,98 0,50 2,67 0 0 3,51
6 Gowa 0,01 1,50 2,40 0,82 0,70 0,01 1,89 3,05 1,05 0,70
7 Sinjai 0,40 3,43 0,23 0,20 0,41 0,35 2,92 0,20 0,18 0,35
8 Maros 0,06 4,42 0 0 0,04 0,05 3,68 0 0 0,03
9 Pangkep 0,45 3,8 0 0 0,63 0,37 3,02 0 0 0,51
10 Barru 0,68 3,54 0 0 0,03 0,51 2,73 0 0 0,03
11 Bone 1,08 2,33 0,01 0 3,61 0,89 1,90 0,01 0 2,94
12 Soppeng 0,56 3,70 0 0 0,01 0,43 2,9 0 0 0,01
13 Wajo 0,01 4,40 0 0 0,78 0,01 3,78 0 0 0,69
14 Sidrap 0 4,15 0 0 2,20 0 3,75 0 0 1,99
15 Pinrang 0,48 3,42 0 0 2,43 0,40 2,91 0 0 2,07
16 Enrekang 1,8 0,42 0,01 1,35 0,61 1,57 0,37 0,01 1,20 0,54
17 Luwu 0,01 3,9 0 0,20 2,89 0,01 3,67 0 0,20 2,79
18 Tana Toraja 0,19 1,88 0,50 0,50 8,47 0,26 2,52 0,67 0,67 11,35
19 Luwu Utara 0,13 3,53 0 0 4,8 0,12 3,43 0 0 4,62
20 Luwu Timur 0,01 2,13 0 0 14,29 0,01 3,28 0 0 22,04
21 Toraja Utara 0,15 2,99 0,5 0,01 5,18 0,16 3,06 0,51 0,01 5,28
22 Makassar 0 3,90 0 3,7 0 3,71 0 0 3,5
23 Pare-pare 1,52 1,17 0 0 6,83 1,30 0,99 0 0 5,81
24 Palopo 1,55 1,35 0 0 5,45 1,25 1,10 0 0 4,42
71
Setelah melakukan analisis LQ baik itu pada Hasil Produksi maupun pada
nilai produksi komoditas sayuran, berdasarkan tabel sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa semua kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi selatan
sekurang kurangnya memiliki 1 komoditas basis dalam artian dapat
melakukan distribusi ke daerah lain. Adapun jenis sayuran yang menjadi fokus
utama dalam laporan ini adalah bawang merah, cabai, kentang, kubis dan
petsai(sawi).
Berdasarkan dari nilai LQ tertinggi, kabupaten Enrekang menjadi
kabupaten dengan nilai LQ tertinggi dan basis pada jenis sayuran bawang merah
dengan nilai LQ sebesar 1,767202 untuk analisis LQ hasil produksi dan 1,56788
untuk analisis LQ nilai produksi. Untuk jenis sayuran cabai, kabupaten Maros
menjadi daerah dengan nilai LQ tertinggi dan basis yaitu sebesar 4,42343 untuk
analisis LQ hasil produksi dan 3,687475 untuk analisis LQ nilai produksi. Untuk
jenis sayuran kentang hanya 2 kabupaten yang menghasilkan data komoditas basis
yaitu Kabupaten Gowa dengan nilai LQ tertinggi yaitu sebesar 2,406857 pada
analisis hasil produksi dan Kabupaten Bantaeng dengan nilai LQ tertinggi kedua
setelah Kabupaten Gowa dengan nilai sebesar 2,151924. Untuk jenis sayuran
kubis, Kabupaten Enrekang kembali menjadi daerah dengan nilai LQ tertinggi dan
basis yaitu sebesar 1,35284 pada analisis hasil produksi dan 1,200253 pada
analisis nilai produksi. Untuk jenis sayuran petsai atau sawi Kabupaten Luwu
Timur mendapatkan Nilai LQ tertinggi pada analisis hasil produksi sebesar
14,29119 dan sebesar 22,0414 pada analsis nilai produksi.
Kemudian dilihat berdasarkan banyak tidaknya komoditas jenis sayur yang
basis pada analisis LQ nilai produksi, hanya 4 kabupaten diantara 24 kabupaten
dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 3 komoditas jenis sayur basis
yaitu Kabupaten Bantaeng dengan komoditas jenis sayur basis diantaranya
kentang, kubis dan petsai, Kabupaten Jeneponto dengan komoditas jenis sayur
basis diantaranya bawang merah, cabai dan petsai. Dan untuk Kota Palopo dan
Kota Parepare dengan komoditas jenis sayur basis diantaranya bawang merah,
cabai dan petsai.
72
5. 1. 4 Komoditi Buah-Buahan
Berdasarkan hasil analisis Location Quontient Produksi terdapat 5 jenis
buah unggul yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu, Mangga, Durian,
Jeruk Pamelo, Pisang dan Pepaya. Pada tabel 5.1, dapat dilihat hasil LQ produksi
tertinggi terdapat pada jenis buah Durian dengan nilai LQ sebesar 7,6 yang
terdapat pada Kabupaten Luwu Utara. Kedua, Buah Jeruk Pamelo dengan nilai
LQ sebesar 6,9 yang terdapat pada Kabupaten Pangkep. Ketiga, Buah Mangga
dengan nilai LQ sebesar 2,8 yang terdapat pada Kota Parepare. Keempat, Buah
Pisang dengan nilai LQ 2,3 yang terdapat di Kabupaten Barru. Kelima, Buah
Pepaya dengan nilai LQ 1,8 yang terdapat di Kabupaten Tana Toraja.
Sedangkan untuk hasil analisis LQ nilai produksi, jenis buah Jeruk
memiliki nilai LQ tertinggi sebesar 7,2 yang terdapat pada Kabupaten Pangkep.
Kedua, buah Durian memiliki nilai LQ sebesar 6,1 yang terdapat pada Kabupaten
Luwu Utara, Ketiga buah Pepaya memiliki nilai LQ sebesar 4,4 yang terdapat
pada Kabupaten Enrekang. Keempat, buah Pisang dengan nilai LQ 2,6 yang
terletak di Kabupaten Barru. Kelima, buah Mangga dengan nilai LQ 2,5 yang
terdapat di Kota Makassar.
Terdapat perbedaan hasil analisis LQ hasil produksi dan hasil analisis LQ
nilai produksi ini dipengaruhi oleh perbedaan harga setiap buah. Semakin tinggi
harga buah semakin tinggi pula nilai produksi.
73
Tabel 5.1 Analisis Location Quontient Hasil Produksi dan Nilai Produksi Buah Sulsel 2018
LQ HASIL PRODUKSI LQ NILAI PRODUKSI
NO KABUPATEN/KOTA
Mangga Durian Jeruk Pisang Pepaya Mangga Durian Jeruk Pisang Pepaya
1 Kep. Selayar 0,7 0,0 1,3 0,4 0,3 0,9 0,0 6,4 0,5 0,4
2 Bulukumba 1,7 3,0 0,2 0,4 0,1 1,4 2,6 0,3 0,3 0,1
3 Bantaeng 1,7 1,1 0,3 0,8 0,2 1,6 1,0 0,7 0,7 0,2
4 Jeneponto 2,4 0,0 0,0 0,6 0,2 2,2 0,0 0,0 0,5 0,1
5 Takalar 1,4 0,0 0,1 1,4 0,3 1,4 0,0 0,1 1,4 0,3
6 Gowa 1,1 0,4 0,6 1,3 0,5 1,1 0,4 0,7 1,4 0,5
7 Sinjai 0,2 1,5 0,5 1,9 0,6 0,2 1,5 0,5 2,0 0,7
8 Maros 0,7 0,2 1,6 1,5 0,6 0,8 0,2 1,5 1,6 0,6
9 Pengkep 0,9 0,0 6,9 0,1 0,3 1,0 0,0 7,2 0,1 0,3
10 Barru 0,4 0,0 0,1 2,3 0,3 0,4 0,0 0,1 2,6 0,4
11 Bone 1,2 0,4 0,1 1,4 0,5 1,2 0,1 1,4 1,4 0,6
12 Soppeng 2,2 0,1 0,0 0,5 0,9 0,1 0,0 0,0 0,4 0,9
13 Wajo 1,6 1,4 0,0 0,9 0,4 1,5 1,3 0,0 0,8 0,3
14 Sidrap 0,8 1,4 0,5 1,5 0,1 0,8 0,5 0,5 1,5 0,1
15 Pinrang 0,8 0,5 0,1 1,5 1,5 0,8 0,5 0,1 1,5 1,5
16 Enrekang 0,7 1,2 0,2 0,4 0,4 0,6 1,1 0,2 0,4 4,4
17 Luwu 1,0 3,2 0,0 0,8 0,7 0,9 2,8 0,0 0,7 0,6
18 Tana Toraja 0,2 2,2 1,1 1,2 1,8 0,2 2,2 1,1 1,1 1,8
19 Luwu Utara 0,1 7,6 1,0 0,3 0,1 0,1 6,1 0,8 0,2 0,1
20 Luwu Timur 0,1 3,3 0,1 1,5 0,6 0,1 3,2 0,1 1,5 0,6
21 Toraja Utara 0,2 3,3 1,2 0,9 1,3 0,2 3,1 1,2 0,9 1,3
22 Makassar 2,7 0,0 0,0 0,3 0,2 2,5 0,0 0,0 0,2 0,2
23 Pare-pare 2,8 0,0 0,0 0,1 0,3 2,5 0,0 0,1 0,1 0,2
24 Palopo 0,3 4,6 4,6 0,8 1,4 0,3 4,0 0,0 0,7 1,2
Sumber: Analisis Penulis, 2020
74
1.2 ANALISIS SUMBER DAYA ALAM
75
Gambar 5. 1 Peta Grafik Produksi Ternak Unggas di Sulawesi Selatan Tahun 2018
76
Tabel 5.2 Produksi Unggas Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
Produksi Unggas (Ekor) TOTAL
No Kabupaten /Kota
Ayam Kampung Ayam Petelur Ayam Pedaging Itik
1 Kep. Selayar 290,723 21,670 15,349 13,556 341,298
2 Bulukumba 792,660 488,331 2,619,541 66,407 3,966,939
3 Bantaeng 941,958 310,875 1,094,500 23,243 2,370,576
4 Jeneponto 3,810,265 25,403 1,109,013 932,547 5,877,228
5 Takalar 2,286,121 67,284 3,565,100 246,141 6,164,646
6 Gowa 1,283,484 556,308 2,196,069 167,579 4,203,440
7 Sinjai 1,187,796 25,881 193,600 38,551 1,445,828
8 Maros 1,830,224 1,660,681 29,662,063 527,957 33,680,925
9 Pengkep 846,389 62,553 1,245,947 603,145 2,758,034
10 Barru 674,295 517,497 3,919,304 144,608 5,255,704
11 Bone 5,324,601 273,304 1,767,097 327,221 7,692,223
12 Soppeng 2,937,672 644,881 316,800 271,171 4,170,524
13 Wajo 792,418 455,364 1,128,879 237,168 2,613,829
14 Sidrap 706,622 5,656,903 3,945,236 1,491,212 11,799,973
15 Pinrang 1,988,790 1,177,210 383,714 1,357,060 4,906,774
16 Enrekang 272,376 964,062 296,340 4,582 1,537,360
17 Luwu 3,442,245 550,637 234,292 2,783,005 7,010,179
18 Tana Toraja 1,064,717 10,941 84,397 1,160,055
19 Luwu Utara 1,176,869 114,899 3,613,500 154,378 5,059,646
20 Luwu Timur 255,876 136,352 909,527 28,873 1,330,628
21 Toraja Utara 380,577 13,705 10,683 27,308 432,273
22 Makassar 139,326 332,157 16,832 488,315
23 Pare-pare 355,074 316,005 1,081,781 7,677 1,760,537
24 Palopo 160,177 10,286 3,403,936 15,255 3,589,654
Sumber: Provinsi Sulsel dalam Angka, 2015-2019
77
Dari hasil produksi diatas adapun nilai produksi yang diperoleh oleh setiap
kabupaten dapat dilihat pada tabel 5.3. nilai produksi diperoleh dari perkalian
antar hasil produksi unggas per satuan ekor dengan harga jual unggas per ekor.
Adapun harga unggas per ekor yang digunakan sebagai nilai jual adalah ayam
kampung Rp. 45.000/ekor , ayam pedaging Rp. 20.000/ekor, ayam petelur Rp.
35.000/ekor, dan itik Rp. 40.000/ekor. nilai tersebut diperoleh dari hasil survei
yang dilakukan di Kabupaten Maros dan beberapa studi literatur.
Kesimpulan dari nilai produksi bahwa ayam kampung merupakan jenis
unggas dengan nilai produksi tertinggi dimana mampu menghasilkan hingga 1,48
Triliun rupiah. Disusul ayam pedaging dengan penghasilan 1.26 triliun rupiah.
Jika dibandingkan dengan total produksi, maka jumlah produksi ayam pedaging
masih merupakan produksi tertinggi jika dibandingkan dengan jenis ayam
kampung. Hal ini dipengaruhi oleh harga 2 jenis ayam tersebut. Dimana harga
ayam kampung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ayam pedaging
Dari perhitungan nilai produksi, terdapat lima kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yang menempati posisi tertinggi dari segi nilai produksi unggas
tahun 2018, yaitu pertama adalah Kabupaten Maros dengan nilai produksi 754,8
miliar rupiah dimana ayam pedaging sebagai komoditas yang unggul. Kedua
adalah Kabupaten Sidrap dengan nilai produksi 368,3 miliar rupiah dimana ayam
petelur sebagai komoditas yang unggul. Ketiga adalah Kabupaten Bone dengan
nilai produksi 297,6 miliar rupiah dimana ayam kampung sebagai komoditas yang
unggul. Keempat adalah Kabupaten Luwu dengan nilai produksi 290,1 miliar
rupiah dimana ayam kampung sebagai komoditas yang unggul. Kelima adalah
kabupaten Jeneponto dengan nilai produksi 231,8 miliar rupiah dimana ayam
kampung sebagai komoditas yang unggul. Kabupaten Takalar tidak menempati
posisi kelima dalam keunggulan nilai produksi dikarenakan Kabupaten Takalar
unggul dengan komoditas ayam pedaging sedangkan Kabupaten Jeneponto unggul
dengan komoditas ayam kampung. Dimana ayam kampung memiliki harga jual
yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga ayam pedaging.
78
Tabel 5.3 Nilai produksi Unggas Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
N KABUPATEN NILAI PRODUKSI UNGGAS (Rp)
TOTAL
O /KOTA Ayam Kampung ayam petelur ayam pedaging itik
1 Kep. Selayar 13,082,535,000 758,450,000 306,980,000 542,240,000 14,690,205,000
2 Bulukumba 35,669,700,000 17,091,585,000 52,390,820,000 2,656,280,000 107,808,385,000
3 Bantaeng 42,388,110,000 10,880,625,000 21,890,000,000 929,720,000 76,088,455,000
4 Jeneponto 171,461,925,000 889,105,000 22,180,260,000 37,301,880,000 231,833,170,000
5 Takalar 102,875,445,000 2,354,940,000 71,302,000,000 9,845,640,000 186,378,025,000
6 Gowa 57,756,780,000 19,470,780,000 43,921,380,000 6,703,160,000 127,852,100,000
7 Sinjai 53,450,820,000 905,835,000 3,872,000,000 1,542,040,000 59,770,695,000
8 Maros 82,360,080,000 58,123,835,000 593,241,260,000 21,118,280,000 754,843,455,000
9 Pengkep 38,087,505,000 2,189,355,000 24,918,940,000 24,125,800,000 89,321,600,000
10 Barru 30,343,275,000 18,112,395,000 78,386,080,000 5,784,320,000 132,626,070,000
11 Bone 239,607,045,000 9,565,640,000 35,341,940,000 13,088,840,000 297,603,465,000
12 Soppeng 132,195,240,000 22,570,835,000 6,336,000,000 10,846,840,000 171,948,915,000
13 Wajo 35,658,810,000 15,937,740,000 22,577,580,000 9,486,720,000 83,660,850,000
14 Sidrap 31,797,990,000 197,991,605,000 78,904,720,000 59,648,480,000 368,342,795,000
15 Pinrang 89,495,550,000 41,202,350,000 7,674,280,000 54,282,400,000 192,654,580,000
16 Enrekang 12,256,920,000 33,742,170,000 5,926,800,000 183,280,000 52,109,170,000
17 Luwu 154,901,025,000 19,272,295,000 4,685,840,000 111,320,200,000 290,179,360,000
18 Tana Toraja 47,912,265,000 - 218,820,000 3,375,880,000 51,506,965,000
19 Luwu Utara 52,959,105,000 4,021,465,000 72,270,000,000 6,175,120,000 135,425,690,000
20 Luwu Timur 11,514,420,000 4,772,320,000 18,190,540,000 1,154,920,000 35,632,200,000
21 Toraja Utara 17,125,965,000 479,675,000 213,660,000 1,092,320,000 18,911,620,000
22 Makassar 6,269,670,000 - 6,643,140,000 673,280,000 13,586,090,000
23 Pare-pare 15,978,330,000 11,060,175,000 21,635,620,000 307,080,000 48,981,205,000
24 Palopo 7,207,965,000 360,010,000 68,078,720,000 610,200,000 76,256,895,000
SULAWESI SELATAN 1,482,356,475,000 491,753,185,000 1,261,107,380,000 382,794,920,000 3,618,011,960,000
Sumber: Analisis Penulis, 2020
79
B. Komoditi Perikanan
Terdapat tiga subsektor yang dibahas dalam sektor perikanan yaitu perikanan
laut, perairan umum, dan budidaya perikanan. Adapun hasil produksi ikan di Provinsi
Sulawesi Selatan lebih dominan pada subsektor budidaya laut. Berikut adalah tabel
produksi perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan kabupaten pada
tahun 2018:
Tabel 5.2 Hasil Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018
(ton)
PERIKANAN PERAIRAN PERIKANAN
KABUPATEN
LAUT UMUM BUDIDAYA
Kep. Selayar 21.592,5 - 493,0
Bulukumba 53.671,0 - 187.250,4
Bantaeng 5.745,2 - 84.336,3
Jeneponto 16.892,6 - 199.172,7
Takalar 10.267,5 - 543.846,7
Gowa 667,3 582,3 783,5
Sinjai 33.470,7 - 41.211,6
Maros 19.740,2 1.411,6 27.485,9
Pangkep 16.676,1 - 336.454,1
Barru 18.965,2 - 6.134,5
Bone 46.641,3 105,6 356.897,1
Soppeng - 2.235,9 364,8
Wajo 16.409,9 18.945,9 486.949,7
Sidrap - 2.536,2 527,8
Pinrang 13.820,7 263,7 50.710,8
Enrekang - 20,7 1.516,7
Luwu 17.379,3 7,2 611.369,5
Tana Toraja - 20,2 469,9
Luwu Utara 1.716,7 183,3 206.971,4
Luwu Timur 9.651,7 331,3 309.730,6
Toraja Utara - 28,0 2.661,0
Makassar 13.525,5 - 1.360,4
Pare-pare 4.647,8 - 33,1
Palopo 18.387,5 - 112.220,8
SULAWESI
SELATAN
339.868,7 26.672 3.568.952,3
Sumber: BPS Sulawesi Selatan
80
Berdasarkan tabel di atas, hasil produksi subsektor budidaya perikanan
merupakan tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan dibandingkan dari subsektor
perairan umum, dan perikanan laut. Sedangkan kabupaten yang menghasilkan
budidaya perikanan tertinggi adalah Kabupaten Luwu dengan hasil produksi
sebanyak 611.369,5 ton. Untuk perairan umum, kabupaten yang menghasilkan
produksi terbanyak adalah Kabupaten Wajo dengan hasil produksi sebanyak
18.945,9 ton. Kabupaten yang menghasilkan produksi ikan tertinggi pada
subsektor perikanan laut adalah Kabupaten Bulukumba dengan hasil produksi
sebanyak 53.671,0 ton. Berikut adalah peta hasil produksi perikanan di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2018:
81
Gambar 5.1 Peta Hasil Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2018
82
Dalam sektor perikanan, terdapat nilai produksi perikanan di 4 subsektor yang
dibahas yaitu perikanan laut, perairan umum, dan budidaya perikanan. Pengertian
nilai produksi menurut kamus besar adalah perkiraan nilai di tingkat petani.
Apabila petani menjual hasil pertaniannya di pasar maka nilai penjualan harus
dikurangi dengan ongkos membawa ke pasar (pemasaran). Pada data hasil
produksi, Provinsi Sulawesi Selatan lebih banyak menghasilkan pada subsketor
budidaya perikanan. Sedangkan pada data nilai produksi, Provinsi Sulawesi
Selatan menghasilkan paling banyak di subsektor budidaya perikanan. Berikut
adalah tabel nilai produksi di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018:
Tabel 5.3 Nilai Produksi Perikanan Menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2018 (rupiah)
PERAIRAN
KABUPATEN PERIKANAN LAUT BUDIDAYA
UMUM
Kep. Selayar Rp 450.677.873,00 - Rp 6.583.523,00
Bulukumba Rp 2.009.221.388,30 - Rp 915.282.298,40
Bantaeng Rp 104.995.706,80 - Rp 198.726.958,70
Jeneponto Rp 284.438.701,90 - Rp 631.390.258,00
Takalar Rp 153.776.537,40 - Rp 1.317.287.134,90
Gowa Rp 11.617.448,00 Rp 8.739.489,00 Rp 14.355.500,00
Sinjai Rp 455.037.043,10 - Rp 55.183.398,90
Maros Rp 365.921.940,60 Rp 25.877.704,00 Rp 486.044.564,20
Pangkep Rp 514.808.471,60 - Rp 1.546.303.879,00
Barru Rp 275.777.631,10 - Rp 234.181.745,00
Bone Rp 787.292.968,80 Rp 1.746.400,00 Rp 2.447.108.544,00
Soppeng - Rp 66.205.432,00 Rp 8.502.200,00
Wajo Rp 441.189.504,80 Rp 550.147.764,00 Rp 1.916.072.474,50
Sidrap - Rp 46.495.167,10 Rp 15.881.400,00
Pinrang Rp 335.039.255,00 Rp 6.409.900,00 Rp 1.026.223.417,30
Enrekang - Rp 448.900,00 Rp 30.891.823,00
Luwu Rp 273.592.524,00 Rp 266.600,00 Rp 1.289.675.352,80
Tana Toraja - Rp 601.550,00 Rp 14.708.970,00
Luwu Utara Rp 49.728.325,90 Rp 12.735.000,00 Rp 434.554.681,00
Luwu Timur Rp 109.992.302,00 Rp 4.644.800,00 Rp 811.386.690,00
Toraja Utara - Rp 713.828,00 Rp 88.455.000,00
Makassar Rp 203.957.139,80 - Rp 75.719.345,00
83
PERAIRAN
KABUPATEN PERIKANAN LAUT BUDIDAYA
UMUM
Pare-pare Rp 89.399.400,00 - Rp 864.265,00
Palopo Rp 345.702.264,80 - Rp 164.069.133,90
SULAWESI
Rp 7.262.166.426,90 Rp 725.032.534,10 Rp 13.729.452.556,60
SELATAN
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan pada tabel di atas, nilai produksi yang paling tinggi terdapat pada
subsektor budidaya perikanan dengan nilai produksi yaitu Rp 13.729.452.556,60.
Di mana kabupaten yang mendapatkan nilai produksi terbanyak pada subsektor
budidaya perikanan adalah Kabupaten Bone yaitu Rp 2.447.108.544,00. Hal
tersebut sebanding dengan hasil produksi perikanan yang terdapat pada tabel 5.3
C. Komoditi Sayuran
Berdasarkan data produksi sayuran Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018,
terdapat lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki hasil produksi
sayuran tertinggi pada tahun 2018. Urutan Pertama jumlah produksi tertinggi adalah
Kabupaten Enrekang, sejumlah 1,293,459 Ton dan memiliki persentase sebesar 45 %.
Dengan jenis sayuran yang unggul yaitu Bawang merah. Kedua, jumlah produksi
tertinggi adalah Kabupaten Gowa , sejumlah 769,218 Ton dan memiliki persentase
sebesar 27 %. Dengan jenis sayuran yang unggul yaitu Kentang. Ketiga, jumlah
produksi tertinggi adalah Kabupaten Bantaeng, sejumlah 436,184 Ton dan memiliki
persentase sebesar 15 %. Dengan jenis sayuran yang unggul yaitu Kentang.
Keempat, jumlah produksi tertinggi adalah Kabupaten Bone, sejumlah 73,570 Ton
dan memiliki persentase sebesar 3 %. Dengan jenis sayuran yang unggul yaitu Cabai.
Kelima, jumlah produksi tertinggi adalah Kabupaten Jeneponto sejumlah 58,100
Ton dan memiliki persentase sebesar 2 %. Dengan jenis sayuran yang unggul yaitu
Bawang merah .
84
Gambar 4.1 Peta Produksi Sayuran di Sulawesi Selatan Tahun 2018
Sumber: Analisis, 2020
85
Tabel 4.3 Produksi Sayuran setiap Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
Hasil Produksi Sayuran TOTAL
NO KABUPATEN/KOTA
Bawang Merah Cabai Kentang Kubis Petsai
1 Kep. Selayar 2 463 0 0 137 602
2 Bulukumba 97 1,154 0 0 295 1,546
3 Bantaeng 120,237 22,935 176,647 100,625 15,740 436,184
4 Jeneponto 22,493 22,163 4,591 5,965 2,888 58,100
5 Takalar 2,416 8,713 0 0 1,910 13,039
6 Gowa 717 253,042 348,425 147,022 20,012 769,218
7 Sinjai 3,645 20,870 1,190 1,319 418 27,442
8 Maros 1,095 53,973 0 0 72 55,140
9 Pangkep 524 2,973 0 0 84 3,581
10 Barru 530 1,933 0 0 3 2,466
11 Bone 25,627 38,069 77 0 9,797 73,570
12 Soppeng 1,251 5,711 0 0 4 6,966
13 Wajo 4 7,548 0 0 229 7,781
14 Sidrap 0 8,608 0 0 760 9,368
15 Pinrang 3,987 19,767 0 0 2,343 26,097
16 Enrekang 735,811 120,474 2,376 405,543 29,255 1,293,459
17 Luwu 10 1,873 0 103 236 2,222
18 Tana Toraja 2,509 16,428 3,666 4,525 12,306 39,434
19 Luwu Utara 175 3,282 0 0 736 4,193
20 Luwu Timur 5 1,386 0 0 1,548 2,939
21 Toraja Utara 1,658 22,312 3,183 90 6,414 33,657
22 Makassar 0 778 0 0 124 902
23 Pare-pare 140 74 0 0 72 286
24 Palopo 991 596 0 0 399 1,986
SULAWESI SELATAN 923,924 635,125 540,155 665,192 105,782 2,870,178
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2018
86
D. Komoditi Buah-Buahan
Berdasarkan Data produksi Buah-buahan perkabupaten di Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2018. Urutan pertama jumlah produksi tertinggi adalah buah Pisang
dengan hasil produksi sebanyak 35.703 ton yang terdapat pada Kabupaten
Pinrang. Jumlah produksi tertinggi kedua adalah buah Jeruk Pamelo sebanyak
27.965 ton yang dimana terdapat pada Kabupaten Pangkep. Ketiga, buah Mangga
dengan hasil produksi sebanyak 18.341 ton yang terdapat pada Kabupaten Bone.
Keempat, buah Pepaya dengan hasil produksi sebanyak 16.056 ton yang terdapat
pada Kabupaten Enrekang. Kelima, buah Durian dengan hasil produksi sebanyak
10.630 ton yang terdapat pada Kabupaten Luwu Utara.
Sementara total hasil produksi buah di Provinsi Sulawesi Selatan, buah
Pisang menduduki urutan tertinggi dimana hasil produksinya sebesar 136.099 ton.
Urutan kedua, hasil produksi buah Mangga sebesar 120.968 ton. Ketiga, buah
Jeruk Pamelo memiliki hasil produksi sebesar 41.061 ton. Keempat, buah Pepaya
memiliki hasil produksi sebesar 37.668 ton. Terakhir, buah Durian memiliki
jumlah produksi sebesar 35.808 ton.
87
Tabel 5.2. Produksi Buah-Buahan Per Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
KABUPATEN PRODUKSI BUAH (TON) TOTAL
NO
/KOTA Mangga Durian Jeruk Pisang Pepaya
1 Kep. Selayar 1.262,4 3,7 3.161,5 794,2 172,4 5.394,2
2 Bulukumba 6.447,4 3.392,7 285,6 1.637,6 109,4 11.872,7
3 Bantaeng 3.084,4 590,4 163,5 1.553,1 113,8 5.505,2
4 Jeneponto 12.982,6 6,3 60,0 3.404,0 269,0 16.721,9
5 Takalar 3.319,5 0,0 79,0 3.764,4 214,8 7.377,7
6 Gowa 13.402,4 1.274,5 2.669,7 18.139,1 1.776,1 37.261,8
7 Sinjai 329,2 847,9 298,8 4.148,8 391,9 6.016,6
8 Maros 2.477,9 151,4 1.544,2 5.450,3 571,1 10.194,9
9 Pengkep 11.922,1 17,4 27.965,9 952,3 1.141,3 41.999,0
10 Barru 1.632,7 39,0 161,8 11.511,2 460,4 13.805,1
11 Bone 18.341,9 1.634,9 290,1 23.408,9 2.558,0 46.233,8
12 Soppeng 5.098,0 41,8 32,2 1.243,1 662,4 7.077,5
13 Wajo 2.577,5 679,4 0,0 1.629,3 183,8 5.070,0
14 Sidrap 2.431,3 1.261,0 550,6 5.121,6 109,7 9.474,2
15 Pinrang 17.078,4 3.423,0 609,9 35.703,7 10.289,0 67.104,0
16 Enrekang 7.165,0 3.681,4 717,0 4.640,3 16.056,3 32.260,0
17 Luwu 3.582,6 3.365,3 40,6 3.239,0 753,1 10.980,6
18 Tana Toraja 133,5 514,5 294,7 1.032,7 451,3 2.426,7
19 Luwu Utara 510,8 10.630,1 1.579,5 1.643,9 133,7 14.498,0
20 Luwu Timur 454,7 2.981,6 86,9 5.220,1 578,5 9.321,8
21 Toraja Utara 242,5 1.007,4 432,5 1.079,7 437,5 3.199,6
22 Makassar 4.039,5 0,0 11,1 457,0 84,6 4.592,2
23 Pare-pare 2.389,6 0,0 26,4 141,3 69,3 2.626,6
24 Palopo 62,3 264,5 0,0 183,8 81,0 591,6
SULAWESI
120.968,2 35.808,2 41.061,5 136.099,4 37.668,4 371.605,7
SELATAN
Sumber: Analisis Penulis, 2020
88
Gambar 5.1. Peta Grafik Produksi Buah-Buahan di Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
89
Dari hasil produksi diatas nilai produksi diperoleh oleh setiap kabupaten
dapat dilihat pada tabel 5.3. nilai produksi diperoleh dari perkalian antar hasil
produksi buah per satuan Kg dengan harga jual buah per Kg. Adapun harga buah
per kg yang digunakan sebagai nilai jual adalah. Harga Pepaya Rp.4.000,-/Kg,
Pisang Rp.3.000,-/Kg, Jeruk Pamelo Rp.2.500,-/Kg, Durian Rp. 5.000,-/Kg dan
Mangga Rp. 4.000,-/Kg
Berdasarkan tabel 5.3. hasil perhitungan nilai produksi komoditi unggul
buah perkabupaten di Sulawesi Selatan, pertama Kabupaten Pinrang dengan hasil
nilai produksi buah Pisang sebesar 107 miliar rupiah. Kedua, Kabupaten Bone
dengan hasil nilai produksi buah Mangga sebesar 7,3 miliar rupiah. Urutan ketiga,
Kabupaten Pangkep dengan hasil nilai produksi buah Jeruk Pamelo sebesar 69
miliar rupiah. Keempat, Kabupaten Enrekang dengan hasil nilai produksi buah
Pepaya sebesar 64 miliar rupiah. Yang terakhir Kabupaten Luwu Utara dengan
hasil nilai produksi buah Durian sebesar 53 Miliar.
Berdasarkan tabel dibawah, dapat disimpulkan hasil nilai produksi buah
Durian merupakan jenis buah dengan nilai produksi tertinggi dimana dapat
menghasilkan nilai sebesar 537 Miliar rupiah. Kedua, buah Mangga menghasilkan
nilai sebesar 474 Miliar rupiah. Ketiga, buah Pisang menghasilkan nilai sebesar
408 Miliar rupiah. Jika dibandingkan dengan total produksi, maka buah Pisang
merupakan produksi tertinggi jika dibandingkan dengan buah Mangga dan buah
Durian. Hal ini dipengaruhi oleh harga ketiga jenis buah tersebut. Dimana harga
buah Durian jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga buah Mangga dan
buah pisang.
90
Tabel 5.3 Nilai produksi Buah Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
91
Tabel 5.4. Tabel Nilai Produksi Berdasarkan Harga di Pasaran
NILAI PRODUKSI HARGA PASARAN TOTAL
No Kabupaten/Kota
Mangga (Rp.42.000) Durian (Rp.15.000) Jeruk (Rp.10.000) Pisang (Rp.20.000) Pepaya (Rp.40.000)
1 Kep. Selayar Rp53.020.800.000 Rp62.900.000 Rp31.615.000.000 Rp15.884.000.000 Rp6.896.000.000 Rp107.478.700.000
2 Bulukumba Rp270.790.800.000 Rp57.675.900.000 Rp2.856.000.000 Rp32.752.000.000 Rp4.376.000.000 Rp368.450.700.000
3 Bantaeng Rp129.544.800.000 Rp10.036.800.000 Rp1.635.000.000 Rp31.062.000.000 Rp4.552.000.000 Rp176.830.600.000
4 Jeneponto Rp545.269.200.000 Rp107.100.000 Rp600.000.000 Rp68.080.000.000 Rp10.760.000.000 Rp624.816.300.000
5 Takalar Rp139.419.000.000 Rp0 Rp790.000.000 Rp75.288.000.000 Rp8.592.000.000 Rp224.089.000.000
6 Gowa Rp562.900.800.000 Rp21.666.500.000 Rp26.697.000.000 Rp362.782.000.000 Rp71.044.000.000 Rp1.045.090.300.000
7 Sinjai Rp13.826.400.000 Rp14.414.300.000 Rp2.988.000.000 Rp82.976.000.000 Rp15.676.000.000 Rp129.880.700.000
8 Maros Rp104.071.800.000 Rp2.573.800.000 Rp15.442.000.000 Rp109.006.000.000 Rp22.844.000.000 Rp253.937.600.000
9 Pangkep Rp500.728.200.000 Rp295.800.000 Rp279.659.000.000 Rp19.046.000.000 Rp45.652.000.000 Rp845.381.000.000
10 Barru Rp68.573.400.000 Rp663.000.000 Rp1.618.000.000 Rp230.224.000.000 Rp18.416.000.000 Rp319.494.400.000
11 Bone Rp770.359.800.000 Rp27.793.300.000 Rp2.901.000.000 Rp468.178.000.000 Rp102.320.000.000 Rp1.371.552.100.000
12 Soppeng Rp214.116.000.000 Rp710.600.000 Rp322.000.000 Rp24.862.000.000 Rp26.496.000.000 Rp266.506.600.000
13 Wajo Rp108.255.000.000 Rp11.549.800.000 Rp0 Rp32.586.000.000 Rp7.352.000.000 Rp159.742.800.000
14 Sidrap Rp102.114.600.000 Rp21.437.000.000 Rp5.506.000.000 Rp102.432.000.000 Rp4.388.000.000 Rp235.877.600.000
15 Pinrang Rp717.292.800.000 Rp58.191.000.000 Rp6.099.000.000 Rp714.074.000.000 Rp411.560.000.000 Rp1.907.216.800.000
16 Enrekang Rp300.930.000.000 Rp62.583.800.000 Rp7.170.000.000 Rp92.806.000.000 Rp642.252.000.000 Rp1.105.741.800.000
17 Luwu Rp150.469.200.000 Rp57.210.100.000 Rp406.000.000 Rp64.780.000.000 Rp30.124.000.000 Rp302.989.300.000
18 Tana Toraja Rp5.607.000.000 Rp8.746.500.000 Rp2.947.000.000 Rp20.654.000.000 Rp18.052.000.000 Rp56.006.500.000
19 Luwu Utara Rp21.453.600.000 Rp180.711.700.000 Rp15.795.000.000 Rp32.878.000.000 Rp5.348.000.000 Rp256.186.300.000
20 Luwu Timur Rp19.097.400.000 Rp50.687.200.000 Rp869.000.000 Rp104.402.000.000 Rp23.140.000.000 Rp198.195.600.000
21 Toraja Utara Rp10.185.000.000 Rp17.125.800.000 Rp4.325.000.000 Rp21.594.000.000 Rp17.500.000.000 Rp70.729.800.000
22 Makassar Rp169.659.000.000 Rp0 Rp111.000.000 Rp9.140.000.000 Rp3.384.000.000 Rp182.294.000.000
23 Pare Pare Rp100.363.200.000 Rp0 Rp264.000.000 Rp2.826.000.000 Rp2.772.000.000 Rp106.225.200.000
24 Palopo Rp2.616.600.000 Rp4.496.500.000 Rp0 Rp3.676.000.000 Rp3.240.000.000 Rp14.029.100.000
SULAWESI SELATAN Rp5.080.664.400.000 Rp608.739.400.000 Rp410.615.000.000 Rp2.721.988.000.000 Rp1.506.736.000.000 Rp10.328.742.800.000
92
Dari tabel 5.4 diatas nilai produksi diperoleh dari perkalian antar hasil
produksi buah per kabupaten per satuan Kg dengan harga jual buah dipasaran diambil
dari daftar harga yang ada di Lotte Mart, yaitu harga buah Mangga Rp.42.000/Kg,
buah Durian Rp.15.000/Kg, buah Jeruk Pamelo Rp.10.000/Kg, buah Pisang
Rp.20.000/Kg dan buah Pepaya Rp.40.000/Kg.
Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup jauh
antara harga dari produsen dengan harga yang beredar di pasaran. Ini dipengaruhi oleh
kegiatan mengumpulkan buah dan distribusi, biaya distribusi setiap kabupaten
berbeda-beda disebabkan biaya gaji buruh, jarak, waktu tempuh dan moda
transportasi.
93
1.2.2 Analisis Pertumbuhan Produksi
A. Komoditi Unggas
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
94
7,000,000
Grafik
5.2
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
95
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
96
3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
97
40,000,000
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
98
tumbuh. Namun pada tahun tertentu mengalami penurunan jumlah
produksi.
Untuk subsektor ayam kampung, hanya terdapat 11 kabupaten dengan nilai
laju pertumbuhan yang positif. Diantaranya adalah Kabupaten Bulukumba,
Jeneponto, Takalar, Gowa, Bonne, Soppeng, Pinrang, Tana Toraja, Luwu Utara,
Kota Makassar dan Kota Pare-pare. Artinya 11 kabupaten ini terus mengalami
pertumbuhan produksi dengan laju yang berfluktuatif sejak tahun 2014-2018.
Sedangkan 13 kabupaten lainnya mengalami pengurangan jumlah produksi.
Dimana pada tahun 2015 kabupaten dengan laju pertumbuhan produksi minus
adalah Kabupaten Selayar, Maros, Pangkep dan Barru. Kabupaten dengan nilai
laju pertumbuhan minus tahun 2016 adalah Kabupaten Selayar dan Wajo, tahun
2017 adalah Kabupaten Selayar, Snjai, Enrekang, Luwu, Luwu Timur, Toraja
Utara dan Palopo, dan pada tahun 2018 adalah Kabupaten Bantaeng, Sidrap,
Enrekang dan Luwu Timur.
Pada subsektor ayam petelur, laju pertumbuhan produksi seluruh kabupaten
berfluktuasi, tidak ada kabupaten yang memiliki persentase kenaikan setiap
tahunnya. Sama halnya dengan subsektor ayam pedaging, laju pertumbuhan
produksi semua kabupaten nilainya mengalami fluktuasi. Pada sector ayam
petelur hanya terdapat 9 kabupaten dengan laju pertumbuhan bernilai positif
dalam jangka waktu 5 tahun. Sedangkan 15 kabupaten lainnya mengalami
penurunan produksi dengan nilai laju pertumbuhan <0. Sedangkan pada sector
ayam pedaging hanya 4 kabupaten yang selalu mengalami peningkatan produksi.
Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan laju pertumbuhan produksi pada
subsektor itik, terdapat tiga kabupaten yang mengalami peningkatan laju
pertumbuhan yang pertama adalah Kabupaten Sidrap dengan nilai rata-rata laju
pertumbuhan sebesar 43,95%, kedua adalah Kabupaten Wajo dengan nilai rata-
rata laju pertumbuhan sebesar 18,12%, dan Kabupaten Gowa dengan nilai rata-
rata laju pertumbuhan sebesar 4,3%.
Penurunan hasil produksi disebabkan karena kualitas pakan yang buruk
akibat pengaruh cuaca yang menyebabkan ternak rentan terkena penyakit, seperti
terkena platoksi atau jamur. Selain itu, masalah biaya juga mempengaruhi
99
penurunan jumlah produksi unggas. Dimana penurunan harga jual mengakibatkan
kerugian akibat dari tingginya biaya produksi.
100
Tabel 5.4 Laju Pertumbuhan Produksi Unggas
101
B. Komoditi Perikanan
Perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun data yang dianalisis dalam laporan ini
adalah produksi perikanan tangkap menurut subsektor dalam kurung waktu 5 tahun
yaitu mulai tahun 2014 sampai tahun 2018. Berikut adalah data pertumbuhan
produksi perikanan tangkap subsektor budidaya laut di Provinsi Sulawesi Selatan:
Grafik 5.1 Diagram Pertumbuhan Hasil Produksi Perikanan Subsektor Perikanan
Laut Tahun 2014-2018 (ton)
PERIKANAN LAUT
2014
2015
2016
2017
2018
102
tahun 2018. Peningkatan ini dipengaruhi oleh peningkatan produksi di sub sector
perikana laut juga adanya bantuan berupa penambahan jumlah sarana penangkapan
ikan oleh pemerintah kepada nelayan untuk memaksimalkan program pertumbuhan
perikanan laut.
Grafik 5.2 Diagram Pertumbuhan Hasil Produksi Perikanan Subsektor Perairan
Umum Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014-2018 (ton)
PERAIRAN UMUM
2014
2015
2016
2017
2018
103
diantaranya yaitu Kabupaten Soppeng dengan hasil produksi pada tahun 2018
sebanyak 2,235.9 ton dan Kabupaten Sidrap sebanyak 2,536.2 ton.
Perikanan laut dan perikanan perairan umum merupakan bagian dari perikanan
tangkap. Berdasarkan hasil pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2 didapatkan bahwa
kabupaten dengan pertumbuhan hasil produksi perikanan tangkap ialah Kabupaten
Wajo. Peningkatan produksi tahun 2014-2018 pada perikanan laut sebanyak 26.47 %
sedangkan pertumbuhan pada perikanan perairan umum tahun 2014-2018 sebanyak
37.89 %. Setelah meneliti lebih lanjut, perkembangan perikanan tangkap pada
Kabupaten Wajo dipengaruhi oleh peningkatan sarana dan prasarana nelayan untuk
peningkatkan hasil produksi subsector perikanan tangkap utamanya pada jenis
rumput laut. Untuk hasil pertumbuhan produksi perikanan budidaya Provinsi
Sulawesi Selatan dibagi menjadi dua diagram, diagram pertama untuk hasil produksi
perikanan budidaya di atas 10.000 ton dan yang kedua adalah diagram hasil produksi
perikanan budidaya di bawah 10.000 ton. Kedua diagram tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4 dan 5 berikut ini.
Grafik 5.3 Diagram Pertumbuhan Hasil Produksi Perikanan Di Atas 10.000 ton
Subsektor Budidaya Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014-2018 (ton)
104
PERIKANAN BUDIDAYA HASIL PRODUKSI DI ATAS 10.000 TON
2014
2015
2016
2017
2018
105
jumlah sarana dan prasarana nelayan di Kabupaten ini maka akan membantu
peningkatan jumlah produksi perikanan budidaya menjadi lebih berkembang.
Grafik 5.4 Diagram Pertumbuhan Hasil Produksi Perikanan Di Bawah 10.000 ton
Subsektor Budidaya Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014-2018 (ton)
2014
2015
2016
2017
2018
106
Ngadi (2013) dikatakan bahwa pengikisan tanah pantai oleh ombak dan berkurangnya
material pelindung pantai juga menjadi penyebab sulitnya mencarikan di laut. Factor
ini kemudian mulai diatasi dengan melakukan beberapa program pelestarian serta
peningkatan kualitas SDA dan SDM sehingga produksi perikanan budiaya dapat
berkembang di tahun berikutnya, hal tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan
produksidi tahun 2017 sebanyak 456.4 ton telah meningkat menjadi 493 ton.
Tabel 5.4 Tingkat Pertumbuhan Produksi Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2014-2018 (persen)
Pertumbuha Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
KABUPATEN
n 2014-2015 2015-2016 2016-2017 2017-2018 2014-2018
Kep. Selayar -34,99 -1,56 -16,08 7,17 -12,90
Bulukumba 15,11 -0,61 6,15 5,07 6,28
Bantaeng -1,06 -2,67 1,21 0,77 -0,45
Jeneponto 11,96 7,44 0,57 26,83 11,29
Takalar 16,46 8,80 -3,51 -45,45 -9,63
Gowa 10,59 10,69 37,75 5,62 15,52
Sinjai 12,22 13,60 16,88 -5,60 8,90
Maros 3,37 0,56 5,07 63,26 15,56
Pangkep 18,86 10,94 35,97 11,58 18,93
Barru -3,59 1,41 3,70 3,94 1,32
Bone 1,22 13,97 15,89 9,80 10,07
Soppeng -40,50 102,23 4,89 -46,32 -9,27
Wajo 68,62 36,69 22,85 0,01 29,72
Sidrap -20,89 2,24 32,11 -23,40 -4,88
Pinrang 7,02 8,99 9,59 10,74 9,07
Enrekang 3,92 12,22 23,30 42,63 19,67
Luwu 7,74 -19,05 14,80 -3,52 -0,86
Tana Toraja -44,65 85,30 0,09 12,93 3,76
Luwu Utara -2,01 1,93 3,62 3,47 1,73
Luwu Timur 6,99 2,80 -2,39 0,62 1,95
Toraja Utara 15,15 3,91 -23,76 0,41 -2,17
Makassar 4,36 2,52 3,24 1,00 2,77
Pare-pare -0,78 5,36 1,44 0,34 1,57
Palopo 1,93 -6,91 9,30 -2,09 0,38
SULAWESI
12,11 4,10 8,14 -7,67 3,90
SELATAN
Sumber: Hasil Analisis 2020
107
Berdasarkan tabel di atas, yang mengalami peningkatan pertumbuhan
produksi yang signifikan selama lima tahun terakhir yaitu mulai tahun 2014
sampai tahun 2018 adalah Kabupaten Wajo, Kabupaten Enrekang, dan
Kabupaten Pangkep. Adapun wilayah yang cenderung menglami peningkatan
produksi setiap tahunnya adalah Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Gowa,
Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Wajo, Pinrang, Enrekang, Tana Toraja,
Luwu Utara, Luwu Timur, Makassar, dan Parepare. Hampir sebagian wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan produksi yang stabil setiap
tahunnya di lihat dari tingkat persentasi setiap kabupaten yang bernilai positif.
C. Komoditi Sayuran
108
tahun 2018 pertumbuhan produksi bawang merah mengalami penurunan yaitu hasil
produksi hanya sebesar 735,811 ton. Produksi kedua terbesar yaitu Kabupaten Bone.
Dimana perkembangan produksi bawang merah mengalami peningkatan setiap tahun.
Dapat di lihat grafik perkembangan produksi dati tahun 2015-2018, produksi tertinggi
terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar 120,237 ton.
109
produksi dari tahun 2015–2018, produksi tertinggi terjadi pada tahun 2018 yaitu
sebesar 253,042 ton.
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2015, Kabupaten Enrekang
pernah mempunyai produksi tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar
119703 ton. dan produksi Kabupaten Gowa Hanya sebesar 70296 ton. akan tetapi
produksi cabai di Kabupaten Gowa terus mengalami peningkatan setiap tahunnya
melebihi produksi cabai di Kabupaten Enrekang.
110
pada tahun sebelumnya pada tahun 2015 jumlah produksi kentang hanya sebesar
145,320 ton.
Produksi kedua terbesar yaitu Kabupaten Bantaeng. Dimana perkembangan
produksi kentang mengalami peningkatan setiap tahun dapat di lihat grafik
perkembangan produksi dari tahun 2015-2018. Produksi tertinggi terjadi pada tahun
2018 yaitu sebesar 176,647 ton.
111
perkembangan produksi dari tahun 2015-2018, produksi tertinggi terjadi pada tahun
2018 yaitu sebesar 147,022 ton.
D. Komoditi Buah-Buahan
112
Grafi k Pertumbuhan
Produksi Mangga Tahun 2014-2018
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
113
Grafi k Pertumbuhan
Produksi Durian Tahun 2014-2018
200,000
180,000
160,000
140,000
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0
114
Grafik Pertumbuhan
Produksi Jeruk Tahun 2014-2018
400,000
350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0
Berdasarkan grafik diatas, secara jelas dapat disimpulkan dan diketahui untuk
penghasil buah Jeruk dengan pertumbuhan produksi tertinggi se Sulawesi Selatan
adalah Kabupaten Pangkep, dengan hasil produksi tertinggi nya pada tahun 2016
dengan jumlah kurang lebih 359.000/ton. Tingkat pertumbuhan produksi jeruk di
Kabupaten Pangkep juga mengalami peningkatan dari tahun 2014-2017. Namun,
pada tahun 2018 mengalami penurunan. Selain Kab. Pangkep ada juga Kab.
Kepulauan Selayar yang menjadi salah satu penghasil tertinggi dengan tingkat
pencapaian produksi tertinggi yaitu sekitar 68.000/ton.
115
Grafik Pertumbuhan
Produksi Pisang Tahun 2014-2018
600,000
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
116
Grafi k Pertumbuhan
Produksi Pepaya Tahun 2014-2018
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
117
1.2.3 Analisis Permintaan
Analisis permintaan merupakan perbandingan jumlah permintaan terhadap hasil
produksi yang ada. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah permintaan sector
unggas di Sulawesi Selatan guna mengetahui kabupaten/kota mana saja yang bisa
menyuplai hasil peternakannya ke IKN.
A. Komoditi Unggas
Ayam Kampung
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
Produksi Permintaan
Grafik 5.6 Permintaan Sektor Ayam Kampung Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
118
Ayam Ras
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
Produksi Permintaan
Grafik 5.7 Permintaan Sektor Ayam Ras Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Adapun data permintaan per kapita yang digunakan yaitu 3 ekor per kapita per
tahun. Asumsi ini didapat dari hasil studi literatur dalam buku statistic peternakan
yang menyatakan bahwa konsumsi daging ayam per kapita per tahun di tahun 2018
adalah 5,58 Kg atau setara dengan 3 ekor ayam. Dari hasil analisis permintaan
kemudian dibandingkan dengan jumlah produksi ayam ras petelur dan pedaging yang
ada di setiap kabupaten untuk mengetahui kabupaten mana saja di Sulawesi Selatan
yang bisa menyuplay ayam ras ke IKN.
Berdasarkan grafik permintaan ayam ras di atas, dari 24 kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat 7 kabupaten/kota yang produksi ayam rasnya
belum memenuhi permintaan, yaitu Kabupaten Selayar, Sinjai, Bonne, Luwu, Tana
Toraja, Toraja Utara, dan Kota Makassar. Sedangkan 17 kabupaten/kota lainnya bisa
melakukan suplay daging ayam ras ke IKN. Dimana Kabupaten Maros merupakan
penyuplai terbesar. Dengan total produksi lebih dari 30 juta ekor ayam ras.
119
Itik
3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
Produksi Permintaan
Data permintaan per kapita yang digunakan yaitu 0,04 ekor per kapita per
tahun. Berdasarkan pada data buku statistic peternakan yang menyatakan bahwa
konsumsi daging ayam per kapita per tahun di tahun 2018 adalah 0,052 Kg atau
setara dengan 0,04 ekor ayam. Berdasarkan grafik di atas, produksi itik Kabupaten
Enrekang dan Kota Makassar belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat di
kabupaten tersebut. Sehingga Kabupaten Enrekang dan Kota Makassar tidak
memenuhi syarat untuk menyuplai daging itik ke IKN.
90,000,000
80,000,000
70,000,000
60,000,000
50,000,000
40,000,000
Permintaan
30,000,000
Produksi
20,000,000
10,000,000
-
AYAM KAMPUNG AYAM RAS ITIK
Grafik 5.9 Permintaan Sektor Peternakan Unggas Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
120
Pada grafik 5.9, secara keseluruhan permintaan daging unggas di Provinsi
Sulawesi Selatan sangat tercukupi oleh hasil produksi yang ada. Tingginya
permintaan dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk yang menempati daerah
tertentu. Kota Makassar merupakan kota yang memiliki permintaan daging unggas
tertinggi. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk Kota Makassar yang tinggi yang ikut
mempengaruhi kebutuhan akan daging unggas. Meski demikian, permintaan sector
unggas di Kota Makassar masih bisa tercukupi karena didukung oleh produksi dari
kabupaten/kota lain.
121
24 Palopo 160,177 10,286 3,403,936 15,255 3,589,654 13
Sumber: Analisis Penulis, 2020
122
Tabel 5.6 Kriteria 2: Laju Pertumbuhan Unggas, Kriteria 3: Permintaan Unggas
Peringka
KABUPATEN Laju Pertumbuhan Unggas Perbandingan Permintaan-Produksi Pering
NO t
/KOTA 2015 2016 2017 2018 (2014-2018) Ayam Kampung Ayam Ras Itik kat
1 Kep. Selayar 0.6 -6.7 6.4 6.6 1.57 12 220,897 -365,821 7,916 23
2 Bulukumba 5 2.6 8.9 18.4 8.55 8 575,130 1,852,894 48,837 13
3 Bantaeng 1.2 -4.1 1.2 -28.2 -8.38 18 844,920 845,539 15,405 15
4 Jeneponto 40 7.3 11.7 41.9 24.21 5 3,622,133 49,037 917,352 5
5 Takalar 1 2.9 0.5 11 3.74 10 2,132,257 2,744,708 233,714 2
6 Gowa 0.2 -12.8 -32.9 11.6 -10.08 20 887,968 470,556 135,634 11
7 Sinjai 34.4 -4.9 -48.6 6.4 -8.57 19 1,061,607 -508,535 28,359 17
8 Maros 232.3 17.1 27.9 41.5 62.88 2 1,648,317 30,273,278 513,264 1
9 Pengkep -54.5 -26.8 -37.6 3.7 -31.84 24 673,399 310,478 589,173 10
10 Barru -38.6 2.7 21.4 21.5 -1.79 15 584,011 3,915,932 137,316 9
11 Bone 72 14.8 -1 20.7 23.91 6 4,932,056 -224,281 295,515 7
12 Soppeng 32.2 3.6 8 93.2 30.01 3 2,819,752 281,371 261,647 8
13 Wajo 6.2 -46.8 38.1 22.9 -1.05 14 586,077 393,813 220,502 12
14 Sidrap 2.4 -4.3 -8.1 12.3 0.28 13 551,078 8,704,770 1,478,649 3
15 Pinrang 5.6 -34.8 0.7 26.9 -3.13 16 1,794,007 437,175 1,341,328 4
16 Enrekang 31.1 -6.2 -2.9 3.8 5.51 9 165,866 645,921 -4,021 21
17 Luwu 100.3 5.8 0.5 29.2 28.81 4 3,255,456 -292,698 2,767,918 6
18 Tana Toraja -44.3 1 8.6 30.1 -5.57 17 943,650 -687,522 74,619 18
19 Luwu Utara 40.3 0.3 18.6 10 16.38 7 1,015,425 2,796,989 141,338 14
20 Luwu Timur -83.7 101.8 2.5 -13.5 -26.57 23 103,089 164,413 16,532 16
21 Toraja Utara -51.1 36.7 -19.8 0.2 -14.39 21 261,082 -665,006 17,656 22
22 Makassar 1.8 -56.7 -5.8 -3.7 -20.5 22 -644,914 -4,192,305 -46,510 24
23 Pare-pare 6.4 5.6 -6.7 10.1 3.64 11 280,345 966,656 1,641 19
1769.
24 Palopo 40.1 17.4 16.8 144.75 1 66,224 2,872,188 7,667 20
1
Sumber: Analisis Penulis, 2020
123
Berdasarkan hasil penentuan peringkat dengan metode perankingan (ranking
method) menggunakan 3 kriteria, yaitu jumlah produksi, laju pertumbuhan produksi 5
tahun terakhir, dan analisis permintaan, dihasilkan peringkat dari yang terkecil hingga
ke terbesar (Tabel 5.5 dan Tabel 5.6). Nilai tersebut kemudian digunakan untuk
menentukan kabupaten/kota potensial dengan menggunakan metode kuartil. Dimana
diketahui nilai terendah dalam perankingan adalah 3 dan nilai tertinggi adalah 72.
Artinya range nilai adalah 3-72 dengan jumlah data (n=(nilai tertinggi-nilai
terendah+1))=70. Adapun perhitungan kuartil sebagai berikut.
Hasil analisis diperoleh nilai kuartil 1=17,75 dibulatkan menjadi 18, kuartil
2=35,5 dibulatkan menjadi 36, dan kuartil 3=53,25 dibulatkan menjadi 53. Artinya
bahwa dalam analisis ini, kabupaten yang memiliki total poin peringkat berdasarkan 3
kriteria diatas dengan range 3-18 masuk dalam kategori kabupaten sangat berpotensi
sector peternakan unggasnya, kabupaten dengan total poin 19-36 termasuk dalam
kategori kabupaten berpotensi sector peternakan unggasnya, kabupaten dengan range
nilai 37-53 termasuk dalam kategori kabupaten kurang berpotensi sector peternakan
unggasnya, dan kabupaten yang memiliki range nilai 54-72 termasuk dalam kategori
kabupaten tidak berpotensi sector peternakan unggasnya.
124
Tabel 5.8 Kriteria Penentuan Kabupaten Potensial Sektor Peternakan Unggas
PERINGKAT
No Kabupaten TOTAL Range Peringkat berdasarkan 3 kriteria
Produksi Pertumbuhan Permintaan
1 Kepulauan Selayar 24 12 23 59 Maros 4
2 Bulukumba 12 8 13 33 Luwu 14
Sangat
3 Bantaeng 16 18 15 49 Jeneponto 16
berpotensi
4 Jeneponto 6 5 5 16 Bone 16 (3-18)
5 Takalar 5 10 2 17 Takalar 17
6 Gowa 10 20 11 41 Sidrap 18
7 Sinjai 19 19 17 55 Soppeng 22
8 Maros 1 2 1 4 Pinrang 29
9 Pangkep 14 24 10 48 Luwu Utara 29 Berpotensi
10 Barru 7 15 9 31 Barru 31 (19-36)
11 Bone 3 6 7 16 Bulukumba 33
12 Soppeng 11 3 8 22 Palopo 34
13 Wajo 15 14 12 41 Gowa 41
14 Sidrap 2 13 3 18 Wajo 41
Kurang
15 Pinrang 9 16 4 29 Pare Pare 47
Berpotensi
16 Enrekang 18 9 21 48 Pangkep 48 (37-53)
17 Luwu 4 4 6 14 Enrekang 48
18 Tana Toraja 21 17 18 56 Bantaeng 49
19 Luwu Utara 8 7 14 29 Sinjai 55
20 Luwu Timur 20 23 16 59 Tana Toraja 56
Tidak
21 Toraja Utara 23 21 22 66 Kepulauan Selayar 59
Berpotensi
22 Makassar 22 22 24 68 Luwu Timur 59 (54-72)
23 Pare Pare 17 11 19 47 Toraja Utara 66
24 Palopo 13 1 20 34 Makassar 68
Sumber: Analisis Penulis, 2020
125
Gambar 5. 2 Peta Potensi Sektor Peternakan Unggas Sulawesi Selatan
B. Komoditi Perikanan
126
Analisis permintaan untuk mengetahui sebuah wilayah apakah surplus atau
defisit, artinya apakah wilayah tersebut dapat melakukan kegiatan ekspor. Adapun
target konsumsi ikan secara nasional berdasarkan Kementerian Kelautan dan
Perikanan yaitu 50,65 Kg/Kapita/Tahun. Sedangkan jumlah konsumsi ikan di
Provinsi Sulawesi Selatan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 yaitu 46,5 Kg/Kapita/Tahun. Hal ini
membuktikan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan belum mampu mencapai target
konsumsi ikan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk melihat kemampuan Provinsi Sulawesi Selatan dalam melakukan kegiatan
ekspor, maka dianalisis jumlah permintaan ikan dengan melihat standar konsumsi
ikan nasional dan mengakumulasikannya dengan populasi di wilayah tersebut.
Berikut adalah perbandingan jumlah permintaan ikan di setiap kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan dengan hasil produksi perikanan tangkap Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2018:
127
Grafik 5.5 Grafik Perbandingan Jumlah Permintaan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan Hasil Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2018
KONSU
MSI
IKAN
128
Berdasarkan gambar di atas, terdapat 17 kabupaten yang surplus atau
target permintaan ikan di wilayahnya melebihi hasil produksi ikannya sehingga
wilayah tersebut dapat melakukan kegiatan ekspor. Terdapat tiga wilayah yang
palig mampu melakukan kegiatan ekspor ditinjau dari hasil produksi yaitu
Kabupaten Luwu, Takalar, dan Kabupaten Wajo, hal tersebut disebabkan karena
tingginya hasil produksi ikan di wilayahnya sedangkan populasinya rendah.
Sedangkan Kabupaten yang defisit adalah Kabupaten Enrekang, Kota Parepare,
Kabupaten Soppeng, Toraja Utara, Tana Toraja, Sidrap, Gowa, dan Kota
Makassar. Beberapa penyebab dari wilayah yang defisit yaitu rendahnya hasil
produksi ikan di wilahnya sedangkan permintaan yang tinggi.
Dalam skala Provinsi Sulawesi Selatandengan jumlah populasi pada tahun
2018 yaitu sebanyak 8.771.970 jiwa, mempunyai jumlah permintaan ikan yaitu
444.300,28 ton/tahun. Dilihat dari hasil produksi perikanan berdasarkan 3
subsektor pada tahun 2018 yaitu 3.935.492,90 ton/tahun, maka Provinsi Sulawesi
Selatan surplus atau mampu melakukan kegiatan ekspor karena permintaan ikan
melebihi dari hasil produksi ikannya.
Jadi, hal yang menyebabkan Provinsi Sulawesi Selatan belum mencapai
target konsumsi ikan nasional yaitu 50,65 kg/kap/tahun karena masih kurangnya
minat masyarakat dalam mengkonsumsi ikan. Jika berdasarkan dengan hasil
perbandingan di atas, Provinsi Sulawesi Selatan sangat mampu untuk memenuhi
konsumsi ikan wilayahnya sendiri dan sangat mampu untuk melakukan ekspor ke
wilayah laiinya.
Tabel 5.4 Hasil Produksi Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan (ton) 2018
PERIKANAN PERAIRAN PERIKANAN PEMERIN
KABUPATEN TOTAL
LAUT UMUM BUDIDAYA GKATAN
Luwu 17.379,3 7,2 611.369,5 628.756,00 1
Takalar 10.267,5 - 543.846,7 554.114,20 2
Wajo 16.409,9 18.945,9 486.949,7 522.305,50 3
Bone 46.641,3 105,6 356.897,1 403.644,00 4
Pangkep 16.676,1 - 336.454,1 353.130,20 5
Luwu Timur 9.651,7 331,3 309.730,6 319.713,60 6
Bulukumba 53.671,0 - 187.250,4 240.921,40 7
Jeneponto 16.892,6 - 199.172,7 216.065,30 8
Luwu Utara 1.716,7 183,3 206.971,4 208.871,40 9
Palopo 18.387,5 - 112.220,8 130.608,30 10
Bantaeng 5.745,2 - 84.336,3 90.081,50 11
129
Sinjai 33.470,7 - 41.211,6 74.682,30 12
Pinrang 13.820,7 263,7 50.710,8 64.795,20 13
Maros 19.740,2 1.411,6 27.485,9 48.637,70 14
Barru 18.965,2 - 6.134,5 25.099,70 15
Kep. Selayar 21.592,5 - 493,0 22.085,50 16
Makassar 13.525,5 - 1.360,4 14.885,90 17
Pare-pare 4.647,8 - 33,1 4.680,90 18
Sidrap - 2.536,2 527,8 3.064,00 19
Toraja Utara - 28,0 2.661,0 2.689,00 20
Soppeng - 2.235,9 364,8 2.600,70 21
Gowa 667,3 582,3 783,5 2.033,10 22
Enrekang - 20,7 1.516,7 1.537,40 23
Tana Toraja - 20,2 469,9 490,1 24
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil produksi yang paling tertinggi
diberi nilai peringkat 1 dan hasil produksi yang paling rendah diberi nilai
peringkat 24. Sehingga hasil produksi perikanan tangkap tertinggi yaitu
Kabupaten Luwu.
130
Tabel 5.6 Tingkat Pertumbuhan Hasil Produksi Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014-2018 (persen)
Pertumbuhan PEMERING
KABUPATEN 2014 2015 2016 2017 2018
2014-2018 (%) KATAN
Wajo 184.445,50 311.006,40 425.112,80 522.264,20 522.305,50 29,72 1
Enrekang 749,6 779 874,2 1.077,90 1.537,40 19,67 2
Pangkep 176.524,50 209.811,90 232.758,90 316.480,40 353.130,20 18,93 3
Maros 27.278,00 28.197,00 28.354,10 29.791,60 48.637,70 15,56 4
Gowa 1.141,60 1.262,50 1.397,40 1.924,90 2.033,10 15,52 5
Jeneponto 140.833,10 157.670,70 169.399,60 170.361,50 216.065,30 11,29 6
Bone 274.994,30 278.338,10 317.208,60 367.622,70 403.644,00 10,07 7
Pinrang 45.777,20 48.988,60 53.392,30 58.511,40 64.795,20 9,07 8
Sinjai 53.094,20 59.580,50 67.682,10 79.108,80 74.682,30 8,9 9
Bulukumba 188.818,90 217.342,60 216.018,70 229.296,70 240.921,40 6,28 10
Tana Toraja 422,8 234 433,6 434 490,1 3,76 11
Makassar 13.344,90 13.926,40 14.276,80 14.739,20 14.885,90 2,77 12
Luwu Timur 295.952,30 316.648,60 325.500,70 317.732,40 319.713,60 1,95 13
Luwu Utara 195.037,30 191.124,30 194.811,90 201.870,00 208.871,40 1,73 14
Pare-pare 4.398,70 4.364,60 4.598,60 4.665,00 4.680,90 1,57 15
Barru 23.818,30 22.963,10 23.285,80 24.148,00 25.099,70 1,32 16
Palopo 128.618,40 131.098,00 122.043,40 133.395,20 130.608,30 0,38 17
Bantaeng 91.715,50 90.743,30 88.324,70 89.390,80 90.081,50 -0,45 18
Luwu 650.920,80 701.287,40 567.687,60 651.727,60 628.756,00 -0,86 19
Toraja Utara 2.935,50 3.380,20 3.512,40 2.677,90 2.689,00 -2,17 20
Sidrap 3.743,30 2.961,50 3.027,80 4.000,10 3.064,00 -4,88 21
Soppeng 3.838,40 2.283,80 4.618,50 4.844,40 2.600,70 -9,27 22
Takalar 830.908,20 967.664,90 1.052.824,40 1.015.879,90 554.114,20 -9,63 23
Kep. Selayar 38.378,30 24.948,00 24.558,30 20.608,60 22.085,50 -12,9 24
131
Pada tabel di atas,tingkat pertumbuhan hasil produksi perikanan tangkap di
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014-2018 yaitu Kabupaten Wajo dengan
tingkat pertumbuhan produksi 29,72 %, kemudian Kabupaten Enrekang 19,67 %.
Pertumbuhan produksi yang paling mengalami peningkatan produksi diberi nilai
pemeringkatan 1 yaitu Kabupaten Wajo, sedangkan daerah yang tidak
mengalamai peningkatan hasil produksi secara signifikan diberi nilai
pemeringkatan 24 yaitu Kepulauan Selayar karena pertumbuhan produksinya
menurun.
Tabel 5.7 Perbandingan Konsumsi Ikan dengan Hasil Produksi Perikanan Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2018
TARGET HASIL
KONSUMSI PRODUKSI PEMERING
KABUPATEN SURPLUS
IKAN IKAN 2018 KATAN
(ton/tahun) (ton/tahun)
Luwu 18193,94 628.756,00 610.562,06 1
Takalar 14986,93 554.114,20 539.127,27 2
Wajo 20098,43 522.305,50 502.207,07 3
Bone 38235,38 403.644,00 365.408,62 4
Pangkep 16849,94 353.130,20 336.280,26 5
Luwu Timur 14882,08 319.713,60 304.831,52 6
Bulukumba 21188,21 240.921,40 219.733,19 7
Jeneponto 18324,82 216.065,30 197.740,48 8
Luwu Utara 15725,31 208.871,40 193.146,09 9
Palopo 9151,34 130.608,30 121.456,96 10
Bantaeng 9451,9 90.081,50 80.629,60 11
Sinjai 12291,34 74.682,30 62.390,96 12
Pinrang 18972,63 64.795,20 45.822,57 13
Maros 17718,48 48.637,70 30.919,22 14
Barru 8794 25.099,70 16.305,70 15
Kep. Selayar 6801,28 22.085,50 15.284,22 16
Pare-pare 7278,91 4.680,90 -2.598,01 17
Enrekang 10374,49 1.537,40 -8.837,09 18
Soppeng 11485,9 2.600,70 -8.885,20 19
Toraja Utara 11639,27 2.689,00 -8.950,27 20
Tana Toraja 11792,38 490,1 -11.302,28 21
Sidrap 15150,58 3.064,00 -12.086,58 22
132
TARGET HASIL
KONSUMSI PRODUKSI PEMERING
KABUPATEN SURPLUS
IKAN IKAN 2018 KATAN
(ton/tahun) (ton/tahun)
Gowa 38524,74 2.033,10 -36.491,64 23
Makassar 76388 14.885,90 -61.502,10 24
SULAWESI
444300,28 3.935.492,90 3.491.192,62
SELATAN
Sumber: BPS Sulawesi Selatan, Hasil Analisis 2020
Pada tabel di atas, dapat di lihat bahwa daerah yang mampu melakukan ekspor
ikan karena hasil produksi ikan di wilayahnya telah mampu memenuhi standar
konsumsi ikan untuk setiap orang. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan bahwa standar konsumsi ikan setiap orang
adalah 50,65 kg/kapita/tahun. Setelah dilakukan analisis yaitu standar konsumsi ikan
dikalikan dengan jumlah penduduk untuk setiap kabupaten dapat di lihat kabupaten
yang telah mampu memenuhi kebutuhan ikan untuk daerahnya sendiri. Daerah yang
paling mampu melakukan ekspor atau dapat dikatakan surplus dalam produksi
perikanan tangkap diberi nilai peringkat 1 dan daerah yang defisit diberi nilai
peringkat 24.
133
TINGKAT TOTAL
HASIL
KABUPATEN PERTUMBUHAN SURPLUS PEMERING
PRODUKSI
PRODUKSI KATAN
Sinjai 12 9 12 33
Pinrang 13 8 13 34
Palopo 10 17 10 37
Bantaeng 11 18 11 40
Enrekang 23 2 18 43
Barru 15 16 15 46
Gowa 22 5 23 50
Pare-pare 18 15 17 50
Makassar 17 12 24 53
Kep. Selayar 16 24 16 56
Tana Toraja 24 11 21 56
Toraja Utara 20 20 20 60
Soppeng 21 22 19 62
Sidrap 19 21 22 62
Pada tabel 5. Dapat di lihat hasil analisis daerah potensial perikanan tangkap
dengan melihat hasil skoring dari tiga indikator yaitu hasil produksi perikanan,
tingkat pertumbuhan produksi 5 tahun terakhir, dan daerah yang surplus atau telah
mampu memenuhi konsumsi wilayahnya. Hasil skoring dari tiga indikator tersebut
tersebut di jumlahkan untuk melihat nilai skoring dari masing-masing wilayah. Nilai
total skoring di masing-masing wilayah kemudian dikelompokkan dalam 4 kelompok
yaitu klasifikasi tinggi, sedang, cukup, dan tidak cukup. Klasifikasi tinggi artinya
wilayah tersebut merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk melakukan
kegiatan ekspor dan klasifikasi yang paling bawah yaitu klasifikasi tidak berpotensi,
artinya wilayah tersebut tidak berpotensi untuk melakukan ekspor hasi perikanan jika
ditinjau dari ketiga indikator tersebut. Dalam melakukan pengelompokan wilayah,
rumus yang digunakan adalah dengan mencari kuartil atas, kuartil tengah, dan kuartil
bawah.
134
PEMERINGKATA
N
Wajo 7
SANGAT
Pangkep 13
BERPOTENSI (3-18)
Bone 15
Luwu 21
Jeneponto 22
Bulukumba 24
Luwu Timur 25
Takalar 27 BERPOTENSI (19-36)
Maros 32
Luwu Utara 32
Sinjai 33
Pinrang 34
Palopo 37
Bantaeng 40
Enrekang 43
KURANG
Barru 46
BERPOTENSI (37-53)
Gowa 50
Pare-pare 50
Makassar 53
Kep. Selayar 56
Tana Toraja 56
TIDAK BERPOTENSI
Toraja Utara 60
(54-72)
Soppeng 62
Sidrap 62
Sumber: Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan tabel di atas, terdapat tiga wilayah yang masuk dalam klasifikasi
sangat berpotensi yaitu Kabupaten Wajo, Pangkep, dan Bone. Kabupaten tersebut
yang mendapatkan nilai terendah dalam nilai peringkat artinya secara umum wilayah-
wilayah tersebut memiliki produksi perikanan budidaya yang tinggi, pertumbuhan
produksi yang meningkat selama 5 tahun terakhir, dan hasil produksinya telah
mampu memenuhi konsumsi ikan di wilayahnya. Sedangkan wilayah yang tidak
berpotensi untuk melakukan ekspor produksi hasil perikanan ada 5 kabupaten yaitu
Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, Kepulauan Selayar, Sidrap, dan Kabupaten
135
Soppeng. Hal tersebut diakibatkan karena wilayah-wilayah tersebut secara umum
memiliki hasil produksi yang rendah, pertumbuhan yang rendah, dan hasil produksi
ikannya belum mampu untuk memenui konsumsi wilayahnya sendiri. Berikut adalah
pemetaan daerah potensial ekspor perikanan di Provinsi Sulawesi Selatan:
Gambar 1. Peta Daerah Potensial Perikanan Tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan
C. Komoditi Sayuran
136
Analisis permintaan merupakan perbandingan antara jumlah perintaan terhadap
hasil produksi yang ada di setiap kabupaten/kota. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah permintaan komoditi sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan guna
mengetahui kabupaten/kota mana saja yang telah bisa menyuplai hasil pertanian
khususnya komoditi sayuran ke IKN.
Adapun standar konsumsi yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan data
dari Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan, Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian tahun 2018, rata- rata konsumsi sayuran Nasional untuk satu
orang yaitu 57,8 kg/kapita/tahun.
Gambar 4.9 Grafik Perkembangan Konsumsi Sayur Dan Buah Tahun 2013 – 2017 (Kg/Kap/Tahun)
Ket:
56,9+ 59,6+60+60,7+51,9
Rata-Rata Konsumsi Sayur Nasional per kg/kap/tahun: =57,82
5
137
Tabel 4.5 Analisis kebutuhan Sayuran setiap Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2018
Jumlah
Hasil Konsumsi Hasil Produksi
Rata-Rata Penduduk
No Kabupaten 2018 2018 (ton) Keterangan
Konsumsi Sayur Tahun 2018
per kg/kap/tahun
1 Kepulauan selayar 57.82 134280 7,764 990 Defisit
2 Bulukumba 57.82 418326 24,188 1,847 Defisit
3 Bantaeng 57.82 186612 10,790 596,986 Surplus
4 Jeneponto 57.82 361793 20,919 61,556 Surplus
5 Takalar 57.82 295892 17,108 13,321 Defisit
6 Gowa 57.82 760607 43,978 1,080,921 Surplus
7 Sinjai 57.82 242672 14,031 30,945 Surplus
8 Maros 57.82 349822 20,227 56,168 Surplus
9 Pangkep 57.82 332674 19,235 4,551 Defisit
10 Barru 57.82 173623 10,039 2,556 Defisit
11 Bone 57.82 754894 43,648 89,684 Surplus
12 Soppeng 57.82 226770 13,112 7,535 Defisit
13 Wajo 57.82 396810 22,944 8,213 Defisit
14 Sidrap 57.82 299123 17,295 10,844 Defisit
15 Pinrang 57.82 374583 21,658 34,859 Surplus
16 Enrekang 57.82 204827 11,843 1,802,019 Surplus
17 Luwu 57.82 359209 20,769 3,011 Defisit
18 Tanah Toraja 57.82 232821 13,462 51,285 Surplus
19 Luwu Utara 57.82 310470 17,951 6,325 Defisit
20 Luwu Timur 57.82 293822 16,989 3,946 Defisit
21 Toraja Utara 57.82 229798 13,287 45,483 Surplus
22 Makassar 57.82 1508154 87,201 1,073 Defisit
23 Pare-pare 57.82 143710 8,309 300 Defisit
24 Palopo 57.82 180678 10,447 2,217 Defisit
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2018
138
Gambar 4.10 Grafik Produksi dan Permintaan Komoditi Sayuran di Sulawesi Selatan Tahun 2018
Sumber: Analisis Penulis, 2020
139
Tabel. Tingkat Pertumbuhan Produksi Sayuran Berdasarkan Tahun (%) di Sulawesi Selatan
Berdasarkan tabel berapa titik berapa di atas terdapat beberapa daerah yang
tidak mengalami peningkatan persentase hasil produksi per tahun dan ada pula
daerah yang mengalami peningkatan persentase setiap tahunnya. Di mana pada
jenjang waktu setahun (2014-2015) secara keseluruhan Kabupaten/Kota yang ada di
140
Sulawesi Selatan mengalami peningkatan persentase dengan rata-rata sebesar
46.86%, pada jenjang waktu (2015-2016) secara keseluruhan Kabupaten/Kota yang
ada di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan persentase dengan rata-rata sebesar
0.27%, pada jenjang waktu (2016-2017) secara keseluruhan Kabupaten/Kota yang
ada di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan persentase dengan rata-rata sebesar
0.09%, dan pada jenjang waktu (2017-2018) secara keseluruhan Kabupaten/Kota
yang ada di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan persentase dengan rata-rata
sebesar 0.22%. Rata-rata hasil Persentase Pertumbuhan hasil Produksi 24
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2015-2016, tahun 2016-2017, dan
tahun 2017-2018 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan rata-rata
persentase tahun (2014-2015)
141
22 Makassar 22 22 22 66
23 Pare-pare 24 24 24 72
24 Palopo 20 20 20 60
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Enrekang 3
Gowa 6
Bantaeng 9
Sangat Berpotensi (3-18)
Bone 12
Jeneponto 16
Maros 17
Tana Toraja 21
Toraja Utara 24
Sinjai 28
Berpotensi (19-36)
Pinrang 29
Takalar 34
Sidrap 35
Wajo 39
Soppeng 42
Pangkep 48 Kurang Berpotensi (37-53)
Luwu Utara 45
Luwu Timur 51
Barru 55
Luwu 56
Palopo 60
Bulukumba 63 Tidak Berpotensi (54-72)
Makassar 66
Kep. Selayar 69
Pare-pare 72
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Dari hasil analisis yang dilakukan pada tabel di atas maka dapat diketahui
bahwa terdapat 6 Kabupaten di Sulawesi selatan yang sangat berpotensi dalam
memenuhi kebutuhan sayuran di daerahnya masing-masing, serta dapat
menyuplai daerah yang kekurangan hasil produksi sayur di Sulawesi Setan dan
diluar Sulawesi Selatan terkhusus Ibu Kota Negara (IKN). Hal ini ditinjau dari
142
pemenuhan 3 krtiteria penilaian yaitu Hasil Produksi, Tingkat Pertumbuhan
pertahuan dan 5 tahun terakhir, serta Analisis Pemintaan/Surplus.
143
D. Komoditi Buah-Buahan
Analisis permintaan merupakan perbandingan jumlah permintaan terhadap
hasil produksi yang ada. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah
permintaan sektor buah-buahan di Sulawesi Selatan guna mengetahui
kabupaten/kota mana saja yang bisa mengekspor hasil buah-buahannya ke IKN.
Adapun standar konsumsi setiap orang yang ditetapkan oleh WHO/FAO
adalah sebesar 200 gram/kap/hari atau setara dengan 73 kg/kap/tahun. Standar
konsumsi ini digunakan untuk mendapatkan jumlah kebutuhan dan hasil produksi
tiap kabupaten sehingga dapat diketahui kabupaten mana saja di Sulawesi Selatan
yang bisa mengekspor hasil buah-buahannya ke IKN. Berikut adalah
perbandingan jumlah kebutuhan/permintaan buah di setiap kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan dengan hasil produksi buah-buahan Provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2018.
144
Tabel 5.5. Perbandingan Konsumsi/Kebutuhan Buah-Buahan dengan Hasil Produksi Buah-Buaha
n Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018
Analisis Kebutuhan
Hasil
Jumlah STANDAR JUMLAH Surplus/Defis
Kabupaten/Kot Produksi Rank
Penduduk KONSUMSI (KEBUTUHA it
a 2018
2018 (KG) N)
Kep. Selayar 134280 73 9802440 5394200.000 -4408240 5
Bulukumba 11872700.00
418326 73 30537798 -18665098 22
0
Bantaeng 186612 73 13622676 5505200.000 -8117476 7
Jeneponto 16721900.00
361793 73 26410889 -9688989 11
0
Takalar 295892 73 21600116 7377700.000 -14222416 17
Gowa 37261800.00
760607 73 55524311 -18262511 21
0
Sinjai 242672 73 17715056 6016600.000 -11698456 12
Maros 10194900.00
349822 73 25537006 -15342106 20
0
Pangkep 41999000.00
332674 73 24285202 17713798 2
0
Barru 13805100.00
173623 73 12674479 1130621 4
0
Bone 46233800.00
754894 73 55107262 -8873462 9
0
Soppeng 226770 73 16554210 7077500.000 -9476710 10
Wajo 396810 73 28967130 5070000.000 -23897130 23
Sidrap 299123 73 21835979 9474200.000 -12361779 14
Pinrang 67104000.00
374583 73 27344559 39759441 1
0
Enrekang 32260000.00
204827 73 14952371 17307629 3
0
Luwu 10980600.00
359209 73 26222257 -15241657 19
0
Tana Toraja 232821 73 16995933 2426700.000 -14569233 18
Luwu Utara 14498000.00
310470 73 22664310 -8166310 8
0
Luwu Timur 293822 73 21449006 9321800.000 -12127206 13
Toraja Utara 229798 73 16775254 3199600.000 -13575654 16
Makassar 1508154 73 110095242 4592200.000 -105503042 24
145
Pare Pare 143710 73 10490830 2626600.000 -7864230 6
Palopo 180678 73 13189494 591600.000 -12597894 15
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Grafik 5.6. Diagram Perbandingan Jumlah Kebutuhan dan Hasil Produksi Buah-Buahan di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018
120000000
100000000
80000000
60000000
40000000
20000000
146
defisit yaitu rendahnya hasil produksi buah di wilahnya sedangkan
permintaan yang tinggi.
Adapun dalam skala Provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah populasi
pada tahun 2018 yaitu sebanyak 8.771.970 jiwa, mempunyai jumlah
permintaan buah yaitu 640.353.810 kg/tahun. Dilihat dari hasil produksi
buah-buahan pada tahun 2018 yaitu 371.605.700 kg/tahun, maka Provinsi
Sulawesi Selatan defisit atau belum mampu melakukan kegiatan ekspor
karena permintaan buah yang melebihi hasil produksi buahnya.
Berdasarkan hasil perbandingan di atas, maka disimpulkan bahwa
Provinsi Sulawesi Selatan belum mampu untuk memenuhi konsumsi buah di
wilayahnya sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa Provinsi Sulawesi
Selatan juga belum mampu untuk melakukan ekspor ke wilayah lainnya. Dala
m melakukan kegiatan ekspor untuk menunjang Ibu Kota Negara Baru, maka
perlu untuk menganalisis daerah yang berpotensi atau mampu untuk melakuk
an ekspor di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam melihat suatu daerah berpoten
si yaitu dengan tiga kriteria yaitu hasil produksi tertinggi, pertumbuhan produ
ksi selama lima tahun terakhir, dan tingkat konsumsi buah di daerah tersebut.
147
Tabel 5.6. Hasil Produksi Buah-Buahan Provinsi Sulawesi Selatan (kg) 2018
DATA BPS SULSEL 2018 (KG) TOTAL Skoring
Kabupaten/Kota
Mangga Durian Jeruk Pisang Pepaya
Kep. Selayar 1,262,400.0 3,700.0 3,161,500.0 794,200.0 172,400.0 5,394,200.0 18
Bulukumba 6,447,400.0 3,392,700.0 285,600.0 1,637,600.0 109,400.0 11,872,700.0 9
Bantaeng 3,084,400.0 590,400.0 163,500.0 1,553,100.0 113,800.0 5,505,200.0 17
Jeneponto 12,982,600.0 6,300.0 60,000.0 3,404,000.0 269,000.0 16,721,900.0 6
Takalar 3,319,500.0 0.0 79,000.0 3,764,400.0 214,800.0 7,377,700.0 14
Gowa 13,402,400.0 1,274,500.0 2,669,700.0 18,139,100.0 1,776,100.0 37,261,800.0 4
Sinjai 329,200.0 847,900.0 298,800.0 4,148,800.0 391,900.0 6,016,600.0 16
Maros 2,477,900.0 151,400.0 1,544,200.0 5,450,300.0 571,100.0 10,194,900.0 11
27,965,900.
3
Pangkep 11,922,100.0 17,400.0 0 952,300.0 1,141,300.0 41,999,000.0
Barru 1,632,700.0 39,000.0 161,800.0 11,511,200.0 460,400.0 13,805,100.0 8
Bone 18,341,900.0 1,634,900.0 290,100.0 23,408,900.0 2,558,000.0 46,233,800.0 2
Soppeng 5,098,000.0 41,800.0 32,200.0 1,243,100.0 662,400.0 7,077,500.0 15
Wajo 2,577,500.0 679,400.0 0.0 1,629,300.0 183,800.0 5,070,000.0 19
Sidrap 2,431,300.0 1,261,000.0 550,600.0 5,121,600.0 109,700.0 9,474,200.0 12
10,289,000.
Pinrang 1
17,078,400.0 3,423,000.0 609,900.0 35,703,700.0 0 67,104,000.0
16,056,300.
Enrekang 5
7,165,000.0 3,681,400.0 717,000.0 4,640,300.0 0 32,260,000.0
Luwu 3,582,600.0 3,365,300.0 40,600.0 3,239,000.0 753,100.0 10,980,600.0 10
Tana Toraja 133,500.0 514,500.0 294,700.0 1,032,700.0 451,300.0 2,426,700.0 23
10,630,100.
Luwu Utara 7
510,800.0 0 1,579,500.0 1,643,900.0 133,700.0 14,498,000.0
Luwu Timur 454,700.0 2,981,600.0 86,900.0 5,220,100.0 578,500.0 9,321,800.0 13
Toraja Utara 242,500.0 1,007,400.0 432,500.0 1,079,700.0 437,500.0 3,199,600.0 21
Makassar 4,039,500.0 0.0 11,100.0 457,000.0 84,600.0 4,592,200.0 20
Pare Pare 2,389,600.0 0.0 26,400.0 141,300.0 69,300.0 2,626,600.0 22
Palopo 62,300.0 264,500.0 0.0 183,800.0 81,000.0 591,600.0 24
120,968,200. 35,808,200. 41,061,500. 136,099,400. 37,668,400. 371,605,700.
SULAWESI SELATAN
0 0 0 0 0 0
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan
Pada tabel 5.6. dapat dilihat bahwa hasil produksi yang paling tertinggi di
beri nilai skoring 1 dan hasil produksi yang paling rendah diberi nilai skoring 24.
Sehingga hasil produksi buah-buahan tertinggi ditempati oleh Kabupaten Pinrang
dan terendah yaitu Kota Palopo.
Tabel 5.7. Pertumbuhan Hasil Produksi Buah-Buahan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 20
14-2018 (kg)
148
Pertumbuhan
Kabupaten/Kota 2014 2015 2016 2017 2018 Produksi
2014-2018
Pada tabel 5.7. dapat dilihat bahwa pertumbuhan produksi didapatkan dari
hasil pengurangan hasil produksi buah-buahan tahun 2018 dengan hasil produksi
buah-buahan tahun 2014. Pertumbuhan produksi yang paling mengalami peningka
tan produksi diberi nilai skoring 1 yaitu Kabupaten Gowa, sedangkan daerah yang
tidak mengalami peningkatan hasil produksi secara signifikan diberi nilai skoring
24 yaitu Kabupaten Luwu Timur.
149
Tabel 5.8. Analisis Daerah Potensial Produksi Buah-Buahan Provinsi Sulawesi Selatan
INDEKS BERDASARKAN 3 FAKTOR TOTAL
Pertumbuhan
PRODUKSI
produksi 2014- SURPLUS
TINGGI
No Kabupaten 2018
Kepulauan
17 5
1 Selayar 18 40
2 Bulukumba 9 20 22 51
3 Bantaeng 17 14 7 38
4 Jeneponto 6 15 11 32
5 Takalar 14 23 17 54
6 Gowa 4 1 21 26
7 Sinjai 16 7 12 35
8 Maros 11 4 20 35
9 Pangkep 3 18 2 23
10 Barru 8 2 4 14
11 Bone 2 3 9 14
12 Soppeng 15 9 10 34
13 Wajo 19 19 23 61
14 Sidrap 12 12 14 38
15 Pinrang 1 6 1 8
16 Enrekang 5 8 3 16
17 Luwu 10 5 19 34
18 Tana Toraja 23 16 18 57
19 Luwu Utara 7 22 8 37
20 Luwu Timur 13 24 13 50
21 Toraja Utara 21 13 16 50
22 Makassar 20 10 24 54
23 Pare Pare 22 11 6 39
24 Palopo 24 21 15 60
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Pada tabel 5.8. dapat dilihat hasil analisis daerah potensial buah-buahan de
ngan melihat hasil skoring dari tiga kriteria yaitu daerah yang memiliki produksi t
ertinggi, pertumbuhan produksi 5 tahun terakhir, dan daerah yang surplus. Hasil s
koring dari tiga kriteria tersebut ditotalkan untuk melihat nilai skoring dari
masing-masing wilayah. Nilai total skoring di masing-masing wilayah kemudian
dikelompokkan dalam 4 kelompok yaitu klasifikasi tinggi, sedang, cukup, dan
tidak cukup. Klasifikasi tinggi artinya wilayah tersebut merupakan wilayah yang
sangat potensial untuk melakukan kegiatan ekspor dan klasifikasi yang paling
150
bawah yaitu klasifikasi tidak cukup, artinya wilayah tersebut tidak berpotensi
untuk melakukan ekspor hasil buah-buahan jika ditinjau dari ketiga indikator
tersebut. Dalam melakukan pengelompokan wilayah, rumus yang digunakan
adalah dengan mencari kuartil atas, kuartil tengah, dan kuartil bawah. Untuk
pengelompokan datanya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
NILAI TOTAL
NO. KABUPATEN KLASIFIKASI
SKORING
1 Pinrang 8
2 Bone 14
TINGGI
3 Barru 14
4 Enrekang 16
5. Pangkep 23
6 Gowa 26
7 Jeneponto 32
8 Luwu 34 SEDANG
9 Soppeng 34
10 Maros 35
11 Sinjai 35
12 Luwu Utara 37
13 Sidrap 38
14 Bantaeng 38
15 Pare Pare 39
16 Kepulauan Selayar 40
17 Luwu Timur 50
CUKUP
18 Toraja Utara 50
19 Bulukumba 51
20 Takalar 54
21 Makassar 54
22 Tana Toraja 57
23 Palopo 60
TIDAK CUKUP
24 Wajo 61
Sumber: Analisis Penulis, 2020
Klasifikasi tinggi dengan nilai skoring 1-20 adalah kabupaten yang paling
berpotensi dalam melakukan ekspor buah-buahan. Klasifikasi sedang dengan nilai
skoring 21-35 berpotensi dalam melakukan ekspor buah-buahan. Klasifikasi cuku
p dengan nilai skoring 36-58 adalah kabupaten yang cukup mampu untuk melaku
151
kan ekspor buah-buahan dan klasifikasi tidak cukup dengan nilai skoring 59-72 ti
dak mampu untuk melakukan kegiatan ekspor buah-buahan.
Berdasarkan tabel 5.9, terdapat empat wilayah yang masuk dalam
klasifikasi tinggi yaitu Kabupaten Pinrang, Bone, Barru dan Enrekang. Kabupaten
yang mendapatkan nilai terendah dalam skoring artinya wilayah-wilayah tersebut
memiliki produksi buah-buahan yang tinggi, pertumbuhan produksi yang
meningkat selama 5 tahun terakhir, dan hasil produksinya telah mampu memenuhi
konsumsi buah di wilayahnya. Untuk pemetaan wilayahnya dapat dilihat pada ga
mbar di bawah ini.
152
Gambar 5.2. Peta Potensial Sektor Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
153
1.3 ANALISIS POTENSI EKONOMI (Analisis Shift Share)
Terdapat beberapa istilah dalam Analisis Shitf Share diantaranya adalah KPN,
KPP, KPPW, PE, dan PB. PE merupakan nilai shift share, PB merupakan nilai
yang digunakan untuk mengetahui kemunduran dan kemajuan suatu sector, KPN
adalah pertumbuhan nasional dalam perhitungan potensi ekonomi suatu provinsi,
maka KPN adalah nilai pertumbuhan provinsi. KPP adalah nilai untuk mengetahui
cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi, dan KPPW adalah nilai yang
digunakan untuk mengukur persaingan ekonomi dalam suatu wilayah.
154
karena nilai KPP-W bernilai positif dan memiliki progresif berdasarkan nilai PB.
Tingginya hasil analisis Shiftshare sector ayam pedaging di Kota Palopo
dipengaruhi oleh pertumbuhan produksi yang sangat signifikan selama 5 tahun
terakhir. Dimana pada tahun 2014 produksi ayam pedaging sebanyak 160,1 ribu
ekor meningkat menjadi 3,4 juta ekor.
Kedua, yaitu Kabupaten Luwu dengan PE, PB, KPP, dan KPP W bernilai
positif. Dimana PE nya bernilai 38,01 pada komoditi itik yang berarti komoditi
tersebut menunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Luwu. Karena semua
indikatornya bernilai positif, artinya secara nasional pertumbuhannya cepat
berdasarkan nilai KPP, memiliki keunggulan komparatif atau daya saing
berdasarkan nilai KPP W, dan memiliki nilai progresif berdasarkan nilai PB.
Ketiga, yaitu Kabupaten Barru dengan PE, PB, dan KPP W bernilai positif,
dimana PE sebesar 20,36 pada komoditi ayam petelur yang berarti komoditi
tersebut menunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Barru. Namun, nilai
KPP nya bernilai negatif yang artinya secara nasional pertumbuhannya lambat,
komoditi ini tetap memiliki keunggulan komparatif atau daya saing karena nilai
KPP W bernilai positif dan memiliki progresif berdasarkan nilai PB.
Keempat, yaitu Kabupaten Maros dengan PE, PB, dan KPP W bernilai
positif, dimana PE sebesar 12,88 pada komoditi ayam pedaging yang berarti
komoditi tersebut menunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Maros.
Namun, nilai KPP nya bernilai negatif yang artinya secara nasional
pertumbuhannya lambat, komoditi ini tetap memiliki keunggulan komparatif atau
daya saing karena nilai KPP W bernilai positif dan memiliki progresif
berdasarkan nilai PB.
Kelima, yaitu Kabupaten Bone dengan PE, PB, KPP, dan KPP W bernilai
positif. Dimana PE nya bernilai 11,03 pada komoditi ayam kampung yang berarti
komoditi tersebut menunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bone. Karena
semua indikatornya bernilai positif, artinya secara nasional pertumbuhannya cepat
berdasarkan nilai KPP, memiliki keunggulan komparatif atau daya saing
berdasarkan nilai KPP W, dan memiliki nilai progresif berdasarkan nilai PB.
155
Tabel 5.9 Hasil Analisis Shift Share Sektor Peternakan Unggas di Sulawesi Selatan
Analisis Shift
NO KABUPATEN JENIS UNGGAS PB KPN KPP KPP W
Share (PE)
Ayam Kampung -0.37 0.43 0.08 -0.45 0.06
Ayam Petelur 0.54 0.43 -0.09 0.63 0.97
1 KEP. SELAYAR
Ayam Pedaging -0.96 0.43 -0.17 -0.79 -0.53
Itik 3.75 0.43 0.70 3.04 4.17
Ayam Kampung -0.19 0.43 0.08 -0.27 0.24
Ayam Petelur 0.95 0.43 -0.09 1.04 1.38
2 BULUKUMBA
Ayam Pedaging -0.12 0.43 -0.17 0.05 0.31
Itik 2.81 0.43 0.70 2.11 3.24
Ayam Kampung -0.98 0.43 0.08 -1.06 -0.55
Ayam Petelur -0.01 0.43 -0.09 0.08 0.42
3 BANTAENG
Ayam Pedaging -0.36 0.43 -0.17 -0.18 0.07
Itik -0.18 0.43 0.70 -0.89 0.24
Ayam Kampung 1.10 0.43 0.08 1.02 1.53
Ayam Petelur 1.38 0.43 -0.09 1.47 1.81
4 JENEPONTO
Ayam Pedaging -0.02 0.43 -0.17 0.15 0.40
Itik 4.23 0.43 0.70 3.53 4.66
Ayam Kampung -0.31 0.43 0.08 -0.39 0.12
Ayam Petelur -0.35 0.43 -0.09 -0.26 0.08
5 TAKALAR
Ayam Pedaging -0.25 0.43 -0.17 -0.08 0.18
Itik -0.17 0.43 0.70 -0.87 0.26
Ayam Kampung 0.18 0.43 0.08 0.10 0.61
Ayam Petelur -0.51 0.43 -0.09 -0.42 -0.08
6 GOWA
Ayam Pedaging -0.98 0.43 -0.17 -0.81 -0.55
Itik -0.25 0.43 0.70 -0.95 0.18
Ayam Kampung -0.43 0.43 0.08 -0.51 0.00
Ayam Petelur -0.84 0.43 -0.09 -0.75 -0.41
7 SINJAI
Ayam Pedaging -1.19 0.43 -0.17 -1.02 -0.76
Itik 0.02 0.43 0.70 -0.68 0.45
Ayam Kampung -0.63 0.43 0.08 -0.71 -0.20
Ayam Petelur 9.35 0.43 -0.09 9.44 9.78
8 MAROS
Ayam Pedaging 12.45 0.43 -0.17 12.62 12.88
Itik 1.17 0.43 0.70 0.47 1.60
Ayam Kampung -0.36 0.43 0.08 -0.43 0.07
Ayam Petelur -1.21 0.43 -0.09 -1.12 -0.78
9 PANGKEP
Ayam Pedaging -1.32 0.43 -0.17 -1.15 -0.89
Itik 0.32 0.43 0.70 -0.38 0.75
Ayam Kampung -0.41 0.43 0.08 -0.49 0.02
Ayam Petelur 19.93 0.43 -0.09 20.02 20.36
10 BARRU
Ayam Pedaging -0.57 0.43 -0.17 -0.40 -0.14
Itik -1.07 0.43 0.70 -1.77 -0.64
Ayam Kampung 10.60 0.43 0.08 10.53 11.03
Ayam Petelur 0.66 0.43 -0.09 0.74 1.08
11 BONNE
Ayam Pedaging -0.74 0.43 -0.17 -0.57 -0.31
Itik 1.37 0.43 0.70 0.66 1.79
Ayam Kampung 3.49 0.43 0.08 3.41 3.92
Ayam Petelur -0.16 0.43 -0.09 -0.07 0.27
12 SOPPENG
Ayam Pedaging -0.09 0.43 -0.17 0.08 0.34
Itik 0.89 0.43 0.70 0.19 1.32
Sumber: Analisis Penulis, 2020
156
-lanjutan
N Analisis Shift
KABUPATEN JENIS UNGGAS PB KPN KPP KPP W Share (PE)
O
Ayam Kampung -0.07 0.43 0.08 -0.15 0.36
13 WAJO Ayam Petelur 3.88 0.43 -0.09 3.97 4.31
Ayam Pedaging -0.84 0.43 -0.17 -0.67 -0.42
Itik 0.44 0.43 0.70 -0.26 0.87
Ayam Kampung -0.96 0.43 0.08 -1.04 -0.53
Ayam Petelur -0.44 0.43 -0.09 -0.35 -0.01
14 SIDRAP
Ayam Pedaging -0.42 0.43 -0.17 -0.25 0.01
Itik 1.43 0.43 0.70 0.73 1.86
Ayam Kampung -0.06 0.43 0.08 -0.14 0.37
Ayam Petelur 0.12 0.43 -0.09 0.21 0.55
15 PINRANG
Ayam Pedaging -1.27 0.43 -0.17 -1.09 -0.84
Itik -0.07 0.43 0.70 -0.77 0.36
Ayam Kampung 0.33 0.43 0.08 0.25 0.75
Ayam Petelur -0.37 0.43 -0.09 -0.28 0.06
16 ENREKANG
Ayam Pedaging 0.26 0.43 -0.17 0.43 0.69
Itik 2.41 0.43 0.70 1.71 2.84
Ayam Kampung -0.03 0.43 0.08 -0.11 0.40
Ayam Petelur - 0.43 -0.09 - -
17 LUWU
Ayam Pedaging 15.15 0.43 -0.17 15.32 15.58
Itik 37.58 0.43 0.70 36.88 38.01
Ayam Kampung 0.16 0.43 0.08 0.09 0.59
TANAH Ayam Petelur -1.43 0.43 -0.09 -1.34 -1.00
18
TORAJA Ayam Pedaging -1.41 0.43 -0.17 -1.24 -0.99
Itik 7.86 0.43 0.70 7.16 8.29
Ayam Kampung 0.19 0.43 0.08 0.11 0.62
Ayam Petelur -1.11 0.43 -0.09 -1.02 -0.68
19 LUWU UTARA
Ayam Pedaging 2.77 0.43 -0.17 2.94 3.20
Itik -1.24 0.43 0.70 -1.94 -0.81
Ayam Kampung 0.01 0.43 0.08 -0.07 0.44
Ayam Petelur 0.15 0.43 -0.09 0.24 0.58
20 LUWU TIMUR
Ayam Pedaging -1.21 0.43 -0.17 -1.04 -0.78
Itik -1.16 0.43 0.70 -1.86 -0.73
Ayam Kampung -0.22 0.43 0.08 -0.30 0.21
TORAJA Ayam Petelur -1.20 0.43 -0.09 -1.11 -0.77
21
UTARA Ayam Pedaging -1.40 0.43 -0.17 -1.23 -0.97
Itik -0.78 0.43 0.70 -1.48 -0.35
Ayam Kampung -0.10 0.43 0.08 -0.18 0.33
Ayam Petelur - 0.43 -0.09 - -
22 MAKASSAR
Ayam Pedaging -1.13 0.43 -0.17 -0.96 -0.70
Itik -0.48 0.43 0.70 -1.18 -0.05
Ayam Kampung -0.25 0.43 0.08 -0.33 0.18
Ayam Petelur -0.11 0.43 -0.09 -0.02 0.32
23 PARE-PARE
Ayam Pedaging -0.33 0.43 -0.17 -0.15 0.10
Itik 0.30 0.43 0.70 -0.40 0.73
Ayam Kampung 1.23 0.43 0.08 1.15 1.66
Ayam Petelur 0.55 0.43 -0.09 0.64 0.98
24 PALOPO
Ayam Pedaging 425.13 0.43 -0.17 425.30 425.56
Itik -0.86 0.43 0.70 -1.56 -0.43
Sumber: Analisis Penulis, 2020
157
5.3.2 Komoditi Peikanan
158
kabupaten. Sama seperti Kabupaten Luwu Utara, kabupaten ini juga memiliki
nilai PB, KPP, KPP W yang positif. Nilai PB positif menyatakan bahwa komoditi ini
merupakan komoditi yang progresif, sedangkan nilai KPP dan KPPW positif berarti
daerah tersebut berspesialisasi dalam sektor yang secara nasional tumbuh cepat dan
mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) di wilayah/daerah
tersebut (disebut juga sebagai keuntungan lokasional). Hasil yang tinggi tersebut
dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah hasil produksi selama 5 tahun terakhir yaitu
pada tahun 2014 sebanyak 451.5 ton menjadi 1,411.6 ton pada tahun 2018.
Selain ketiga kabupaten dengan nilai PE tertiggi, terdapat juga beberapa
kabupaten lain yang juga memiliki nilai PE positif yaitu Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Pangkep dengan nilai PE masing-masing 1.25 dan 1.01 pada komoditi
perikanan perairan umum dan perikanan budidaya.
159
ANALISIS
NO KABUPATEN JENIS PERIKANAN PB KPN KPP KPP W SHIFT SHARE
(PE)
160
PERIKANAN LAUT -0.42 0.17 0.02 -0.43 -0.25
KEP.
1 PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
SELAYAR
BUDIDAYA -1.11 0.17 -0.005 -1.11 -0.95
PERIKANAN LAUT -0.16 0.17 0.02 -0.18 0.00
2 BULUKUMBA PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA 0.22 0.17 -0.005 0.22 0.38
PERIKANAN LAUT -0.02 0.17 0.02 -0.04 0.14
3 BANTAENG PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA -0.19 0.17 -0.005 -0.19 -0.03
PERIKANAN LAUT -0.16 0.17 0.02 -0.18 0.01
4 JENEPONTO PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA 0.44 0.17 -0.005 0.45 0.61
PERIKANAN LAUT -0.40 0.17 0.02 -0.42 -0.24
5 TAKALAR PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA -0.50 0.17 -0.005 -0.50 -0.33
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
6 GOWA PERAIRAN UMUM -0.13 0.17 0.70 -0.83 0.03
BUDIDAYA 0.19 0.17 -0.005 0.19 0.35
PERIKANAN LAUT 0.26 0.17 0.02 0.24 0.42
7 SINJAI PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA 0.23 0.17 -0.005 0.23 0.39
PERIKANAN LAUT 0.18 0.17 0.02 0.16 0.34
8 MAROS PERAIRAN UMUM 1.64 0.17 0.70 0.94 1.81
BUDIDAYA 1.11 0.17 -0.005 1.12 1.28
PERIKANAN LAUT 0.73 0.17 0.02 0.72 0.90
9 PANGKEP PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA 0.84 0.17 -0.005 0.85 1.01
PERIKANAN LAUT -0.10 0.17 0.02 -0.12 0.06
10 BARRU PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA -0.13 0.17 -0.005 -0.13 0.03
PERIKANAN LAUT 0.23 0.17 0.02 0.21 0.39
11 BONE PERAIRAN UMUM -0.40 0.17 0.70 -1.10 -0.23
BUDIDAYA 0.31 0.17 -0.005 0.32 0.48
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
12 SOPPENG PERAIRAN UMUM -0.55 0.17 0.70 -1.25 -0.38
BUDIDAYA 0.43 0.17 -0.005 0.44 0.60
PERIKANAN LAUT 1.39 0.17 0.02 1.38 1.56
13 WAJO PERAIRAN UMUM 2.45 0.17 0.70 1.75 2.61
BUDIDAYA 1.65 0.17 -0.005 1.66 1.82
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
14 SIDRAP PERAIRAN UMUM -0.35 0.17 0.70 -1.05 -0.18
BUDIDAYA -0.34 0.17 -0.005 -0.34 -0.18
161
PERIKANAN LAUT -0.09 0.17 0.02 -0.10 0.08
15 PINRANG PERAIRAN UMUM -0.31 0.17 0.70 -1.01 -0.14
BUDIDAYA 0.39 0.17 -0.005 0.39 0.55
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
16 ENREKANG PERAIRAN UMUM 1.08 0.17 0.70 0.38 1.25
BUDIDAYA 0.88 0.17 -0.005 0.89 1.05
PERIKANAN LAUT 0.27 0.17 0.02 0.26 0.44
17 LUWU PERAIRAN UMUM -1.15 0.17 0.70 -1.85 -0.98
BUDIDAYA -0.21 0.17 -0.005 -0.20 -0.04
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
TANA
18 PERAIRAN UMUM 0.41 0.17 0.70 -0.29 0.58
TORAJA
BUDIDAYA -0.02 0.17 -0.005 -0.01 0.15
PERIKANAN LAUT -0.75 0.17 0.02 -0.77 -0.59
LUWU
19 PERAIRAN UMUM 6.29 0.17 0.70 5.59 6.45
UTARA
BUDIDAYA -0.08 0.17 -0.005 -0.08 0.08
PERIKANAN LAUT -0.05 0.17 0.02 -0.06 0.12
20 LUWU TIMUR PERAIRAN UMUM -0.34 0.17 0.70 -1.04 -0.18
BUDIDAYA -0.09 0.17 -0.005 -0.08 0.08
PERIKANAN LAUT - 0.17 0.02 - -
TORAJA
21 PERAIRAN UMUM 0.08 0.17 0.70 -0.62 0.25
UTARA
BUDIDAYA -0.25 0.17 -0.005 -0.25 -0.09
PERIKANAN LAUT -0.08 0.17 0.02 -0.10 0.08
22 MAKASSAR PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA 0.41 0.17 -0.005 0.41 0.57
PERIKANAN LAUT -0.08 0.17 0.02 -0.09 0.09
23 PARE-PARE PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA -0.88 0.17 -0.005 -0.88 -0.72
PERIKANAN LAUT 0.53 0.17 0.02 0.52 0.70
24 PALOPO PERAIRAN UMUM - 0.17 0.70 - -
BUDIDAYA -0.21 0.17 -0.005 -0.21 -0.05
162
Share
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,21 - 0,44
Cabai 0,32 0,66 -0,25 0,57 0,98
1 KEP. SELAYAR Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,4
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,88 0,66 -0,98 0,11 -0,21
Bawang Merah -3,1 0,66 -0,21 -2,89 -2,44
Cabai 0,45 0,66 -0,25 0,7 1,11
2 BULUKUMBA Kentang 39,13 0,66 18,73 20,4 39,8
Kubis 1,7 0,66 0,02 1,68 2,36
Petsai -3,7 0,66 -0,98 -2,71 -3,04
Bawang Merah -2051,13 0,66 -0,21 -2050,9 -2050,47
Cabai -1,97 0,66 -0,25 -1,71 -1,3
3 BANTAENG Kentang -1385,44 0,66 18,73 -1404,18 -1384,78
Kubis 0,45 0,66 0,02 0,44 1,12
Petsai -3,08 0,66 -0,98 -2,09 -2,41
4 JENEPONTO Bawang Merah 0,62 0,66 -0,21 0,84 1,28
Cabai -0,39 0,66 -0,25 -0,13 0,27
Kentang 31,84 0,66 18,73 13,1 32,5
Kubis 1,54 0,66 0,02 1,52 2,2
Petsai -0,5 0,66 -0,98 0,49 0,17
Bawang Merah -1,46 0,66 -0,22 -1,24 -0,8
Cabai 0,98 0,66 -0,25 1,23 1,64
5 TAKALAR Kentang 39,13 0,66 18,73 20,4 39,8
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,35 0,66 -0,99 0,63 0,31
Bawang Merah -0,2 0,66 -0,22 0,02 0,46
Cabai -2,85 0,66 -0,25 -2,6 -2,2
6 GOWA Kentang 36,73 0,66 18,73 17,99 37,4
Kubis -1,64 0,66 0,02 -1,65 -0,98
Petsai -1,04 0,66 -0,99 -0,05 -0,38
Bawang Merah -5,52 0,66 -0,22 -5,3 -4,87
Cabai 0,05 0,66 -0,25 0,3 0,71
7 SINJAI Kentang 38,25 0,66 18,73 19,52 38,92
Kubis 1,43 0,66 0,02 1,41 2,09
Petsai -0,55 0,66 -0,99 0,43 0,11
Bawang Merah 1,02 0,66 -0,21 1,24 1,69
Cabai 0,4 0,66 -0,25 0,65 1,06
8 MAROS Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,4
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,5 0,66 -0,99 0,49 0,17
Bawang Merah -0,32 0,66 -0,22 -0,1 0,34
Cabai -1,4 0,66 -0,25 -1,14 -0,73
9 PANGKEP Kentang 18,73 0,66 18,7 0 19,4
Kubis 0,02 0,66 0,02 0 0,68
Petsai -0,47 0,66 -0,99 0,52 0,19
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,22 0 0,4
Cabai -0,83 0,66 -0,25 -0,58 -0,17
10 BARRU Kentang 18,73 0,66 18,73 0 19,4
Kubis 1,7 0,66 0,018 1,68 2,36
Petsai -0,53 0,66 -0,98 0,45 0,12
Bawang Merah -1,01 0,66 -0,22 -0,8 -0,35
Cabai -0,11 0,66 -0,25 0,14 0,54
11 BONE Kentang 38,51 0,66 18,73 19,78 39,17
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -1,03 0,66 -0,98 0 -0,37
Bawang Merah -0,56 0,66 -0,22 -0,34 0,1
Cabai -3,6 0,66 -0,25 -3,35 -2,94
12 SOPPENG Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,4
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,99 0,66 -0,98 - -0,32
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,21 - 0,44
Cabai 0,4 0,66 -0,25 0,65 1,06
13 WAJO Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,4
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,62 0,66 -0,98 0,35 0,04
14 SIDRAP Bawang Merah 1,22 0,66 -0,22 1,44 1,88
Cabai 0,28 0,66 -0,25 0,53 0,94
Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
163
Kubis 0,018 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -1,16 0,66 -0,98 -0,17 -0,5
Bawang Merah -0,34 0,66 -0,22 -0,13 0,31
Cabai 0,72 0,66 -0,25 0,98 1,38
15 PINRANG Kentang 18,73 0,66 18,73 0 19,39
Kubis 1,7 0,66 0,02 1,68 2,36
Petsai -1,44 0,66 -0,98 -0,46 -0,78
Bawang Merah -0,04 0,66 -0,21 0,17 0,61
Cabai 0,02 0,66 -0,25 0,28 0,69
16 ENREKANG Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis -0,16 0,66 0,02 -0,18 0,5
Petsai -2,3 0,66 -0,98 -1,33 -1,65
Bawang Merah -0,21 0,66 -0,22 - 0,44
Cabai 0,81 0,66 -0,25 1,07 1,47
17 LUWU Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,67
Petsai -3,54 0,66 -0,98 -2,56 -2,88
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,22 - 0,44
Cabai -4,44 0,66 -0,25 -4,19 -3,78
18 TANA TORAJA Kentang 38,9 0,66 18,73 20,18 39,56
Kubis 1,18 0,66 0,02 1,16 1,84
Petsai -1,06 0,66 -0,98 -0,07 -0,39
Bawang Merah 0,5 0,66 -0,22 0,71 1,16
Cabai 0,6 0,66 -0,25 0,85 1,26
19 LUWU UTARA Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis 1,7 0,66 0,02 1,68 2,36
Petsai -0,45 0,66 -0,98 0,54 0,21
Bawang Merah -1,27 0,66 -0,22 -1,06 -0,61
Cabai 0,01 0,66 -0,25 0,26 0,67
20 LUWU TIMUR Kentang 18,73 0,66 18,73 0 19,39
Kubis 1,7 0,66 0,02 1,68 2,36
Petsai -2,04 0,66 -0,98 -1,06 -1,38
Bawang Merah -15,35 0,66 -0,21 -15,14 -14,7
Cabai -7,62 0,66 -0,25 -7,36 -6,95
21 TORAJA UTARA Kentang 15,72 0,66 18,73 -3,01 16,39
Kubis 0,65 0,66 0,02 0,63 1,31
Petsai -6,18 0,66 -0,98 -5,2 -5,52
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,22 - 0,44
Cabai 0,32 0,66 -0,25 0,57 0,98
22 MAKASSAR Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,37 0,66 -0,98 0,62 0,29
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,22 - 0,44
Cabai 0,473868 0,66 -0,25 0,73 1,13
23 PAREPARE Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis 0,02 0,66 0,02 - 0,68
Petsai -0,74 0,66 -0,98 0,24 -0,09
Bawang Merah -0,22 0,66 -0,22 - 0,44
Cabai 0,36 0,66 -0,25 0,61 1,02
24 PALOPO Kentang 18,73 0,66 18,73 - 19,39
Kubis 0,02 0,66 0,01 - 0,68
Petsai -0,81 0,66 -0,98 0,17 -0,15
Sumber: Analisis Penulis,2020
164
Untuk Komoditas jenis sayur Bawang Merah berdsarkan analisis yang
telah dilakuakn tidak ada satupun Kabupaten yang mendapatkan hasil skoring
positif (PB,KPN,KPP,KPPW, Nilai Shift Share) dalam artian komoditas jenis
sayur bawang Merah di Sulawesi Selatan secara keseluruhan pertumbuhan
ekonomi nasionalnya lambat, tidak berdaya saing dan tidak progresif (mundur).
Untuk Komoditas jenis sayur kentang dan kubis beberapa kabupaten
mendapatkan hasil skoring positif dalam artian komoditas kentang dan kubis di
Sulawesi Selatan pertumbuhan ekonomi secara nasional cepat, berdaya saing
dan progresif. Untuk komoditas kubis dan kentang yaitu Kabupaten Jenepoto,
Kabupaten Sinjai, KabupatenPangkep, Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten
Tana Toraja.
Untuk komoditas jenis sayur kentang yaitu Kabupatne Gowa,
Kabupaten Bone dan Kabupaten Takalar. Untuk komoditas jenis sayur kubis
yaitu Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang. Sedangkan
untuk komoditas jenis sayur petsai atau sawi tidak satupun kabupaten atau kota
yang memiliki skoring yang semaunya positif yang dapat disimpulkan bahwa
Komoditas Petsai di Sulawesi Selatan secara keseluruhan pertumbuhan eknomi
secara nasional lambat, tidak berdaya saing dan tidak progresif.
Tabel 5.10 Hasil Analisis Shift Share Sektor Buah-buahan Menurut Harga Produsen
Di Sulawesi Selatanz
ANALISIS SHIFT
NO KABUPATEN JENIS UNGGAS PB KPN KPP KPP W
SHARE (PE)
Pepaya -0,41 -0,92 0,01 -0,04 -0,96
Pisang -0,11 -0,92 -0,01 -0,11 -1,03
KEP.
1 Jeruk Besar 0,03 -0,92 -0,00 0,03 -0,89
SELAYAR
Durian 0,01 -0,92 -0,02 0,04 -0,90
Mangga 0,07 -0,92 0,02 0,05 -0,85
Pepaya 0,02 -0,92 0,01 0,02 -0,89
Pisang -0,01 -0,92 -0,01 -0,00 -0,93
2 BULUKUMBA Jeruk Besar -0,12 -0,92 -0,0 -0,12 -1,04
Durian -0,12 -0,92 -0,02 -0,09 -1,02
Mangga -0,09 -0,92 0,02 -0,10 -1,00
Pepaya -0,08 -0,92 0,01 -0,09 -0,10
Pisang 0,02 -0,92 -0,01 0,02 -0,10
3 BANTAENG
Jeruk Besar -0,76 -0,92 -0,00 -0,76 -1,68
Durian -0,21 -0,92 -0,02 -0,19 -1,12
Mangga 0,05 -0,92 0,02 0,03 -0,86
4 JENEPONTO Pepaya -0,05 -0,92 0,01 -0,05 -0,97
165
Pisang -0,10 -0,92 -0,01 -0,09 -1,02
Jeruk Besar -0,08 -0,92 -0,00 -0,08 -1,00
Durian - -0,92 -0,02 - -
Mangga -1,10 -0,92 0,02 -1,99 -2,89
Pepaya 0,002 -0,92 0,01 -0,00 -0,91
Pisang -0,12 -0,92 -0,01 -0,11 -1,03
5 TAKALAR Jeruk Besar 0,05 -0,92 -0,00 0,05 -0,87
Durian 0,04 -0,92 -0,02 0,06 -0,88
Mangga -0,02 -0,92 0,02 -0,03 -0,93
Pepaya 0,03 -0,92 0,01 0,02 -0,89
Pisang -0,03 -0,92 -0,01 -0,02 -0,95
6 GOWA Jeruk Besar -0,01 -0,92 -0,00 -0,01 -0,93
Durian 0,01 -0,92 -0,02 0,03 -0,91
Mangga 0,06 -0,92 0,02 0,04 -0,86
Pepaya 0,01 -0,92 0,01 0,01 -0,90
Pisang 0,02 -0,92 -0,01 0,03 -0,89
7 SINJAI Jeruk Besar -0,01 -0,92 -0,00 -0,01 -0,93
Durian -0,01 -0,92 -0,02 0,01 -0,93
Mangga 0,10 -0,92 0,02 0,08 -0,82
Pepaya 0,02 -0,92 0,01 0,02 -0,89
Pisang 0,01 -0,92 -0,01 0,01 -0,91
8 MAROS Jeruk Besar -0,04 -0,92 -0,00 -0,04 -0,96
Durian 0,02 -0,92 -0,02 0,045 -0,89
Mangga 0,10 -0,92 0,02 0,08 -0,82
Pepaya -0,34 -0,92 0,01 -0,35 -1,26
Pisang -0,09 -0,92 -0,01 -0,08 -1,01
9 PANGKEP
Jeruk Besar -0,00 -0,92 -0,00 -0,00 -0,92
Durian -0,01 -0,92 -0,02 0,01 -0,93
Mangga -0,04 -0,92 0,02 -0,06 -0,95
Pepaya -0,06 -0,92 0,01 -0,07 -0,98
Pisang -0,06 -0,92 -0,01 -0,05 -0,98
10 BARRU Jeruk Besar -0,11 -0,92 -0,00 -0,10 -1,02
Durian -0,03 -0,92 -0,02 -0,01 -0,95
Mangga 0,02 -0,92 0,02 0,01 -0,89
Pepaya -0,01 -0,92 0,01 -0,01 -0,92
Pisang -0,09 -0,92 -0,01 -0,09 -1,01
11 BONE Jeruk Besar 0,03 -0,92 -0,00 0,03 -0,88
Durian -0,07 -0,92 -0,02 -0,04 -0,98
Mangga 0,01 -0,92 0,02 -0,00 -0,90
Pepaya -0,2 -0,92 0,01 -0,26 -1,17
Pisang -0,01 -0,92 -0,01 -0,01 -0,93
12 SOPPENG
Jeruk Besar 0,01 -0,92 -0,00 0,07 -0,90
Durian 0,02 -0,92 -0,02 0,05 -0,89
Mangga -0,02 -0,92 0,02 -0,03 -0,93
Pepaya 0,09 -0,92 0,00 0,08 -0,83
Pisang 0,06 -0,92 -0,00 0,07 -0,85
13 WAJO Jeruk Besar 0,08 -0,92 -0,00 0,08 -0,84
Durian -0,03 -0,92 -0,02 -0,01 -0,95
Mangga 0,07 -0,92 0,02 0,06 -0,84
Pepaya 0,05 -0,92 0,00 0,05 -0,86
Pisang -0,01 -0,92 -0,00 -0,00 -0,92
14 SIDRAP Jeruk Besar -0,01 -0,92 -0,00 -0,00 -0,92
Durian -0,03 -0,92 -0,02 -0,01 -0,95
Mangga 0,01 -0,92 0,02 -0,01 -0,91
15 PINRANG Pepaya -0,02 -0,92 0,00 -0,03 -0,94
166
Pisang 0,00 -0,92 -0,00 0,01 -0,91
Jeruk Besar -0,00 -0,92 -0,00 0,00 -0,92
Durian -0,02 -0,92 -0,02 -0,00 -0,94
Mangga 0,03 -0,92 0,01 0,01 -0,88
Pepaya 0,02 -0,92 0,00 0,01 -0,90
Pisang 0,03 -0,92 -0,00 0,04 -0,88
16 ENREKANG Jeruk Besar -0,01 -0,92 -0,00 -0,01 -0,93
Durian -0,02 -0,92 -0,02 0,00 -0,93
Mangga 0,04 -0,92 0,02 0,03 -0,87
Pepaya -0,20 -0,92 0,00 -0,21 -1,12
Pisang -0,11 -0,92 -0,00 -0,10 -1,02
17 LUWU Jeruk Besar -0,14 -0,92 -0,00 -0,14 -1,05
Durian -0,10 -0,92 -0,02 -0,08 -1,02
Mangga -0,25 -0,92 0,02 -0,26 -1,16
Pepaya -0,02 -0,92 0,00 -0,03 -0,94
Pisang -0,09 -0,92 -0,00 -0,08 -1,00
TANAH
18 Jeruk Besar -0,11 -0,92 -0,00 -0,10 -1,02
TORAJA
Durian -0,07 -0,92 -0,02 -0,05 -0,99
Mangga 0,04 -0,92 0,02 0,02 -0,87
Pepaya 0,05 -0,92 0,00 0,04 -0,87
Pisang 0,01 -0,92 -0,00 0,02 -0,91
LUWU
19 Jeruk Besar -0,03 -0,92 -0,00 -0,03 -0,95
UTARA
Durian -0,02 -0,92 -0,02 0,00 -0,94
Mangga 0,08 -0,92 0,02 0,06 -0,83
Pepaya -0,07 -0,92 0,00 -0,08 -0,99
Pisang -0,04 -0,92 -0,00 -0,03 -0,96
LUWU
20 Jeruk Besar -0,09 -0,92 -0,00 -0,09 -1,01
TIMUR
Durian -0,02 -0,92 -0,02 0,00 -0,93
Mangga 0,05 -0,92 0,02 0,03 -0,87
Pepaya -0,05 -0,92 0,00 -0,05 -0,97
Pisang -0,01 -0,92 -0,00 -0,01 -0,93
TORAJA
21 Jeruk Besar -0,00 -0,92 -0,00 -0,00 -0,92
UTARA
Durian -0,08 -0,92 -0,02 -0,05 -0,99
Mangga 0,06 -0,92 0,02 0,04 -0,85
Pepaya 0,00 -0,92 0,00 0 -0,91
Pisang -0,00 -0,92 -0,00 0 -0,92
22 MAKASSAR Jeruk Besar -0,00 -0,92 -0,00 0 -0,92
Durian -0,02 -0,92 -0,02 0 -0,94
Mangga 0,02 -0,92 0,02 0 -0,90
Pepaya -0,03 -0,92 0,00 -0,04 -0,95
Pisang -0,13 -0,92 -0,00 -0,12 -1,04
23 PARE-PARE Jeruk Besar 0,02 -0,92 -0,00 0,02 -0,90
Durian - -0,92 -0,02 - -
Mangga -0,06 -0,92 0,02 -0,07 -0,97
Pepaya 0,03 -0,92 0,00 0,02 -0,89
Pisang 0,02 -0,92 -0,00 0,03 -0,89
24 PALOPO
Jeruk Besar - -0,92 -0,00 - -
Durian 0,03 -0,92 -0,02 0,06 -0,88
Mangga 0,09 -0,92 0,02 0,07 -0,83
167
hasil PE tertinggi dan bernilai positif, yaitu Kabupaten Luwu Utara pada tabel
hasil analisis menurut harga pasaran di Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana,
Pertumbuhan Proporsional (KPP), Pertumbuhan Pangsa Wilayah (KPPW),
Pergerseran Bersih (PB) bernilai positif, dimana Pertumbuhan Ekonomi (PE)
sebesar 0,99 pada komoditi pepaya. Artinya, sector komoditi pepaya kabupaten
tersebut secara provinsi tumbuh cepat, dapat bersaing serta sektor tersebut
progresif.
Sementara, nilai Pertumbuhan Provinsi (KPN) bernilai negatif untuk
seluruh kabupaten/kota artinya tidak baik dalam perubahan produksi atau
kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi,
kebijakan ekonomi nasional dan kebijakan lain yang mempengaruhi sektor
perekonomian dalam wilayah Sulawesi Selatan.
Dapat disimpulkan bahwa, hanya komoditi pepaya yang merupakan
penunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Luwu Utara. Sehingga,
Provinsi Sulawesi Selatan belum mampu untuk menunjang ekonomi dari
sektor buah-buahan sehingga dapat dikatakan bahwa Provinsi Sulawesi
Selatan juga belum mampu untuk melakukan ekspor ke wilayah lainnya.
168
kampung sebanyak 75% dan itik sebanyak 38,3% dengan standar kepemilikan
adalah 30 ekor atau lebih per satu usaha peternakan.
Pada tabel 5.10 ditemukan bahwa jumlah tenaga kerja peternak tertinggi
untuk jenis ternak ayam kampung adalah Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten
Bulukumba dan Kabupaten Jeneponto. Untuk ayam petelur, jumlah rumah
tangga peternak tertinggi adalah Kabupate Sidrap, yaitu sebanyak 24,15 ribu
rumah tangga peternak. Sedangkan Kabupaten Maros menduduki peringkat
pertama dengan jumlah rumah tangga peternak tertinggi untuk jenis unggas
ayam pedaging dan Kabupaten Takalar merupakan kabupaten dengan jumlah
rumah tangga peternak itik tertinggi yaitu sebanyak 6607 rumah tangga peternak.
2. Pendidikan Peternak
Berdasarkan data jumlah tenaga kerja peternak, adapun persentase peternak
Sulawesi Selatan berdasarkan jenis ternak unggas dan pendidikan tinggi yang
169
ditamatkan dapat dilihat pada tabel dibawah. Pada tabel tersebut didapatkan
informasi bahwa jumlah peternak yang hanya lulusan SD kebawah berkisar
antara 30-70%. Sedangkan yang tamat perguruan tinggi hanya sekitar 2-15%.
Artinya bahwa hanya sebagian kecil peternak unggas yang mengenyam
pendidikan tinggi.
Tabel 5.11 Persentase Peternak Unggas menurut Jenis Ternak dan Pendidikan yang
Ditamatkan, 2017
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Tidak
Jenis Ternak Tamat Tamat Tamat Tamat Tamat Tamat
Tamat
SD SLTP SLTA Diploma D4/S1 S2/S3
SD
Ayam Kampung 29,98 24,25 15,46 22,07 1,7 6,28 0,26
Ayam Pedaging 9,63 20,41 14,89 39,32 0,85 14,82 0,08
Ayam Petelur 11,98 20,11 20,48 33,99 1,87 10,73 0,84
Itik 39,37 30,74 12,85 15,03 0,55 1,32 0,14
Sumber: Survei Ongkos Sektor Peternakan Sulsel, 2017
170
unggas yang nantinya berujung pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan per kapita.
Tabel 5.12 Data Tenaga Kerja dan Upah Harian RPHU di Makassar
B. Komoditi Perikanan
Jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Selatan yang termasuk dalam usia
kerja bulan Februari 2019 sebanyak 6371451 orang. Dari jumlah tersebut
penduduk yang tergolong angkatan kerja mencapai 4159838 orang dengan
komposisi 3934557 adalah penduduk yang bekerja dan 225281 orang
penduduk yang menganggur. Dibandingkan Februari 2018 jumlah angkatan
kerja mengalami penurunan sebesar 0,34 persen atau terjadi pengurangan
angkatan kerja sebanyak 14343 orang angkatan kerja. Jumlah orang yang
bekerja juga menurun sebesar 0,37 persen atau berkurang sebanyak 14739
orang, sedangkan jumlah orang yang menganggur meningkat 0,18 persen atau
bertambah sebanyak 396 orang. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
pada Februari 2019 sebesar 65,29 persen. Sejalan dengan berkurangnya
jumlah angakatan kerja, TPAK Februari 2019 1,07 persen poin lebih rendah
dibandingkan Februari 2018. Penurunan TPAK memberikan indikasi adanya
potensi ekonomi dari sisi pasokan (Supply) tenaga kerja yang juga menurun.
171
Tabel 5.13 Pekerjaan Utama di Sulawesi Selatan 2019
Tahun (orang)
Subsektor
2012 2013 2014 2015 2016
Pembudidaya Ikan:
172
Lahan Laut 120018 120624 123045 121734 41973
C. Komoditi Sayuran
Sektor pertanian sebagai sektor dominan dalam struktur perekonomian
Sulawesi Selatan memegang peranan penting dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Selain untuk memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat, sektor ini juga mempunyai peranan yang besar dalam penyerapan
tenaga kerja di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan dari BPS Sulawesi Selatan tahun 2018 terkait
ketenagakerjaan diketahui bahwa sektor pertanian merupakan penyumbang
tenaga kerja terbesar di Sulawesi selatan yang mencapai angka 37,79 persen.
Sejak tahun 2000 hingga 2018, kontribusi sektor pertanian cenderung sangat
menurun, yang mana pada tahun 2000 sebanyak 61,79 persen tenaga kerja di
sektor pertanian hingga kini hanya mencapai 37,79 persen saja. Meskipun
begitu, secara keseluruhan sektor ini masih mendominasi struktur
perekonomian di Sulawesi selatan.
Berdasarkan dari Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) Sulawesi
Selatan tahun 2018, Kelompok usia petani di Sulawesi Selatan yaitu dimulai
dari usia <25 tahun hingga 65> tahun, dimana rentan usia dengan jumlah
terbanyak yaitu pada usia 35 tahun hingga 65> tahun. Jadi pada dasarnya
kelompok petani di Sulawesi selatan berasal dari kelompok orang tua dan
bukan berasal dari kelompok pemuda. Terlebih lagi jumlah petani yang
berusia kurang dari 25 tahun hanya sekitar 2-3 persen dari total jumlah petani
di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2018, banyaknya rumah tangga di provinsi Sulawesi Selatan
yaitu 2.014.073 rumah tangga dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga
4,36. Dari total jumlah rumah tangga tersebut, sebanyak 1.015.232 rumah
tangga usaha pertanian atau bisa dikatakan sekitar 50% dari total rumah
tangga di Sulawesi Selatan merupakan Rumah Tangga Usaha Pertanian
173
(RTUP). Dari total rumah tangga usaha pertanian tersebut, sebanyak 985.088
rumah tangga pengguna lahan dan 364.426 rumah tangga petani gurem atau
rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar.
Sedangkan jumlah petani di Sulawesi selatan sebanyak 1.161.692 jiwa atau
1/8 dari jumlah total penduduk di Sulawesi selatan yaitu sebesar 8.771.970
jiwa. Dari total jumlah petani tersebut, sebanyak 960.774 petani laki-laki dan
200.918 jiwa petani perempuan. (BPS Sulawesi Selatan 2018 dan SUTAS
Sulsel 2018)
Pada sektor pertanian yang terbagi menjadi beberapa subsektor, sebanyak
234.534 jiwa yang merupakan rumah tangga usaha pertanian hortikultura.
Dimana 47.290 orang dari total tersebut menjadikan tanaman hortikultura
sebagai usaha utama yang diusahakan. Dari 47.290 orang tersebut, sebanyak
34.296 orang yang menjadikan usaha hortikultura sebagai sumber penghasilan
utama dan sisanya bukan sebagai sumber penghasilan utama meskipun
menganggap tanaman hortikultura sebagai usaha utama yang diusahakan.
Dibandingkan dari sektor lain seperti sektor tanaman pangan, sektor
hortikultura merupakan sektor yang paling sedikit jumlah RTUP nya atau
hanya sekitar 24% saja.
Berdasarkan data dari BPS Sulawesi Selatan tahun 2018, lulusan SMP ke
bawah (pendidikan tertinggi yang ditamatkan) paling banyak mengisi
lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan yaitu sebanyak 1.174.026
orang yang mana Lulusan SD 928.224 dan Lulusan SMP 245.802 orang. Jadi
dapat dikatakan bahwa rata-rata petani yang ada di Sulawesi selatan hanya
merupakan Lulusan SD dan SMP dan tidak melalui seluruh jenjang
pendidikan formal.
D. Komoditi Buah-Buahan
Jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Selatan yang termasuk dalam usia
kerja bulan Februari 2019 sebanyak 6.371.451 orang. Dari jumlah tersebut,
penduduk yang tergolong angkatan kerja mencapai 4.159.838 orang dengan
komposisi 3.934.557 adalah penduduk yang bekerja dan 225.281 orang
penduduk yang menganggur. Dibandingkan Februari 2018, jumlah angkatan
kerja mengalami penurunan sebesar 0,34 persen atau terjadi pengurangan
174
angkatan kerja sebanyak 14.343 orang angkatan kerja. Jumlah orang yang
bekerja juga menurun sebesar 0,37 persen atau berkurang sebanyak 14.739
orang, sedangkan jumlah orang yang menganggur meningkat 0,18 persen atau
bertambah sebanyak 396 orang. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
pada Februari 2019 sebesar 65,29 persen. Sejalan dengan berkurangnya jumlah
angkatan kerja, TPAK Februari 2019 1,07 persen poin lebih rendah
dibandingkan Februari 2018. Penurunan TPAK memberikan indikasi adanya
potensi ekonomi dari sisi pasokan (supply) tenaga kerja yang juga menurun.
Kondisi ketenagakerjaan baik menyangkut tingkat pengangguran maupun
penduduk yang bekerja tidak terlepas dari kinerja sektor-sektor perekonomian
yang ada dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah penduduk yang bekerja
menurut sektor menunjukkan kemampuan sektor tersebut dalam menyerap
tenaga kerja. Berdasarkan lapangan pekerjaan utama pada Februari 2019,
penduduk Sulawesi Selatan paling banyak bekerja pada sektor pertanian yaitu
sebanyak 1.513.552 orang (38,47persen), disusul oleh sektor perdagangan
sebanyak 739.575 orang (18,80 persen).
175
Secara absolut, jumlah penduduk yang bekerja menurun pada 9 sektor
dibandingkan Februari 2018 terutama sektor pertanian (berkurang 104.128
orang), sektor jasa pendidikan (berkurang 19.538 orang), pertambangan dan
penggalian (berkurang 15.485 orang), serta penyediaan akomodasi dan makan
minum (berkurang 12.204 orang). Sedangkan 8 sektor lainnya mengalami
kenaikan diantaranya sektor perdagangan (bertambah 87.343 orang), jasa
perusahaan (bertambah 22.914 orang), industri pengolahan (bertambah 13.254
orang).
Menurunnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian juga
memberikan dampak yang tidak baik untuk hasil hasil produksi pertanian buah-
buahan yang ada di seluruh Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data yang diperoleh persentase jumlah penduduk yang bekerja di
Sulawesi Selatan tahun 2018-2019 terjadi penurunan sebesar 2,49%, yang
awalnya tahun 2018 sebesar 40,96% menjadi turun sebesar 38,47%. Ini
dibuktikan juga dengan menurunnya hasil produksi buah jeruk di Kabupaten
Pangkep, menurunnya hasil produksi pisang di Kabupaten Pinrang, dan hasil
produksi yang ada di Kabupaten Luwu utara yaitu buah durian terjadi juga
penurunan hasil produksi.
176
IPM IPM IPM IPM IPM
Kabupaten/Kota
2015 2016 2017 2018 2019
177
72
71.66
71.5
71 70.9
70.5
70.34
70
69.76
69.5
69.15
69
68.5
68
67.5
IPM 2015 IPM 2016 IPM 2017 IPM 2018 IPM 2019
178
Orang miskin menggunakan tenaga mereka untuk berpartisipasi dalam
pertumbuhan ekonomi, tetapi kemiskinan mengurangi kapasitas mereka untuk
bekerja. Dengan demikian, akibat rendahnya IPM adalah orang miskin tidak dapat
mengambil keuntungan oportunitas pendapatan produktif karena terjadinya
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penyediaan pelayanan sosial dasar
merupakan unsur penting dalam penanganan kemiskinan (Ravi Kanbur dan Lyn
Squire, 1999).
Tingkat pendapatan dan IPM mempunyai korelasi yang luas. Namun
pertumbuhan pendapatan tidak secara otomatis meningkatkan IPM. Demikian
pula, perbaikan kesehatan dan pendidikan yang menyebabkan peningkatan IPM
tidak selalu mengarah pada peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan sumber
daya yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi tidak dapat digunakan untuk
mempromosikan perbaikan indikator lainnya. Selain itu, struktur dan proses yang
terjadi di masyarakat tidak dapat memberikan manfaat bagi kaum miskin.
Misalnya, berbagai peningkatan hasil panen hanya menguntungkan pemilik tanah
dan bukan tenaga kerja. Akan tetapi, kondisinya bisa berubah. Masyarakat miskin
dapat memperoleh manfaat ganda dari pertumbuhan pendapatan serta peningkatan
IPM jika pemerintah menggunakan manfaat dari pertumbuhan untuk membiayai
pelayanan kesehatan dan akses pendidikan. Selain itu, struktur dan proses yang
ada di masyarakat sudah tepat, sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi juga
dinikmati kaum miskin.
Berdasarkan data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di Provinsi
Sulawesi Selatan dari tahun 2015-2019 terus mengalami peningkatan, sehingga
memberikan peluang untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Provinsi Sulawesi
Selatan, tetapi belum tentu meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu
berdasarkan data BPS Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2020, tingkat kemiskinan
selalu mengalami penurunan, sehingga memberikan pengaruh positif terhadap
Indeks Perbangunan Manusia (IPM). Dari adanya penurunan tingkat kemiskinan
di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dapat mendorong peningkatan jumlah
produksi unggas Sulawesi Selatan.
179
Berdasarkan tabel 5.14 tingkat garis kemiskinan di Sulawesi Selatan dari
tahun 2016 – 2018 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, tingkat garis
kemiskinan sebanyak 306.545 penduduk, sedangkan pada tahun 2016 sebanyak
270.601 penduduk. Meski demikian, persentase penduduk miskin tiga tahun
terakhir terus menurun dari 9.4% menjadi 9.06%.
Pada tabel ditemukan 13 kabupaten/kota yang memiliki persentasi penduduk
miskin lebih tinggi dari rata-rata persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan.
13 kabupaten tersebut diantaranya, Kabupaten Selayar, Bantaeng, Jeneponto,
Sinjai, Maros, Pangkep, Bone, Enrekang, Luwu, tana Toraja, Luwu Utara, Toraja
Utara dan Kota Pare-pare.
Tabel 5.14 Tingkat Garis Kemiskinan Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan, Tahun 2016-2018
KABUPATEN/ GARIS KEMISKINAN PERSENTASE
KOTA 2016 2017 2018 2016 2017 2018
Kep. Selayar 296.540 310.978 348.608 13,11 13,28 13,13
Bulukumba 274.318 284.108 310.753 8,06 7,97 7,48
Bantaeng 223.408 234.286 260.263 9,51 9,66 9,23
Jeneponto 302.113 315.702 356.319 15,49 15,4 15,48
Takalar 286.537 299.721 335.989 9,35 9,24 9
Gowa 316.428 333.002 365.503 8,4 8,42 7,83
Sinjai 240.245 250.551 281.301 9,41 9,24 9,28
Maros 336.579 348.726 376.749 11,41 11,14 10,31
Pangkep 256.549 268.367 300.219 16,22 16,22 15,1
Barru 280.316 289.371 307.904 9,45 9,71 9,04
Bone 260.552 272.555 309.076 10,07 10,28 10,55
Soppeng 220.192 225.936 253.457 8,45 8,29 7,5
Wajo 258.821 264.376 297.121 7,47 7,38 7,5
Sidrap 271.301 276.558 299.332 5,45 5,32 5,16
Pinrang 250.163 256.054 280.746 8,48 8,46 8,81
Enrekang 275.971 283.653 312.674 13,41 13,16 12,49
Luwu 271.804 281.195 305.722 14,35 14,01 13,36
Tana Toraja 251.452 261.573 299.570 12,36 12,62 12,75
Luwu Utara 288.081 299.339 329.967 14,36 14,33 13,69
Luwu Timur 277.520 289.214 315.478 7,52 7,66 7,19
Toraja Utara 393.478 408.827 309.806 14,57 14,41 13,37
Makassar 347.723 366.430 386.545 4,56 4,59 4,41
Pare-pare 281.951 292.685 308.337 5,73 5,7 9,8
Palopo 261.056 274.319 292.602 8,74 8,78 7,94
Sulawesi Selatan 270.601 283.461 306.545 9,4 9,38 9,06
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2020
180
1.5 ANALISIS FASILITAS PRODUKSI
181
unggas pun rutin dilakukan sebelum dipotong, artinya sudah memenuhi standar
pemotongan unggas.
Disisi lain, 6 dari 8 responden mengaku tidak memiliki fasilitas tempat
pendingin dan ruang penyimpanan beku untuk menyimpan ayam yang sudah
dipotong sebagaimana dijelaskan dalam SNI 01-6160-1999 tentang RPU bahwa
fasilitas pendingin atau ruang penyimpanan beku harus dimiliki oleh RPU.
Artinya lebih dari 50% RPU masih belum memenuhi standar pengadaan ruang
pembekuan cepat dan ruang penyimpanan beku untuk menjaga kualitas ayam atau
unggas yang sudah dipotong.
RPA Makassar terletak di Jl. Abubakar Lambogo, Kel. Barabaraya, yang
mana dikategorikan sebagai kawasan yang cukup padat penduduk. Jika berjalan di
kawasan ini, tercium bau tak sedap yang merupakan limbah ayam potong. Artinya
bahwa RPA menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan.
Dari segi Distribusi, RPA Makassar hanya melayani kebutuhan daging ayam
di Kota Makassar. Dimana rata–rata RPA mendistribusikan daging ayamnya ke
warung –warung makan dan pasar-pasar kecil yang ada di Kota Makassar.
182
pelayanan ke pelabuhanan terkait penanganan hasil tangkapan dapat berfungsi
secara optimal, dapat dikatakan bahwa semakin optimal pula proses penanganan
hasil tangkapan. Fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan terkait penanganan hasil
tangkapan antara lain meliputi penyediaan ruang pelelangan (TPI) dan sarana hasil
tangkapan (wadah/basket, alatangkut hasil tangkapan dan lain-lain), penyediaan air
bersih, penyediaan pabrik es, penyediaan penjagaan kebersihan, penyediaan
pengawasan mutu hasil tangkapan yang dijual di TPI, penyediaan ruang pendingin
(cool room), penyediaan ruang pembeku dan penyimpanan (cold storage), dan lain-
lain.
Fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan yang terkait dengan penanganan
hasil tangkapan berupa cold storage akan dikemukakan lebih rinci sebagai berikut :
Cold storage merupakan ruang atau tempat yang digunakan untuk
membekukan dan menyimpan hasil tangkapan yang belum habis dilelang ataupun
dijual. Untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan yang disimpan, maka dalam
proses pembekuan dan penyimpanan digunakan suhu yang rendah hingga -20oC.
Hal ini dimaksudkan untuk menghambat aktivitas pembusukan oleh bakteri di
dalam tubuh ikan hasil tangkapan. Menurut Misran (1985) yang diacu dalam Aziza
(2000), sistem rantai pemasaran yang terdapat di beberapa pelabuhan perikanan
atau pangkalan pendaratan ikan di Indonesia, yaitu:
1) TPI → pedagang besar → pedagang lokal → pengecer → konsumen.
183
Pemasaran produk perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi yang
memindahkan produk dari sektor produksi ke sektor konsumsi yang umumnya
melibatkan berbagai lembaga pemasaran di pelabuhan perikanan. Mulai dari
proses awal pemindahan ikan dari kapal ke darat yang melibatkan institusi bakul,
kemudian transaksi jual beli ikan yang dilakukan antara nelayan/pemilik kapal
dengan pedagang pengumpul, distribusi ikan ke luar pelabuhan yang juga
melibatkan eksportir, hingga perusahaan jasa pendukung seperti penyewaan
coldstorage, truk, dan sejenisnya (Direktorat Pelabuhan Perikanan, 2005). Di sini
sangat terlihat jelas bagaimana peranan distribusi yang sangat penting yaitu ikan
dari kapal bisa dinikmati oleh masyarakat. Hasil tangkapan yang telah melalui
proses lelang sebagian besar dijual untuk bahan baku pengolahan ikan dan sisanya
dijual dalam keadaan segar (tanpa diolah).
184
akhir ikan beku adalah mutu bahan baku, penanganan sebelum pembekuan,
metode dan kecepatan pembekuan, suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu, waktu
penyimpanan, kelembaban lingkungan penyimpanan, serta sifat bahan kemasan
yang digunakan. Proses pembekuan harus dilakukan dengan cepat, yaitu
penurunan suhu dari 0oC menjadi –5oC dalam waktu tidak lebih dari 2 jam,
kemudian diteruskan dengan pembekuan dalam cold storage sehingga suhu
mencapai –30oC pada akhir pembekuan (Suryaningrum 2008).
Demikian juga penempatan ikan pada tempat yang tidak sesusai, misalnya
pada tempat yang bersuhu panas, terkena sinar matahari langsung, tempat yang
kotor dan lain seagainya akan berperan mempercepat mundurnya mutu ikan.
Beberapa faktor mempengaruhi keberhasilan proses penanganan diantaranya
adalah alat penanganan, media pendingin, teknik penanganan, dan keterampilan
pekerja. Penggunaan alat-alat penanganan yang lengkap, bersih, dan baik dapat
memperkecil kerusakan fisik, kimia, mikrobiologi dan biokimia. Media pendingin
yang memberikan hasil terbaik adalah media pendingin yang dapat memperlambat
proses biokimia dan pertumbuhan mikroba daging ikan.
185
alam serta kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani.
Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan prasarana pengairan adalah
bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan daerah
aliran sungai, pemeliharaan jaringan irigasi pedesaan, pengembangan sumber-
sumber air alternatif dan berskala kecil antara lain melalui pemanfaatan teknologi
pengambilan air permukaan dan bawah tanah, pembangunan dan pemeliharaan
embung dan bendungan serta pemanfaatan sumber air tanah, danau, rawa, dan air
hujan.
186
organik, serta mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan obat-obatan
tanaman yang ramah lingkungan.
187
di lokasi. Kondisi ini membuat petani hanya sebagai penerima harga dan bukan
penentu harga. Dengan demikian posisi tawar petani sangat lemah karena harga
dan keberlanjutannya ditentukan oleh pedagang perantara/pengumpul yang
biasanya sangat murah, sehingga tidak dapat untuk meningkatkan pendapatan.
Melihat kondisi tersebut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) berupaya membantu petani
agar dapat memasarkan hasil produk pertanian lebih dekat ke konsumen, sehingga
dapat menetapkan harga yang wajar untuk mendapatkan keuntungan. Upaya
tersebut antara lain penyediaan fasilitasi Pasar Tani, Sub Terminal Agribisnis
(STA), Pasar Lelang, dan Pelayanan Informasi Pasar.
Prasarana usahatani lain yang sangat dibutuhkan masyarakat dan pedagang
komoditas pertanian namun keberadaannya masih terbatas adalah jalan usahatani,
jalan produksi, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan berpendingin
udara untuk komoditimhortikultura, laboratorium uji standar dan mutu, kebun dan
greenhouse untuk penangkaran benih dan bibit, klinik konsultasi kesehatan
tanaman, balai informasi dan promosi pertanian, serta pasar-pasar yang spesifik
bagi komoditas. Tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana
menyediakan semua prasarana yang dibutuhkan petani ini dalam jumlah yang
cukup, berada dekat dengan sentra produksi, dan biaya pelayanan yang
terjangkau.Di sisi sarana produksi, permasalahan yang dihadapi adalah belum
cukup tersedianya benih/biibit unggul bermutu, pupuk, pestisida/obatobatan, alat
dan mesin pertanian hingga ke tingkat usaha tani, belum berkembangnya
kelembagaan pelayanan penyedia sarana produksi, serta belum berkembangnya
usaha penangkaran benih/bibit secara luas hingga di sentra produksi.
188
berpotensi untuk dijadikan sebagai pelabuhan distribusi daging ayam. Adapun
pelabuhan yang dipertimbangkan antara lain:
189
Garongkong menjadi pelabuhan yang memuatan semen milik PT. Bosowa
yang di produksi di Kabupaten Maros.
190
Pelabuhan Sangatta, Sangkulirang, dan Maloy di Kutai Timur, Pelabuhan
Talisayan, Tg. Batu, Tanjung Radeb di Berau dan Pelabuhan Pondong,
Panajam, Teluk Adang di Panajam Paser Utara. Adapun 16 pelabuhan tersebut
terdiri atas satu pelabuhan utama, 11 pelabuhan pengumpul, dan 4 pelabuhan
pengumpan. Dari 16 pelabuhan tersebut yang merupakan pelabuhan dengan
berpotensi adalah Pelabuhan Balikpapan dan Pelabuhan Samarinda. Kedua
pelabuhan ini dinyatakan berpotensi karena keduanya memiliki hubungan alur
pelayaran dengan pelabuhan berpotensi di Provinsi Sulawesi Selatan dan
Provinsi Sulawesi Barat
Tabel 5.19 Pelabuhan Potensial di Kalimantan Timur
Kapasitas Panjang Peti Reefer
Pelabuhan Alur Pelayaran
Kapal Dermaga Kemas Plug
Semayang Balikpapan–– Mamuju 35.000 270 x 30 300.000 28
Balikpapan Balikpapan – Taipai DWT m TEUs
Samarinda, Balikpapan – Tarakan –
30.000
Samarinda Nunukan – Pantoloan 70 x 10 220.000
DWT
Balikpapan – Samarinda m TEUs
– Batulicin
Sumber: RTRW Kalimantan Timur, 2016
191
Gambar 5.3 Peta Alur Pelayaran Pelabuhan Potensi di Sulawesi dan Kalim
Sumber: Analisis Penulis, 2020
192
B. Jalur Darat
Kabupaten 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bulukumb 40,
2 39
8
a
66,
3 Bantang 39
2
65, 52, 58,
4 Jeneponto
5
3 4
52, 66, 51,
5 Takalar
3
2
1
58, 59, 54,
6 Gowa
5 9
101
6
37, 86, 86,
7 Sinjai 6
5
155
4
43, 92, 96, 41,
8 Maros 155
4 4 2
9
20, 52,
9 Pangkep
1
8
1 67, 51, 72,
Barru
8 5
1
0
1 86, 59, 60,
Bone
6
111
4
106
1
1
1 64, 59, 52, 81,
Soppeng
3 4
2 8
2
1 52,
Wajo 111
3
35 135
3
1 81, 94, 66,
Sidrap
8
35
8
6
4
1 43, 28,
Pinrang
1
116
3
5
193
1 94, 43, 75,
Enrekang
8 1
4
6
1 58,
Luwu 135
9
7
1 Tana 94, 56, 95,
135
8 toraja 6 5 9
1 22
Luwu .U
8
155
9
2 22
Luwu .T
8
0
2 82,
Toraja .U 40
1
1
2 50, 55, 33,
Makassar
2 6
5
2
2 60, 66, 28,
Parepare
9
6 5
3
2 60, 81, 15 81,
Palopo
6 2 4
6
4
Sumber: Analisis Penulis, 2020
194
Gambar 5.4 Peta Networking Antar Kabupaten se Sulawesi Selatan
Sumber: Analisis Penulis, 2020
195
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jalur yang paling dekat dengan
jarak tempuh yang paling cepat adalah Pelabuhan Semayang, Balikpapan-
Panajam Paser Utara (IKN). Dengan jarak 59 Km dan waktu tempuh 1 jam 49
menit.
196
menggunakan angkutan tertutup yang memiliki lemari pendingin. Hal ini
dilakukan agar daging unggas yang sudah melalui proses pemotongan di RPHU
tidak membusuk. Adapun alternatif moda transportasi yang dapat digunakan
untuk proses distribusi antara lain.
Tabel 5.23 Daftar Alternatif Moda Transportasi untuk Distribusi Unggas
Jenis Moda Berat Berat Suhu
Kosong Maksimal Maksimal
800 Kg 2 Ton
-20 Derajat
2,5 Ton 8 Ton
197
berkapasitas 1500 sampai 2000 ekor ayam hidup dan ditempatkan dalam
keranjang plastik.
2. Komoditi Perikanan
Tabel 5.23 Daftar Alternatif Moda Transportasi untuk Distribusi Perikanan
Jenis Moda Volume Kapasitas Suhu
+25 °C s/d -
6.25m3 2 ton
20 °C
+25 °C s/d -
9.5m3 3 ton
20 °C
+25 °C s/d -
11.5 m3 4-5 ton
20 °C
198
Tronton
3. Komoditi Sayuran
Dalam mendistribusikan komoditas sayuran dari daerah satu ke daerah
lainnya, diperlukan moda transportasi yang tepat, cepat dan efektif. Untuk
itu berikut adalah pilihan moda transportasi darat yang dapat digunakan
dalam mengangakut komoditas sayuran. Adapun jenis moda transportasi
darat:
a. Truk Bak Terbuka
Dialasi dengan tikar tebal atau jerami
Tidak boleh diletakkan bahan lain di atas tumpukan produk yang
diangkut
Jika memungkinkan dapat dilengkapi pendingin
199
Gambar 4.13 Ilustrasi Mobil Truk Bak Terbuka
Sumber: google.com
b. Truk Berventilasi
Untuk kendaraan yang tidak dilengkapi refrigerasi dilakukan
dengan menutup produk dengan kanvas
Kecepatan kenderaan yang tinggi atau jarak yang jauh dapat
menyebabkan keringnya produk
200
Gambar 4.15 Ilustrasi Mobil Eutetic Box
Sumber: google.com
Keuntungan menggunakan mobil euteric Box
Tidak ada sistem defrost cycle sehingga kestabilan suhu / kualitas
produk lebih terjamin selama pengiriman berlangsung.
Mencegah terjadinya kegagalan suhu produk yang disebabkan sistem
pendinginan tidak bekerja pada saat pengiriman berlangsung
Dilengkapi dengan heater dan gasket untuk mencegah terjadinya
kondensasi.
Ketiga moda tranportasi diatas digunakan untuk mendistribusikan
komoditas dengan estimasi perjalanan kurang dari 24 jam dalam artian jarak
antara sumber penghasil komoditas ke tempat tujuan distribusi barang tidak
terlalu jauh dan memakan waktu yang lebih singkat. Hal ini karena kapasitas
penyimpanan kedua moda tersebut kurang efektif.
4. Komoditi Buah-Buahan
Dari hasil wawancara dan peninjaun langsung di Kabupaten Pangkep
moda yang digunakan oleh pengumpul`yaitu mobil pick up atau mobil terbuka,
biasanya juga ada mobil box yang mengambil dan langsung membawanya ke
Pelabuhan.
201
menuju daerah tujuan. Kapal Peti Kemas merupakan jenis kapal yang paling
sering digunakan untuk mengangkut muatan dengan menggunakan peti
kemas. Kapal peti kemas ada yang memiliki alat bongkar muat sendiri
(geared) maupun yang tidak memiliki alat bongkar muat sendiri (gearless).
2. Peti Kemas
Peti kemas (Container) adalah kotak yang memenuhi persyaratan teknis
sesuai dengan International Oganization for Standardization (ISO) sebagai alat
pengangkutan barang yang bisa digunakan diberbagai moda, mulai dari moda
jalan dengan truk peti kemas, kereta api dan kapal peti kemas. Adapun peti
kemas yang dibutuhkan sebagai moda distribusi unggas ke Kalimantan adalah
Peti kemas berpendingin (Reefer Container/Refrigrated Container). Peti
kemas jenis ini memiliki ukuran dan bentuk seperti peti kemas standar (Closed
Container), tapi dilengkapi dengan alat pendingin dengan sumber tenaga
listrik dari kapal, dari darat atau bertenaga sendiri (Demontable Generator).
Peti kemas ini dirancang untuk mengangkut barang yang cepat membusuk,
sehingga memerlukan proses pengawetan selama dalam perjalanan.
202
Lebar 2.438 m
Dimensi Luar Tinggi 1.591 m
Panjang 5.758 m
Dimensi Dalam Lebar 2.352 m
Tinggi 2.385 m
Payload 24 ton
Weight Gross 28 ton
Weight Tare 2.8 ton
Tabel 5.26 Alternatif Jalur Distribusi Darat dari Kabupaten Potensial Sektor
Peternakan Unggas ke Pelabuhan Potensial
203
Pangkep-Barru-Parepare 146 km/2 jam
Pangkep-Barru 96 Km/1 jam
Pangkep-Barru-Parepare-pinrang-Pelabuhan Belang-belang 483 km /10 jam
Pangkep-Barru-Parepare-pinrang-Pelabuhan Mamuju 433 km /8jam 4
Pangkep-Barru-Parepare-pinrang-Pelabuhan Pasangkayu 708 Km/ 15 Ja
SIDRAP Pare-pare-Barru-Pangkep-Maros-Makassar 219 Km/4 jam
Soppeng-Bone-Maros-Makassar 294 km/6 jam
Pare-pare 66,6 km/1 jam
Pare-pare-Barru 127,6 km/ 3 jam
Pare-pare-Pinrang-Pelabuhan Belang-belang 370 Km/8 jam
Pare-pare-Pinrang-Pelabuhan Mamuju 327 km/7 jam
Pare-pare-Pinrang-Pelabuhan Pasang kayu 601 km/13 jam
BONE Maros-Makassar 143 km/3 jam
Bonne-Soppeng-Barru-Parepare 175 km/ 3 jam
Bonne-Soppeng-Sidrap-Parepare 147 km/3 jam
Soppeng-Baru 115 km/2 jam
Bonne-Soppeng-Sidrap-Pare-pare-Pinrang-Pelabuhan Belang-belang 452 km/9 jam
Bonne-Soppeng-Sidrap-Pare-pare- Pinrang-Pelabuhan Mamuju 409 km/8 jam
Bonne-Soppeng-Sidrap-Pare-pare- Pinrang-Pelabuhan Pasang kayu 683 km/14 jam
Lanjutan
204
205
B. Komoditi Perikanan
Transportasi darat adalah segala bentuk transportasi menggunakan
jalan untuk mengangkut penumpang atau barang. Pada sektor perikanan,
jalur darat sangat dibutuhkan untuk mensupply wilayah yang
defisit/tingginya jumlah kebutuhan(permintaan) daripada hasil produksi
pada komoditi perikanan. Ada beberapa wilayah yang dapat mengekspor
hasil produksi perikanannya ke wilyah lain diantaranya Kabupaten
Wajo, kabupaten Pangkep, kabupaten Luwu, kabupaten Bone dan
kabupaten Takalar.
Tabel 5. Wilayah Supply dan Wilayah Defisit
206
C. Komoditi Sayuran
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki beberapa kabupaten sebagai
penghasil sayuran terbesar. Dimana Setiap Kabupaten dalam menyalurkan
207
hasil produksinya memiliki pola distribusi yang hampir sama. Dimana pola
distribusi yang didadapatkan di Kabupaten Gowa terdapat 3 pola, yaitu:
208
Gambar 4.19 Peta Distribusi Sayuran di Kab.Gowa
Sumber: Analisis Penulis,2020
D. Komoditi Buah-Buahan
Berdasarkan hasil analisis sumber daya alam, ditemukan 4 kabupaten
dengan sektor perkebunan/pertanian buah merupakan sektor unggulan
yang berpotensi untuk dilakukan ekspor ke ibu kota Negara. Kabupaten
209
tersebut diantaranya adalah Kabupaten Pinrang, Kabupaten Bone,
Kabupaten Barru, Kabupaten Enrekang. Wilayah-wilayah tersebut
memiliki produksi buah-buahan yang tinggi, pertumbuhan produksi yang
meningkat selama 5 tahun terakhir, dan hasil produksinya telah mampu
memenuhi konsumsi buah di wilayahnya.
Disisi lain terdapat analisis aksesbilitas yang mana hasil dari analisis
ini adalah penetuan pelabuhan potensial yang ada di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Barat yang mampu mendukung rencana ekspor sector
perkebunan buah ke IKN. Pelabuhan yang dimaksud antaranya adalah:
210
Tabel 4.16. Alternatif Jalur Distribusi Darat dari Kabupaten Potensial Sektor Perkebunan Buah-Buahan ke Pelabuhan Potensial
211
Gambar. 4.5. Peta Kemampuan Kabupaten Berpotensi dan Distribusi
200
Sumber: Analisis Penulis, 2020
201
Berdasarkan tabel 5.22, biaya pemotongan ayam/ekor pada 8 RPA rata-rata
adalah Rp. 26.000. dimana setiap ayam yang dibeli dengan harga 20 ribu rupiah
akan dijual kembali dengan tambahan harga 6 ribu rupiah. Artinya bahwa
pemiliki usaha ini mengambil keuntungan sebanyak ±25% dari hasil penjualan
ayam yang sudah di potong. Sehingga pemotongan ayam sebanyak 1000 ekor/hari
bisa menghasilkan pendapatan sebesar 6 juta rupiah per harinya.
Oleh karena itu, untuk melakukan ekspor unggas ke Kalimantan Timur
sebanyak 24 ton sesuai kapasitas reefer container 20 feet, maka diperlukan
sebanyak 13,7 ribu ekor unggas. 13,7 ribu ekor unggas membutuhkan biaya
pemotongan sebanyak 82,2 juta rupiah.
Table 5.28 Biaya Pemotongan Ternak Unggas/ekor
Jumlah Ternak yang Biaya
Nama Pemilik RPU
dipotong (ekor) Pemotongan/ekor
Emil 500 Rp. 26.000,-
Haji Asri 1000 Rp. 28.000,-
Suratman 500 Rp. 27.000,-
Sukarmin 1000 -
Heril 350 Rp. 26.000,-
Alim Rosi 500 Rp. 26.000,-
Yoni 750 Rp. 27.000,-
Hj. Sodaria 1000 Rp. 26.000,-
Sumber: Survei Penulis, 2020
202
Berdasarkan hasil survei di tempat penyedia retribusi (TPR) yang terletak di
Jalan Poros Malino, biaya retribusi TPR Jl. Malino adalah sebesar Rp. 1000,-
dalam sekali jalan. Retribusi ini juga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Gowa No. 01 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan dan
Kebersihan. TPR ini adalah TPR yang dikhususkan untuk jenis retribusi kebersihan
dan keindahan mobil angkutan barang. Sedangkan tarif retribusi angkutan barang
rata-rata berdasarkan hasil survei 6 kabupaten adalah Rp. 3000,- (Lampiran 3).
Dari data tersebut adapun biaya retribusi berdasarkan banyaknya kabupaten yang
dapat dilewati dapat dilihat pada tabel dibawah.
203
Berdasarkan tabel diatas dilihat bahwa rute dengan biaya termurah adalah
Kabupaten Maros-Pelabuhan Makassar, Kabupaten Sidrap-Pelabuhan Pare-pare,
Kabupaten Bone-Pelabuhan Makassar, Kabupaten Luwu-Pelabuhan Pare-pare, dan
Kabupaten Jeneponto-Pelabuhan Makassar.
204
meningkat sebesar Rp 11,713.668. Analisis selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran (Lampiran 4).
Tarif Rp. 20.000,-/mill didapat dari Rp.11,714 adalah biaya yang diukur
berdasarkan jarak (68,4%) sedangkan 33,3% lainnya senilai Rp.8,012,- adalah
faktor variabel lainnya yang tidak dimasukan dalam analisis ini. Berikut
merupakan tabel tarif reefer container 20’ tujuan Sulawesi-Kalimantan Timur.
205
Tabel 5.19 Jumlah dan Nilai Produksi Ikan di Sulawesi Selatan (2015-2018)
Tahun Produksi (Kg) Nilai Produksi (Rp)
Tambak Kolam Budidaya Laut Tambak Kolam Budidaya Laut
2015 2,865.88 2,333.63 219,509.61 Rp 5,271,255,450.00 Rp 175,742,100.00 Rp 3,613,533,6
2016 2,710.32 2,553.90 400,618.31 Rp 1,481,322,500.00 Rp 55,068,400.00 Rp 639,616,
2017 3,297.63 2,252.13 125,863.02 Rp 5,889,815,968.00 Rp 258,389,344.00 Rp 4,773,682,2
2018 921,174.51 2,549.66 146,844.27 Rp 68,542,050,196.00 Rp 289,566,442.00 Rp 6,406,426,9
Sumber: Dinas Perikanan Sulsel
206
B. Biaya Distribusi Darat
Biaya distribusi ini berkaitan dengan biaya transportasi angkutan barang
dari daerah atau wilayah kabupaten potensial menuju pelabuhan yang
memiliki jalur menuju Kota Balikpapan atau IKN. Dari data yang didapatkan
tersebut adapun biaya retribusi berdasarkan banyaknya kabupaten yang dapat
dilewati dapat dilihat pada tabel dibawah.
Berdasarkan tabel diatas dilihat bahwa rute dengan biaya termurah adalah
Kabupaten Takalar menuju Pelabuhan Int. Soekarno Hatta Makassar,
Kabupaten Wajo menuju Pelabuhan Parepare, Kabupaten Bone menuju
Pelabuhan Barru, Kabupaten Pangkep menuju Pelabuhan Barru, Kabupaten
Jeneponto menuju Pelabuhan Int. Soekarno Hatta, dan Kabupaten Luwu
menuju Pelabuhan Parepare.
207
pas pelabuhan pare-pare PT. Pelindo IV, Pengangkut Barang Non
Dokumen untuk beberapa jenis angkutan barang diantaranya.
Pick Up: Rp 50.000
Bus Kecil: Rp 100.000
Truck 6 roda: Rp 120.000
Truck Sedang, Bus besar: Rp 150.000
Truck Besar 10 roda: Rp 200.000
208
Berdasarkan analisis distribusi yang telah dilakukan sebelumnya,
terdapat 3 skema alur distribusi produk sayuran yaitu:
209
mempertahankan tingkat pertumbuhan produksinya dari tahun 2014-2018
yang mencapai produksi tertinggi kurang lebih 184.000/ton. Penentuan
biaya terutama akibat diperlukannya beberapa perlakuan khusus sebelum
komoditas tersebut dijual kembali. Kisaran harga jual dari petani mangga
antara Rp. 4.000.-/kg sampai Rp. 15.000.-/kg. Dari pedagang pengumpul ke
pedagang antar pulau atau eksportir harga durian menjadi sekitar Rp.
10.000.-/kg, dan akhirnya harga jual pada eksportir sekitar Rp. 30.000.-/kg.
210
Kisaran harga jual dari petani durian antara Rp. 15.000.-/kg sampai Rp.
40.000.-/kg. Dari pedagang pengumpul ke pedagang antar pulau atau
eksportir harga durian menjadi sekitar Rp. 20.000.-/kg, dan akhirnya harga
jual pada eksportir sekitar Rp. 50.000.-/kg. Pada umumnya petani
mengalami hambatan pada sarana transportasi, jalan, adanya pungutan
resmi, hambatan yang lain adalah dalam hal pengolahan, pergudangan serta
jaringan distribusi. Sedangkan bagi pedagang dan eksportir hambatannya
juga seperti yang dialami oleh petani pada umumnya yaitu sarana
transportasi, jalan yang macet, adanya pungutan resmi dan tidak resmi yang
terkadang memberatkan, kurangnya modal yang dimiliki, sulitnya
memperoleh kredit dari bank, serta hambatan dalam pengolahan,
pergudangan dan jaringan distribusi.
211
Hasil diatas menujukan harga transportasi sekali anglut keluar pulau.
Sedangkan harga jual kios berkisaran harga 5.000-25.000/ buah.
212
mengikat mereka sebagai langganan tetap. Umumnya pedagang
pengumpul menjual kepada eksportir dibandingkan dengan ke pedagang
antar pulau. Hal ini dapat dipahami karena tingkat harga yang ditawarkan
memang lebih menarik. Besaran responden yang melakukan hal ini adalah
51,81%, tempat menjual kepada pedagang antar pulau dan eksportir
dilakukan sekitar 6,90% kemudian responden lainnya menjual kepada
pedagang pengumpul, eksportir dan tempat lainnya. Adapun harga yang
berlaku pada petani kakao pada umumnya mengikuti harga patokan dasar
harga pasar dengan tetap memperhatikan prasyarat-prasyarat mutu yang
telah ditentukan. Harga pasar yang berlaku dikalangan petani umumnya
berkisar antara harga Rp < 7.000 sebanyak 10 (50%) kemudian antara
harga Rp 4.000-11.000 sebanyak 7 atau 35%. Bervariasinya harga tersebut
berkaitan langsung dengan cara petani memperlakukan hasil pertaniannya
pada saat pasca panen. Harga jual yang berlaku bagi para pedagang dan
eksportir kakao mengikuti kelaziman sebagaimana yang terjadi pada
umumnya di kalangan petani yakni dengan mengikuti harga patokan dasar
harga pasar tetapi tetap memperhatikan prasyarat-prasyarat mutu yang
telah ditentukan. Harga jual yang berlaku di kalangan para
pedagang/eksportir kakao umumnya berkisar antara harga Rp.4.000.-
sampai Rp.11.000.- sebanyak 11 responden (38%) kemudian antara harga
Rp.11.100.- sampai Rp.12.000.- dan di atas Rp.12.100.- yakni sebanyak 7
atau 24%, sedangkan 4 (14%) dibeli pedagang/eksportir dengan harga
dibawah Rp.17.000.- Hambatan para petani dalam memasarkan hasil
produksinya terutama adalah dari sisi pembiayaan yakni sebesar 4 atau
20% responden dalam kegiatan pengolahan sampai saat pasca panen
hanya mengandalkan modal sendiri.
Permasalahan pergudangan muncul ketika para petani akan melakukan
perlakuan khusus ataupun sedang menunggu pembeli karena sewa
gudangnya mahal. Permasalahan lain yang muncul adalah jalan yang
rusak, Bahan Bakar Minyak yang dianggap mahal maupun masalah
213
pengolahan. Pada umumnya para pedagang mengalami hambatan
dilapangan utamanya menyangkut masalah pembiayaan dimana sekitar
48,27% harus melakukan transaksi dengan dana sendiri dan tentunya hal
ini amat memberatkan bagi kalangan pedagang/eksportir. Hambatan
lainnya adalah adanya pungutan yang bersifat resmi, dimana pungutan-
pungutan ini dianggap sangat memberatkan karena pungutan tersebut
terlalu banyak diposkan baik saat komoditi tersebut melalui daerah-daerah
maupun saat akan menuju pelabuhan, beragamnya jenis pungutan menurut
para responden harus dicarikan solusinya dengan menempatkan pungutan
secara resmi tersebut dalam satu atap.
214
BAB VI PERENCANAAN
STRATEGI PERENCANAAN
215
A. Pusat Kontrol
Terdapat 2 pusat kontrol distribusi, yaitu Kota Makassar dan Kota Pare-pare.
Penentuan pusat kontrol ini didasarkan pada ketersediaan fasilitas dan
infrastruktur yang mendukung produksi dan distribusi daging unggas beku ke
IKN. Kota Makassar Sendiri memiliki Pelabuhan berstandar internasional, yaitu
Pelabuhan Soekarno Hata-Hasanuddin dengan panjang dermaga 2.429 m,
kapasitas kapal 30.000 DWT, kapasitas petikemas 500-550 ribus TEUs dan
didukung oleh fasilitas reefer plug sebanyak 78 unit. Sedangkan di Kota Pare-
pare terdapat Pelabuhan Pare-pare dengan kapasitas kapal 5000 DWT, panjang
dermaga 315, dan kapasitas peti kemas 35.333 TEUs.
Tabel 6.1 Kapasitas Pelabuhan Pusat Kontrol
Pelabuhan Kapasitas Panjang Dermaga TEUs Reefer Plug
216
berasal dari 2 kabupaten tersebut akan didistribusikan ke IKN melalui Pelabuhan
Pare-pare. Adapun tahapan distribusi yang dilakukan:
1. Tahap 1 (Peternakan-RPU-Pelabuhan Asal)
Dalam tahap ini, unggas dalam keadaan hidup akan didistribusikan ke RPU
yang ada di pusat control 1 dan pusat control 2 dan kemudian unggas yang sudah
dipotong dan dibersihkan di RPU akan dibawa ke pelabuhan. Dalam proses
distribusi dari peternakan ke RPU, menggunakan moda transportasi terbuka.
Sedangkan distribusi dari RPU ke pelabuhan menggunakan moda transportasi
tertutup yang memiliki peti pendingin. Distribusi melalui jalan arteri primer
masing-masing kabupaten dengan rincian jalur distribusi, jarak dan waktu tempuh
sebagai berikut:
Tabel 6.2 Jalur ditribusi, jarak dan waktu tempuh distribusi Kabupaten Pusat
Produksi-Pusat Kontrol 1
Kota Asal Kota Tujuan Jarak Waktu
Maros Makassar 42 km 1 jam 19 menit
Bone Maros-Makassar 143 km 3 jam 47 menit
Jeneponto Takalar-Gowa-Makassar 83,7Km 2 Jam 27 menit
Sirap Pare-pare 66,6 km/ 1 jam 45 menit
Luwu Wajo-Sidrap-Parepare 190Km 4Jam 17 Menit
Sumber: Analisis Penulis, 2020
217
Tahap ini adalah tahap pengiriman unggas beku dari pelabuhan asal ke
pelabuhan tujuan distribusi, yaitu dari Pelabuhan Soekarno-Hatta-Hasanuddin dan
Pelabuhan Parepare ke Pelabuhan Semayang di Kota Balikpapan. Adapun jarak
Pelabuhan Soekarno-Hatta-Hasanuddin terhadap Pelabuhan Semayang adalah
sepanjang 325,6 mill dengan waktu tempuh 1 hari 2 jam atau sekitar 26 jam.
Sedangkan jarak antara Pelabuhan Parepare ke Pelabuhan Semayang adalah 243,5
mill dengan waktu tempuh 23 jam.
Dalam perhitungan waktu distribusi, selain mempertimbangkan waktu
perjalanan kapal (travel time), waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan asal
serta lama waktu bongkar muat juga dipertimbangkan. Di tahun 2018, rata-rata
waktu bongkar muat barang (dwelling time) di pelabuhan Indonesia adalah 3,9
hari. Sedangkan batas waktu penumpukan barang di pelabuhan berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Permenhub Nomor PM 116/2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati
Batas Waktu Penumpukan (long stay) di Pelabuhan Utama Belawan, Tanjung
Priok, Tanjung Perak dan Makasar, batas waktu penumpukan barang di pelabuhan
adalah 3 hari. Dari data tersebut, maka asumsi waktu yang dibutuhkan dalam
distribusi tahap 2 ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah.
218
Adapun hasil perhitungan waktu pengiriman unggas dari Provinsi Sulawesi
Selatan ke IKN berdasarkan 3 tahap tersebut antara lain.
Tabel 6.4 Waktu Pengiriman Unggas dari Provinsi Sulawesi Selatan ke IKN
Total Waktu
Waktu Distribusi
Pusat Kontrol Distribusi
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
1 16 jam 7 hari 23 jam 1 jam 49 menit 8 hari, 16,8 jam
2 16,5 jam 7 hari 20 jam 1 jam 49 menit 8 hari, 14,3 jam
Sumber: Analisis Penulis, 2020
219
1. Kekuatan (Strength)
Jumlah Produksi meningkat
Waktu ternak singkat
Penguasaan lahan mandiri
2. Kelemahan (Weakness)
Penyebaran RPHU tidak merata
Fasilitas RPHU tidak memadai
Tidak terdapat simpul sentra produksi
Pendidikan tenaga kerja rendah
3. Peluang (Opportunity)
Penyerapan tenaga kerja tinggi
Kebutuhan dan permintaan ayam tinggi
Mampu distribusi ke beberapa wilayah
4. Ancaman (Threat)
Peternak tidak memiliki kelembagaan
Perubahan Iklim tidak menentu mempengaruhi hasil pangan
Kesehatan dan kualitas hasil ternak
220
Eksternal 3. Penguasaan lahan milik 4. Rendahnya pengetahuan
Strategic Factors mandiri masyarakat tentang
Analysis Summary pengembangan ternak
(EFAS) ayam berbasis teknologi
221
6.2 Komoditi Perikanan
222
6.3 Komoditi Sayuran
223
Gambar. Peta Administrasi Kabupaten Gowa
224
Gambar: Model cross-docking produk sayuran di Kabupaten Gowa
225
Baik untuk konsep model cross docking maupun skema rencana alur
distribusi yang telah diuraikan diatas juga dapat diterapkan di seluruh kabupaten
penghasil sayuran di Sulawesi Selatan. Perencanaan diatas dilakukan untuk
mengefektifkan dan mengefisisensikan produk sayuran sampai ke titik jual dalam
keadaan baik
226
meningkat karena Memperluas Lahan Memperluas Jaringan
peningkatan konsumsi produksi pemasaran
masyarakat akan Meningkatkan kualitas Meningkatkan mutu produk
sayuran SDM yang dilakukan dengan
Letak geografis penanaman varietas unggul
wilayah Sulawesi Meningkatkan kualitas serta
Selatan sangat kuantitas sarana dan
strategis dan dekat prasarana pertanian
dengan IKN (perbaikan jalan usaha tani,
penyediaan irigasi,
pemanfaatan alat dan mesin
pertanian, penyediaan pupuk,
dll)
pengaturan pola tanam sesuai
permintaan pasar
penguatan kelembagaan
petani
227
6.4 Komoditi Buah-Buahan
6.4.1 Rencana Distribusi Produk
228
d. Kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan agribisnis hortikultura
2. Faktor lingkungan internal yang menjadi kelemahan yaitu :
a. Kelembagaan petani
b. Akses permodalan
c. Penguasaan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil
d. Manajemen usaha buah-buahan
e. Rantai tata niaga
3. Faktor lingkungan eksternal yang menjadi peluang yaitu :
a. Permintaan produk hortikultura buah-buahan meningkat
b. Perkembangan Teknologi Informasi
c. Kebijakan pengembangan hortikultura Kementrian Pertanian
d. Program promosi
e. Otonomi daerah
4. Faktor lingkungan eksternal yang menjadi ancaman yaitu :
a. Kelembagaan petani
b. Akses permodalan
c. Penguasaan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil
d. Manajemen usaha buah-buahan
e. Rantai tata niaga
229
Melalui intensifikasi pertanian seperti, peningkatan kualitas bibit, pengendalian
hama, pengolahan lahan yang baik dan pengairan
3. Pengembangan Kawasan Dan Sentra Produksi
Penetapan kawasan didasarkan kepada kesamaan agroklimat, infra struktur,
keterkaitan antar wilayah dan berorientasi kepada peningkatan pendapatan
Pendekatan kawasan multi komoditas Sentra sentra produksi ditumbuhkan
dalam kawasan-kawasan.
4. Pengembangan Mutu Produk
Produk Hortikultura secara bertahap diarahkan untuk memenuhi standar mutu
baik untuk konsumsi segar, bahan baku industri, maupun ekspor Upaya
perbaikan mutu dimulai dari kegiatan pra panen, panen dan pasca panen secara
terintegrasi.
5. Pengembangan Perbenihan
Pengembangan perbenihan diusahakan untuk meningkatkan ketersediaan benih
bermutu varietas unggul (benih bersertifikasi) yang memenuhi 7 tepat (tepat
jenis, varietas, mutu, jumlah, lokasi, waktu dan harga) Kebijakan perbenihan
diarahkan untuk memberdayakan potensi dalam negeri (petani penangkar dan
pengusaha penangkar) menuju ke idustri perbenihan yang berdaya saing tinggi
Peningkatan mutu benih harus mendapat dukungan dari instansi lain yang
terkait seperti Puslitbanghor dan Balai balai penelitiannya sebagai penyedia
benih sumbernya. Penyediaan benih hortikultura harus diatur dan diawasi
dengan cermat agar terjadi keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan.
6. Pengembangan Perlindungan Tanaman Hortikultura
Pengembangan Perlindungan Hortikultura diarahkan untuk mengamankan
produksi di lapangan dan menjamin produk aman dikonsumsi Pelaku utama
perlindungan tanaman adalah masyarakat petani, sedangkan pemerintah
berperan memfasilitasi dan mengatasi apabila masyarakat sudah tidak mampu
lagi mengatasinya.
7. Pengembangan Kelembagaan
230
Pengembangan kelembagaan petani diarahkan pada upaya pengembangan skala
usaha menuju peningkatan efisiensi, meningkatkan akses pasar dan posisi tawar
Pembentukan kelembagaan petani (kelembagaan produksi) harus serasi dengan
ciri sosial budaya dan ekonomi petani.
8. Peningkatan Kompetensi Petugas Dan Petani
Peningkatan kompetensi petugas diusahakan agar petugas mampu menjadi
fasilitator dan dinamisator yang mempunyai kompetensi tinggi, integrasi moral
tinggi, kemampuan intelektual, ketajaman analisis, dan naluri bisnis yang baik.
Peningkatan kompetensi petani diarahkan agar petani sebagai pelaku utama
agribisnis mempunyai kompetensi tinggi yang mampu menghasilkan produk
berdaya saing tinggi.
9. Pemasyarakatan Produk Hortikultura
Pemasyarakatan produk hortikultura diarahkan agar produk hortikultura
Sulawesi Selatan dapat dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, luar
Sulawesi Selatan dan Masyarakat Internasional. Pemasyarakatan produk
hortikultura dimaksudkan agar citra produk hortikultura Sulawesi Selatan
meningkat dan meningkatkan kecintaan untuk mengkonsumsi produk
hortikultura Sulawesi Selatan. Pemasyarakatan produk hortikultura Sulawesi
Selatan dapat melalui berbagai even baik regional, nasional maupun
internasional.
10. Pengembangan Sistim Informasi Manajemen Hortikultura
Pengembangan Agribisnis Hortikultura harus didukung oleh data dan informasi
yang lengkap, akurat dan up to date (terkini) Pengembangan Sistim Informasi
Manajemen Hortikultura diarahkan untuk memperoleh data dan informasi
tersebut diatas. Pengembangan Sistim Informasi Manajemen ditujukan untuk
memperbaiki/menyempurnakan metoda pengumpulan dan pengolahan data dan
informasi, melengkapi jenis data yang dibutuhkan serta sinkronisasi data
statistik hortikultura.
11. Peningkatan Investasi
231
Kegiatan peningkatan invetasi diarahkan agar investor dapat terangsang
untuk menanamkan modalnya pada kebun-kebun hortikultura skala
komersial Kegiatan yang dilaksanakan adalah promosi investasi mengenai
peluang dan keuntungan, informasi ketersediaan lahan dan teknologi,
fasilitasi ketersediaan sarana dan prasarana serta kemudahan perizinan.
Acuan pengembangan investasi dan perizinannya adalah Keputusan Menteri
Pertanian nomor 348/Kpts/TP.240/6/2003 tentang Pedoman Ijin Usaha
Hortikultura. 99
12. Pengembangan Manajemen Hortikultura
Pengembangan manajemen hortikultura meliputi aspek perencanaan,
monitoring serta evaluasi yang perlu didukung oleh data dan informasi yang
akurat, lengkap dan terkini. Materi perencanaa, monitoring dan evaluasi
semua aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan produk yang berdaya
saing.
13. Peningkatan Kompetensi sumber Daya Manusia
Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui FGD mengenai intensifikasi
produksi buah, manajemen buah, bagaimana mengelola buah dengan
pengembangan industri pengolahan dan pentingnya koordinasi dengan
instansi terkait.
14. Pengembangan Sarana Prasarana
Pengembangan sarana prasarana (alsintan, infra struktur, dan sarana
produksi) diarahkan agar efisiensi usaha produktivitas dan mutu produk
meningkat Upaya pengembangan alat dan mesin pertanian ditempuh
melalui: Mendesain, merancang prototipe alsintan horti baik untuk pra
maupun pasca panen yang efektif dan efisien serta sesuai dengan kondisi
teknis, sosial dan ekonomi yang ada. Memfasilitasi pengadaan alsintan yang
efektif dan efisien bagi petani Membina petani dalam pemeliharaan dan
penggunaan alsintan Mengembangkan dan membina unit unit pelayanan jasa
alsintan Upaya pengembangan infra struktur ditempuh melalui kegiatan
232
memfasilitasi pembangaunan infra struktur yang dibutuhkan petani ( Jalan
usahatani, saluran air, embung,cekdam,gudang,dll) Upaya pengembangan
sarana produksi ditempuh melalui : Menghitung kebutuhan sarana produksi
secara tepat mengacu pada Dosis rekomendasi dan realisasi tingkat
penggunaan oleh petani Mengkoordinasikan dengan pihak terkait untuk
menyusun perencanaan pengadaan dan penyaluran pupuk dan pestisida
( khususnya pupuk bersubsidi) Memonitor dan mengawasi penyaluran pupuk
dan pestisida serta melakukan penanganan tindak pidana bila terjadi
penyimpangan sesuai ketentuan yang berlaku.
15. Pengembangan industri pengolahan (agroindustri)
Pengembangan industri pengolahan agar nilai produksi dapat meningkat.
Seperti buah Mangga diolah menjadi manisan, buah durian diolah menjadi
pancake durian, eskrim durian, buah Pisang diolah menjadi kripik pisang,
bronis pisang, buah Jeruk diolah menjadi rujak, dan buah Pepaya diolah
menjadi puding dan masih banyak lagi.
16. Peningkatan Kompetensi sumber Daya Manusia
Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui FGD mengenai intensifikasi
produksi buah, manajemen buah, bagaimana mengelola buah dengan
pengembangan industri pengolahan dan pentingnya koordinasi dengan
instansi terkait.
233
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:
Amalia, Fitri. 2012. Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten
Bone Bolango Dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB. Jurnal
Etikonomi Vol. 11 No. 2 Oktober 2012
Amaliah. A., dkk., 2018, Analisa Kapasitas Optimal Lapangan Penumpukan di
Pangkalan Lontangnge Pelabuhan Parepare, Jurnal JPE, Vol. 22, No.
1, Hlm. 76-80
Hadari Nawawi, 2003. Perencanaan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada
University
Purnomo. A., 2016, Analisis Statistik Ekonomi dan Bisnis Dengan SPSS, Indonesia:
Ponorogo, ISBN : 978-602-6802-40-8, Hlm.147-157.
Sapriadi, Hasbiullah. 2015. Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian
Kabupaten Bulukumba. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Alauddin Makkassar. Iqtisaduna, Volume 1 Nomor 1, Juni 2015:
71-86.
Yolamalinda, 2014, Analisis Potensi Ekonomi Daerah dalam Pengembangan
Komoditi Unggulan Kabupaten Agam, Journal of Economic and
Economic Education: Padang, Vol.3, No.1, Hlm. 27 – 41. ISSN:2302
– 1590.
Artikel:
Dirjen Perhubungan Laut, Biro Komunikasi dan Informasi Publik, 22/02/ 2012,
Pelabuhan Garongkong Siap Layani Kapal Besa, website: http
://www.dephub.go.id/post/read/pelabuhan-garongkong-siap-layani-
kapal-besar-10227 , Diakses: 18/02/2020
viii
Data Badan Pusat Statistik:
1. BPS Indonesia, 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018
2. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2017. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha
Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan 2017.
3. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2015. Sulawesi Selatan dalam Angka 2015
4. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2016. Sulawesi Selatan dalam Angka 2016
5. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2017. Sulawesi Selatan dalam Angka 2017
6. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2018. Sulawesi Selatan dalam Angka 2018
7. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2019. Sulawesi Selatan dalam Angka 2019
8. Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Peternakan Indonesia
(http://budidaya.ditjenpkh.pertanian.go.id/)
9. Litbang Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan
(http://sulsel.litbang.pertanian.peternakan.go.id/)
Regulasi:
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah
3. Peraturan Daerah Kota Parepare Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa
Umum
4. Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 01 Tahun 2012 tentang Retribusi
Pelayanan Persampahan dan Kebersihan.
5. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014 – 2034
6. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 – 2029
7. Standar Nasional Indonesia SNI 01-6160-1999Terkait Rumah Pemotongan
Unggas.
Website:
ix
1. http://kariangauterminal.co.id/wp/fasilitas/
2. https://kudahitamperkasa.co.id/post/peluang-usaha-penyalur-ayam-bebek-
remaja.html
3. https://kargo.tech/kapasitas-truk/
4. https://www.kabarmakassar.com/awal-tahun-2020-tarif-pas-pelabuhan-
parepare-mengalami-kenaikan/
5. https://ekonomi.bisnis.com/read/20150610/98/442068/jonan-sindir-pelindo-
tak-punya-pelabuhan-kapasitas-besar
6. http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/KAJIAN_PENGEMBAN
GAN_INDIKATOR_KINERJA_LOGISTIK_INDONESIA_FINAL.pdf
7. https://www.radarmakassar.com/2020/02/08/pelindo-naikkan-retribusi-
pelabuhan-paotere-hingga-35-persen/
x
DAFTAR
LAMPIRAN
xi
LAMPIRAN 1:
Lembar Kuesioner Survei Peternakan Unggas
12
13
LAMPIRAN 2:
Lembar Kuesioner Survei Rumah Potong Hewan Unggas
14
15
16
LAMPIRAN 3
Tarif Retribusi Angkutan Barang Kab/Kota di Sulawesi Selatan
Pada tabel dibawah terdapat tarif retribusi angkutan barang kab/kota di Sulawesi Selatan.
Retribusi tersebut terdiri atas retribusi kebersihan dan keindahan angkutan barang dan retribusi
terminal barang.
LAMPIRAN 4
Analisis Regresi Linear Sedarhana
Analisis Pengaruh Jarak antar Pelabuhan terhadap Tarif Kontainer berpendingin 20 feet
dengan Metode Regresi Linear Sederhana menggunakan aplikasi SPSS
Tabel Tarif Pengangkutan Petikemas Berpendingin 20 feet PT. Meratus
Asal Tujuan Kode Jarak (Nm) Reefer 20''
Surabaya Sorong SUB-SRG 1253 Rp33,000,000
Surabaya Manokwari SUB-MRI 1411 Rp34,000,000
Surabaya Nabire SUB-NBR 1630 Rp40,000,000
Surabaya Jayapura SUB-JYP 1846 Rp48,000,000
Surabaya Makassar SUB-MKS 437 Rp25,671,234
Surabaya Bau-Bau SUB-BAU 667 Rp31,638,858
Surabaya Ambon SUB-AMQ 980 Rp39,760,017
Sumber: Jurnal Penelitian, 2016
17
Variables Entered/Removeda
Model Variables Entered Variables Removed Method
1 JARAKb . Enter
a. Dependent Variable: TARIF
b. All requested variables entered.
Dari output dapat dilihat bahwa variabel independen yang dimasukkan ke dalam model
adalah jarak dan variabel dependennya adalah tarif. Sedangkan metode regresi menggunakan
Enter.
3. Output Coefficients
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
Model t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 22248248.756 4507212.217 4.936 .004
JARAK 11713.668 3559.801 .827 3.291 .022
a. Dependent Variable: TARIF
Keterangan:
Y´: Nilai prediksi variabel dependen
α : Konstanta, yaitu nilai Y’ jika X = 0
b : Koefisien regresi, yaitu nilai peningkatan atau penurunan variabel
Y’ yang didasarkan variabel X
18
X : Variabel independen
Nilai konstanta (a) adalah 22248248.756. Ini dapat diartikan jika jarak nilainya
adalah 0, maka tarif nilainya Rp 22,248,248.756.
Nilai koefisien regresi variabel harga (b) bernilai positif yaitu 11713.668. Artinya
bahwa setiap peningkatan jarak sebesar 1 mill, maka tarif reefer container juga
akan meningkat sebesar Rp 11,713.668.
b. t hitung =3.291, Signifikansi =0.022
UJI t
Uji t pada kasus ini digunakan untuk mengetahui apakah jarak pelabuhan
berpengaruh secara signifikan atau tidak terhadap tarif reefer container. Pengujian
menggunakan tingkat signifikansi 0,05 dan 2 sisi. tingkat signifikansi 0,05 artinya peluang
memperoleh kesalahan adalah 5%, dengan kata lain tingkat kepercayaan adalah 95%.
Langkah-langkah pengujian sebagai berikut:
Merumuskan hipotesis
H1 : Jarak Pelabuhan tidak berpengaruh terhadap tarif reefer container.
H2 : Jarak Pelabuhan berpengaruh terhadap tarif reefer container.
Menentukan t hitung dan Signifikansi
Dari output di dapat t hitung sebesar 3.291 dan Signifikansi 0,022
Menentukan t tabel
T tabel dapat dilihat pada tabel statistik pada signifikansi 0,05 /2 = 0,025 dengan
derajat kebebasan df = n (total data) -2 atau 7-2 = 5, hasil diperoleh untuk t tabel =
=TINV(0.05,5), t tabel=2.571
Kriteria Pengujian t
Jika t hitung < t tabel maka H1 diterima
Jika t hitung > t tabel maka H1 ditolak
19
Berdasar Signifikansi:
Jika Signifikansi > 0,05 maka H1 diterima
Jika Signifikansi < 0,05 maka H1 ditolak
Membuat kesimpulan
Nilai t hitung > t tabel (3.291 > 2.571) dan Signifikansi 0,048 < 0,05 maka H1 ditolak, jadi dapat
disimpulkan bahwa Jarak Pelabuhan berpengaruh
20