Anda di halaman 1dari 33

CRITICAL BOOK REPORT

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Wajib KKNI Matkul PAI)

NAMA MAHASISWA : T.NAVA AFRILIA


NIM : 2203210033
KELAS : SASTRA INDONESIA A 2020
DOSEN PENGAMPU : Dr. Nurmayani, M.Ag
MATA KULIAH : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
Critical Book Report tepat pada waktunya.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nurmayani, M.Ag. selaku dosen
pengampu pendidikan agama islam yang merupakan matakuliah wajib yang diselenggarakan di
seluruh Program Studi Sastra Indonesia. Didalamnya mengenai hukum-hukum yang berupa
pembekalan mengenai “agama islam” yang nantinya akan dijadikan bekal mahasiswa/i untuk
mengkaji di kehidupan sosial.

Karena sifatnya membantu, maka seyogyanya mahasiswa/i yang lain dapat melengkapi
makalah ini dengan bahan bacaan materi yang lain sehingga akan membantu dan memahami
materi yang sebelumnya telah disajikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat saya harapkan. Semoga pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Binjai, 24 September 2021

T.Nava Afrilia

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Rasionalisasi Pentingnya CBR................................................................ 4
B. Tujuan Penulisan CBR............................................................................ 4
C. Manfaat Penulisan CBR.......................................................................... 4
D. Identitas Buku ......................................................................................... 4
BAB II RINGKASAN ISI BUKU ......................................................................... 6
A. Ringkasan Isi Buku Utama (Pertama)..................................................... 6
B. Ringkasan Isi Buku Pembanding (Kedua) .............................................21
BAB III PEMBAHASAN
A. Kelebihan dan Kekurangan Buku ...........................................................31
1. Dari Aspek Tampilan Buku (Face Value) ..........................................31
2. Dari Aspek Layout, Tata Letak, Tata Bahasa, Serta Tata Tulis .........31
3. Dari Aspek Isi Buku ...........................................................................31
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................32
B. Saran .......................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................33

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rasionalisasi Pentingnya CBR
Keterampilan membuat CBR pada penulis dapat menguji kemampuan dalam
meringkas dan menganalisis sebuah buku serta membandingkan buku yang dianalisis
dengan buku yang lain, mengenal dan memberi nilai serta mengkritik sebuah karya tulis
yang dianalisis.
Acapkali kita bingung untuk memilih buku referensi untuk kita baca dan pahami,
terkadang kita hanya memilih satu buku untuk dibaca tetapi hasilnya masih belum
memuaskan, misalnya dari segi analisis bahasa dan pembahasan, oleh karena itu penulis
membuat CBR Pendidikan Agama Islam untuk mempermudah pembaca dalam memilih
buku referensi terkhusus pada pokok bahasan tentang Ajaran Agama Islam.

B. Tujuan Penulisan CBR


Mengkritisi serta membandingkan kelebihan dan kelemahan dua buah buku, dari
segala aspek yang berkaitan dengan sejarah sastra di Indonesia.

C. Manfaat Penulisan CBR


1. Menambah wawasan akan pemahaman mengenai hukum dan sumber islam serta
aqidah akhlak
2. Membantu pembaca dalam mencari informasi inti dari sebuah buku, mulai dari
kelebihan maupun kekurangan isi buku.
3. Melatih diri untuk mampu menilai atau mengambil kesimpulan dari sebuah buku.

D. Identitas Buku
1. Buku Utama (Pertama)
Judul : Pengantar Hukum Islam
Pengarang : Dr. Rohidin, SH., M.Ag
Editor : M. Nasrudin, SHI, MH
Penerbit : Lintang Rasi Aksara Books
4
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016
Tebal Buku : + 224 Halaman
ISBN : 978-602-7802-30-8

2. Buku Pembanding (Kedua)


Judul : Aqidah Akhlak
Pengarang : Dr. H. Muhammad Amri, Lc. M.Ag, dkk.
Editor : Risna Mosiba
Penerbit : Semesta Aksara
Kota Terbit :-
Tahun Terbit :-
Tebal Buku : 200 Halaman
ISBN : 978-602-53177-6-7

BAB II
5
RINGKASAN ISI BUKU

A. Ringkasan Isi Buku Utama (Pertama)


BAB II : SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam. Dalam
kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam sering diartikan dengan dalil hukum
Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.
Sumber-sumber hukum Islam adalah terjemah dari lafal bahasa Arab ‫ الحكام مصادر‬.
Istilah lain yang semakna adalah ‫ التشريعية مصادر‬lebih sering digunakan ‫ دليل‬Istilah .‫أدلة‬
‫ الحكام‬dan ,‫ أصول الحكام‬,‫للحكام‬dalam kepustakaan hukum Islam, bentuk jamak dari lafal
‫ دليل‬adalah.‫ أدلة الحكام‬secara lengkap adalah , ‫ دلئل‬atau ,‫ أدلة‬Dalil menurut bahasa berarti
petunjuk terhadap sesuatu baik hissiy (konkret) maupun maknawi (abstrak); baik
petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejelekan. Pengertian dalil menurut
ketetapan para ahli Ushûl al-Fiqh adalah:
Berdasarkan Abdul Wahhab Khallaf, di antara dalil-dalil yang disepakati oleh
jumhur ulama sebagai sumber-sumber hukum Islam adalah Al-Quran, As-Sunnah,
Al-Ijmâ, dan Al-Qiyas.
Penggunaan keempat dalil sebagaimana di atas berdasarkan firman Allah swt:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalil syar’i menurut Mahmud Syaltut ada tiga:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ar-Ra’yu (Ijtihad)
Pendapat Mahmud Syaltut itu lebih sesuai dengan hadits Nabi saw yang berupa
dialog antara beliau dengan Muaz bin Jabal pada waktu akan diutus ke Yaman.
“Bagaimana engkau dapat memutuskan jika kepadamu diserahkan urusan peradilan?
6
Ia menjawab, ‘Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah.’ Bertanya lagi Nabi
saw., ‘Bila tidak kau jumpai dalam kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Dengan sunah
Rasulullah saw.’ Lalu Nabi bertanya, ‘Bila tidak kau dapati dalam sunah Rasulullah
dan tidak pula dalam Kitabullah?’ Ia menjawab, ‘Saya lakukan ijtihad bi arra’yi dan
saya tidak akan mengurangi (dan tidak berlebih-lebihan).’ Berkatalah Muaz, ‘Maka
Nabi menepuk dadaku dan bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah telah meridlainya.”

