Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI STUDI ISLAM

Islam dan politik indonesia


MAKALAH

Makalah ini disusun sebagai tugas terstruktur pada mata kuliah metodologi studi islam

DISUSUN OLEH :
Kelompok 14 :
Lutfi andri ( 11910112622 )
Afri laksamana (11910112469)
DOSEN PEMBIMBING:
Riza Solehati, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AKADEMIK 2019/2020.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta
limpahan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah
yang berjudul “islam dan politk indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih
dengan guru pembimbing Risa Solehati, M.Pd
Atas selesainya penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada kedua orang tua yang telah memberikan motivasi, serta teman-teman dan pihak-
pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan makalah ini yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya
kritik saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam
beribadah kepada Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
                                                                              
Pekanbaru, 12 Oktober 2019

                                                                                                 Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
       A.Latar Belakang..............................................................................................
       B.Rumusan Masalah.........................................................................................
BAB II       PEMBAHASAN
       A.hubungan islam dan politik indonesia...........................................................
       B.demokrasi......................................................................................................
       C.stablitas, demokrasi dan nasionalisme.............................................................
       D.buday politik indonesia..................................................................................
E.sekuler ……………………………………………………………………………..
F. monarki…………………………………………………………………………....
BAB III     PENUTUP
       A.Kesimpulan...................................................................................................
       B.Saran.............................................................................................................
Daftar pustaka..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
bicara masalah Islam di Indonesia, kita mengenal dua tokoh pembaharuan Islam di
Indonesia. Mereka adalah Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. Istilah pembaharuan pemikiran
Islam Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid
(NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan
kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan
sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam.[1]
Dalam visi NM, berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia.
Ini hanya karena alasan statistik, demografis dan sosiologis saja. Umat Islam adala mayoritas
di Indonesia. Karena itu, menurut NM, setiap visi tentang Indonesia, pada dasarnya adalah
tentang visi Islam di Indonesia. Itu sebabnya sangatlah penting untuk melihat ppemikiran NM
tentang Islam di Indonesia sebagai latar belakang dari pemikirannya mengenai
keindonesiaan. Menurut NM, umat Islam dewasa ini menghadapi paradoks yang merupakan
kenyataan yang tidak bisa ditolak adanya.
Di Zaman lampau, umat Islam mengalami kemenangan, praktis tanpa kekuatan lain yang
mengunggulinya, sehingga sikap umat Islam pada waktu itu adalah sikap golongan yang
menang, unggul tak terkalahkan, bebas dari rasa takut, dan tidak pernah khwatir kepada
golongan lain. Tetapi di zaman kini, umat Islam tidak berdaya menghadapi golongan lain,
apalagi golongan-golongan yang diwakili oleh Negara-negara yang “superpower”, yang
Nurcholis sangat senang sekali melihat konteks ini, dulu mereka adalah umat beragama lain
yang tidak berdaya menghadapi Islam. Dulu orang Islam melihat orang-orang yang disebut Ahl
al-Kitab ini Yahudi dan Kristiani serta golongan agama yang lain sebagai istilah NM
sendiri “momongan-momongan”, sekarang mereka melihat golongan-golongan yang bukan
Muslim itu, sebagai sumber ancaman kepada Islam. Apalagi keadaan Islam sekarang adalah lain
sama sekali. Dimana-mana umat Islam kalah, baik militer, politik maupun ekonomi. Dan, yang
lebih memperburuk situasi, orang-orang barat yang sedang menang itu terasa sangat sombong
secara sosial dan budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan islam dan politik indonesia?
2. Apa yang anda ketahui tentang demokrasi?
3. Apa hubungan stablitas demikrasi dan nsionalisme?
4. Apa yang anda ketahui tentang sekularisme?
5. Apa yang anda ketahui tentang monarki?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam dan Politik Indonesia


Bagaikan suatu perjalanan sentimental, membicarakan Islam dan politik
di Indonesia melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Daerah ini penuh
dengan ranjau kepekaan dan kerawanan, sehingga pekerjaan harus dilakukan dengan kehati-
hatian sekucupnya. Tapi berhati-hati tidaklah berarti membiarkan diri terhambat dan kehilangan
tenaga untuk melangkah, sebab jelas pembicaraan harus dilakukan juga, mengingat berbagai
alasan dan keperluan. Karena itu, untuk memulai kajian ini, kita bisa mengungkapkan hal-hal
yang terjadi pada masa Orde Baru. Apakah yang didapati dalam Orde Baru? Ada beberapa hal
yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial politik dan pembangunan
ekonomi.
kekuasaan dari Soekarno ke Presiden Soeharto memberikan optimisme politik yang
besar kepada Natsir dan para mantan aktivis Masyumi. Optimisme itulah yang memotivasi
mereka untuk merehabilitasi Masyumi, partai yang dibubarkan Soekarno 1960 akibat
keterlibatan mereka dalam gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Optimisme itu kandas ditengah jalan. Sebab ternyata pemerintah Oede Baru tidak merestui
rehabilitas partai Islam itu. Karena seperti ditulis Wertheim, pemerintahan Orde Baru Soeharto
lebih khawatir dan takut terhadap Islam dibandingkan dengan Soekarno.[4] Natsir semakin
menyadari bahwa kebijakan-kebijakan awal politik Orde Baru memojokkan kalangan Islam
disatu sisi dan menempatkan kelompok kecil elite terdidik non-Muslim dalam posisi strategis
dalam Negara.
Bahkan ia melihat adanya usaha sistematis dan terarah untuk mengeliminasi umat Islam
secara sosial, politik dan kebudayaan melalui fusi partai-partai Islam awal 1970-an, intervensi
pemerintah yang besar dalam persoalan-persoalan internal dalam partai-partai Islam, perumusan
rencana undang-undang perkawinan, dimasukannya aliran kepercayaan dalam GBHN,
pelarangan libur bagi pelajar dibulan suci Ramadhan dan lain-lain. Natsir juga mengamati
strategi pembangunan ekonomi Orde Baru, yang sekalipun diakuinya berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, ternyata telah memperlebar kesenjangan sosial ekonomi antara orang
kaya dan miskin.
Yang kaya makin kaya dan miskin makin menderita. Mereka yang tergolong miskin itu
sebagian besar adalah kaum Muslimin, sedangkan yang kaya adalah penduduk non-pribumi.
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada ditangan Orde Baru. Tumbangnya
Orde Lama yang umat Islam ikut berperan besar didalam menumbangkannya, memberikan
harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun kekecewaan muncul di masa tersebut.
Umat Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya, komunis, telah tumbang kenyataan
berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam berpengaruh yang
dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif
dalam partai  Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada tanggal
26 November 1966, dengan sebuah amanat dari presiden disampaikan kepada DPRGR: RUU
kepartaian, RUU pemilu dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD. Yang kedua dan ketiga
ditetapkan 22 November 1969. sedang yang pertama terhenti. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi
parpol di DPR dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI (5
Februari 1973). 1
Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan. Penataan kehidupan kepartaian
berikutnya adalah penetapan asas tunggal, pancasila untuk semua parpol, Golkar, dan organisasi
lainnya, tidak ada asas cirri, tidak ada idiologi Islam, dan oleh karena itu tidak ada partai Islam.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran
politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri
dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung mungkin dengan pendekatan yang
berbeda.

1Nurcholis Madjid, Cita-Cita Politik Islam, (Jakarta: Paramadina,2009), Hlm.34


Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide Negara Islam secara
terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali diawal pergerakan
nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan.
Malah dengan pembaharuan politik bangsa sekarang ini, partai-partai (berideologi) Islam pun
lenyap.
Menjelang Pancasila diputuskan Sidang Umum MPR 1983 sebagai satu-satunya asas
kekuatan politik itu, banyak kalangan yang melontarkan suara-suara kontra. Suara-suara itu
makin tajam tatkala Pancasila pada akhirnya, bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas
begi kekuatan-kekuatan politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemsyarakatan,
termasuk organisasi keagamaan di Indonesia Adalah sangat wajar kalau suara kontra itu banyak
yang berasal dari umat Islam. Bukan saja karena latar belakang sejarah yang pernah dilaluinya,
tetapi karena pada saat gagasan itu dilontarkan, sub-sub idiologi yang pernah ada
di Indonesia sudah “terkena” gagasan itu. Hanya partai persatuan pembangunan (PPP), fusi dari
empat partai Islam Parmusi, NU, PSII, dan Perti, yang masih mempunyai ideologi atau asas ciri,
yaitu Islam.
Dengan pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi
politik Islam hilang. Terdapat kekhwatiran di kalangan sebagian mereka terhadap ancaman
sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul dari perasaan
keagamaan mereka. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan
organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar. Amal usaha
organisasi-organisasi keagamaan Islam pun dirasakan sia-sia.2
 Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut,
beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan
forum-forum yang berkenaan dengan aspirasi politik Islam. Dengan menyelenggarakan
kebijaksanaan dan forum-forum tersebut dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik bangsa
itu, umat Islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri dari ikatan primodialismenya, pindah
dari dunianya yang sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak pemikir Islam yang beranggapan,
dengan ditariknya Islam dari level politik, perjuangan kultural dalam pengertian luas menjadi
sangat relevan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[8]

2 Op.cit, hlm 35
Apa yang dimaksudkan dengan kebangkitan kembali Islam akhir-akhir ini bisa jadi
merupakan hasil kerja dari organisasi-organisasi Islam yang ada. misalkan sejak dekade 1970-an,
banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda Muslim yang meskipun sering
kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah
intelektual Muslim yang berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah
dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI, 1947) yang sangat dominan diperguruan tinggi umum, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) dan lain-lain.
Setelah berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala keberaniannya telah
melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada, mereka menerima Pancasila dan berharap
dapat mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini
memandang curiga terhadap “Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam
lainnya.

B. Demokrasi
1. pegertian demokrasi
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya
seperti yang dikutip  Hamidah adalah sebagaimana di bawah ini: Menurut Joseph A.
Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik  di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan  cara perjuangan
kompetitif  atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan
demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan  di mana keputusan-keputusan  pemerintah yang
penting secara langsung maupun tidak langsung  didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasaMenurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl,
demokrasi adalah suatu sistem  pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban
atas tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih.
Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-
nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya
pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid,
demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi.
Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan,
musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara
dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari
masyarakat. Nurcholish Majid, seperti yang dikutip Nasaruddi mengatakan, bahwa suatu negara
disebut demokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain:
kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi
menolak.dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan
antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan berdasarkan hukum yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
a. Demokrasi Dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip
utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara
tentang musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13
(tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang
kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan
berpendapat) dst. Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan
demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal
dari pergumulan pemikiran manusia.
Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut
Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam
perspektif Islam meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-
masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elemen
tersebut? 1. as-Syura Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut
dalam QS. As-Syura: 38: dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di
antara mereka”. Dalam surat Ali Imran:159 dinyatakan:   “Dan bermusayawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu”.
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga
ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah
Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan
tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi
tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga
menyerahkan musyawarah kepada umatnya.3

C. Stabilitas Demokrasi Dan Nasionalisme


Beberapa Hal Yang Mungkin Diingkari Mengenai Orde Baru, Yaitu Stabilitas Sosial
Politik Dan Pembangunan Ekonomi. Stabilitas Itu Terutama Diwujudkan Dalam Bentuk
Keamanan, Ketertiban Dan Keutuhan Wilayah Negara. Sedangkan Pembangunan Ekonomi
Sering Dinyatakan Telah Berhasil Mengangkat Kita Menjadi Bangsa “Dengan Penghasilan
Menengah”. Sementara Kedua Hal Itu Terjalin, Namun Tidak Dapat Diragukan Bahwa Yang
Lebih Dominan Dari Keduanya Adalah Stabilitas, Yang Dalam Urutan Signifikansinya
Mendahului Pembangunan Ekonomi. Justru Stabilitas Diciptakan Untuk Memungkinkan
Pembangunan Ekonomi, Sedangkan Kontribusi Keberhasilan Pembangunan Ekonomi Seperti
Yang Ada Sekarang Bagi Terwujudnya Stabilitas Malah Sering Dipertanyakan Orang,
Khususnya Mereka Yang Menaruh Keprihatinan Pada Soal Demokrasi Dan Keadilan Sosial.
Adalah Karena Kemantapan Stabilitas Itu Maka Orde Baru, Tanpa Sangat Terasa Oleh
Kebanyakan Orang, Telah Berlangsung Sekian Lamanya. Sebegitu Jauh Akan Pengalaman
Stabilitas Dalam Jangka Waktu Tiga Dasawarsa Ini Adalah Unik Dan Baru Untuk
Bangsa Indonesia. Karena Kenyataan Ini Maka Stabilitas Mengesankan Sebagai Sesuatu Yang
Pada Dirinya Memang Baik Dan Dikehendaki Orang Banyak. Tapi, Sesungguhnya Masih
3 Ahmad Sulhelmi,Dari Kanan Islam Hingga Kanan Islam, (Jakarta Timur: Darul Falah, 2001), Hlm
65
Terdapat Ruang Untuk Memeriksa Kembali Secara Serius Apa Sebenarnya Wujud Stabilitas Itu
Yang Secara Hakiki Menunjang Usaha Menyiapkan Pengembangan Tatanan Sosial Politik Yang
Maju Di Masa Depan, Khususnya Jika Dikaitkan Dengan Usaha Mewujudkan Demokrasi Dan
Keadilan Sosial.
Dibawah Kajian Yang Lebih Dari Sekadar Common Sence,  Stabilitas Politik Merupakan
Istilah Yang Cukup Susah Dan Tidak Jelas Maknanya. Tapi Biasanya Ia Digunakan Untuk Suatu
Konsep Multidimensional, Yang Menggabungkan Ide-Ide Kelanggenangan Sistem, Ketertiban
Sipil, Legitimasi Dan Keefektifen. Cirri Terpenting Kekuasaan Demokratis Yang Stabil Ialah
Bahwa Ia Memiliki Kemungkinan Yang Tinggi Untuk Tetap Demokratis Dan Mempunyai
Tingkat Yang Rendah Untuk Mengalami Gangguan Kekerasan Sosial, Baik Yang Terbuka
Maupun Yang Tersembunyi. Kedua Dimensi Kelanggengan System Dan Ketertiban Sipil Ini
Berkaitan Erat, Dan Yang Pertama Bisa Dipandang Sebagai Persyaratan Bagi Yang Kedua Dan
Menjadi Indikatornya. Begitupula Tingkat Legitimasi Yang Dinikmati Oleh Pemerintah Dan
Keefektifan Memerintahnya Berkaitan Satu Sama Lain Dengan Kedua Faktor Tersebut.
 Serta Bersama-Sama Dan Dalam Keadaan Saling Bergantung, Keempat Dimensi
Kelanggengan System, Ketertiban, Legitimasi Dan Keefektifan Ini Menandai Stabilitas Yang
Demokratis. Bahkan Sebenarnya Suatu Stabilitas Politik Haruslah Dengan Sendirinya Bersefat
Demokratis, Sebab Stabilitas Yang Tidak Demokratis Adalah Semu, Yang Didalamnya
Terkandung Bibit-Bibit Kekacauan Yang Destruktif Bagaikan Sebuah Bom Waktu.
Sudah Menjadi Proposisi Yang Sangat Mapan Dalam Ilmu Politik Bahwa Mencapai Dan
Memelihara Pemerintahan Yang Demokratis Dan Stabil Dalam Suatu Masyarakat Mejemuk Itu
Sulit. Bahkan Jauh Kebelakang, Ke Yunani Kuno, Aristoteles Telah Mengatakan Bahwa
“Negara Bertujuan Untuk Mewujudkan Dirim Sejauh Mungkin Menjadi Suatu Masyarakat Yang
Terdiri Dari Orang-Orang Yang Sama Derajad Dan Pasa Sejawat.” Keseragaman Sosial Dan
Konsesus Politik Dianggap Sebagai Persyaratan Untuk, Atau Faktor Yang Mendukung Bagi
Demokrasi Yang Stabil. Sebaliknya Perpecahan Sosial Dan Peradaban Politik Yang Mendalam
Dalam Masyarakat Majemuk Sianggap Bertanggung Jawab Untuk Ketidakstabilan Dan
Keruntuhan Dalam Sistem-Sistem Demokratis.
Di Negara-Negara Demokratis Pemikiran Yang Mendasari Konsep Partisipasi Politik Ialah
Bahwa Kedaulatan Ada Ditangan Rakyat, Yang Melaksanakannya Melalui Kegiatan Bersama
Untuk Menetapkan Tujuan-Tujuan Serta Masa Depan Masyarakat Itu Dan Untuk Menentukan
Orang-Orang Yang Akan Memegang Tampuk Pimpinan. Jadi, Partisipasi Politik Merupakan
Pengejewantahan Dari Penyelenggaraan Kekuasaan Politik Yang Abash Oleh Rakyat.
Demokrasi Sendiri Adalah Suatu Konsep Yang Hampir-Hampir Mustahil Untuk Di Takrifkan.
Cukuplah Dikatakan Bahwa Demokrasi Adalah Suatu Sinonim Dengan Apa Yang Disebut
Dengan Polychy. Demokrasi Dalam Pengertian Itu Bukanlah System Pemerintahan Yang
Mencakup Keseluruhan Cita-Cita Demokratis, Tetapi Yang Mendekatinya Sampai Batas-Batas
Yang Pantas. Setiap Bentuk Pengaturan Politik Yang Tangguh Dan Abash, Lebih-Lebih Lagi
Yang Demokratis, Memerlukan Ikatan Bersama Yang Antara Lain Berbentuk Kesetiaan Dasar,
Suatu Komitmen Pada Sesuatu Yang Lebih Menggerakkan Perasaan, Yang Terasa Lebih Hangat
Dalam Lubuk Jiwa Daripada Sekadar Seperangkat Prosedur, Dan Yang Barangkali Malah Lebih
Kuat Daripada Nilai-Nilai Demokratis Tentang Kemerdekaan Dan Persamaan. Dalam Dunia
Modern Perekat Politik Itu Ialah Rasa Kebangsaan.

Rasa Kebangsaan Sebagai Ideologi Adalah Telah Pernah Menimbulkan Masalah Hangat
Dalam Masa Menjelang Kemerdekaan. Para Penentang Nasionalisme Terutama Dalam Kubu-
Kubu Politik Islam, Karena Paham Itu Dalam Beberapa Segi Bisa Merupakan Perwujudan
Kembali Paham Kesukuan Zaman Jahiliyah Yang Islam Datang Untuk Menghapuskannya.
Tambahan Lagi Saat Itu Nasionalisme Telah Menyingkapkan Wajahnya Yang Paling Buruk,
Yaiyu Chauvinisme Jerman, Italy Dan Jepang Yang Menyeret Umat Manusia Ke Malapetaka
Perang Dunia Ii. Kini Paham Kebangsaan Indonesia Diletakkan Dalam Satu Rangkaian Dengan
Paham-Paham Lain Yang Diharap Bisa Mengeceknya Yaitu Terutama Paham Ketuhanan Dan
Perikemanusiaan. Dan Rumusan Tertingginya Pun Diperlunak Menjadi Persatuan Indonesia]

D. Budaya Politik Indonesia
Sebenarnya, Sangat Sulit Untuk Melakukan Identifikasi Budaya Politik Indonesia, Karena
Atributnya Tidak Jelas. Akan Tetapi, Satu Hal Yang Barangkali Dapat Dijadikan Titik Tolak
Untuk Membicarakan Masalah Ini Adalah Adanya Sebuah Pola Budaya Yang Dominan, Yang
Berasal Dari Kelompok Etnis Yang Dominan Pula, Yaitu Kelompok Etnis Jawa. Etnis Ini Sangat
Mewarnai Sikap, Perilaku Dan Orientasi Politik Kalangan Elite Politik Di Indonesia. Oleh
Karena Itu, Ketika Claire Holt, Benedict Anderson, Dan James Siegel Menulis Political Kulture
In Indonesia, Pembicaraan Awal Yang Dikemukakan Adalah Menyangkut Konsep Kekuasaan
Dalam Masyarakat Jawa.
Menurut Analisis Anderson, Konsep Tentang Kekuasaan Dalam Masyarakat Jawa Berbeda
Sekali Dengan Apa Yang Dipahami Oleh Masyarakat Barat. Karena, Bagi Masyarakat Jawa,
Kekuasaan Itu Bersifat Kongkret, Besarannya Konstan, Sumbernya Homogen, Dan Tidak
Berkaitan Dengan Persoalan Legitimasi. Hal Ini Berbeda Dengan Masyarakat Barat, Dimana
Kekuasaan Itu Bersifat Abstrak Dan Berasal Dari Berbagai Macam Sumber, Seperti Uang, Harta
Kekayaan, Fisik, Kedudukan, Asal-Usul, Dan Lain Sebagainya. Karena Kekuasaan Itu Berasal
Dari Sumber Yang Satu, Maka Sifatnya Konstan. Dan Selama Sumber Kekuasaan Itu Tetap
Memberikan Kekuasaan, Maka Kekuasaan Seorang Penguasa Akan Tetap Legitimate Dan Tidak
Perlu Dipersoalkan.

Diantara Konsep Ilmu Politik Yang Banyak Dibahas Dan Dipermasalahkan Adalah
Kekuasaan. Hal Ini Tidak Mengherankan Sebab Konsep Ini Sangat Mendasar Dalam Ilmu Sosial
Pada Umumnya Dan Pada Ilmu Politik Khususnya. Malahan Pada Suatu Ketika Politik Dianggap
Tidak Lain Dari Masalah Kekuasaan Belaka. Sekalipun Pandangan Ini Telah Diringgalkan,
Kekuasaaan Tetap Merupakan Gejala Yang Dangat Sentral Dalam Ilmu Politik.
Adapun Konsep Kekuasaan Adalah, Kebanyakan Sarjana Berpangkal Tolak Dari
Perumusan Sosiolog Max Weber Dalam Bukunya Wirtschaft Und Gesellschaft (1922)
Bahwa: “Kekuasaan Adalah Kemampuan Untuk, Dalam Suatu Hubungan Sosial, Melaksanakan
Kemauan Sendiri Sekalipun Mengalami Perlawanan, Dan Apapun Dasar Kemampuan
Ini”. Sebagai Contoh Pemikiran Semacam Ini Dapat Disebut Sebagai Perumusan Dari Beberapa
Sosiolog Seperti Misalnya Harold D. Laswell Dan Abraham Kaplan Yang
Mengatakan “Kekuasaan Adalah Suatu Hubungan Dimana Seseorang Atau Kelompok Orang
Dapat Menentukan Tindakan Seseorang Atau Kelompok Lain Agar Sesuai Dengan Tujuan Dari
Pihak Pertama”4

4 Badri Yatim, Sejaah Peradaban Islam, (Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada, 2008), Hlm.36
Selanjutnya Dianggap Bahwa Kekuasaan Terutama Nampak Dalam Proses Membuat
Keputusan. Dan Dalm Hubungan Ini Laswell Dan Kaplan Mengatakan Bahwa Keputusan Pada
Hakekatnya Adalah Kebijakan Yang Menyangkut Sanksi Berat. “ Kekuasaan Adalh Partisipasi
Dalam Pembuatan Keputusan. G Mempunyai Kekuasaan Atas H Mengenai Nilai K, Jika G
Turut Dalam Pembuatan Keputusan Yang Menyangkut Kebijakan K Dari H”. Adapula Beberapa
Sarjana, Seprti Misalnya Sosiolog Van Doorn, Yang Terkesan Oleh Kaitan Antara Kekuasaan
Dan Tindakan Manusia, Dan Mengatakan Bahwa: “Kekuasaan Adalah Kemungkinan Untuk
Membatasi Alternatif-Alternatif Bertindak Dari Seseorang Atau Suatu Kelompok Sesuai Dengan
Tujuan Dari Pihak Pertama”.
Masyarakat Jawa Dan Sebagian Besar Masyarakat Lain Di Indonesia, Pada Dasarnya
Bersifat Hierarkis. Stratifikasi Sosial Bukan Didasarkan Atas Atribut Sosial Yang Bersifat
Materialistik, Tetapi Lebih Pada Akses Kekuasaan. Ada Pemilahan Yang Tegas Antara Mereka
Yang Memegang Kekuasaan, Yang Juga Disebut Sebagai Kalangan Priyayi, Dan Rakyat
Kebanyakan.
E. Sekuler
dengan meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di banyak tempat,
seperti Kristen Kanan di Amerika Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme
Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di Eropa. Hal itu juga
terkait dengan makin meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas, seperti
New Age, yang berbeda dari bentuk-bentuk lama agama formal. Semua perkembangan ini tidak
saja menggerogoti asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang menujumkan makin
merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan lama tentang pemisahan gereja
dan negara.
Inilah momen-momen di mana, “kewajiban kewarganegaraan” makin bergesekan
dengan “tuntutan iman”. Itulah momen-momen ketika orang-orang, berusaha menyeimbangkan
“komitmen keagamaan” mereka dan “penalaran sekular” mereka. Para ilmuwan sosial terpecah-
pecah dalam hal apakah proses sekularisasi mengurangi peran agama dalam kehidupan sehari-
hari atau apakah keyakinan-keyakinan keagamaan besar dunia sedang mengalami kebangkitan
besar. Untungnya, sekumpulan besar bukti-bukti tentang faktor-faktor dasar yang mendorong
religiusitas di dunia belakangan ini mulai tersedia.
1. pengertian dan perkembangannya
Pengertian Sekularisme Secara etimologi sekularisme berasal dari kata
saeculum (bahasa latin), mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan ruang:
waktu menunjukan kepada pengertian sekarang‟ atau kini‟, dan ruang menunjuk
kepada pengertian „dunia‟ atau „duniawi‟.Sekularisme juga memiliki arti fashluddin
„anil haya yaitu memisahkan peranan agama dari kehidupan, yang berarti
bahwa agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja.
Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya
melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama
sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang nota bene adalah inti dari ajaran agama.Sekularisme secara
terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara
negara (politik) dan agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan
lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak Ada
hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan
bersifat spiritual,seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut paham
sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang
berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Holyoake
menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung
tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah
kepercayaan beragama. Holyoake berpendapat bahwa “Secularism is an ethical
system founded on the principle of natural morality and independent of revealed
religion or supranaturalism.”Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme
adalah suatu sistem etik yang didasarkanpada prinsip moral alamiah dan terlepas
dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih
luas,bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari
pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan, serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu.
Artinya, perdebatan mengenai sekularisme tidak lagi menyentuh label dan
kemasan, tapi menyentuh isi dan substansi.5
Di Barat (Eropa) pada abad ke-19 terjadi secara intensif pemisahan antar hal-
hal yang menyangkut agama dan non agama yang kemudian disebut “ sekularisme”.
Sedikit demi sedikit urusan ke duniawian memperoleh kemerdekaan dari
pengaruh Gereja (terutama Gereja Protestan), dengan puncaknya di mana Gereja
tidak berhak campur tangan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu
Sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip alamiah dan
terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme”
Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya
melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama
sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang nota bene adalah inti dari ajaran agama. Sekularisme secara
terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara
negara (politik) dan agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan
lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada
hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan
bersifat spiritual,seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut paham
sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang
berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Holyoake
menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung
tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah
kepercayaan beragama. Holyoake berpendapat bahwa “Secularism is an ethical
system founded on the principle of natural morality and independent of revealed
religion or supranaturalism.” Definisi yang diberikan Holyoake bahwa sekularisme
adalah suatu sistem etik yang didasarkanpada prinsip moral alamiah dan terlepas
dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih
luas,bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari

5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada, 2019) Hlm.87
pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan, serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu.
Artinya, perdebatan mengenai sekisme tidak lagi menyentuh label dan kemasan, tapi
menyentuh isi dan substansi.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Sekulrisme


Pendiri sekularisme adalah George Jacob Holyoake kelahiran Birmingham
Inggris, anak pekerja kasar. Kendatipun pada mulanya berpendidikan agama,
kehidupan remajanya yang diliputi dan ditempa oleh situasi sosial politik di tempat
kelahirannya yang keras, sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia kembali terkenal
karena sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya, sekularisme ini belum
berupa aliran etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan
politik. Sekularisme pertama kali muncul di Eropa.
Tapi mulai diperhitungkan keberadaannya secara politis bersamaan dengan
lahirnya revolusi Perancis tahun 1789 Mdalam suatu masyarakat, maka kezaliman
akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi:   “Barang siapa
yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak
mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang
terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”. Jika suatu negara konsisten dengan
penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan
akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan
akan berjalan dengan stabil.
F. Monarki

Monarki (atau Kerajaan) berasal dari bahasa yunani monos (μονος) yang berarti satu,


dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem peerintahan kerajaan adalah
sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi
menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya
40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai
penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya memiliki sistem monarki konstitusional
Perbedaan di antara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa
monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang
jabatan ini untuk jangka waktu tertentu.

Namun dalam negara-negara federas seperti Malaysia, penguasa monarki atau yang


dipertuan agung hanya berkuasa selama 5 tahun dan akan digantikan dengan penguasa monarki
dari negeri lain dalam persekutuan. Pada zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak
ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki konstitusional, yaitu penguasa monarki yang
dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi.Monarki demokratis berbeda dengan konsep penguasa
monarki yang sebenarnya.

Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem
monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan.
Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta
monarki demokratis Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol
kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, penguasa monarki biasanya ketua
agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang
Dipertuan Agung merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania raya dan negara di
bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah Gubernur Agung Gereja Inggris Meskipun
demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat
simbolis saja.
Selain penguasa monarki, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai
bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah.Jabatan penguasa monarki
dijabat secara turun temurun. Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang
kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku, sebuah kecamatan atau distrik, sampai sebuah pulau
besar atau benua (kekaisaraan). Kepala adat turun temurun pada desa adat di Maluku yang
disebut negeri dipanggil dengan sebutan raja. Raja yang menguasai sebuah distrik di Timor
disebut liurai. Sebuah kerajaan kecil (kerajaan distrik) tunduk kepada kerajaan yang lebih besar
yang biasanya sebuah Kesultanan.

Kerajaan kecil sebagai cabang dari sebuah kerajaan besar tidak berhak menyandang gelar
Sultan (Yang Dipertuan Besar), tetapi hanya boleh menyandang gelar Pangeran, Pangeran muda,
Pangeran adipati, atau yang dipertuan muda walaupun dapat juga dipanggil dengan sebutan Raja.
Sebagian wilayah kerajaan kecil (distrik) di Kalimantan diberikan oleh pemerintah Hindia
Belanda kepada pihak-pihak yang berjasa kepada kolonial Belanda. Tidak semua bekas kerajaan
dapat dipandang sebagai sebuah bekas negara (kerajaan). Kerajaan-kerajaan yang mempunyai
perjanjian dengan pihak kolonial Belanda merupakan negara yang berdaulat di wilayahnya.

Contoh monarki di Indonesia:

1. Kasunanan Surakarta (Sunan Surakarta)

2. Kesultanan Ngayogyakarta Diningrat (Sultan Yogyakarta)

3. Kesultan Banjar (Sultan Banjar)

4. Kadipaten Mangkunegaran (Pangeran Adipati Mangkunegara)

5. Kadipaten Paku Alaman (Pangeran Adipati Paku Alam)

6. Kesultanan Cierebon (Sultan Cirebon)

7. Kerajaan Pangatan (Pangeran Muda Banjar)

8. Kesultanan Kutai Kartanegara

9. Kesultanan Bulungan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengakhiri Pembahasan Singkat Dalam Makalah Ini, Suatu Kesimpulan Ialah Bahwa
Umat Islam Sepanjang Ajaran Agamanya, Tidaklah Menghendaki Sesuatu Kecuali Kebaikan
Bersama, Sebagaimana Dicontohkah Oleh Rasulullah S.A.W Dan Sahabat-Sahabt Beliau.
Ukuran Kebaikan Itu Tidak Harus Disesuaikan Dengan Kepentingan Golongan Sendiri Saja,
Sebab Akhirnya Agama Islam Disebut Sebagai Rahmat Allah Bagi Seluruh Alam, Umat
Manusia. Ukuran Kebaikan Itu Ialah Kebaikan Umum Sejagad, Dan Meliputi Pula Sesama
Makhluk Hidup Lain Dalam Lingkungan Yang Lebih Luas. Ajaran-Ajaran Universal Islam
Menyediakan Bagi Kaum Muslimin Pandangan Etika Asasi Untuk Melandasi Pilihan Dan
Keputusan Dalam Tindakan Hidup, Termasuk Dalam Bidang Sosial Politik

B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
Daftar Pustaka
Nurcholish Madjid. 2009. Cita-Cita Politik Islam.Jakarta: Paramadina
Ahmad Suhelmi.2001. Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam. Jakarta Timur: Darul Falah
Badri Yatim.2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada
Miriam Budiardjo.1994. Demokrasi Indonesia, Dempkrasi Perlementer Dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama
Afan Gaffari. 2000. Politik Indonesia Tradisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata,Abuddin.2019.Metodologi Studi Islam.Jakarta: Pt Grajagrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai