Anda di halaman 1dari 46

Kelompok 11

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Fadiah Adlina M.Pd.I

Disusun Oleh :

RIDA LATIFAH
2214120106
USWATUN HASANAH
2214120044
RIZQI ANUGRAH
2214120034

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
2022/1444H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Dinamika Islam
Kontemporer” untuk memenuhi tugas mata kuliah “Metodologi Studi Islam”

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu, Fadiah Adlina


M.Pd.I, yang telah membimbing dan mengajari kami tentang pelajaran ini dan
juga untuk teman-teman yang telah banyak membantu, sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh
dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Palangka Raya, 23 September 2017

Penulis

Palangka Raya, Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 2
A. Latar Belakang.......................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan....................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................4

A. Post Modernisme dan Neomodernisme Islam........................................... 4


B. Islam Liberal.............................................................................................. 7
C. Islam Kultural dan Islam Struktural.........................................................32
BAB III PENUTUP............................................................................................39

A. Kesimpulan.............................................................................................. 39
B. Saran........................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................41

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan
gerakan menjadi "mazhab" penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang
bahkan dibrang kus dega menjaga "stabilitas". Mengamati dinamika
pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada
sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca
reformasi sehingga dengan bergulirya era reformasi membutuhkan
pembacaan ulang terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia, karena
berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam
oleh kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha membangkitkan
kembali romantisme masa lalu.

Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan


islam, baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk
farien yang sangat beragam. Berbagai farian pemikiran dan gerakan
keislaman diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas
sehingga dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan
yakni literalisme dan liberalisme. Pemahaman islam literal dan gejala
fundamentalisme islam cenderug menafikkan plruralisme pemahaman
keagamaan dan pruralisme agama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Post Modernisme dan Neomodernisme Islam ?
2. Bagaimana Islam Liberal ?
3. Bagaimana Islam Kultural dan Islam Struktural ?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Post Modernisme dan Neomodernisme
Islam ?
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Islam Liberal ?
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Islam Kultural dan Islam Struktural ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Post Modernisme dan Neomodernisme


Istilah Neo-modernisme/ Post-modernisme pertama kali muncul
pada tahun1870-an oleh seorang seniman asal Inggris yang bernama John
Watkins Chapman.12 Kemudian pada tahun 1917, kehadiran Rudolf
Pannwitz yang merupakan seorang filsuf Jerman telah mendeskripsikan
istilah ‘nihilisme’ sebagai budaya Barat yang muncul di abad 20. Lalu
pada tahun 1926, Bernard Iddings Bell muncul sebagai seorang tokoh
yang meyakini adanya nilai-nilai yang melebihi dua ciri era modern di
Barat, yaitu liberalism dan totalitarianism. Menurutnya, kedua aliran
sekuler tersebut tidak mampu meningkatkan kehidupan manusia secara
signifikan, tetapi menjadikan lubang kesengsaraan. Sehingga itulah,
manusia perlu kembali kepada agama.1 Pada tahun 1930-an Post-
modernisme digunakan oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi
minor atas modernisme.2 Kemudian pada tahun 1945, muncul Joseph
Hudnut yang berpendapat bahwa Post-modernisme adalah sebuah
lembaran sejarah baru yang memicu kemajuan teknologi dan ilmu
sehingga dapat menyalurkan pengalaman-pengalaman manusia yang
belum tersalurkan. Idealism modern yang Kemudian pada tahun 1945,
muncul Joseph Hudnut yang berpendapat bahwa Post-modernisme adalah
sebuah lembaran sejarah baru yang memicu kemajuan teknologi dan ilmu
sehingga dapat menyalurkan pengalaman-pengalaman manusia yang
belum tersalurkan. Idealism modern yang dikritiknya dianggap telah
menciptakan standarisasi dan mekanisasi. Selanjutnya muncul Arnold

1
Ironi Ilham, Paradigma Postmodernisme: Solusi untuk Kehidupan Sosial ?, Jurnal Sosiologi
USK, Volume 12, No.1, Juni 2018, 6.
2
Mike Featherstone, Post Modernisme dan Budaya Konsumen, Terj. Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), Cet. I, 16

4
Toynbee pada tahun 1954. Menurutnya, Post-modernisme merupakan
sebuah tanda masuknya di era abad ke dua puluh.3
Dan itulah awal mula awalan ‘post’ mulai berkembang dan
menjadi popular pada tahun 1960-an di New York, yang ketika itu
digunakan oleh para seniman, penulis dan para kritikus muda seperti
Rauschenberg, Cage, Burroughs, Barthelme, Fielder, Hassan dan Sontag.
Lebih lauh lagi, istilah tersebut meluas dalam bidang arsitektur, seni visual
dan pertunjukan, serta musik pada tahun 1970-an hingga 1980-an.
Perkembangan tersebut terus maju hingga ke Eropa dan Amerika Serikat
sebagai penjelasan atas pembenaran teoritis Post-modernisme seni yang
pembahasannya tentang Post-modernitas semakin meluas. Sehingga bisa
menarik perhatian serta membangkitkan minat para teoritisi seperti Daniel
Bell, Lyotard, Kristeva, Vattimo, Derrida, Fouvault, Habermas,
Baudrillard dan Jameson. 4

Penting diketahui bahwa Neo-modernisme/ Post-modernisme


merupakan sebuah gagasan yang mencoba untuk menutupi kekurangan
yang terdapat pada gagasan tradisonalisme, modernisme, dan
fundamentalisme. 5
Gagasan ini adalah bentuk kritis untuk menciptakan
pemikiran yang utuh, menyeluruh, sistematis dan mencerminkan nilai-nilai
yang ada di dalam Alquran serta Al-hadist. Dengan demikian, orang Islam
itu harus eksis dalam dunia modern dan sekaligus tetap islami.6
Adapun masuk dan berkembangnya istilah Neo-modernisem/
Post-modernisme di Indonesia terjadi pada abad ke dua puluh, yaitu
sekitar tahun 1970-an yang dikemukakan oleh para sarjana muda yang
intelektual. Menurutnya, kita harus berpikir secara demokratis dan
membuka pemisah antara tradisionalisme dengan modernisme agar
berjalan secara seimbang. Adapun tokoh yang menggagasnya yaitu
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendi.7
3
Ironi Ilham, Paradigma Post-Modernisme...7
4
Mike Faetherstone, Postmodernisme dan Budaya...,16-17.
5
Abd. A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), 1.
6
Ibid., 3.
7
Ahmad Amir Aziz, Neo-modernisme..., 17.

5
a. Pro-kontra Diskursus Neo-modernisme/ Post-modernisme
Diskursus Islam dan Neo-modernisme/ Post-modernisme terbilang
masih baru dan masih menimbulkan pro-kontra tentang pemikiran tersebut
sebagai alat penyelesai masalah sosial. Pada bagian ini, penulis akan
berusaha memaparkan beberapa ciri dari paradigma Neo-modernisme/
Post-modernisme untuk bersikap kritis terhadapnya.
1. Keberadaan Absolut dan Dunia Agama Sebuah Paradoks
Ciri yang pertama dari dogma Post-modernisme adalah kebenaran
yang bersifat relatif, tidak ada yang absolut. Melalui ciri tersebut, kita
harus berpikir kritis yaitu di era modern, manusia mengingkari agama atas
rasionalitas, sedangkan di era Post-modern manusia mengingkari agama
atas irasonialitas. Belakang ini, wacana pos-modernisme diniai sangat
positif. Di sisi lain, kini telah banyak paham-paham yang bermunculan,
bahkan ironisnya paham tersebut terkadang dianggap sebagai agama baru.
Jika demikian, lalu bagaimana tentang kebenaran yang disampaikan
agama, jika memang semua agama itu benar/ salah, lalu mengapa banyak
agama yang bermunculan? Apabila dalam dogma Post-modernisme
berpikir kebenaran itu tidak bersifat absolut, lalu bagaimana mungkin
Post-modernisme bisa mengkritik dogma yang lainnya? Dalam hal ini kita
harus sadar, bahwa itu bisa menimbulkan sebuah paradoks yang berujung
pada nihilisme. Kemungkinan lain yang buruk yaitu manusia bisa
menyatakan dirinya sebagai Tuhan, karena tidak adanya kebenaran yang
absolut, sehingga mereka menentukan kebenarannya sendiri.
2. Gaya Hidup Yang Konsumerisme
Di era saat ini media massa merupakan sebuah alat yang sangat
berkuasa, bagimana tidak? Melalui media massa semua informasi terbuka
sangat luas. Keadaan yang demikian bisa menjadi ladang positif yaitu kaya
akan informasi, namun hal itu juga bisa berdampak negatif. Secara tidak
sadar kita telah mengkonsumsi berbagai informasi yang diberikan oleh
media yang bisa mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup tersebut dijadikan
sebagai pembeda di antara banyak kelompok, dan sesungguhnya mereka

6
sedang masuk dalam pola hidup yang konsumtif. Apabila pemikiran
modern selalu mengunggulkan persatuan, sedangkan Post-modernisme
lebih kepada heterologi. Pada pandangan tersebut terdapat dua sisi, yaitu
postif dan negatif. Positifnya, seseorang bisa merayakan perbedaan tanpa
adanya paksaan, sedangkan negatifnya yaitu dengan adanya sikap yang
terlalu bebas, ditakutkan akan terjadi tumpang tindih dengan kebebasan
orang lain.8
3. Dunia Etika, Estetika, dan Seni Arsitektur
Etika atau moralitas dalam pandangan modernis itu tidak bersifat
general, artinya etika selalu dihubungkan dengan sesuatu yang etis, apabila
semua masyarakat juga menganggap etis. Sedangkan kaum Post-modernis,
menganggap bahwa etika tidak nilai sebagai sesuatu yang etis, karena etika
adalah masalah individual. Hal demikian itu, berbanding terbalik dengan
sifat manusia sebagai makhluk sosial. Kebebasan yang berlebihan akan
menimbulkan tumpang tindih dengan kebebasan orang lain. Apabila etika
dikembalikan kepada individu masing-masing, itu berarti hukum tidak lagi
dibutuhkan. Sedangkan dalam hidup ini bisa berjalan dengan baik melalui
keberadaan hukum. Pada masalah aritektur, di era modern, bentuk
bangunan/ rumah itu geometric or kubisme dan cenderung sederhana.
Prinsip yang demikian dirubah oleh pos-modernisme, bangunan itu boleh
tidak berbentuk geometris dan bisa mengikuti luas tanah. Prinsip tersebut
tentu sangat menuntungkan bagi kaum perkotaan yang lahannya tidak luas.
Tapi kendalanya adalah bisa menciptakan manusia yang individualistik
dan kota semakin terisolasi.9

B. Islam Liberal
Istilah Islam liberal mula diperkenalkan oleh beberapa penulis
Barat seperti Leonard Binder, Charles Kurzman 10dan Greg Barton. Binder

8
Ironi Ilham, Paradigma Postmodernisme..., 16-17.
9
Ibid., 18-19.
10
Lihat Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook, New York: Oxford University Press,
1998.

7
meng- gunakan istilah "Islamic liberalism". Sedangkan Kurzman dan
Barton memakai istilah Islam Liberal (Liberal Islam). Islam liberal kian
mendapat perhatian publik setelah Paramadina menerbitkan edisi
Indonesia buku Charles Kurzman yang berjudul, Liberal Islam, A
Sourcebook. Dalam bukunya ini Kuzman men- definisikan Islam liberal
sebagai sebuah kelompok yang secara kontras berbeda dengan Islam adat
(costumary Islam) 11
dan Islam revivalis (revivalist Islam).12" Dalam buku
ini terhimpun tulisan-tulisan para pemikir dan intelektual terkemuka di
dunia Islam yang oleh editornya dikategorikan bercorak liberal seperti
Muhammad Iqbal, Ali Abd al-Raziq, Mahmud Muhamed Thaha, Fazlur
Rahman, Fatima Merniissi, Amina Wadud dan lain-lain. Ada dua pemikir
Indonesia yang tulisannya dimuat di sini yaitu Muhammad Nasir dan
Nurcholish Madjid." 13
Charles Kurzman mengatakan bahwa secara historis, sebenarnya di
kalangan pemikir-pemikir Islam banyak yang mendukung demokrasi,
menentang teokrasi, jaminan kepada hak-hak kaum perempuan, hak-hak
non muslim sebagai kaum minoritas dalam sebuah negara Islam,
pembelaan terhadap kebebasan berfikir dan kepercayaan terhadap potensi
manusia. Tema-tema ini merupakan tema-tema yang boleh membahayakan
buat diri mereka yang menyuarakannya. Mereka inilah yang secara tradisi
sering kali diabaikan oleh pengamat dan media Barat, yang lebih tertarik
dengan pemberitaan yang memojokkan Islam sebagai ekstremis. Padahal
mereka inilah yang boleh dikategorikan sabagai kelompok Islam yang
mempertahankan tradisi liberal dalam Islam. Mereka inilah menurut
Kurzman yang disebut Islam liberal. Sementara tradisi Islam liberal
11
Customary Islam adalah sebuah corak pemahaman Islam yang ditandai dengan kombinasi
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi keadaerahan dan kebiasaan yang dilakukan di seluruh dunia
Islam. Misalnya penghormatan kepada orang-orang yang dianggap suci, juga aktiviti ritual yang
mengekspresikan tradisi-tradisi di daerah seperti membunyikan beduk, tradisi muzikal,
penghormatan kepada roh-roh gaib dan perayaan tahun baru Islam dan sebagainya.
12
Revivalist Islam adalah sebuah kelompok Islam yang boleh dikatakan sebagai "Islam
Fundamentalis" atau "wahabisme". Islam revivalis menyerang Customary Islam, kerana
Customary Islam dianggap kurang mengambil perhatian pada inti doktrin Islam.
13
Komaruddin Hidayal, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam di
Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003. hal. 114.

8
(liberal Islam adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa lalu dalam
konteks modeniti, dan menyatakan bahwa Islam jika dipahami secara
benar maka ia akan sejalan dengan liberalisme Barat. 14
Istilah "Islam liberal" juga sering dilawankan dengan "Islam
radikal", kedua istilah ini mengandung konotasi beragam dan sering
konotasi itu di kalangan kaum Muslim sendiri bersifat pejoratif.
Sebahagian cenderung menolak kategorisasi semacam ini dengan alasan
bahwa Islam itu "satu" tidak bisa dibagi- bagi dengan memberi kata sifat
tertentu. Namun harus diakui bahwa secara sosiologis, fenomena
pemahaman dan ideologi, pengkategorisasian "Islam radikal" dan
sebaliknya "Islam liberal" adalah sebuah kenyataan.
Kaum fundamentalis dan ortodoks biasanya menolak pahaman
liberal ini dengan mengatakan bahwa liberalisme adalah paham yang
menganut asas kebebasan tanpa batas, dengan tidak menghiraukan nilai
moral dan orang lain. Padahal kaum liberal itu berfikir bahwa agama itu
harus ditransformasikan menjadi penalaran moral (moral reasoning).
Kaum liberal justru membatasi kebebasan, sepanjang tidak melanggar
hukum dan hak orang lain. Dengan kata lain, kaum liberal berorientasi
pada kebebasan dalam kerangka hak-hak sipil dan hak-hak asasi manusia
pada umumnya. Kaum liberal menjadikan hak-hak asasi manusia sebagai
ukuran dan orientasi. Dengan demikian jika ada penafsiran wahyu yang
bertentangan dengan asas itu maka akan ditolak oleh kaum liberal."15
Istilah "liberal" merujuk kepada keadaan atau sikap orang atau
gerakan tertentu yang bersedia menghargai gagasan atau perasaan orang
lain, yang juga mendukung perubahan-perubahan sosial, politik dan
keagamaan melalui "pembebasan pemikiran dari pandangan dunia dan
sikap literal, dogmatis, reaksioner atau pro status qou. Manakala istilah
"radikal" menurut pengertian kamus secara sederhana merujuk kepada

14
Zuly Qodir. 2003. Islam Liberal: Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. hal. 73.
15
Dawan Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta: Kencana,
2010, hal. 277.

9
keadaan atau orang dan gerakan tertentu yang menginginkan perubahan
sosial, politik secara cepat dan menyeluruh yang sering dilakukan dengan
mengunakan cara-cara tanpa kompromi atau bahkan kekerasan bukan
dengan cara yang damai.16
Leonard Binder mengemukakan bahwa hal yang paling prinsipil
dari Islam liberal adalah adanya keterbukaan tafsir atas kitab suci, yakni
Al-Quran yang tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang sudah final, apa
adanya tetapi membutuhkan penafsiran-penafsiran yang terus menerus
sehingga Islam tidak berhenti merespon masalah sosial. Kebalikan dari
Islam liberal adalah Islam konservatif atau tradisionalis, iaitu mereka yang
berpandangan bahwa kitab suci Islam tidak memerlukan tafsir-tafsir yang
macam-macam, kerana Islam sudah sempurna dengan sendirinya." Dalam
pandangan kalangan tradisionalis yang selalu menolak pemikiran Islam
liberal, Islam bukanlah agama evolutif, yang berkembang mengikuti
zaman. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal. Kerana itu,
konsep asas aqidah dan ibadah dalam Islam sudah bersifat final dan tidak
berkembang mengikuti proses dinamika sejarah, sebab Islam bukanlah
agama sejarah.17
Bagi kalangan tertentu, penyebutan Islam liberal dipandang
sebagai wacana yang cederung disifatkan dengan dunia Barat. Oleh itu,
Islam liberal dipandang dengan penuh kecurigaan kerana dianggap dapat
membawa kesan buruk bagi kelangsungan ontentiti ajaran Islam.
Azyumardi Azra mengatakakan bahwa, pandangan negatif ini wajar
muncul kerana istilah liberal dalam kaitannya dengan konteks kehidupan
agama terlanjur dipahami pejoratif yakni digunakan untuk menyatakan
atau menyebut "lawan," bukan untuk menyebut diri sendiri, misalnya ada
yang memahami istilah liberal sebagai cara pandang agnostik yang ragu
terhadap kebenaran agama. Bahkan dalam sejarah kebudayaan Barat

16
Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002. hal. 113.
17
Adian Husaini "Dari Yahudi Liberal ke Islam Liberal" dalam pengantar buku Budi hal.4. 12
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta: Hujjah Press, 2007, hal.xxiv.

10
sendiri, pernah muncul sebuah epoch yang ditandai dengan menguatnya
paham liberalisme yang melakukan kritik-kritik terhadap agama kerana
memasung potensi nalar manusia dalam memahami hukum kausaliti alam
semesta.18
Istilah Islam liberal sering juga disebut sebagai Islam progresif
yang merupakan pengembangan lebih mendalam dari pemikiran dan posisi
"Islam moderat" yang dilawankan dengan "Islam radikal". Dengan kata
lain. Islam liberal dan Islam progresif mempunyai makna yang sama.19
Di Indonesia, sarjana yang pertama kali menggunakan kedua
istilah Islam progresif dan Islam liberal sekaligus adalah Greg Barton.
Istilah ini menggambarkan suatu gerakan mutakhir dalam Islam Indonesia
yang melampaui gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moden.
Menurut Budhy Munawar Rachman, gerakan progresif liberal yang
dimaksudkan adalah gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut dengan
"Islam neo-modernis” 20
yang di Indonesia dikembangkan oleh murid-
muridnya, iaitu Ahmad Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid 21. Kemudian
Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi masuk
dalam kategori ini.

18
Syamsul Arifin. Islam Indonesia: Sinergi Membangun Civil Islam dalam Bingkai Keadaban
Demokrasi, Malang: UMM Press, 2003.
19
Ahmad Gaus.." Islam Progresif: Wacana Pasca Arus Utama dalam Jurnal Tashwirul
Afkar. Edisi, No. 22. Tahun 2007, hal. 96.
20
Istilah neomodernis merupakan istilah yang pertama sekali diperkenalkan oleh Fazlur Rahman,
seorang pemikir Islam berkebangsaan Pakistan yang menjadi guru besar di Chicago University.
merujuk kepada gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan
alau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu
revivalis pra- modenis, modernism klasik dan neo revivalisme. Aliran ini hadir untuk mengkritisi
secara objektif baik terhadap aliran-aliran pemikiran Islam maupun Barat. Melalui sikap yang
kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam
suatu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistematis, serta mencerminkan nilai- nilai al-Qur'an dan
teladan Nabi yang sebenarnya. Lihat Fazlur Rahman. "Islam Challenges and Opportunities" dalam
Alford T. Welch dan P.Cachia (eds.). Islam: Past influence and Present Challenge. Edinburg:
Edinberg University Press. 1979, Hal. 315-357: Greg Barton 1995. "Neo- Modernism: A Vital
Synthesis of Traditionalist and Modenism Islamic in Indonesia" dalam Studia Islamika:Indonesian
Journal for Islamic Studies. Vol.2. Number 3. Hal. 1-6: Abu A'la.. Dari Neomodermnisme ke
Islam Liberal. Jakarta: Paramadina, 2003. hal. 1-3.
21
Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010. hal. 14

11
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa munculnya pemikiran Islam
liberal di Indonesia mempunyai persesuaian dengan neo-modernism yang
dirintis dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Hal ini memungkinkan
mengingat bahwa Fazlur Rahman merupakan seorang tokoh yang secara
intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat dan
dunia keilmuan Barat yang kritis. Pengembaraan intelektualitinya akhirnya
mengantarkannya ke arah mazhab neo-modernisme dengan wacana yang
bersifat humanitarianistik dan sarat dengan pemikiran yang liberal dengan
tetap menjaga keotentikan sekaligus historis. Salah satu ciri khas dan
sekaligus kontradiksi dari liberalisme Fazlur Rahman terletak pada
pengakuannya terhadap keanekaragaman pendapat tentang suatu pendapat
tertentu. 22

1. Tujuan Pemikiran Islam Liberal


Arah dari gerakan Pemikiran Islam liberal adalah untuk melakukan
dua hal penting: pertama, pembaharuan pemahaman keislaman dalam
rangka menyelaraskan pemahaman keagamaan dengan perkembangan
semasa. Untuk itu, mereka menyedari bahwa diperlukan sebuah formulasi
"fiqih baru" yang mampu menjawab problem kemanusiaan dewasa ini.
Misalnya umat Islam dituntut untuk mengembangkan fiqih yang boleh
berdialog dengan isu demokrasi (fiqih demokrasi), pluralisme (fiqih
toleransi dan fiqih lintas agama), liberalisme (fiqih politik dan fiqih
gender) dan seterusnya. Dengan kehadiran fiqih seperti ini menurut
mereka sangat penting untuk membuktikan relevansi Islam dalam dunia
yang lebih plural dan global. Bagaimanapun pemikir Islam sejatinya
mampu memberikan alternatif bagi ummat dalam mensosialisasikan
informasi yang benar tentang Islam.
Kedua, mensosialisasikan informasi yang benar tentang Islam. Hal
ini mereka lakukan untuk melakukan pelurusan terhadap citra Islam,

22
Leonard Binder, Islamic Liberalisme: Critique of Development Ideologis. Chicago: The
University of Chicago Press, 1988. hal. 2.

12
kerana selama ini banyak suara atas nama Islam dipresentasikan oleh
kelompok "Islam fundamental dan radikal". Umat Islam secara
keseluruhan mendapat stigma kerana citra Islam radikal ini. Dengan kata
lain umat Islam dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi
radikalisme, bahkan terorisme. Islam diidentikan dengan seluruh tindakan
yang bernuansa kekerasan.23 Karena itulah pemikir Islam liberal berusaha
menghadirkan wajah Islam progresif dalam arti Islam yang penuh dengan
kedamaian, toleran, moderat, liberal dan berkeadaban. Namun dalam
usahanya para pemikir dan intelektual Islam mengalami banyak kesulitan
besar dalam memasukkan pendekatan kritis mereka ke dalam wilayah
sosial dan kultural kerana senantiasa didominasi oleh ideologi-ideologi
militan. 24
Ideologi militan inilah yang disuarakan oleh kelompok Islam
fundamentalis dalam menolak Islam liberal atau Islam progresif.

Dari keseluruhan uraian di atas dapat pahami bahwa, yang


dimaksudkan dengan pemikiran Islam liberal di sini adalah sebuah model
pemikiran Islam yang menghendaki tradisi kritis dan dekonstruktif atas
pemahaman yang baku. Menurut pemikiran Islam liberal, Islam itu harus
dipahami secara kontekstual dan progresif. 25
Pemikiran Islam Liberal
yang selama ini dilaksanakan dimaksudkan untuk membuat pemahaman
kembali terhadap ajaran Islam. Pemahaman ini harus dimulai dengan dua
tindakan yang saling berhubung kait, iaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Pembaharuan pemikiran Islam ini dapat dilakukan dengan liberalisasi
ajaran Islam. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan liberalisasi

23
Juhaya S. Praja, Islam, Globalisasi dan Kontra Terorisme: Islam Pasca Tragedi:911. Bandung:
Kaki Langit, 2004. hal. 268.
24
Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, hal. 4.
25
Zuly Qodir. Islam Liberal: Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam Indonesia, Yogyakarta:
Purtaka Pelajar, 2003. hal. 33.

13
adalah pembebasan dari belenggu-belenggu kepercayaan yang tidak
benar.26
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa liberalisme adalah
sebuah pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme agama.
Otoritariasme yang dimaksudkan di sini adalah hasil dari himpunan
konsensus-konsensus besar dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang
fiqih, kalam, falsafah maupun tasauf yang telah menghegemoni dan
mendominasi keberagamaan ummat Islam.27 Liberalisasi itu bertolak dari
premis bahwa wacana hegemonik itu seolah-olah telah mencapai
kebenaran akhir (ultimate truth) dan kerana itu merupakan dianggap
sebagai akhir dari evolusi pemikiran keagamaan dalam Islam. Persepsi
mengenai itu tercermin dalam pandangan "pintu Ijtihad telah tertutup"
yang me- lahirkan sikap taqlid. Hal inilah yang kemudian dalam wacana
pemikiran Islam liberal dikembangkan bahwa "pintu ijtihad masih
terbuka".
Dalam pemikiran Islam liberal, semua hasil ijtihad masa lalu
dianggap sebagai sebuah kebenaran yang relatif bukanlah sebuah keberana
yang absolut. Dalam hal ini Khalid Aboe al-Fadl, seorang ahli dalam
bidang Hukum Islam mengatakan bahwa" meskipun kita mengagumi
semua ijtihad ulama masa lalu sebagai sebuah proses intelektual, tapi kita
merasa pesimis bahwa paradigma itu masih mampu menghadapi dan
memecahkan masalah-masalah dunia moden yang sudah jauh berubah dari
masa klasik dan abad pertengahan Islam ketika ilmu fiqih itu dirumuskan
menjadi paradigma dan ilmu pengetahuan normal (normal science).
Senada dengan pendapat di atas menurut Thomas Khun, dalam
meng- hadapi fenomena-fenomena baru, suatu paradigma yang tidak
mampu men- jelaskan fenomena-fenomena baru itu, tidak akan mampu
memecahkan persoalan- persoalan yang dihadapi ummat. Oleh itu,
26
Budhy Muanawar Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban, Jil. 2. Bandung: Mizan, 2006. hal. 1733.
27
Dawam Rahardjo dalam kata pengantar buku Budhy Munawar Rachman.. Sekularisme,
Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010. hal. XXXIX.

14
pemikiran Islam liberal menganggap bahwa hasil ijitihad ulama masa lalu
itu sebagai sebuah proses intelektual yang harus dihargai, meskipun
demikian ia bukanlah sebuah kebenaran absolut yang kebenaran berlaku
sepanjang zaman. Bahkan apabila hasil ijtihad itu tidak dapat
menyelasaikan problem kemanusiaan harus dikritisi dan bahkan harus
diperbaharui sehingga ia selaras dengan dinamika zaman moden. Seorang
pemikir Islam modern, Fazlur Rahman mengatakan bahwa "adalah sebuah
ke-dhaliman jika umat mempertahankan tradisi yang sudah lapuk yang
sudah kehilangan dinamika dan kesegarannya". 28
Menurut Budhy Munawar Rachman, pembebasan atau liberasi
dalam liberalisme ini terjadi di dua wilayah. Pertama, adalah wilayah iman
dan kedua wilayah pemikiran. Menurut paham liberalisme, iman dan
aqidah adalah masalah individu yang memiliki otonomi. Pengembalian
iman dan aqidah kepada individu menciptakan kebebasan beragama. Inilah
yang dijadikan dasar pemikiran dalam sekularisme, sehingga pahaman ini
menganggap agama terutama dalam hal aqidah dan ibadah menjadi
masalah individu. Manakala masalah negara dan masyarakat adalah
wilayah publik yang harus dibahas secara rasional dan demokratis. Dalam
konteks yang global kebebasan dalam liberalisme ini dimaknai sebagai
kebebasan memilih (freedom of choice) yang di dalamnya meliputi
kebebasan dalam beribadah (freedom of worship), kebebasan dalam
kepemilikan (freedom of ownership) dan kebebasan dalam politik
(freedom of politics)29
Dalam wilayah pemikiran, liberalisasi pemikiran Islam
menghadapi isu-isu kontemporer, misalnya demokrasi, hak asas insani,
kesetaraan gender, pluralisme agama dan lain. Dalam ranah pemikiran ini
pemikiran Islam liberal ini tidak mahu terikat pada paradigma dan tidak
terikat pula pada teks yang tidak berubah dan tidak boleh diubah itu,

28
Fazlur Rahman. Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research,
1965, hal. 176.
29
A. Qodri Azizy. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapam SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hal. 43.

15
melainkan percaya kepada kemampuan akal budi manusia sebagai
anugerah Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap masalah kontemporer
itu.30
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dipertegas bahwa Islam dan
pemikiran Islam adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah wahyu,
sedangkan pemikiran Islam adalah kebenaran subyektif hasil daya nalar
seseorang terhadap pesan wahyu yang obyektif. Sebagai kebenaran
subyektif, pemikiran Islam boleh berubah sesuai dengan perkembangan
informasi di sekitar pembacaan pesan Tuhan itu dikuasai oleh seseorang,
baik pada tingkat pengetahuan maupun pada tingkat pengalaman. 31 Oleh
itu, setiap gagasan pemikiran Islam harus dipandang sebagai sebuah karya
ijtihad dalam rangka memahami pesan Tuhan bukan sebagai firman itu
sendiri. Meminjam istilah Emha Ainun Najib, seorang budayawan religius
terkenal di Indonesia, bahwa sebaiknya kita memperlakukan setiap
gagasan pemikiran tidak dalam kerangka "budaya fatwa", melainkan
dalam budaya pencaharian dan budaya kreativitas.32 Kenyataan di atas
menunjukkan bahwa setiap topik pemikiran Islam termasuk pemikiran
Islam liberal pada hakikatnya merupakan ranah diskusi, kritik, komentar,
dan bukan sebaliknya sebagai tempat klaim kebenaran (truth claim) yang
hendak memutlakkan kebenaran diri sendiri.
2. Landasan Epistemologi Pemikiran Islam Liberal
Landasan epistemologi yang dibina dalam pemikiran Islam liberal
bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia senantiasa mengalami
perubahan baik dalam dunia ide, pandangan dunia maupun praktik
kehidupan. Manusia moden tidak lagi puas dengan satu interpretasi
tentang dunia, pada peringkat ini ia lebih baik menjadi subjek yang aktif
dari pada objek yang pasif. Ia menolak kebekuan dan yakin bahwa ia harus
ia harus menggunakan semua daya dan kemampuannya untuk mengubah
30
Budhy Munawar Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia., 2010. hal. XLI.
31
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. hal. 67.
32
Emha Ainun Najib. "Tarekat Nurcholishy" dalam Sukandi A.K, Prof. Dr. Nurcholish Madjid:
Jejak Pemikir dan Pembaharu Sampai Guru Bangsa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2003. hal. 5.

16
dunia, ia menilai segala sesuatu itu tidak final dan bisa dimenyesuaikan. 33
Sebaliknya manusia tradisional menganggap segala sesuatu telah
ditetapkan dan dikodratkan serta menganggap manusia manusia tidak
mungkin melakukan perubahan-perubahan melainkan hanya mempertahan
tradisi yang sedia ada.
Pemikiran Islam liberal memiliki landasan metodologis yang
berpunca pada keinginan besar untuk memberikan tafsiran Islam yang
sesuai dengan modeniti dan pemikiran post-modernism. Pemikiran Islam
liberal mencoba melakukan deconstruction terhadap segala pemikiran
yang sudah baku. Islam liberal sebagai sebuah model penafsiran baru atas
Islam mempunyai landasan epistemologi sebagai berikut:
1) Membuka Pintu Ijtihad pada Semua Dimensi Islam Kalangan
Islam liberal menegaskan bahwa aktiviti ijtihad di dalam
Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh untuk
menghidupkan Islam secara terus 29 menerus. Islam liberal
percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks- teks
keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam
boleh terus bertahan di tengah-tengah cabaran zaman.
Penutupan pintu ijtihad baik secara terhad maupun secara
keseluruhan merupakan ancaman terhadap Islam itu sendiri.
Penganut Islam liberal percaya bahwa ijtihad boleh bahkan
perlu dijalankan dalam semua segi baik dalam aspek muamalat,
ubudiyyat maupun ilahiyyat.34
Demikian halnya dengan berbagai disiplin keilmuan dalam
Islam, dalam pandangan Islam liberal semua ilmu yang masuk
dalam ilmu keislaman harus senantiasa dikembangkan secara
dinamis agar boleh menjawab pelbagai cabaran moderniti.
Dengan lain perkataan semua khazanah pemikiran Islam yang

33
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama.pent. Abdullah Ali. Bandung:
Mizan, 2000. hal. 75.
34
Abdul Moqsith Ghazali (Eds.), Ijitihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang
Dinamis. Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005. hal. Ix.

17
tampak telah menjadi benda-benda "arkeologis" menanti
saatnya untuk dibangun kembali (reactulization). Menurut
Fazlur Rahman adalah sebuah kedhaliman jika umat
mempertahan tradisi yang sudah lapuk yang sudah kehilangan
dinamika dan kesegarannya." Reaktualisasi dan penalaran
semula keilmuan dalam Islam ini diperlukan agar umat Islam
boleh bersaing di era modern yang penuh cabaran.
Bagaimanapun masuk dan ikut serta dalam abad modern
bukanlah persoalan alternatif, melainkan suatu keharusan
sejarah kemanusiaan (historical ought).35
Dengan demikian, menurut pandangan Islam liberal pintu
ijtihad dalam memahami ajaran Islam senantiasa terbuka.
Pandangan ini dimaksudkan agar umat Islam mahu
menggunakan potensi penalarannya untuk menjawab pelbagai
permasalah yang dihadapinya. Para pemikir Islam moden
senantiasa menyerukan pembaharuan yang kongkret di bidang
pendidikan, kemasyarakatan dan ekonomi dengan memakai
tema ijtihad. Dalam masalah ijtihad ini Islam liberal
mengambil posisi tengah antara dua kutup pemikiran yang
berbeza dalam mensikapi hasil ijtihad ulama masa lalu, iaitu
antara pandangan yang menempatkannya pada posisi doktrinal
yang membawa pada anggapan dan perlakuan sakral yang tidak
tersentuh oleh akal manusia di satu pihak, dan yang
menempatkan hasil ijtihad masa lalu sebagai produk yang tidak
perlu diperhitungkan sama sekali. Dengan kata lain Islam
liberal menempatkan hasil ijtihad ulama masa lampau sebagai
khazanah berharga namun ia telap boleh tersentuh ulang oleh
pemikiran manusia. 36

35
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta: UII Pres, 2004.
hal. 89-90.
36
Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992. hal. 458.

18
Dalam pemikiran Islam liberal, istilah ijtihad agaknya telah
dibebaskan dari definisi dan pengertian ilmu ushul figh yang
mapan. Oleh itu, dalam konteks kajian Islam liberal, ijtihad
sering diterjemahkan secara sederhana sebagai "telaah kritis",
"pemikiran yang inovatif, progresif, kreatif ”37 Dengan devinisi
seperti ini ijtihad boleh berupa ijtihad hukum atau ijtihad an
dinamis", dan “pengungkapan pendapat secara bebas intektual.
Ini tentunya berbeza dari pengertian konvensional, yang
dikemukakan oleh ulama ushul yang mentakrifkan bahwa
ijtihad itu adalah mencurahkan segala kesungguhan (tenaga dan
fikiran) untuk menemukan hukum syara'.
Pemahaman ijtihad sebagai "telaah kritis" umpamanya
dilakukan oleh Ali Syariati, Dr. Ahmad Hasan, seorang sarjana
Islam asal Pakistan, menyebutnya sebagai "pemikiran bebas"
atau "penalaran bebas terhadap hukum”.38 Dari sini memang
ada dua kecenderungan pemikiran mengenai makna dan
maksud ijtihad. Pertama, ijtihad diartikan sebagai pemikiran
yang benar-benar dan bersifat otonom, dalam arti tidak perlu
mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah mengenai hal-hal yang
bersifat "duniawi" kerana hal-hal itu memang tidak dapat
ditemukan referensinya secara jelas dalam Al-Quran dan
Sunnah.
Pandangan di atas berdasarkan asumsi bahwa Al-Quran dan
Sunnah memang hanya mengatur soal-soal keagamaan dan
kalaupun menyinggung soal- soal kemasyaratan atau
ketatanegaraan, maka sifat dan jumlahnya hanya terbatas.
Kalaupun Al-Qur'an juga membicarakan tentang hal-hal yang
bersifat duniawi, tetapi kemungkinan besar sudah tidak relevan.

37
Dawan Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan
Muslim. Bandung: Mizan, 1999, hal. 140.
38
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Penerjemah. Agah Garnadi. Bandung: Pustaka,
2001. hal. 18-24.

19
Misalnya, Nabi Muhammad SAW sendiri memang pernah
membina masyarakat dan negara, tetapi keteladanan nabi dalam
kepemerintahannya ini sangat terikat pada ruang dan waktu dan
kemungkinan besar tidak relevan lagi untuk memecahkan
masalah-masalah zaman sekarang yang kompleks. Pandangan
seperti ini dianut oleh pemikir sekular seperti Syaikh Ali Abdur
Raziq.

Kedua, pandangan yang melihat bahwa ijtihad bukan hanya


menyangkut soal-soal" di luar Al-Qur'an dan Sunnah".
Memang ada hal-hal yang tidak disebut secara langsung dalam
Al-Qur'an atau Sunnah, misalnya saja persoalan dadah dan
korupsi sebagai dampak negatif dari budaya moden. Dari itu
diperlukan sebuah upaya ijtihad yang boleh menumuskan nilai-
nilai moral atau etika yang bersifat mendasar dan boleh
dijadikan asas untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih
khas dan mendetil.
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam asas epistemologi
yang dibangun dalam pemikiran Islam liberal diyakini bahwa
ijtihad merupakan ruh dari gerakan pembaruan Islam. Dalam
pemikiran Islam liberal, semua hasil ijtihad masa lalu dianggap
sebagai sebuah kebenaran yang relatif bukanlah sebuah
kebenaran yang absolut. Dalam kaitan ini, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya Khalid Aboe al-Fadl pernah berkata
bahwa" meskipun kita mengagumi semua ijtihad ulama masa
lalu sebagai sebuah proses intelektual, tapi kita merasa pesimis
bahwa paradigma itu masih mampu menghadapi dan
memecahkan masalah-masalah dunia moden yang sudah jauh
berubah dari masa klasik dan abad pertengahan Islam ketika
ilmu fiqih itu dirumuskan".39 Oleh kerana itu Ijtihad merupakan

39
Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Islam Puritan, terj. Helmi Mustofa.

20
proses penalaran dari ajaran Islam sehingga dapat menjadikan
ajaran Islam reponsif dalam menjawab berbagai persoalan dan
cabaran moden yang dihadapi ummat. Untuk itu dalam wacana
pemikiran Islam liberal dikembangkan bahwa "pintu ijtihad
masih terbuka". Fazlur Rahman memahami ijtihad sebagai
sebuah upaya memahami makna suatu teks terkait atau
peristiwa masa lampau yang mempunyai suatu aturan, dan bagi
mengubah aturan tersebut sehingga sesuai dengan situasi baru
dan boleh memberikan solusi yang baru pula.40 Konsepsi umat
Islam tentang ijtihad ini sangal menentukan dinamika dan
corak pemikiran Islam yang terjadi di dunia Islam. Sejarah
mencatat bahwa kemunduran pemikiran Islam pada periode
per- tengahan salah satunya dikeranakan isu pintu ijtihad telah
tertutup.41
2) Meyakini Bahwa Kebenaran Penafsiran Agama Relatif
Sebagai kelanjutan dari keyakinan bahwa "Pintu Ijtihad
Masih terbuka", Islam liberal meyakini bahwa kebenaran dalam
penafsiran agama sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah upaya manusia tentunya terpengaruhi oleh
konteks baik pengaruhi oleh tempat maupun zaman di mana
penafsiran itu dilakukan. Dengan kata lain sebuah penafsiran
teks keagamaan bukanlah hadir dalam sebuah kehampaan
zaman dan ruang melainkan dipengaruhi oleh zaman dan
tempat, oleh itu kebenaran penafsiran itu bersifat relatif.
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia moden
harus berfikir progresif dan dinamis. Umat Islam tidak dapat
bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan kerana
itu, merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006. hal. 42-44.
40
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The
University of Chicago Press, 1982. hal. 1.
41
Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme. Yogyakarta: Tiara
wacana, 2000. hal. 3.

21
tidak benar dan bertentang dengan hukum rasional adalah
sebuah hal yang wajar. Meskipun di lain pihak juga ada
warisan yang masih dapat diterima dan dilanjutkan. Bersikap
moden (to be modern) adalah keharusan yang mutlak,
kemodenan (modernity) itu sendiri adalah relatif sifatnya,
keberananya terikat oleh ruang dan waktu.42 Sesuatu yang
sekarang dianggap sebagai sebuah kebenaran dan moden belum
tentu menjadi benar dan moden pada masa yang akan datang.
Bagaimanapun sesebuah hasil pemikiran mestilah dilihat
secara kontekstual sehingga menjadi hidup dan mempunyai
nilai. Hal ini dikeranakan perumusan sebuah hasil ijtihad tidak
lepas dari pengaruh subjektiviti mujtahid beserta lingkungan
yang melingkupinya. Oleh itu, Hasil ijtihad ini haruslah
ditempatkan pada posisinya secara porporsional sehingga
mampu memberikan insiprasi dari produk para pemikir
terdahulu yang telah memberikan jawaban terhadap
permasalahan atau cabaran zaman pada masanya.
Menurut pandangan ini kebenaran penafsiran keagamaan
adalah relatif yang kebenarannya sangat terhantung pada ruang
dan waktu. Oleh itu, dalam pemahaman ajaran agama secara
utuh senantiasa diperlukan usaha reinterpretasi ajaran agama
mengikut kebutuhan tempatan dan cabaran semasa. Tentu
sahaja pandangan yang seperti ini akan secara langsung
bertentangan dengan pandangan orang-orang tradisionalisme
yang cenderung otoritarian, yang berusaha mempertahankan
nilai-nilai yang baku.43 Kerana usaha reinterpretasi ajaran
agama ini pada asasnya menentang arus umum yang berlaku,
maka pemikiran Islam liberal akan selalu menimbulkan
kontroversi terutamanya dari kalangan tradisionalis.
42
Nurcholish Madjid Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung. Mizan, 2008.
43
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago. Jakarta:
Paramadina., 2000. hal. 137.

22
Bagi pemikir Islam liberal, untuk memahami agama tidak
cukup hanya dengan memahami sumber-sumber ajarannya
sahaja. Dalam pandangan mereka betapapun sumber ajarannya
satu dan transenden, ajaran itu akan senantiasa mengalami
proses aktualisasi ke dalam realitas sosial penganutnya.
Aktualisasi itu setidaknya dipengaruhi oleh kecenderungan
corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin. Dari
pandangan seperti ini pemikir Islam liberal berkeyakinan
bahwa sebuah hasil pemahaman terhadap ajaran Islam itu
bukan sebuah kebenaran absolut, melainkan sebuah kebenaran
yang sangat relatif dalam erti bahwa ia sangat berkaitan dengan
tempat dan masa. Paham kaum Islam liberal yang menganggap
penafsiran ajaran agama relatif ini tentunya berbeda dengan
pemikiran Islam tradisionalis.
Dalam hubungan ini, Zamakhsyari Dhofier menjelaskan
bahwa yang dimaksudkan dengan pemikiran Islam tradisional
adalah pikiran-pikiran keislaman yang masih terikat kuat
dengan pemikiran ulama figh, hadis, tasawuf, tafsir dan tauhid,
yang hidup antara abad ke tujuh hinggalah abad ke tiga belas. 44
Secara umum kalangan tradisionlis memiliki tiga visi asas
dalam paham keagamaan. Pertama, dalam bidang hukum
mereka menganut ajaran salah satu mazhab empat, meskipun
dalam praktek sangat kuat berpegang pada mazhab syafi'i.
Kedua, dalam bidang tauhid, mereka menganut paham yang
dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-
Maturidi. Ketiga, dalam bidang akhlah dan tasawuf berpegang
pada ajaran Abu Qasim Junaid al- Baghdadi dan Iman Al-
Ghazali.45 Tradisionalisme ini mempunyai ciri yang ber- sifat
ideologis yang kemudian mempengaruhi seluruh tingkah laku

44
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982. hal.1.
45
A.Muhith Muzadi, NU dan Fikih Tradisional. Yogyakarta: LKPPSM, 1994, hal. 29.

23
keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, ia itu ketika
mereka memahami konsep Ahlussunnah wal Jamaah secara
ketat dan menjadikannya sebagai ideologi tandingan terhadap
pemikiran keagamaan yang lain termasuklah pemikiran Islam
liberal.
3) Memihak Kepada Kaum Minoritas dan Tertindas
Islam liberal selalu berpijak pada panafsiran Islam yang
memihak keapada kaum minoritas yang tertindas dan
termarginalkan. Dalam pandangan Islam liberal, semangat
Islam selalu menginginkan perlawanan terhadap setiap struktur
sosial-politik yang melakukan praktek ketidakadilan atas
minoritas. Minoritas yang dimaksudkan disini adalah minoritas
agama, puak, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi. Oleh
itu salah satu landasan liberalisme Islam adalah pembelaan
manusia dari ketertindasan kaum minoritas yang dilakukan
oleh kaum majoriti. Pembaharu Islam liberal mengklaim bahwa
agama Islam adalah pembebas manusia dari ketertindasan dan
penghambaaan terhadap banyak Tuhan selain Allah. Oleh
kerana itu mereka manyatakan bahwa semangat liberalisme itu
dengan sendirinya inheran di dalam Islam.46
Dalam konteks seperti disebutkan di atas, maka oleh
sebahagia kelompok mengartikan Islam itu sebagai bahagian
dari teologi Pembebasan (liberation theology). Pada tahun
1980-an misalnya, seorang pemikir Mesir, Hassan Hanafi,
mengajukan konsep yang dia sebut "kiri Islam". Salah satu
intinya adalah bahwa Islam is the liberation religion, Islam
adalah agama yang membebaskan. Tumpuan utamanya adalah
pembebasan kaum Muslim dan kaum tertindas, termasuk kaum
minoritas.

46
Luthfi Assyaukanie, "Islam dan Liberalisme" dalam Hamid Basyaib (Eds.) Membela Kebebasan
Islam Percakapan tentang Demokrasi Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006. hal. 248.

24
Dalam perkembangan Islam di Indonesia, pembelaan
terhadap kaum minoritas ini nampak jelas dalam pemikiran
Abdurrahman Wahid. Beliau sering melakukan pembelaan
terhadap sejumlah kes yang menyangkut hak asasi manusia
seperti hak kaum minoritas, penghormatan tehadap non
muslim, hingga kepada kes yang ia pandang sebagai
ketidakadilan, termasuk yang dilakukan sejumlah kelompok
kaum muslim terhadap saudara sesama muslim lainnya.
Misalnya, Abdurrahman Wahid tanpa ragu membela Ulil
Abshar Abdala, intelektual NU yang juga tokoh muda "Islam
Liberal" sebagaimana diketahui bahwa sejumlah ulama atau
aktifis Islam tertentu yang menilai bahwa pemikiran Ulil
Abshar Abdala telah terpesong dan keluar dari Islam, oleh itu
ia layak dihukum mati. Namun menurut Gusdur, perbedaan
pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan
ancaman atau kekerasan. Oleh kerana itu ia mengkritik keras
mereka yang dengan mudah melayangkan tuduhan berat
kepada Ulil Absar dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati
itu sama sekali tidak berasas.47
Keberpihakan kepada kelompok minoritas dan kaum
tertidas ini dalam pemikiran Islam liberal terlihat dalam bentuk
pembelaan terhadap hak-hak penganut agama minoritas
tertentu dalam sesebuah negara. Kerana mengganggab bahwa
Islam adalah agama yang universal yang selalu melindungi dan
mem- berikan rasa kedamaian dan keadilan. Kedatangan Islam
adalah untuk merubah status quo serta memerangi penindasaan
dalam berbagai bentuknya terhadap manusia. Masyarakat yang
sebahagian anggotanya mengeksploitasi sebahagian anggota

47
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyakat Negara Demokrasi.
Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal. xiii.

25
lainnya yang lemah dan tertindas tidak dapat disebut sebagai
masyarakat Islam (Islamic society). 48
Pembelaan terhadap kelompok minoritas ini sering
diperjuangkan oleh tokoh muslim seperti Hassan Hanafi
dengan konsep teologi revolusioner yang disebutnya kiri Islam
(al-Yasar al- Islami),49 Asghar Ali Engineer dengan Teologi
Pembebasan dan lain-lain. Mereka meyakini bahwa secara
normatif, pembebasan seseorang atau sekelompok orang dari
derita kemiskinan, kebodohan dan ancaman ketertindasan serta
perlakuan tidak adil adalah tujuan pokok pewahyuan ajaran
Islam.50 Islam berkepentingan membebebaskan kelompok
minoritas dan kelompok tertindas dari penderitaan hidup baik
terhadap kaum muslim maupun nonmuslim. Kelanjutan dari
prinsip ini menjadikan isu toleransi, pluralisme agama dan
pembinaan masyarakat madani menjadi wacana utama dalam
pemikiran Islam liberal.

Azas keberpihakan kepada kelompok tertindas ini juga


terlihat dari wacana pembelaan terhadap hak-hak perempuan
dalam kajian Islam liberal. Kalangan Islam liberal menilai
bahwa selama ini dengan mengatasnamakan agama, kaum
perempuan sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari
kaum lelaki. Kaum perempuan sering tidak mendapatkan hak
yang sama dengan kaum laki-laki baik di rumah tangga
maupun dalam ranah publik dan pemerintahan. Oleh kerana itu

48
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006. hal. 7.
49
Kiri Islam yang diperkenalkan oleh Hassan Hanafi merupakan sebuah konsep yang dikaitkan
dengan usaha dunia Islam dalam menghadapi tiga macam ancaman: Imprealisme, zionisme dan
kapitalisme secara eksternal, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan secara internal.lihat,
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Posmodernisme Telaah Kritis Pemikiran
Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2003. hal. 86.
50
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl afin
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. hal. 1.

26
kalangan Islam liberal menjadikan isu gender atau feminisme
ini sebagai salah satu wacana dan aksinya.
Untuk kepentingan ini kaum Islam liberal melakukan
penafsiran terhadap Al-Qur'an yang mengungkapkan ajaran-
ajaran toleransi, sambil mendiamkan yang mendiamkan ayat-
ayat yang mencerminkan toleransi, cenderung mendorong
tindakan-tindakan kekerasan dan bertentangan dengan hak-hak
asasi perempuan misalnya pandangan patriarkhi dalam Al-
Qur'an.
4) Mengutamakan Semangat Religio Etik daripada Makna Literal
Teks
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam liberal adalah
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio etik Quran
dan Sunnah Nabi,51 bukan menafsirkan Islam semata-mata
berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran literal hanya
akan melumpuhkan Islam. Sebaliknya dengan panafsiran yang
didasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan
berkembang secara kreatif menjadi bahagian dari peradaban
kemanusiaan universal.
Dalam pandangan Islam liberal, dinyatakan bahwa Islam
tidaklah hadir dalam bentuk konsepnya yang lengkap sekali
jadi, melainkan melalu proses yang bertahap. Islam hadir ke
dunia dengan kitab suci dan yang turun secara bertahapan
bukan tanpa konteks sosial historis. Oleh sebab itulah kita
mengenal asbabun nuzul dan asbabul wurud. Dengan demikian
hal yang paling penting dan universal dari al-Qur'an adalah
pesan moral yang dijarkan di dalamnya bukan makna teks
secara literal. Pesan moral ini pula yang dianggap paling sesuai
dengan tujuan pewahyuan (maqasid al syariah).
51
Model penafsiran yang berdasarkan semangat religio etik ini umpamanya dapat dilihat dala
metodologi tafsir yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman yang disebuatnya dengan double
movement (dua gerakan ganda).

27
Dalam memandang dan memperlakukan teks agama,
kalangan Islam liberal mempunyai ciri khas, yang menjadikan
mereka berbeza secara metodologi dengan kalangan lain.
Mereka memandang bahwa teks sebagai warisan (al-turats)
yang hidup dan dinamis dan menjadi rujukan. Pandangan
seperti ini, misalnya dipresentasikan oleh Muhammad Arkoun,
Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid dan lain-
lain. Bagi mereka teks merupakan inspirasi untuk melakukan
adaptasi. Harun Nasution, seorang liberalis Islam yang lain
mengatakan bahwa hanya sedikit sahaja teks-teks yang sudah
qath'i. Selebihnya merupakan wilayah nalar untuk ditafsirkan.
Dalam pandangan Islam liberal, merujuk kepada teks tetap
penting tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita boleh
memahami pesan-pesan moral dari ajaran Islam itu sendiri.
Memahami pesan-pesan moral yang universal seperti konsep
keadilan, kemakmuran, dan etos kerja lebih penting daripada
sekedar memahami teks secara sempit. Oleh kerananya
menurut kaum Islam liberal ini melakukan interpretasi atau
penafsiran tidak boleh dianggap meralatifkan kebenaran
wahyu, melainkan sebagai upaya memahami pesan moral dari
agama itu sendiri.
Dari semangat yang mengutama religio etik ini umpamanya
dapat dilihat dalam metodologi tafsir yang dikemukakan oleh
Fazlur Rahman yang disebutnya dengan double movement (dua
gerakan ganda). Proses penafsiran yang diusulkan oleh Fazlur
Rahman dalam rumusan metodologi tafsirnya atas suatu
gerakan ganda: dari situasi sekarang ke masa Al-Quran
diturunkan, dan kembali lagi kemasa kini.52 Menurutnya yang

52
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Terj. Taufik Adnan
Amal. Bandung: Mizan, 1994. hal.25

28
paling utama dalam menafsikan Al-Quran kita harus
menangkap pesan moral yang ada di dalamnya.
5) Menolak Formalisasi Syariat Islam dan Pembentukan Negara
Islam
Islam liberal menolak formalisasi syariat Islam dan
pembentukan sebuah negara Islam. Bagi penganut Islam liberal
memberlakukan syariat Islam dalam sebuah negara bukanlah
hal yang perlu diperjuangkan, yang penting adalah bagaimana
secara substansi ajaran Islam itu boleh dilaksanakan oleh setiap
individu. Permasalahan agama bukanlah wilayah yang harus
diurus oleh pemerintah, oleh kerana itu pelaksanaan syariat
Islam sebagai sebuah sistem hukum tidak diperlukan.
Pemikiran seperti di atas dapat diamati dari pemikiran Ali
Abd al-Raziq yang mengatakan bahwa syariah tidak
menyebutkan bentuk khas dari negara. Kerana itu penerapan
syariat Islam bukanlah keharusan bahkan membolehkan
pembentukan domokrasi-demokrasi liberal. Islam menyerahkan
bentuk pemerintahan kepada temuan pemikiran manusia. 53

Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan bahwa, secara


normatif baik dalam al-Quran maupun Hadits tidak ditemukan
perintah yang mullak untuk mendirikan negara Islam. Bahkan
sama sekali tidak didapati istilah itu.54
Dalam konteks ini salah satu wacana Islam liberal adalah
tentang negara sekular. Dalam konsep negara sekular ini
menyatakan bahwa negara tidak turut campur tangan dalam
urusan agama. Bagi mereka negara harus netral dari campur
tangan terhadap agama. Berazaskan pada kenyataan di atas
Islam liberal menolak. penerapan syariat Islam oleh nergara,

53
Charles Kurzman (ed.) Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-Isu
Global. Jakarta: Paramadina, 2003. hal. xxviii
54
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan Misi Misi Baru
Islam Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hal. 148.

29
kerana negara tidak berhak mencampuri urusan keyakinan
masyarakatnya.55 Pemikiran Islam liberal ingin melepaskan diri
dari kekuasaan-kekuasaan kesultanan yang menggunakankan
simbol-simbol keagamaan.56 Mereka merasa khawatir kalau
agama dipergunakan untuk kepentingan politik akan terjadi
penyimpangan dalam penafsiran agama. Kalangan Islam liberal
berpadangan yang berorientasi sekuler, yaitu mem- bedakan
antara masalah iman dan ilmu pengetahuan dan antara agama
dan negara. Hal ini diasaskan pada kenyataan bahwa
masyarakat muslim di seluruh dunia itu hidup dalam
lingkungan masyarakat yang majemuk dengan kepel-
bagaiannya. Justru itu, kalangan Islam liberal mengembangkan
paham pluralisme. Pluralisme dalam hal ini tidak bisa
didefinisikan sebagai pandangan yang mengganggap semua
agama itu sama, bahkan pluralisme mengakui kepelbagaian
agama sebagai sunnatullah.57
Asas pluralisme perlu dikembangkan agar kepelbagaian
(pluraliti) tidak menjadi sumber konflik dalam arti perlu saling
penghargaan terhadap identiti yang berbeza. Dalam kaitan
dengan konsep negara sekular ini dapat ditemukan dalam
pemikiran Abdullahi Ahmed An-Naim yang secara tegas
menolak penerapan syariat Islam yang di bawah kekuasaan
negara. Menurutnya, sebagai ajaran yang suci syarial haruslah
dilaksanakan oleh setiap muslim secara suka rela, kerana
penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, dapat
menyebabkan prinsip- prinsip syariah kehilangan otoritas dan
nilai kesucianya. Oleh kerana itu, negara secara kelembagaan

55
Adian Husaini, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al- kautsar.,
2009, hal. 134.
56
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban
Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003. hal.115.
57
Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban, Jil. 3. Bandung: Mizan, 2006. hal. 2704.

30
mestilah dipisahkan dari Islam agar syariah boleh berperan
positif dalam mencerahkan bagi kehidupan Islam sendiri.58
Lebih lanjut Abdullahi Ahmed An-Naim ingin merombak
cara berfikir umat Islam terhadap syariat. Baginya syariat
hanyalah ciptaan manusia sehingga ia bukanlah sesuatu yang
suci. Pelaksanaan hukum Islam hanya memberi impak counter
produktive. Hukum-hukum Islam bertentangan dengan dengan
Hak Asasi Manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Pemikiran An-Naim ini terpengaruh kuat dengan
orientalis Barat yang bencikan Islam iaitu antaranya Goldziher,
Schacht dan Coulsan yang telah lama menyebut bahwa syariat
Islam adalah hasil pemikiran fiqaha selama 300 tahun.
Argementasi inilah yang dijadikan oleh kumpulan Islam liberal
dalam menolak penerapan syariat Islam dan konsep negara
Islam.
Bagi pendapat Islam liberal, tidak ada kemestian untuk
mendirikan sebuah negara Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan
Hadits tidak pernah mengisyaratkan secara tegas tentang
keharusan adanya negara Islam. Bagi kalangan pemikir liberal
yang terpenting adalah bahwa secara substasial kepemimpinan
dalam Islam mesti mencerminkan keadilan, kejujuran,
kedamaian dan keselamatan bagi semua. Dalam konteks Islam
liberal di Indonesia pendapat ini dapat ditemukan dalam
pemikiran Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan
Effendy dan Ahmad Syafi'i Ma'arif Islam liberal
memperjuangkan keyakinan bahwa kekuasaan keagamaan dan
Politik harus dipisahkan. Islam liberal menentang negara
agama (teokrasi). Islam liberal yakin bahwa bentuk negara

58
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah.
Bandung: Mizan,2007. hal.27.

31
yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara
yang memisahkan kedua wewenang tersebut.59

C. Islam Struktural dan Islam Kultural


Dinamika umat muslim yang berkembang memunculkan berbagai
cara atau pendekatan untuk dapat menyukseskan misi dakwah. Dari
dinamika yang berkembang muncul lah istilah Islam struktural dan Islam
kultural. Dua buah istilah tersebut lahir sebagai dampak pendekatan yang
berbeda.
a. Islam Struktural
Islam struktural adalah pendekatan dakwah di mana dalam
pendekatan ini memandang proses islamisasi dilakukan secara
legal formal melalui struktur kelembagaan. Karena proses
islamisasi ini dilakukan secara legal formal maka untuk
melakukannya membutuhkan bantuan dari berbagai perangkat
sturktural. Jika kita berbicara dalam tataran negara, maka
perangkat tersebut adalah parlemen. Di mana proses islamisi
dimulai dari dalam tubuh parlemen dengan harapan jika proses ini
berjalan dengan baik maka akan dihasilkan keputusan atau undang-
undang yang mendukung tegaknya syariat Islam.

Pemikiran ini kemudian melahirkan pemikiran pentingnya


masuk ke dalam ruang kekuasaan melalui partai politik, merebut
berbagai posisi politik dalam lembaga legislatif dan eksekutif.
Perlu dicatat, dalam eporia politik ini, institusi yudikatif hampir
sepi dari sasaran rebutan kekuasaan. Ini bisa jadi menunjukkan
lemahnya penguasaan bidang hukum dari kalangan pendukung
Islam politik. Mereka lebih menguasai persoalan-persoalan
adminsitratif dan mobilisasi massa. Capaian akhirnya, tentu saja

59
Idris bin Zakaria, Liberalisme/Pluralisme. Pulau Pinang: Jabatan Mufti Negeri Pulau
Pinang., 2006. hal.7.

32
institusionalisasi politik Islam, yang dianggap sebagai jalan
mujarab memperbaiki sistem politik yang korup dan mengabaikan
kepentingan Islam.
Perjalanan perjuangan Islam Sturktural sendiri di mulai dari
awal merdekanya Republik Indonesia ini. Di mana perjuangan
tersebut secara politik kenegaraaan dimulai melalui partai
Masyumi. Yang kemudian dengan berbagai dinamika partai Islam
berkembang menjadi beberapa partai seperti Partai Bulan Bintang,
Partai Kebangkitan Bangsa, PPP, dan PKS.
Gerakan Islam politik didasari pada pemikiran bagaimana
Islam merespon perubahan politik di Indonesia. Menguatnya
tuntutan kebebasan politik paruh kedua tahun 90-an dengan
ditandai turunnya Soeharto akibat deraan protes mahasiswa dan
massa rakyat yang terus menerus. Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) yang digagas BJ Habibie pada tahun 1990, di
mana Dawam Raharja dan Adi Sasono, turut bergabung di
dalamnya, turut ambil bagian dalam merayakan peluang
terbukanya ruang politik ini.
Dalam perjalanan partai Islam dalam kancah perpolitikan
Indonesia, partai Islam ini dari periode ke periode bukannya
mengalami perkembangan yang terjadi justru sebaliknya yaitu
kemunduran. Hal ini terlihat dalam perolehan suara yang diperoleh
oleh masing-masing partai Islam dari periode pemilihan satu ke
pemilihan lain semakin menurun sehingga menyebabkan perolehan
kursi pada parlemen sedikit dan tidak bisa memperjuangkan syariat
Islam secara maksimal.
Selanjutnya yang disebut dengan Islam Kultural adalah
adalah sebuah upaya pendekatan dakwah tidak melalui struktur
legal formal. Melainkan proses islamisasi secara kultural yaitu
proses dakwah dengan mengakulturasi budaya lokal. Diharapkan
dengan melalui pendekataan budaya ini akan mampu

33
menggerakkan perubahan masyarakat (the society aimed
movement).
Peyebaran Islam ke berbagai wilayah di dunia ini,
menyebabkan corak dan varian Islam memiliki kekhasan dan
keunikan tersendiri dari pada Islam yang berkembang di Jazirah
Arab. Hal ini dapat dipahami karena setiap agama, tak terkecuali
Islam, tidak bisa lepas dari realitas di mana ia berada. Islam
bukanlah agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya.
Antara Islam dan realiatas, meniscayakan adaya dialog yang terus
berlangsung secara dinamis.60

b. Islam Kultural
Kemunculan Islam kultural dapat disebut sebagai langkah
strategis untuk menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam
dan umat Islam. Rusli Karim menyebutkan ada empat faktor yang
mendorong kemunculan Islam kultural sebagai suatu gerakan
pembaruan di Indonesia. Pertama, kemerdekaan yang dicapai
bangsa Indonesia pada tahun 1945 telah menghilangkan sekat-
sekat bagi umat Islam sehingga mereka mempunyai kesempatan
yang sama dengan warga negara lainnya. Kedua, sebagai hasil dari
sosialisasi nilai modern melalui “pendidikan umum” telah
“membuka mata” umat Islam untuk lebih realistik dalam
menghadapi realitas kehidupan sekarang ini. Ketiga, sebagai
kesinambungan dari pencapaian pembaruan yang telah dirintis oleh
kelompok modernis sepanjang abad ke-20. Keempat, sebagai
realisasi dari tanggung jawab agama yang bertumpu kepada iman
yang benar dan pemahaman yang cukup terhadap berbagai aspek
ajaran Islam.

60
Masnun Thahir, ‖Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Sasak; Mengarifi Fiqih Islam Wetu
Telu‖ dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Volume 06, Nomor 01, 2007. h.
174

34
Bila ditelisik lebih jauh, perkembangan Islam kultural di
Indonesia merupakan keniscayaan sejarah. Sejak awal
perkembangannya, Islam Indonesia adalah Islam pribumi yang
disebarkan oleh Walisongo dan para pengikutnya dengan
melakukan transformasi kultural dalam masyarakat. Islam dan
tradisi tidak ditempatkan dalam posisi yang berhadap-hadapan, tapi
didudukkan dalam kerangaka dialog kreatif, di mana diharapkan
terjadi transformasi di dalamnya. Proses tranformasi kultural
tersebut pada gilirannya menghasilkan perpaduan antara dua
entitas: Islam dan Budaya lokal. Perpaduan inilah yang melahirkan
tradisi-tradisi Islami yang hingga saat ini masih dipraktekkan
dalam berbagai komunitas Islam kultural yang ada di Indonesia.
Dalam perjalanannya, baik pendakatan yang disebut Islam
struktural maupun Islam Kultural melalui berbagai macam
dinamika perkembangan. Dakwah secara kultural atau melalui
sebuah proses infiltrasi melalui struktur lembaga yang jelas
menemui hambatan yang berbeda dari hambatan dakwah kultural.
Seakan dakwah kultural dan dakwah struktural adalah sesuatu yang
tepisah. Dan inilah yang menjadi masalah tersendiri bagi kedua
pendekatan dakwah tersebut. Pola pendekatan dakwah baik kultur
maupun struktur menjadi parsial dan sering diparadokskan.
Ketika dua pendekatan ini dipandang sebagai hal parsial,
maka hasil yang diperoleh dari proses dakwah pun tidak maskimal.
Pendekatan struktural membutuhkan pendekatan struktural agar
dalam proses pendekatan tersbut dapat berjalan dengan tanpa
adanya konflik. Sebaliknya islam kultural juga memerlurkan
pendekatan struktural agar apa yang dilakukan melalui hal ini
dapat diakui secara resmi.
Islam kultural di Indonesia yang didengung-dengungkan di
era orde-baru, terbukti malah memberangus masyarakat Islam
sendiri. Sebetulnya itu bermula dari era kompeni dulu. Snouck

35
Hugronje sebagai misionaris yang masuk ke tunas-tunas budaya
islam di tanah air menemukan cara jitu untuk memberangus
semangat jihad di tanah air ini. Ia memisahkan kehidupan Islam
dengan politik, ekonomi, pendidikan dan militer. Biarlah ulama-
ulama berdzikir di masjid. Kitab suci tidak diperkenankan
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan maksud
memudarkan semangat tafahum dan beramal dari Quran.
Sebenarnya yang di atas itu adalah penyimpangan Islam
kultural. Mulanya sungguh mulia gagasan tersebut. Pemerintah
yang islami (Masyumi) jika dihadapkan dengan masyarakat yang
belum siap tentu akan menghasilkan jurang yang amat lebar. Maka,
kata Ust. Anis Matta, solusinya adalah sebuah rekayasa ulang
sosiologis yang membawa islam langsung ke tengah pusaran
budaya mayarakat, membimbing umat tumbuh menjadi kekuatan
sosial yang baru sehingga nantinya, idealnya, akan hadirlah
pemimpin Islami yang kompeten yang muncul secara natural dari
komunitas itu (An-Nur: 55).
Nuansa kesejukan Islam kultural dengan segera mengubah
perspektif masyarakat dan pemerintahan yang heterogen akan
Islam. Ia lebih nampak bersahabat dibanding Masyumi yang
terang-terangan dimusuhi segelintir elit politik lain. Hanya saja, ia
terbuai oleh zaman yang terus bergulir, seakan Islam kultural
berluang lingkup sempit, sesempit sebuah masjid di tengah-tengah
megaloman kota metropolitan. Sehingga pendekatan secara
kultural ini serasa percuma atau dipandang belum cukup.
Islam struktural sendiri tidak bisa bertahan lama tanpa ada
rekayasa sosial di tengah masyarakat. Kebesaran Islam di
Andalusia selama 6 abad harus pudar oleh kegagalan Islam
struktural. Sebuah kerajaan dengan ideologi Islam namun
masyarakat yang plural dimana mereka tidak memiliki aqidah yang
kuat sehingga mereka rapuh saat terjadi pemberontakan oleh umat

36
kristiani. Maka terjadilah pembantaian besar-besaran. Pilihannya
hanya syahid atau murtad.
Dibutuhkan political will dari pemimpin Islam. Dibutuhkan
kekuatan Islam Struktural yang kuat, yang bahkan memiliki
legitimasi di mata dunia. Misal, Negara Islam akan berani
melakukan boikot ekonomi terhadap Israel dan AS, memutuskan
hubungan diplomatik, dan keputusan politik lainnya. Islam sebagai
political will tidak akan ada manfaatnya bagi masyarakat yang
belum siap, di sana lah Islam cultural berperan sebagai
koplementer.
“Politik dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Demikian juga perjuangan melalui kedua jalur itu.
Setiap kali kita memilih salah satunya saja, itu sama artinya dengan
menafikkan sebuah faktor penentu yang tidak mungkin bisa
dinafikkan. Islam, sebagai sistem yang integral, tidak pernah
memisahkan keduanya. Rosul membawa risalah ini dengan
pendekatan keduanya sekaligus.
Bisakah kita mengatakan bahwa perjuangan di Mekkah
hanya sekadar perjuangan cultural membangun aqidah saja,
padahal tokoh-tokoh Quraisy yang direkrut Nabi adalah tokoh-
tokoh kunci di perpolitikkan Mekkah (Daarun Nadwah)?
Sebaliknya, biasakah kita mengatakan bahwa perjuangan di
Madinah seluruhnya bersifat politik dan bernegara padahal ayat-
ayat aqidah masih saja turun di samping perintah-perntah ibadah
haji, zakat dan puasa?
Kesalahan terbesar yang kita lakukan bukan hanya terletak
padadampak yang ditimbulkan oleh pendekatan parsial, tapi juga
terutama kerapuhan system pemikiran kita.
Kita membawa sebuah misi besar yang berbenturan dengan
realitas yang kompleks dengan akal yang sangat terbatsa dan

37
sempit, yang biasa melakukan penyederhanaan yang berlebihan
atau generalisasi yang salah kaprah.” (Anis Matta)
Pemikiran parsial akan menghasilkan gerakan yang parsial
pula. Padahal Islam bukanlah agama yang parsial melainkan agama
yang menyeluruh, integral. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
dari berbagai sisi baik secara kultural maupun secara struktural
sehingga didapatkan hasil maksimal untuk dakwah yang
dilakukan.61

61
Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 196

38
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah Neo-modernisme/ Post-modernisme pertama kali muncul
pada tahun1870-an oleh seorang seniman asal Inggris yang bernama John
Watkins Chapman.12 Kemudian pada tahun 1917, kehadiran Rudolf
Pannwitz yang merupakan seorang filsuf Jerman telah mendeskripsikan
istilah ‘nihilisme’ sebagai budaya Barat yang muncul di abad 20. Lalu
pada tahun 1926, Bernard Iddings Bell muncul sebagai seorang tokoh
yang meyakini adanya nilai-nilai yang melebihi dua ciri era modern di
Barat, yaitu liberalism dan totalitarianism. Menurutnya, kedua aliran
sekuler tersebut tidak mampu meningkatkan kehidupan manusia secara
signifikan, tetapi menjadikan lubang kesengsaraan. Istilah Islam liberal
mula diperkenalkan oleh beberapa penulis Barat seperti Leonard Binder,
Charles Kurzman dan Greg Barton. Binder meng- gunakan istilah "Islamic
liberalism". Sedangkan Kurzman dan Barton memakai istilah Islam
Liberal.
Islam liberal kian mendapat perhatian publik setelah Paramadina
menerbitkan edisi Indonesia buku Charles Kurzman yang berjudul, Liberal
Islam. Padahal mereka inilah yang boleh dikategorikan sabagai kelompok
Islam yang mempertahankan tradisi liberal dalam Islam. Mereka inilah
menurut Kurzman yang disebut Islam liberal.Arah dari gerakan Pemikiran
Islam liberal adalah untuk melakukan dua hal penting: pertama,
pembaharuan pemahaman keislaman dalam rangka menyelaraskan

39
pemahaman keagamaan dengan perkembangan semasa. Untuk itu, mereka
menyedari bahwa diperlukan sebuah formulasi "fiqih baru" yang mampu
menjawab problem kemanusiaan dewasa ini.
Kedua, mensosialisasikan informasi yang benar tentang Islam. Hal
ini mereka lakukan untuk melakukan pelurusan terhadap citra Islam,
kerana selama ini banyak suara atas nama Islam dipresentasikan oleh
kelompok "Islam fundamental dan radikal". Umat Islam secara
keseluruhan mendapat stigma kerana citra Islam radikal ini. Dengan kata
lain umat Islam dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi
radikalisme, bahkan terorisme. Islam diidentikan dengan seluruh tindakan
yang bernuansa kekerasan. Karena itulah pemikir Islam liberal berusaha
menghadirkan wajah Islam progresif dalam arti Islam yang penuh dengan
kedamaian, toleran, moderat, liberal dan berkeadaban.

B. Saran
Penulis menyadari bahwasanya makalah diatas masih memiliki banyak
kesalahan dan kekurangan, baik kesalahan penulisan maupun kekurangan
referensi. Oleh karena itu, penulis berharap agar pembaca dapat memberikan
kritik dan saran demi menjadikan makalah ini lebih baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

Ilham, Ironi, (2018). Paradigma Postmodernisme: Solusi untuk Kehidupan


Sosial ?. Jurnal Sosiologi USK, Volume 12, No.1, Juni 6.
Featherstone, Mike,(2001) PostModernisme dan Budaya Konsumen, Terj. Misbah
Zulfa Elizabeth, Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Ilham Ironi, Paradigma Post-Modernisme
Faetherstone Mike, Postmodernisme dan Budaya
A’la Abdul, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat,
2009), Ahmad Amir Aziz, Neo-modernisme
Lihat Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook, New York: Oxford
University Press, 1998.
Komaruddin Hidayal Komaruddin, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi: Doktrin
dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina,
2003.
Qodir Zuly. 2003. Islam Liberal: Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Rahardjo Dawan, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta:
Kencana, 2010.
Azra Azyumardi, Konflik Baru Antar peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. hal. 113.
Husaini Adian "Dari Yahudi Liberal ke Islam Liberal" dalam pengantar buku
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta:
Hujjah Press, 2007.

41
Arifin Syamsul. Islam Indonesia: Sinergi Membangun Civil Islam dalam Bingkai
Keadaban Demokrasi, Malang: UMM Press, 2003.
Gaus Ahmad " Islam Progresif: Wacana Pasca Arus Utama dalam Jurnal
Tashwirul Afkar. Edisi, No. 22. Tahun 2007.
Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010.
Binder Leonard, Islamic Liberalisme: Critique of Development Ideologis.
Chicago: The University of Chicago Press, 1988.
Juhaya S. Praja, Islam, Globalisasi dan Kontra Terorisme: Islam Pasca
Tragedi:911. Bandung: Kaki Langit, 2004.
Arkoun Muhammad, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Qodir Zuly. Islam Liberal: Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam Indonesia,
Yogyakarta: Purtaka Pelajar, 2003.
Budhy Muanawar Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban, Jil. 2. Bandung: Mizan, 2006.
Rahardjo Dawam dalam kata pengantar buku Budhy Munawar Rachman..
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2010.
Rahman Fazlur. Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of
Islamic Research, 1965.
A. Qodri Azizy. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapam
SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Budhy Munawar Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia., 2010.
Abdurrahman Moeslim, Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

42
Emha Ainun Najib. "Tarekat Nurcholishy" dalam Sukandi A.K, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid: Jejak Pemikir dan Pembaharu Sampai Guru Bangsa.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2003.
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama.pent. Abdullah
Ali. Bandung: Mizan, 2000.
Abdul Moqsith Ghazali (Eds.), Ijitihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan
Keberagamaan yang Dinamis. Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal,
2005.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta:
UII Pres, 2004.
Madjid Nucholish, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Rahardjo Dawan, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1999.
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Penerjemah. Agah Garnadi
Bandung: Pustaka, 2001.
Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Islam Puritan, terj. Helmi Mustofa.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Rahman Fazlur Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme.
Yogyakarta: Tiara wacana, 2000.
Nurcholish Madjid Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung. Mizan,
2008.
Kartanegara Mulyadhi, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago.
Jakarta: Paramadina., 2000.
Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.
A.Muhith Muzadi, NU dan Fikih Tradisional. Yogyakarta: LKPPSM, 1994
Assyaukanie Luthfi, "Islam dan Liberalisme" dalam Hamid Basyaib (Eds.)
Membela Kebebasan Islam Percakapan tentang Demokrasi Islam.
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

43
Wahid Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyakat Negara
Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. terj. Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl
afin Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Rahman Fazlur, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Terj. Taufik
Adnan Amal. Bandung: Mizan, 1994.
Kurzman Charles (ed.) Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer
tentang Isu-Isu Global. Jakarta: Paramadina, 2003.
Idrus Junaidi, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan
Misi Misi Baru Islam Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Husaini Adian, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-
kautsar., 2009.
Hidayat Komaruddin, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi: Doktrin dan
Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003.
Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban, Jil. 3. Bandung: Mizan, 2006.
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah. Bandung: Mizan,2007.
Idris bin Zakaria, Liberalisme/Pluralisme. Pulau Pinang: Jabatan Mufti Negeri
Pulau Pinang., 2006.
Thahir Masnun, ‖Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Sasak; Mengarifi Fiqih
Islam Wetu Telu‖ dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Penelitian Islam
Indonesia, Volume 06, Nomor 01, 2007.
Karim, Negara dan Peminggiran.

44

Anda mungkin juga menyukai