B. Sumber al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw sebagai
Rasul-Nya selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Mula-mula diturunkan di Mekah
kemudian di Madinah.
Terdapat beberapa hukum yang juga harus dijadikan pedoman oleh umat manusia
saat ini. “Kita diperintahkan oleh al-Qur’an supaya memperhatikan keadaan-keadaan
masyarakat umat manusia sebelum kita, untuk mengetahui hukum-hukum yang sudah
menegakkan masyarakat itu, dan hukum-hukum apa pula yang sudah
merobohkannya. Hukumhukum yang baik kita pakai dan yang tidak baik kita buang.”
Terdapat beberapa keistimewaan pada al-Quran yang dirinci oleh Yusuf Qaradlawi
dalam Membumikan Syariat Islam sebagai berikut:
1) Mukjizat dan Bukti Kebenaran
2) Kekal dan Tetap Terpelihara
3) Bersifat Universal dan Tidak Sektarian
Terdapat beberapa Batasan al-Quran yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Al-Quran itu wahyu berupa lafal; wahyu yang berupa makna yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. dan yang diutarakan dengan bahasa beliau sendiri,
bukanlah termasuk Al-Quran.
b) Al-Quran berbahasa Arab; terjemahan al-Quran ke dalam bahasa lain, tidaklah
dinamakan sebagai alQuran, demikian juga dengan tafsir al-Quran.
c) Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.; wahyu yang diturunkan
kepada selain Nabi Muhammad tidaklah disebut al-Quran.
7
d) Al-Quran dari masa sahabat hingga sampai kepada kita diriwayatkan dengan jalan
mutawatir. Al-Quran yang terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat, dan dibagi menjadi 30
juz tersebut sangat bijaksana dalam menetapkan hukum, yakni menggunakan prinsip-
prinsip:
1. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan.
2. Menyedikitkan tuntutan.
3. Bertahap dalam menetapkan hukum.
4. Sejalan dengan kemashlahatan manusia.

C. Sumber al-Hadits/as-Sunnah
Secara terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai “Segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrîr,18
perangai, dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya, baik sebelum maupun
setelah diangkatnya jadi Rasul.19 Menurut sementara ahli hadits menyamakan arti dari hadits
dan sunah.
Hadits qauliy (sunah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi yang ada hubungannya
dengan pembinaan hukum. Seperti hadits Nabi yang menjelaskan semua amal perbuatan
tergantung pada niat.
Adapun hadits fi’liy ialah segala perbuatan Nabi saw. yang diberitakan oleh para sahabat
mengenai ibadah dan lain-lain. Misalnya, cara melaksanakan salat, cara menunaikan ibadah
haji, etika puasa, dan cara menyelenggarakan peradilan dengan menggunakan saksi sumpah.

Selanjutnya mengenai hadits taqririy ialah segala perbuatan sahabat yang diketahui Nabi saw.

Di dalam kitab Bulûgh al-Marâm dinyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi
saw. ada bermacam-macam:
a). Diriwayatkan oleh banyak orang kepada banyak orang dan seterusnya demikian hingga
tercatat, dengan beberapa banyak sanad pula, ini disebut dengan hadits mutawatir. Sunah
mutawatir ini pun dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Mutawâtir lafdziyyah, yaitu redaksi dan kandungannya sama, tidak ditemukan perbedaan.
Contohnya antara lain, “Maka barangsiapa membuat kebohongan terhadap saya dengan
sengaja, hendaknya mengambil tempat duduk dari api neraka (HR. Bukhori dan Muslim).
Sunnah ini diriwayatkan oleh sekitar 200 orang sahabat dengan redaksi tidak berbeda.

8
2) Mutawâtir ma’nawiyyah yaitu redaksinya berbeda-beda tetapi maknanya tetap sama.

b). Hadits masyhûr atau mustafîd. Contoh dari hadits ini: “Amal-amal itu tergantung pada niat,
dan setiap amal hanya akan memperoleh apa yang diniatkannya.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim). Pada generasi sahabat, hadits ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab,
Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Bakar, tetapi pada generasi tabi’in dan selanjutnya
diriwayatkan oleh banyak rawi, yang mencapai derajat mutawatir.

c). Diriwayatkan oleh dua orang kepada dua orang dan seterusnya demikian hingga tercatat
dengan dua sanad, ini disebut dengan hadits ‘azîz.
d). Diriwayatkan oleh satu orang kepada satu orang dan seterusnya demikian hingga tercatat
dengan satu sanad, ini disebut hadits gharîb.

Ditinjau dari segi kualitas dan mutunya, sunah atau hadits ahad ini terbagi menjadi menjadi
empat macam, yaitu:

1. Sunah/Hadîts Shahîh
Yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang adil (baik), kuat hafalannya, sempurna
ketelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasul, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan
dalil atau periwayatan yang lebih kuat.

2. Sunah/Hadîts Hasan
Yaitu sunah/hadits yang diriwayatkan oleh orang adil (baik), sanadnya bersambung kepada
Rasulullah, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat,
tapi kekuatan hafalan atau ketelitian rawinya kurang baik.

3. Sunah/Hadîts Dha’îf
Yaitu sunah/hadits lemah karena rawinya tidak adil, terputus sanad, cacat, bertentangan
dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat, atau ada cacat lain. Lebih dari 20 macam hadits
dikategorikan dha’îf.

4. Sunah/Hadîts Maudlû

9
Yaitu hadits yang dibuat oleh seseorang (karangan sendiri) kemudian dikatakan sebagai
perkataan atau perbuatan Rasulullah saw.

Imam Bukhori dan Imam Muslim sependapat untuk tidak menggunakan hadîts dha’îf dalam
bidang apa pun, termasuk dalam bidang fadlâil al-a’mâl. Mereka memandang bahwa dengan
demikian lebih aman dari kemungkinan menisbatkan atau menghubungkan suatu perkataan
atau perbuatan kepada Nabi saw.,padahal Nabi tidak mengatakan atau melaksanakannya. Hal
ini bisa memicu ancaman masuk neraka karena berdusta kepada Nabi saw., sebagaimana
sabdanya,

“Barang siapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa itu bukan haditsku,
maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam sebuah hadits mutawatir Nabi bersabda,


“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah menyediakan
tempat duduknya dari api neraka.”

D. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa adalah berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti kemampuan,
potensi, dan kapasitas. Dalam Lisân al-‘Arabdisebutkan bahwa al-juhd berarti mengerahkan
segala kemampuan dan maksimalisasi dalam menggapai sesuatu. Wazn ifti’âlmenunjukkan arti
muballaghah (melebihkan) dari kata dasarnya. Dalam hal ini ijtihad lebih berarti mubalaghah
(mengerahkan kemampuan) daripada arti kata jahada (mampu). Berdasarkan pengertian ini,
ijtihad menurut bahasa artinya mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan
untuk sampai pada satu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konsekuenssi
kesulitan dan keberatan (masyaqqah).

Abul A’la al-Mawdûdî mengemukakan enam macam syarat yang harus dipenuhi oleh
mujtahid, yaitu:
1. Memiliki iman kuat terhadap syarî’ah ilâhiyyah, berkeyakinan teguh terhadap
kebenaran dan kelurusannya, dan mempunyai tekad yang bersih untuk
merealisasikannya, hatinya tidak cenderung mengutak-atik ketentuan syariat, dan tidak
mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
2. Menguasai Bahasa Arab lengkap dengan gramatika dan gaya bahasanya dengan baik.
Sebab dengan bahasa Arablah al-Quran diturunkan, dan sarana yang paling penting untuk
mengungkap sunah adalah Bahasa Arab.
10
3. Mendalami ilmu al-Quran dan as-Sunnah, sehingga tidak hanya tahu hukum yang bersifat
furû’ saja melainkan memahami juga dengan baik kaidah-kaidah syarat yang bersifat
universal dan tujuan-tujuan mendasar. Mujtahid harus mengetahui ketetapan syara’ yang
berkaitan dengan kepentingan hidup manusia secara menyeluruh. Di samping itu, ia harus
mengetahui kedudukan setiap segi dari aspek-aspek kehidupan dalam kerangka ketetapan
universal ini, dan harus mengetahui tujuan ketetapan syara’ dan kemaslahatannya dalam
mengatur
berbagai segi dan aspek kehidupan yang berbeda-beda.
4. Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli terdahulu.
Kebutuhan akan warisan lama bukan saja untuk latihan berijtihad, tetapi juga untuk
melihat kesinambungan perkembangan hukum. Sebab adanya itjtihad bukan untuk
memusnahkan yang lama dan memandangnya sebagai hal yang asing, sehingga harus
diganti dengan yang baru.
5. Memiliki pengamatan yang cermat terhadap maslah-masalah kehidupan berikut situasi
dan kondisi yang melingkupinya. Sebab masalah dan kondisi-kondisi itulah yang akan
menjadi tempat aplikasi hukum-hukum tersebut.
6. Memiliki akhlak yang terpuji sesuai tuntunan Islam. Orang tidak akan mau menerima
hasil ijtihad apabila dihasilkan oleh orang-orang yang tidak baik

Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa metode atau cara-cara ijtihad adalah:
1. Ijmâ’.

Ijmâ’ termasuk sumber hukum Islam selain al-Quran dan Sunah, serta terdapat dalil dalam al-
Quran surat an-Nisa: 59 yang menyebutkan bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di
antara kamu. Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kau benarbenar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

2. Qiyas ‫قياس‬

3. Mashlahah Mursalah ‫مرسلة م‬

11
Tujuan syariat di dalam menetapkan suatu hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Kemaslahatan manusia dibagi dalam tiga komponen, yakni primer, sekunder, dan
tersier.

Contoh mashlahah mursalah adalah pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau
kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang
diperlukan untuk memelihara kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung dalam al-
Quran dan sunah Rasul.

4. Istihsân ‫ان‬jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj‫استحس‬
Istihsân menurut bahasa adalah menganggap sesuatu sebagai hal yang baik. Istihsân adalah suatu
cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan.

Contoh: Islam sangat melindungi dan menjamin hak milik seseorang, sehingga proses peralihan
dan pencabutan hak milik tersebut hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pemilik, namun
untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik seseorang dengan
paksa, dengan ganti kerugian tertentu. Semisal untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi,
dll.Jumhur Malikiah dan Hanabilah menetapkan bahwa istihsân adalah suatu dalil syar’î yang
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh qiyâs
atau keumuman nash.

5. ‘Urf

6. Sadd adz-Dzarî’ah

Sadd adz-dzarî’ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu
kasus hukum yang pada dasarnya mubah (boleh). Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari
perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.

7. Istishhâb

Menurut Ibnu Qayyim, istishhâb adalah melanjutkan ketetapan suatu hukum yang telah ada atau
meniadakan sesuatu hukum yang sejak semula tidak ada. Dengan kata lain, istishhâb dapat
diartikan sebagai tindakan melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada
ketentuan lain yang membatalkannya.

BAB III : SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

12
A. Masa Pembentukan Hukum Islam

Masa pembentukan hukum Islam sudah dimulai sejak Muhammad saw. diutus menjadi Rasul.
Selama kurang lebih 23 tahun kerasulannya, otoritas tasyrî’ berada sepenuhnya di tangan Allah
melalui wahyu-Nya, al-Quran. Peristiwa atau pertanyaan orang lain kepada Nabi Muhammad
saw yang melatarbelakangi turunnya wahyu al-Quran disebut dengan sabab an-nuzûl atau dalam
bentuk jamak asbâb an-nuzûl. Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia
Modern, Dinamika Pemikiran dari Fiqih Klasik ke Fiqih Indonesia.

“Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Quran) supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa-
apa yang diturunkan untuk mereka."

B. Masa Sahabat

fase sahabat di sini adalah masa Khulafâ’ ar-Râsyidîn. Fase ini bermula sejak Khalifah Abu
Bakar (11 H) dan berakhir pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib (40 H). Pada masa sahabat,
hukum Islam mulai dikeluarkan dengan jalan ijtihad.

periode sahabat ini dapat dibagi menjadi dua bagian :

Pertama: Masa sahabat besar, dari tahun 11 H. Mulai dari masa Abu Bakar sampai Ali bin Abi
Thalib dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut Khulafâ’ ar-Râsyidûn
(khalifahkhalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul
mengikuti teladan nabi. Mereka dipilih melalui musyawarah secara demokratis. Seorang khalifah
tidak pernah bertindak sendiri saat negara menghadapi kesulitan, mereka selalu bermusyawarah
dengan pembesar-pembesar yang lain.

Kedua: Masa sahabat kecil dan tabi’in besar, mulai pemerintahan Mua’wiyah hingga awal abad
kedua H. Masa ini dimulai dari tahun jamaah, yakni tahun 41 H, yang pada tahun ini umat Islam
bersatu (kecuali Khawarij dan Syi’ah) untuk mengakui khalifah Mua’wiyah. Pada periode ini
dan seterusnya Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun.

Para sahabat tersebar di beberapa daerah, di antaranya adalah:

Madinah
1. Abu Bakar as-Shidiq (wafat tahun 13 H)
13
2. Umar bin Khattab (wafat tahun 23 H)
3. Usman bin Affan (wafat tahun 35 H)
4. Ali bin Abi Thalib (wafat tahun 40 H)
5. Zaid bin Tsabit (wafat tahun 45 H)
6. Ubai bin Ka’ab (wafat tahun 21 H)
7. Abdullah bin Umar (wafat tahun 73 H)
8. Aisyah

Makkah
1. Abdullah bin Abbas (wafat tahun 68 H)

Kufah

1. Ali bin Abi Thalib (wafat tahun 40 H)


2. Abdullah bin Mas’ud (wafat tahun 32 H)

Basrah
1. Anas bin Malik (wafat tahun 93 H)
2. Abu Musa al-Asy’ari (wafat tahun 44 H)

Syam

1. Muadz bin Jabal (wafat tahun 18 H)


2. ‘Ubadah bin Shomid (wafat tahun 34 H)

Mesir

1. Abdullah bin Amr bin Ash (wafat tahun 65 H)

C. Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan


Periode ini diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai pada bagian
kedua abad VII sampai dengan abad X M. Masa pengembangan dan pembinaan ini berada pada
kisaran pemerintahan Khalifah Bani Umayyah (662-750) dan khalifah Bani Abbasiyah (750-
1258).

Hukum Islam mencapak puncak perkembangannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Terlebih pada
periode pertama Bani Abbasiyah yang didukung segi politis. Para khalifah betul-betul tokoh
14
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebagaimana dikatakan Ahmad Hanafi bahwa hampir di tiaptiap kota besar terdapat golongan
tabi’in dan pengikut tabi’in yang mengikuti jejak para sahabat Nabi sebelumnya. Mereka
memberikan fatwa dan pelajaran kepada masyarakat di kota yang mereka diami seperti halnya di
beberapa kota di bawah ini:

Di Madinah:

1. Sa’id bin al-Musayyab


2. ‘Urwah bin az-Zubair
3. Ahli fiqih Madinah yang tujuh
4. Muhammadbin Syihab az-Zuhri
5. Yahya bin Said
6. Malik bin Anas, dan rekan-rekannya di Madinah.

Di Makkah:

1. ‘Ikrimah
2. Mujahid
3. ‘Atho’
4. Sufyan bin Uyainah
5. Mufti Hijaz Muslim bin Khalid,
6. Imam Syafi’i, kemudian hijrah ke Baghdad dengan qaul qadimnya, lalu ke Mesir dengan qaul
jadidnya.

Di Kufah:
1. Abdullah bin Mas’ud (wafat 32 H) kemudian muridmuridnya yang terkenal adalah di bawah
ini:
 ‘Alqamah bin Qois
 Syuraih al-Qadli,
 Ibrahim an-Nakha’i
 Hammad bin Abi Sulaiman
 Imam Abu Hanifah beserta kawan-kawannya.
15
Di Mesir:
1. Mufti Mesir Yazid bin Habib,
2. Al-Laits bin Sa’ad
3. Abdullah bin Amr bin Ash
4. Imam Syafii pada akhir hayatnya

Demikianlah kemajuan politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan yang pernah dicapai oleh
Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak diungguli oleh siapa pun kala itu. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah periode pertama.
Kemajuan politik dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan peradaban dan kebudayaan.
Namun sangat disayangkan, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.

D. Masa Kelesuan Pemikiran Hukum Islam


1. Tahap Pertama

Masa kelesuan ini dimulai sejak pertengahan abad keempat sampai dengan pertengahan abad
ketujuh, yaitu sejak terbunuhnya alMu’tashim Billah khalifah terakhir dari daulat Bani
Abbasiyah tahun 656 H.

2. Tahap Kedua

Periode kebekuan dan keterbelakangan Islam terjadi pada abad ke-7 H sampai abad ke-13 H,
seringkali dalam fiqih Islam disebut dengan periode taklid mutlak. Hal ini disebabkan karena
pada periode ini para fuqaha hanya mengagumi kitab-kitab yang dikarang oleh orang-orang
sebelum mereka dan kemauannya berhenti sampai di situ, tanpa menyaring dan
menyimpulkannya.

Lebih rinci dijelaskan bahwa masa kelesuan berpikir hukum Islam ini bermula pada abad ke-4 H
sampai akhir abad ke-13 H. Ini terjadi di akhir penghujung pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa ini para ahli hukum Islam membatasi diri mempelajari fikiranfikiran para ahli
sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku berbagai madzhab, seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Para ahli hukum masa ini tidak lagi
menggali hukum (fikih) Islam dari sumber aslinya (al-Quran), tetapi sekadar mengikuti pendapat
para imam madzhab.

16
E. Masa Kebangkitan Kembali

Setelah beberapa abad lamanya mengalami masa tersebut akhirnya pemikiran Islam bangkit
kembali. Pada pertengahan abad ke 18 M timbullah reformasi dan umat Islam melepaskan diri
dari taqlid. Kebangkitan kembali pemikiran Islam ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid
yang dianggap menjadi penyebab kemunduran hukum Islam selama ini. Usaha menyadarkan
umat Islam secara universal dari hegemoni taqlid ini tidaklah terjadi sekaligus, melainkan
berangsur-angsur.

Dalam lapangan politik, khususnya di Mesir Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) muncul sebagai
salah satu pionir.28 Ia menjadikan al-Quran surat ar-Ra’d ayat 11 sebagai penggerak bagi umat
Islam untuk bangkit dari kemunduran yang selama ini mendera, bahkan seruan pembaharuan
tersebut menyeluruh bagi kaum muslimin. Secara gamblang Allah berfirman, “Allah tidak akan
mengubah keadaan/nasib suatu kaum (bangsa), kalau kaum (bangsa) itu tidak terlebih dahulu
berusaha mengubah nasibnya sendiri”. Usaha Jamaluddin al-Afghani mampu mempengaruhi
tokoh lain, bahkan pemikirannya dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Ia
adalah seorang murid terkemuka dan memiliki usaha keras dalam meratakan seruan gurunya,
yaitu mengikuti ulama-ulama salaf, kembali pada sumber-sumber pokok dalam istinbath
(pengambilan alasan-alasan hukum) dan menjauhkan kebekuan serta kebiasaan taqlid. Pikiran-
pikiran Muhammad Abduh kemudian diikuti oleh M. Rasyid Ridla.

Dr. Charles C. Adam dalam Islam and Modernism in Egypt(1933) sebagaimana dikutip Daud Ali
dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam menyebutkan beberapa program
pembaharuan pemikiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, di antaranya adalah:
1). Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal
dari tuntunan Islam;
2). Mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan
tinggi.

Membersihkan agama dari usaha-usaha infiltrasi musuh Islam yang menyisipkan ajaran-ajaran
yang menyesatkan dan mengajak untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi dan kepada
amalanamalan ulama salaf. Di Syiria muncul usaha perbaikan yang bersendi Agama yang
dibangun oleh Al-Mahdi dan mengajak kembali kepada hukum Tuhan dan Rasul-Nya.

17
BAB III : SEJARAH PERTUMBUHAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Masa Pembentukan Hukum Islam

Masa pembentukan hukum Islam sudah dimulai sejak Muhammad saw. diutus menjadi Rasul.
Selama kurang lebih 23 tahun kerasulannya, otoritas tasyrî’ berada sepenuhnya di tangan Allah
melalui wahyu-Nya, al-Quran. Pada saat itu seringkali penetapan hukum diawali oleh suatu
peristiwa atau pertanyaan umat Muhammad kepadanya. Merespons problem tersebut, Allah
langsung menurunkan ayat al-Quran kepada Nabi saw.

Pada masa Nabi hukum Islam berada dalam tahap pembentukan dan peletakan dasar-dasarnya, di
mana sumber hukum Islam kala itu adalah al-Quran dan Sunah. Ijtihad Nabi juga menjadi
sumber hukum sejauh tidak ada koreksi (wahyu) dari Allah, yang kemudian ijtihad ini menjadi
sunahnya.

B. Masa Sahabat

Fase ini bermula sejak Khalifah Abu Bakar (11 H) dan berakhir pada masa Khalifah Ali bin Abu
Thalib (40 H). Pada masa sahabat, hukum Islam mulai dikeluarkan dengan jalan ijtihad. Puncak
pemerintahan dipegang oleh Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah pertama dalam Islam. Abu
Bakar diangkat sebagai pengganti Muhammad saw. selaku kepala negara, bukan seorang rasul.
Masa pemerintahan Abu Bakar tidak berlangsung lama, hanya berkisar 2 tahun, dan pada tahun
634 M ia meninggal dunia. Dalam masa sesingkat itu tidak banyak masalah muncul terkait
hukum Islam. Karena kondisi masih begitu akrab dengan tradisi dan sunah yang telah diajarkan
Rasulullah.. Jika terdapat persoalan mereka juga bisa merujuk atau bertanya kepada sahabat-
sahabat senior yang lebih paham.

Selanjutnya Umar meneruskan pucuk pimpinan pemerintahan Islam. Pada masa Umar terdapat
banyak peristiwa yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah, hal ini disebabkan semakin
meluasnya daerah kekuasaan Islam hingga ke negeri Syam, Irak, Mesir, Persia, dll. Di beberapa
negeri ini, banyak peraturan yang belum dikenal, mulai dari adat-istiadat, tradisi yang jauh
berbeda dengan Jazirah Arab, serta muncul peristiwa baru yang belum pernah dijumpai di negeri
mereka. Semua ini menghendaki penyelesaian dalam konteks hukum Islam. Para sahabat
memiliki peran penting dan bertanggung jawab dalam berbagai permasalahan yang muncul
sedang nash tidak menjelaskan permasalahan tersebut secara rinci.

C. Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan

Periode ini diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai pada bagian kedua
abad VII sampai dengan abad X M. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat

18
kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan
menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak mempunyai pengalaman politik yang
memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:

1. Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat Nabi tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan
ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu, suku-suku Arab
gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu
kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu,
mulai memasuki masa kemunduran.
4. Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya
kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan
memaksakan aliran atau agama resmi kepada wilayah jajahan. Rakyat Bizantium tidak
senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia. Begitu juga
dengan Persia.
5. Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan simpatik dan toleran, tidak
memaksa rakyat untuk mengonversi agamanya menjadi Islam.
6. Bangsa Sami di Syiria dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat
kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syiria, dan Irak adalah daerah kaya. Kekayaannya membantu penguasa Islam
untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.

D. Masa Kelesuan Pemikiran Hukum Islam

1. Tahap Pertama

Masa kelesuan ini dimulai sejak pertengahan abad keempat sampai dengan pertengahan abad
ketujuh, yaitu sejak terbunuhnya alMu’tashim Billah khalifah terakhir dari daulat Bani
Abbasiyah tahun 656 H.

2. Tahap Kedua
Periode kebekuan dan keterbelakangan Islam terjadi pada abad ke-7 H sampai abad ke-13 H,
seringkali dalam fiqih Islam disebut dengan periode taklid mutlak. Hal ini disebabkan karena
pada periode ini para fuqaha hanya mengagumi kitab-kitab yang dikarang oleh orang-orang
sebelum mereka dan kemauannya berhenti sampai di situ, tanpa menyaring dan
menyimpulkannya.

19
Berbagai faktor baik politik, mental, sosial, dan sebagainya telah memengaruhi kemunduran atau
kelesuan pemikiran hukum Islam masa itu, di antaranya adalah:

1. Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam menjadi beberapa


negeri kecil yang seringkali disibukkan oleh kegiatan perang satu sama lain, hilangnya
ketenteraman di antara masyarakat akibat saling fitnah di antara mereka.
2. Ketidakstabilan politik menyebabkan ketidakstabilan kebebasan berpikir pula. Karena
pada masa sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran madzhab, para ahli hukum pada
periode ini hanya tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti (taqlid) salah satu imam,
memperjelas, membela madzhabnya sendiri, dan memperkuat dasardasar madzhab
ataupun pendapatnya.
3. Pembukuan terhadap pendapat-pendapat madzhab menyebabkan orang mudah untuk
mencarinya, hal ini memicu umat Islam semakin malas mencari alternatif pemecahan
hukum. Sedang para fuqaha pada fase sebelumnya terpaksa harus berijtihad karena
dihadapkan pada hal-hal yang tidak ada hukum syara’-nya.
4. Pada periode ini muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak layak berijtihad, namun
mengeluarkan berbagai fatwa yang membingungkan masyarakat. Kesimpangsiuran
pendapat yang membingungkan ini seringkali membuat para penguasa memerintahkan
hakim untuk cukup mengikuti pendapat yang sudah ada sebelumnya agar tidak
membingungkan.
5. Bersamaan dengan kebekuan pemikiran hukum terjadi, pintu ijtihad telah ditutup.

E. Masa Kebangkitan Kembali

Dr. Charles C. Adam dalam Islam and Modernism in Egypt (1933) sebagaimana dikutip Daud
Ali dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam menyebutkan beberapa
program pembaharuan pemikiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, di antaranya adalah:

1. Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal


dari tuntunan Islam;

2. Mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan


tinggi; membersihkan agama dari usaha-usaha infiltrasi musuh Islam yang menyisipkan ajaran-
ajaran yang menyesatkan dan mengajak untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi dan
kepada amalanamalan ulama salaf. Di Syiria muncul usaha perbaikan yang bersendi Agama yang
dibangun oleh Al-Mahdi dan mengajak kembali kepadahukum Tuhan dan Rasul-Nya.

B. Ringkasan Isi Buku Pembanding (Kedua)

20
BAB I: PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN SUMBER-SUMBER AQIDAH
ISLAM

Secara etimologis aqidah berakar dari kata ‘aqida-ya’qidu ’aqdan-aqidatan. Kaitan antara
arti kata “aqdan” dan “aqidah” adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati,
bersifat mengikat dan mengandung perjanian. Jadi aqidah adalah sesuatu yang diyakini oleh
seseorang. Makna aqidah secara bahasa akan lebih jelas jika dikaitkan dengan pengertian secara
terminologis.

Secara terminologis terdapat beberapa defenisi aqidah, antara lain:

1. Menurut Hasan Al-Banna

‘Aqaid (bentuk plural dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.

2. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy

Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh
manusia berdasarkan akal, wahyu, dan ftrah. Kebenaran itu dipatrikan
olehmanusiadidalamhatisertadiyakinikesahihan dan keberadaannya secara pasti
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Dari kedua defnisi tersebut dapat dijelaskan point penting berikut :

1. Sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia.

Ilmu (kebenaran) dibagi menadi dua yaitu ilmu dlarury dan ilmu nazhariy. Ilmu
yang dihasilkan oleh indera dan tidak memerlukan dalil disebuti lmu dlarury.
Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian disebut ilmu nazhariy.

2. Setiap manusia memiliki ftrah untuk mengakui kebenaran.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikit pun dengan keraguan.

4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa, maksudnya sesuatu keyakinan


yang belum dapat menentramkan jiwa berarti bukanlah aqidah

5. Menolak segala sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran itu.

6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat


pemahamannya terhadap dalil.

Ruang Lingkup Aqidah


21
Menurut Hasan al-Banna, ruang lingkup aqidah Islam meliputi:

1. Ilahiyyat

Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti wujud
Allah, sifat Allah, nama dan perbuatan Allah dan sebagainya.

2. Nubuwwat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah yang dibawa para Rasul, mu’jizat, Rasul dan lain
sebagainya.

3. Ruhaniyyat
Yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan denganalammetafsiksepertijin,iblis, syaitan,
roh, malaikat dan lain sebagainya.

4. Sam’iyyat yakni pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sam’i, yakni dalil Naqli berupa Al-quran dan as-Sunnah.

Sumber-Sumber Aqidah
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah artinya informasi apa saja yang wajib
diyakini hanya diperoleh melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Al-Qur’an memberikan penjelasan
kepada manusia tentang segala sesuatu.

Akal fkiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupakan instrumen yang berfungsi
untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau
diperlukan– membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan olehal-Qur’an dan
Sunnah.

Penyelidikan akal secara cermat dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam semesta
yang teratur, rapi, dan berjalan menurut hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan
ada penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-Qur’an berkali-kali
menganurkan dan memberikan petunuk ke arah penyelidikan dalam menetapkan aqidah dengan
cara demikian.

BAB III: IMAN KEPADA MALAIKAT

A. PENGERTIAN MALAIKAT
Secara etimologis kata Malaikat adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari mashdar al-
alaukah artinya ar- risalah (misi atau pesan). Yang membawa misi atau pesan disebut ar-rasul
(utusan).Dalam bahasa Indonesia kata Malaikat dipakai untuk bentuk tunggal. Bentuk jamaknya

22
menadi para Malaikat atau Malaikat-Malaikat. Secara terminologis malaikat adalah makhluk
ghaib yang diciptakan olehAllah swt. dari cahaya dari wujud dan sifat-sifat tertentu.

B. PENCIPTAAN MALAIKAT
Malaikat diciptakan oleh Allah swt. dari cahaya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.:

َ ِ‫ج ِمن نَا ٍر َو ُخل‬


‫ق‬ َ ِ‫ور َو ُخل‬
ٍ ‫ق ااَل ّن ِمن َما ِر‬ ِ ُ‫ًخلِق‬
ِ ُ‫ت ال َم َل ئِ َك ِة ِمن ن‬
‫صفَ لَ ُكم‬ ِ ‫أَ َد ُم ِم ّما َو‬

“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa
yang telah diterangkan kepadamu semua”(HR.Musim).

C. WUJUD MALAIKAT
SebagaimanamakhlukghaibwujudMalaikattidakdapat dilihat, didengar, diraba dan dirasakan oleh
manusia atau dengan kata lain tidak dapat dijangkau oleh panca indera kecuali jika Malaikat
menampilkan diri dalam rupa tertentu, seperti rupa manusia.

D. MANUSIA LEBIH MULIA DARIPADA MALAIKAT


Pengetahuan manusia tentang Malaikat terbatas pada keterangan yang diungkapakan dalam Al-
Quran dan Hadis Rasul. Iman kepada Malaikat akan memberikan pengaruh kejiwaan yang cukup
besar, seperti kejujuran, ketabahan, dan keberanian. Jumlah Malaikat sangat banyak, tidak
terhingga dan hanya Allah yang mengetahuinya. Mereka memiliki tugas dan pangkat yang
berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka disebut namanya, dan sebagian lainnya disebutkan
tugasnya saja.

Di antara nama-nama dan tugas-tugas Malaikat adalah sebagai berikut:

1. Malaikat Jibril: bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan rasul, sejak Nabi Adam
sampai dengan Rasul NabiMuhammad. Nama lain dari Jibril adalah Ruhul Quds (Q.S. An-
Nahl:102) dan Ruh al-Amin (Q.S. Asy-Syuara:193).

2. Malaikat Mikail: mengatur pembagian rizki kepada seluruh mahluk

3. Malaikat Israfl: bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat dan hari kebangkitan.

4. Malaikat Israil: Malaikat maut mencabut nyawa manusia & seluruh makhluk hidup lain.

5. Malaikat Raqib dan Atid: bertugas mencatat seluruh tingkah laku, perbuatan manusia. Raqib
untuk yang baik, dan Atid untuk yang jahat (Q.S. Qaf: 16-18).

23
6. Malaikat Munkar dan Nakir: bertugas memberikan pertanyaan-pertanyaan pada setiap
manusia, di alam kubur.

7. Malaikat Malik: bertugas sebagai penjaga neraka dan meminpin para Malaikat menyiksa
penghuni neraka (Q.S. At-Tahrim:6, Q.S. Al-Zukhruf: 77).

8. Malaikat Ridwan: bertugas sebagai penaga surga (Q.S. Ar-Ra’d:23-24).

E. TUGAS MALAIKAT BAGI MANUSIA PADA UMUMNYA


Malaikat mengawasi dan memberikan perhatian pada manusia ketika diciptakan, memelihara
manusia ketika dilahirkan, serta mengambil ruh manusia ketika ajal datang. Malaikat pun
bertugas membawa wahyu dari Allah bagi manusia. Tugas lain yang diemban Malaikat adalah
menadi pendamping manusia. Hadits yang terdapat pada Shahih Muslim telah mempertegas hal
itu. Dapat dikatakan bahwa Malaikat yang menjadi pendamping manusia itu adalah malikat yang
ditugaskan untuk memelihara amal manusia. Sementara itu dua pendamping manusia yang terdiri
atas jin dan Malaikat senantiasa berada dalam kondisi bertentangan.

F. TUGAS MALAIKAT BAGI ORANG BERIMAN


Salah satu syarat seseorang dikatakan beriman adalah keimanan kepada Malaikat yang mulia.
Tugas yang dibebankan Allah kepada Malaikat untuk kepentingan ma- nusia, adalah meniupkan
ruh kepada janin, baik itu manusia beriman maupun kafr, memelihara seluruh manusia,
menyampaikan wahyu, mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia serta mencabut ruh
manusia atas perintah Allah. Malaikat pun memiliki tugas khusus terhadap orang-oraang
beriman, yaitu:

1. Memberikankecintaankepadaorang-orangberiman

2. Meluruskan jalan kehidupan orang-orang yang beriman.

3. Membacakan shalawat bagi orang-orang yang melakukaan hal-hal berikut ini:

1) Mengajarkan kebaikan kepada orang lain;

2) Mengimami shalat di masjid;

3) Shalat pada shaf pertama;

4) Tidak lansung beranak dari tempat shalat;

5) Merapatkan (mengisi) shaf yang kosong ketika shalat;

6) Makan sahur untuk shaum;


24
7) Membaca shalawat untuk Rasululah saw; serta

8) Menenguk orang yang sakit.

9) Mengamini doa-doa orang yang beriman

10) Membacakan istighfar atau permohonan ampunan Allah

11) Menghadiri majelis ilmu dan dikir,

12) Mencatat pahala bagi orang yang melaksanakan shalat jum’at

13) Melakukan pergiliran dalam tugas

14) Turun di tempat yang di dalamnya terdapat pembacaan Al-Qur’an

15) Menyampaikan salam dari Rasul dari umatnya

16) Memasuki barisan orang-orang beriman ketika berperang

17) Memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman

18) Memelihara atau melindungi Rasulullah saw

19) Memelihara orang beriman yang shaleh dan meneguhkan pendirian mereka

20) Melayat jenazah orang shaleh

21) Menaungi orang yang mati syahid dengan sayapnya

22) Melindungi Mekkah dan Madinah dari Dajjal

23) Mengucapkan amin ketika orang muslim mengucapkan amin dan itu menambah pahala
bagi seseorang yang mengucapkan amin

24) Menghibur orang beriman ketika mereka berada dalam ketakutan.

G. PENERAPAN IMAN KEPADAMALAIKAT ALLAH

1. Gemar shalat berjamah, karena ada keyakinan bahwa Malaikat selalu menghadiri shalat
berjamaah (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai).
2. Gemar beramal seperti menyantuni anak yatim, terlantar dan memberi bantuan harta
kepada para fakir miskin. Hal ini disebabkan antara lain adanya keyakinan bahwa
Malaikat selalu mendoakan orang yang berperilaku dermawan, agar harta yang
dibelanjakan dijalan Allah itu menjadi berkah (H.R. Muslim).
3. Gemar menuntut ilmu, lalu mengajarkannya (H.R. Abu Daud dan Turmuzi).
25
4. Gemar membaca Al-Qur’an.

Kita telah mengetahui tugas, pekerjaan,dan keutamaan Malaikat sehingga sebagai seorang
mukmin, kita wajib melakukan hal-hal berikut ini:

1. Menghindariperbuatanmaksiatdandosa-dosayang dapat menyakiti dan mengecewakan


hati Malaikat
2. Menauhi hal-hal yang dibenci oleh para Malaikat

Ringkasan CBR hal 38-48

H. Hikmah Beriman kepada Malaikat

1. Lebih mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah


2. Lebih merasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan
3. Berusaha berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemaksiatan serta senantiasa ingat
kepada Allah
4. Tidak berprilaku sombong
5. Selalu teringat akan balasan Allah ketika Malaikat mencabut nyawa

BAB IV :IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

A. Ringkasan Kitab Suci Dan Shuhuf


Al-Kutub adalah bentuk jamak dari kata “Kitab” yang berarti sesuatu yang ditulis.
Namun, yang dimaksud di sini adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada para rasul
untuk diajarkan kepada manusia sebagai pedoman hidupnya.
Adapun shuhuf (lembaran-lembaran) adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada
rasul, tetapi tidak wajib disampaikan atau diajarkan kepada manusia.Jadi, persamaan
keduanya adalah sama-sama merupakan wahyu dari Allah. Adapun perbedaannya:
1. Isi Kitab lebih lengkap dari pada shuhuf,
2. Kitab wajib disampaikan kepada manusia, sedangkan shuhuf tidak,

26
3. Kitab dibukukan, sedangkan shuhuf tidak. Dalam Al-Qur’an kata “Kitab” disebut
tidak kurang 198 kali, sedangkan kata shuhuf hanya 6 kali.
B. Beriman kepada Kitab-kitab Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah SWT., berarti kita wajib beritikad atau mempunyai
keyakinan bahwa Allah SWT., mempunyai beberapa kitab yang telah diturunkan kepada
Nabi-Nya.
Kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi dan rasul-Nya yang wajib
diketahui oleh umat Islam, adalah:
1. Kitab Taurat
Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s. pada sekitar abad ke-12 SM didaerah Israil
dan Mesir. Kitab Taurat ini diturunkan dalam bahasa Ibrani. Kata “Taurat”
disebutkan dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 18 kali.
Isi pokok ajarannya adalah sepuluh firman Allah (hukum) yang diturunkan Allah
kepada Nabi Musa dipuncak Gunung Thursina. Intisari dari pokok-pokok tersebut
adalah:
a. Keharusan mengakui keesaan Allah.
b. Larangan menyembah patung dan berhala
c. Larangan menyebut Tuhan Allah SWT., dengan sia-sia.
d. Memuliakan hari Sabtu.
e. Menghormati ayah-ibu.
f. Larangan membunuh sesama manusia.
g. Larangan berbuat zina.
h. Larangan mencuri.
i. Larangan menjadi saksi palsu.
j. Larangan keinginan memiliki atau menguasai hak orang lain.

2. Kitab Zabur
Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s. seorang raja bangsa Israil di Kan’an, sekitar
abad ke-10 SM. Kitab Zabur berisi mazmur (nyanyian pujian kepada Tuhan) yang
melukiskan tentang nikmat Allah yang dilimpahkan kepada Nabi Daud dan tentang

27
syariat dan hukum Nabi Daud mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Musa dalam
kitab Taurat.

3. Kitab Injil
Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s. pada permulaan abad pertama di Yerusalem.
Kata Injil ini berasal dari bahasa Ibrani yang artinya kabar gembira, maksudnya berita
akan datangnya utusan Allah, Muhammad saw., untuk seluruh alam. Kitab Injil yang
asli memuat keterangan-keterangan yang benar dan nyata, yaitu perintah-perintah
Allah swt., kepada umat manusia untuk memahasucikan Allah serta melarang
menyekutukan-Nya dengan benda atau makhluk lainnya.
Adapun Injil yang sekarang beredar, didunia hanyalah karangan-karangan manusia.
Injil ini dikenal dengan injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes.
Dalam keempat Injil tersebut banyak sekali terdapat perbedaan pendapat, dan saling
bertentangan satu sama lainnya. Menurut para ahli, Injil tersebut memuat tulisan dan
catatan tentang kehidupan Nabi Isa a.s. dan kepercayaan yang ada di dalamnya
merupakan hasil pemikiran Paulus dan bukan pendapat orang-orang Hawari
(pengikut-pengikut Nabi Isa).
Ada juga yang dinamakan Injil Barnabas karangan Barnaba. Kitab Injil Barnaba
dipandang ulama lebih sesuai dengan ajaran tauhid, tetapi Injil Barnabas ini tidak
dipergunakan oleh orang-orang Kristen (Nashrani). Oleh karena itu, Injil yang wajib
diyakini oleh umat Muslim adalah Injil yang asli yang diturunkan kepada Nabi Isa
a.s., bukan Injil-Injil yang beredar saat ini.

4. Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah kitab suci
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., untuk disampaikan kepada
umat manusia diseluruh dunia. Sementara itu, bila kita yakini bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasul terakhir, Al-Qur’an harus diakui pula sebagai kitab suci
terakhir yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Kandungan pokok Al-Qur’an
menurut ulama Al-azhar, Prof. Mahmud Syaltut, adalah: Akidah, Akhlak, Dorongan
atau bimbingan akan hikmah-hikmah alami, Kisah-kisah umat terdahulu, Janji baik
28
serta ancaman buruk yang datang dari Allah, dan Hukum-hukum ibadah dan
muamalah.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yang
terbagi dalam dua periode:
Periode Mekah, yakni ayat-ayat dan surat-surat yang diturunkan di Mekah yang
lazimnya berisi akidah, dan dinamakan surat Makiyyah, dan Periode Madinah, yakni
ayat-ayat dan surat-surat yang diturunkan di Madinah yang lazimnya berisi syari’at
sehubungan sosial (mu’amalah) dan pembinaan masyarakat Islam, yang kemudian
dikenal sebagai surat Madaniyyah. Sebagai pedoman hidup dan petunjuk yang datang
dari Allah, Al-Qur’an harus dijadikan pegangan dalam semua aspek kehidupan kaum
muslimin. Artinya, hanya Al-Qur’anlah pedoman hidup mereka. Menjadikan
petunjuk lain selain Al-Qur’an yang datang dari Allah itu, niscaya akan membawa
mereka pada kesengsaraan dan penderitaan.

C. Kedudukan Al-Qur’an terhadap Kitab-Kitab Sebelum


Mengenai kedudukan Al-Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya ini, Allah swt.,
berfirman yang artinya:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran Dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa ang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu.”(Q.S. Al-Maidah 5: 48)

D. Perbedaan Iman kepada Al-Qur’an dengan Iman kepada Kitab-Kitab Suci Lainnya

29
Seorang muslim wajib mengimani semua Kitab-Kitab suci yang telah diturunkan oleh
Allah swt., kepada para Nabi dan Rasul-Nya, baik yang disebutkan nama dan kepada
siapa diturunkan maupun yang tidak disebutkan. Allah berfirman yang artinya:
Akan tetapi tentu ada perbedaan konsekuensi keimanan antara iman kepada Al-Qur’an
dan Iman kepada Kitab Suci sebelumnya. Kalau terhadap Kitab suci sebelumnya seorang
muslim hanyalah mempunyai kewajiban mempelajari, mengamalkan, dan
mendakwahkan kandungannya karena Kitab-Kitab Suci tersebut berlaku untuk umat dan
masa tertentu yang telah berakhir dengan kedatangan Kitab Suci yang terakhir yaitu Al-
Qur’an. Jika ada hal-hal yang sama yang masih berlaku dan diamalkan, itu hanyalah
semata-mata diperintahkan oleh Al-Qur’an bukan karena ada pada Kitab Suci
sebelumnya. Sedangkan Iman kepada Al-Qur’an membawa konsekuensi yang lebih luas
seperti mempelajarinya, mengamalkan dan mendakwahkannya serta membelanya dari
serangan musuh-musuh Islam.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Buku Utama

1. Kelebihan :

30
 Isi buku memiliki penjelasan yang sangat jelas, disertai sumber yang jelas, dan sangat
mudah dipahami.
 Cover buku sudah bagus dan sesuai dengan isi buku

2. Kekurangan :
 Ada beberapa bahasa arab yang keluar dari rata kanan dan sub judul disama ratakan
dengan penjelasan
 Pada cover tidak dicantumkan nama penerbit dan di belakang cover tidak ada sinopsis
yang menjelaskan isi buku

B. Buku Pembanding

1. Kelebihan:
 Desain Cover sudah bagus, Ukuran Font pada Judul juga Sudah Sesuai
 Dari segi isi, sudah menjelaskan secara rinci yanh disertai ayat al-qur'an
2. Kekurangan :
 Banyaknya kesalahan dalam penulisan kata yang dapat membuat pembaca bisa salah
mengartikan maksud tersebut.
 Layout pada isi buku berantakan, pada daftar isi juga tidak rata satu sama lain.
 Pada bagian identitas buku, nama penerbit,kota, serta tahun terbit tidak ada.

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

31
Kesimpulan atas review saya terhadap kedua buku ini yakni pada buku pertama saya
menemukan penjelasan lengkap mengena hukum-hukum islam, yang mana buku ini sangat
ringan dibaca terutama bagi mahasiswa yang baru terjun kedalam mata kuliah pengantar hukum
islam. Pada buku kedua yaitu buku aqidah akhlak penjelasan isi buku begitu padat dan jelas.
Pembaca dapat menemukan poin dalam setiap bahasan dimana dijelaskan ruang lingkup dan
sumber sumber aqidah yang disertai ayat al-qur'an sebagai penguat penjelasan yang dimaksud.

B. Saran/Rekomendasi

1. Kedua buku ini sangat direkomendasi bagi mahasiswa sebagai bahan tambahan referensi
2. Kepada penulis buku aqidah akhlak diharapkan melakukan revisi terhadap buku
3. Buku ini sangat membantu kita dalam mempelajari hukum islam beserta sejarahnya
4. Buku ini juga dapat menambah kesadaran kita sebagai umat islam untuk patuh pada
hukum-hukum islam.

32
DAFTAR ISI

Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta : Lintang Rasi Aksara Books.

Amri, Muhammad. (-). Aqidah Akhlak.

33

Anda mungkin juga menyukai