Makalah ini disusun sebagai tugas terstruktur pada mata kuliah metodologi studi islam
DISUSUN OLEH :
Kelompok 14 :
Lutfi andri ( 11910112622 )
Afri laksamana (11910112469)
DOSEN PEMBIMBING:
Riza Solehati, M.Pd
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang..............................................................................................
B.Rumusan Masalah.........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.hubungan islam dan politik indonesia...........................................................
B.demokrasi......................................................................................................
C.stablitas, demokrasi dan nasionalisme.............................................................
D.buday politik indonesia..................................................................................
E.sekuler ……………………………………………………………………………..
F. monarki…………………………………………………………………………....
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan...................................................................................................
B.Saran.............................................................................................................
Daftar pustaka..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
bicara masalah Islam di Indonesia, kita mengenal dua tokoh pembaharuan Islam di
Indonesia. Mereka adalah Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Istilah pembaharuan pemikiran
Islam Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid
(NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan
kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan
sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam.[1]
Dalam visi NM, berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia.
Ini hanya karena alasan statistik, demografis dan sosiologis saja. Umat Islam adala mayoritas
di Indonesia. Karena itu, menurut NM, setiap visi tentang Indonesia, pada dasarnya adalah
tentang visi Islam di Indonesia. Itu sebabnya sangatlah penting untuk melihat ppemikiran NM
tentang Islam di Indonesia sebagai latar belakang dari pemikirannya mengenai
keindonesiaan. Menurut NM, umat Islam dewasa ini menghadapi paradoks yang merupakan
kenyataan yang tidak bisa ditolak adanya.
Di Zaman lampau, umat Islam mengalami kemenangan, praktis tanpa kekuatan lain yang
mengunggulinya, sehingga sikap umat Islam pada waktu itu adalah sikap golongan yang
menang, unggul tak terkalahkan, bebas dari rasa takut, dan tidak pernah khwatir kepada
golongan lain. Tetapi di zaman kini, umat Islam tidak berdaya menghadapi golongan lain,
apalagi golongan-golongan yang diwakili oleh Negara-negara yang “superpower”, yang
Nurcholis sangat senang sekali melihat konteks ini, dulu mereka adalah umat beragama lain
yang tidak berdaya menghadapi Islam. Dulu orang Islam melihat orang-orang yang disebut Ahl
al-Kitab ini Yahudi dan Kristiani serta golongan agama yang lain sebagai istilah NM
sendiri “momongan-momongan”, sekarang mereka melihat golongan-golongan yang bukan
Muslim itu, sebagai sumber ancaman kepada Islam. Apalagi keadaan Islam sekarang adalah lain
sama sekali. Dimana-mana umat Islam kalah, baik militer, politik maupun ekonomi. Dan, yang
lebih memperburuk situasi, orang-orang barat yang sedang menang itu terasa sangat sombong
secara sosial dan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan islam dan politik indonesia?
2. Apa yang anda ketahui tentang demokrasi?
3. Apa hubungan stablitas demikrasi dan nsionalisme?
4. Apa yang anda ketahui tentang sekularisme?
5. Apa yang anda ketahui tentang monarki?
BAB II
PEMBAHASAN
2 Op.cit, hlm 35
Apa yang dimaksudkan dengan kebangkitan kembali Islam akhir-akhir ini bisa jadi
merupakan hasil kerja dari organisasi-organisasi Islam yang ada. misalkan sejak dekade 1970-an,
banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda Muslim yang meskipun sering
kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah
intelektual Muslim yang berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah
dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI, 1947) yang sangat dominan diperguruan tinggi umum, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) dan lain-lain.
Setelah berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala keberaniannya telah
melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada, mereka menerima Pancasila dan berharap
dapat mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini
memandang curiga terhadap “Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam
lainnya.
B. Demokrasi
1. pegertian demokrasi
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya
seperti yang dikutip Hamidah adalah sebagaimana di bawah ini: Menurut Joseph A.
Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan
demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasaMenurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl,
demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban
atas tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih.
Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-
nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya
pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid,
demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi.
Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan,
musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara
dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari
masyarakat. Nurcholish Majid, seperti yang dikutip Nasaruddi mengatakan, bahwa suatu negara
disebut demokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain:
kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi
menolak.dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan
antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan berdasarkan hukum yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
a. Demokrasi Dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip
utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara
tentang musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13
(tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang
kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan
berpendapat) dst. Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan
demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal
dari pergumulan pemikiran manusia.
Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut
Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam
perspektif Islam meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-
masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elemen
tersebut? 1. as-Syura Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut
dalam QS. As-Syura: 38: dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di
antara mereka”. Dalam surat Ali Imran:159 dinyatakan: “Dan bermusayawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu”.
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga
ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah
Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan
tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi
tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga
menyerahkan musyawarah kepada umatnya.3
Rasa Kebangsaan Sebagai Ideologi Adalah Telah Pernah Menimbulkan Masalah Hangat
Dalam Masa Menjelang Kemerdekaan. Para Penentang Nasionalisme Terutama Dalam Kubu-
Kubu Politik Islam, Karena Paham Itu Dalam Beberapa Segi Bisa Merupakan Perwujudan
Kembali Paham Kesukuan Zaman Jahiliyah Yang Islam Datang Untuk Menghapuskannya.
Tambahan Lagi Saat Itu Nasionalisme Telah Menyingkapkan Wajahnya Yang Paling Buruk,
Yaiyu Chauvinisme Jerman, Italy Dan Jepang Yang Menyeret Umat Manusia Ke Malapetaka
Perang Dunia Ii. Kini Paham Kebangsaan Indonesia Diletakkan Dalam Satu Rangkaian Dengan
Paham-Paham Lain Yang Diharap Bisa Mengeceknya Yaitu Terutama Paham Ketuhanan Dan
Perikemanusiaan. Dan Rumusan Tertingginya Pun Diperlunak Menjadi Persatuan Indonesia]
D. Budaya Politik Indonesia
Sebenarnya, Sangat Sulit Untuk Melakukan Identifikasi Budaya Politik Indonesia, Karena
Atributnya Tidak Jelas. Akan Tetapi, Satu Hal Yang Barangkali Dapat Dijadikan Titik Tolak
Untuk Membicarakan Masalah Ini Adalah Adanya Sebuah Pola Budaya Yang Dominan, Yang
Berasal Dari Kelompok Etnis Yang Dominan Pula, Yaitu Kelompok Etnis Jawa. Etnis Ini Sangat
Mewarnai Sikap, Perilaku Dan Orientasi Politik Kalangan Elite Politik Di Indonesia. Oleh
Karena Itu, Ketika Claire Holt, Benedict Anderson, Dan James Siegel Menulis Political Kulture
In Indonesia, Pembicaraan Awal Yang Dikemukakan Adalah Menyangkut Konsep Kekuasaan
Dalam Masyarakat Jawa.
Menurut Analisis Anderson, Konsep Tentang Kekuasaan Dalam Masyarakat Jawa Berbeda
Sekali Dengan Apa Yang Dipahami Oleh Masyarakat Barat. Karena, Bagi Masyarakat Jawa,
Kekuasaan Itu Bersifat Kongkret, Besarannya Konstan, Sumbernya Homogen, Dan Tidak
Berkaitan Dengan Persoalan Legitimasi. Hal Ini Berbeda Dengan Masyarakat Barat, Dimana
Kekuasaan Itu Bersifat Abstrak Dan Berasal Dari Berbagai Macam Sumber, Seperti Uang, Harta
Kekayaan, Fisik, Kedudukan, Asal-Usul, Dan Lain Sebagainya. Karena Kekuasaan Itu Berasal
Dari Sumber Yang Satu, Maka Sifatnya Konstan. Dan Selama Sumber Kekuasaan Itu Tetap
Memberikan Kekuasaan, Maka Kekuasaan Seorang Penguasa Akan Tetap Legitimate Dan Tidak
Perlu Dipersoalkan.
Diantara Konsep Ilmu Politik Yang Banyak Dibahas Dan Dipermasalahkan Adalah
Kekuasaan. Hal Ini Tidak Mengherankan Sebab Konsep Ini Sangat Mendasar Dalam Ilmu Sosial
Pada Umumnya Dan Pada Ilmu Politik Khususnya. Malahan Pada Suatu Ketika Politik Dianggap
Tidak Lain Dari Masalah Kekuasaan Belaka. Sekalipun Pandangan Ini Telah Diringgalkan,
Kekuasaaan Tetap Merupakan Gejala Yang Dangat Sentral Dalam Ilmu Politik.
Adapun Konsep Kekuasaan Adalah, Kebanyakan Sarjana Berpangkal Tolak Dari
Perumusan Sosiolog Max Weber Dalam Bukunya Wirtschaft Und Gesellschaft (1922)
Bahwa: “Kekuasaan Adalah Kemampuan Untuk, Dalam Suatu Hubungan Sosial, Melaksanakan
Kemauan Sendiri Sekalipun Mengalami Perlawanan, Dan Apapun Dasar Kemampuan
Ini”. Sebagai Contoh Pemikiran Semacam Ini Dapat Disebut Sebagai Perumusan Dari Beberapa
Sosiolog Seperti Misalnya Harold D. Laswell Dan Abraham Kaplan Yang
Mengatakan “Kekuasaan Adalah Suatu Hubungan Dimana Seseorang Atau Kelompok Orang
Dapat Menentukan Tindakan Seseorang Atau Kelompok Lain Agar Sesuai Dengan Tujuan Dari
Pihak Pertama”4
4 Badri Yatim, Sejaah Peradaban Islam, (Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada, 2008), Hlm.36
Selanjutnya Dianggap Bahwa Kekuasaan Terutama Nampak Dalam Proses Membuat
Keputusan. Dan Dalm Hubungan Ini Laswell Dan Kaplan Mengatakan Bahwa Keputusan Pada
Hakekatnya Adalah Kebijakan Yang Menyangkut Sanksi Berat. “ Kekuasaan Adalh Partisipasi
Dalam Pembuatan Keputusan. G Mempunyai Kekuasaan Atas H Mengenai Nilai K, Jika G
Turut Dalam Pembuatan Keputusan Yang Menyangkut Kebijakan K Dari H”. Adapula Beberapa
Sarjana, Seprti Misalnya Sosiolog Van Doorn, Yang Terkesan Oleh Kaitan Antara Kekuasaan
Dan Tindakan Manusia, Dan Mengatakan Bahwa: “Kekuasaan Adalah Kemungkinan Untuk
Membatasi Alternatif-Alternatif Bertindak Dari Seseorang Atau Suatu Kelompok Sesuai Dengan
Tujuan Dari Pihak Pertama”.
Masyarakat Jawa Dan Sebagian Besar Masyarakat Lain Di Indonesia, Pada Dasarnya
Bersifat Hierarkis. Stratifikasi Sosial Bukan Didasarkan Atas Atribut Sosial Yang Bersifat
Materialistik, Tetapi Lebih Pada Akses Kekuasaan. Ada Pemilahan Yang Tegas Antara Mereka
Yang Memegang Kekuasaan, Yang Juga Disebut Sebagai Kalangan Priyayi, Dan Rakyat
Kebanyakan.
E. Sekuler
dengan meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di banyak tempat,
seperti Kristen Kanan di Amerika Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme
Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di Eropa. Hal itu juga
terkait dengan makin meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas, seperti
New Age, yang berbeda dari bentuk-bentuk lama agama formal. Semua perkembangan ini tidak
saja menggerogoti asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang menujumkan makin
merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan lama tentang pemisahan gereja
dan negara.
Inilah momen-momen di mana, “kewajiban kewarganegaraan” makin bergesekan
dengan “tuntutan iman”. Itulah momen-momen ketika orang-orang, berusaha menyeimbangkan
“komitmen keagamaan” mereka dan “penalaran sekular” mereka. Para ilmuwan sosial terpecah-
pecah dalam hal apakah proses sekularisasi mengurangi peran agama dalam kehidupan sehari-
hari atau apakah keyakinan-keyakinan keagamaan besar dunia sedang mengalami kebangkitan
besar. Untungnya, sekumpulan besar bukti-bukti tentang faktor-faktor dasar yang mendorong
religiusitas di dunia belakangan ini mulai tersedia.
1. pengertian dan perkembangannya
Pengertian Sekularisme Secara etimologi sekularisme berasal dari kata
saeculum (bahasa latin), mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan ruang:
waktu menunjukan kepada pengertian sekarang‟ atau kini‟, dan ruang menunjuk
kepada pengertian „dunia‟ atau „duniawi‟.Sekularisme juga memiliki arti fashluddin
„anil haya yaitu memisahkan peranan agama dari kehidupan, yang berarti
bahwa agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja.
Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya
melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama
sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang nota bene adalah inti dari ajaran agama.Sekularisme secara
terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara
negara (politik) dan agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan
lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak Ada
hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan
bersifat spiritual,seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut paham
sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang
berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Holyoake
menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung
tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah
kepercayaan beragama. Holyoake berpendapat bahwa “Secularism is an ethical
system founded on the principle of natural morality and independent of revealed
religion or supranaturalism.”Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme
adalah suatu sistem etik yang didasarkanpada prinsip moral alamiah dan terlepas
dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih
luas,bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari
pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan, serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu.
Artinya, perdebatan mengenai sekularisme tidak lagi menyentuh label dan
kemasan, tapi menyentuh isi dan substansi.5
Di Barat (Eropa) pada abad ke-19 terjadi secara intensif pemisahan antar hal-
hal yang menyangkut agama dan non agama yang kemudian disebut “ sekularisme”.
Sedikit demi sedikit urusan ke duniawian memperoleh kemerdekaan dari
pengaruh Gereja (terutama Gereja Protestan), dengan puncaknya di mana Gereja
tidak berhak campur tangan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu
Sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip alamiah dan
terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme”
Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya
melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama
sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang nota bene adalah inti dari ajaran agama. Sekularisme secara
terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara
negara (politik) dan agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan
lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada
hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan
bersifat spiritual,seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut paham
sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang
berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Holyoake
menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung
tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah
kepercayaan beragama. Holyoake berpendapat bahwa “Secularism is an ethical
system founded on the principle of natural morality and independent of revealed
religion or supranaturalism.” Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme
adalah suatu sistem etik yang didasarkanpada prinsip moral alamiah dan terlepas
dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih
luas,bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari
5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada, 2019) Hlm.87
pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan, serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu.
Artinya, perdebatan mengenai sekisme tidak lagi menyentuh label dan kemasan, tapi
menyentuh isi dan substansi.
Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem
monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan.
Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta
monarki demokratis Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol
kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, penguasa monarki biasanya ketua
agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang
Dipertuan Agung merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania raya dan negara di
bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah Gubernur Agung Gereja Inggris Meskipun
demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat
simbolis saja.
Selain penguasa monarki, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai
bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah.Jabatan penguasa monarki
dijabat secara turun temurun. Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang
kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku, sebuah kecamatan atau distrik, sampai sebuah pulau
besar atau benua (kekaisaraan). Kepala adat turun temurun pada desa adat di Maluku yang
disebut negeri dipanggil dengan sebutan raja. Raja yang menguasai sebuah distrik di Timor
disebut liurai. Sebuah kerajaan kecil (kerajaan distrik) tunduk kepada kerajaan yang lebih besar
yang biasanya sebuah Kesultanan.
Kerajaan kecil sebagai cabang dari sebuah kerajaan besar tidak berhak menyandang gelar
Sultan (Yang Dipertuan Besar), tetapi hanya boleh menyandang gelar Pangeran, Pangeran muda,
Pangeran adipati, atau yang dipertuan muda walaupun dapat juga dipanggil dengan sebutan Raja.
Sebagian wilayah kerajaan kecil (distrik) di Kalimantan diberikan oleh pemerintah Hindia
Belanda kepada pihak-pihak yang berjasa kepada kolonial Belanda. Tidak semua bekas kerajaan
dapat dipandang sebagai sebuah bekas negara (kerajaan). Kerajaan-kerajaan yang mempunyai
perjanjian dengan pihak kolonial Belanda merupakan negara yang berdaulat di wilayahnya.
9. Kesultanan Bulungan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengakhiri Pembahasan Singkat Dalam Makalah Ini, Suatu Kesimpulan Ialah Bahwa
Umat Islam Sepanjang Ajaran Agamanya, Tidaklah Menghendaki Sesuatu Kecuali Kebaikan
Bersama, Sebagaimana Dicontohkah Oleh Rasulullah S.A.W Dan Sahabat-Sahabt Beliau.
Ukuran Kebaikan Itu Tidak Harus Disesuaikan Dengan Kepentingan Golongan Sendiri Saja,
Sebab Akhirnya Agama Islam Disebut Sebagai Rahmat Allah Bagi Seluruh Alam, Umat
Manusia. Ukuran Kebaikan Itu Ialah Kebaikan Umum Sejagad, Dan Meliputi Pula Sesama
Makhluk Hidup Lain Dalam Lingkungan Yang Lebih Luas. Ajaran-Ajaran Universal Islam
Menyediakan Bagi Kaum Muslimin Pandangan Etika Asasi Untuk Melandasi Pilihan Dan
Keputusan Dalam Tindakan Hidup, Termasuk Dalam Bidang Sosial Politik
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
Daftar Pustaka
Nurcholish Madjid. 2009. Cita-Cita Politik Islam.Jakarta: Paramadina
Ahmad Suhelmi.2001. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam. Jakarta Timur: Darul Falah
Badri Yatim.2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada
Miriam Budiardjo.1994. Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer Dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama
Afan Gaffari. 2000. Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata,Abuddin.2019.Metodologi Studi Islam.Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada