Anda di halaman 1dari 18

PAKET 5

SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN HADIS

Pendahuluan

Perkuliahan pada paket ini difokuskan pada konsep sejarah


perkemangan penulisan hadis Dalam Paket 2 ini, mahasiswa akan
mengkaji sejarah perkembangan penulisan hadis pada masa Nabi
saw dan pada masa sahabat dan tabiin..

Sebelum perkuliahan berlangsung, dosen menampilkan slide


bagan sejarah perkembangan penulisa hadis. Mahasiswa juga diberi
tugas untuk membaca uraian materi dan mendiskusikannya dengan
panduan lembar kegiatan.

Penyiapan media pembelajaran dalam perkuliahan ini sangat


penting. Perkuliahan ini memerlukan media pembelajaran berupa
LCD dan laptop sebagai salah satu media pembelajaran yang dapat
mengefektifkan perkuliahan, serta kertas plano, spidol dan solasi
sebagai alat menuangkan kreatifitas hasil perkuliahan dengan
membuat peta konsep.

Rencana Pelaksanaan Perkuliahan

Kompetensi Dasar

Mahasiswa memiliki kemampuan menjelaskan sejarah


perkembangan penulisan hadis pada masa Nabi saw , sahabat dan
tabiin.

Indikator

Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan sejarah perkembangan penulisa hadis pada masa


Nabi saw.
2. Menjelaskan sejarah perkembangan penulisan hadis pada maasa
sahabat dan tabiin.

Waktu

3x50 menit

Materi Pokok

1. Sejarah perkembangan penulisan hadis pada masa Nabi


saw.
2. Sejarah perkembangan penulisan hadis pada masa sahabat
dan tabiin.
3.
Kegiatan Perkuliahan
Kegiatan Awal (15 menit)
1. Brainstorming dengan mencermati slide bagan sejarah
perkembangan penulisan hadis.
2. Penjelasan cakupan materi paket 2.
3. Penjelasan pentingnya mempelajari paket 2.

Kegiatan Inti (70 menit)

1. Membagi mahasiswa dalam 2 kelompok


2. Masing-masing kelompok mendiskusikan sub tema:
Kelompok 1: Sejarah perkembangan penulisan hadis pada masa
Nabi saw.
Kelompok 2: Sejarah perkembangan penulisan hadis pada masa
sahabat dan tabiin.
3. Presentasi hasil diskusi dari masing-masing kelompok
4. Selesai presentasi setiap kelompok, kelompok lain
memberikan klarifikasi
5. Penguatan hasil diskusi dari dosen
6. Dosen memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
menanyanyakan sesuatu yang belum dipahami atau
menyampaikan konfirmasi

Kegiatan Penutup (10 menit)

1. Menyimpulkan hasil perkuliahan


2. Memberi dorongan psikologis/saran/nasehat
3. Refleksi hasil perkuliahan oleh mahasiswa
4.
Kegiatan Tindak lanjut (5 menit)

1. Memberi tugas latihan


2. Mempersiapkan perkuliahan selanjutnya.

Lembar Kegiatan

Membuat ringkasan hasil diskusi.

Tujuan

Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah perkembangan penulisan


hadis pada masa Nabi saw , sahabat dan tabiin.

Bahan dan Alat

Kertas plano, spidol berwarna, dan solasi.

Langkah Kegiatan

1. Pilihlah seorang pemandu kerja kelompok dan penulis konsep


hasil kerja!
2. Diskusikan materi yang telah ditentukan dengan anggota
kelompok!
3. Tuliskan hasil diskusi dalam pada kertas plano.
4. Tempelkan hasil kerja kelompok di papan tulis/dinding kelas!
5. Pilihlah satu anggota kelompok untuk presentasi!
6. Presentasikan hasil kerja kelompok secara bergiliran, dengan
waktu masing-masing +5 menit!
7. Berikan tanggapan/klarifikasi dari presentasi kelompok lain!

Uraian Materi

1.Perkembangan Penulisan Hadis Pada Masa Nabi saw.

Sejarah pencatatan dan penghimpunan Hadis Nabi tidaklah sama


dengan sejarah pencatatan dan penghimpunan Al-Quran. pada zaman
Nabi, tidaklah seluruh Hadis Nabi dicatatat oleh para sahabat Nabi.
Pencatatan seluruh Hadis Nabi pada zaman Nabi memang sulit
dilakukan. Salah satu sebab kesulitan itu adalah karena tidak semua
Hadis Nabi sempat disaksikan oleh banyak sahabat Nabi, khususnya
mereka yang pandai menulis. Hadis Nabi terkadang disampaikan oleh
Nabi dihadapan orang banyak dan terkadang dihadapan per-orangan.
Pada waktu itu Nabi sendiri pernah secara umum melarang para
sahabat menulis Hadis beliau, hanya orang tertentu saja dari kalangan
sahabat yang diizinkan oleh Nabi melakukan pencatatan Hadis beliau.

Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas


Hadis patut diragukan mengingat kodifikasi Hadis baru dilakukan
pada akhir abad pertama hijriyah? Untuk menjawab pertanyaan
diperlukan untuk mengetahui keberadaan Hadis sebelum masa
kodifikasi khususnya berkaitan dengan adanya penulisan Hadis
sebelum kodifikasi resmi. Selain itu terdapat pembahasan tentang
adanya larangan penulisan Hadis. Tentang Penulisan Hadis yang
merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran
sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah
suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai
di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari
episode kehidupan Rasulullah saw adalah Hadis.

Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan


bahwa menuliskan Hadis secara lengkap tentu sulit, karena sama
artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang
menyertai Rasulullah saw. Para shahabat yang hidup menyertai
Rasulullah saw bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap
peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang
mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka
tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai
peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan
tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian
lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.

Di luar adanya rekaman Hadis dalam bentuk hafalan yang


dilakukan oleh para shahabat Rasulullah saw, tidak menutup
kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan
Rasulullah saw yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk
catatan shahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah r.a
beliau berkata; “Tidak ada seseorang dari shahabat Nabi yang lebih
banyak meriwayatkan Hadis dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash,
karena sesungguhnya dia mencatat Hadis sedangkan aku tidak” 1.
Tentang penulisan Hadis oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa
beliau menulis Hadis dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan
Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr
berikut: Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: Saya menulis setiap
yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka
orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; apakah kamu
menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah ? Sedangkan
Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam
keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka
akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada
Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda,
“Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar
darinya (maksudnya lisan Rasulullah saw) kecuali yang hak”2.

1
Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz I hlm 181.
2
Muhammad bin Abd al-Rahman, Tuhfah Al-Ahwady, juz 6, hlm. 466. PT. al-Maktabah aL-
Salafiyah Al-Madinah al-Munawwarah, cet. Ke III 1963 M.
Catatan Hadis dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai
dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan
ini sebagaimana pernyataannya: Tidak ada yang lebih
menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-
wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari
Rasulullah saw3.

Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat


tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh shahabat ketika
Rasulullah saw masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib
r.a, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada bab Kitabul Ilm,
demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan
Penulisan Hadis Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan
penulisan Hadis telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih
hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin
Amr menulis Hadis atas restu dari Rasulullah saw sendiri.

Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa


Rasulullah saw memerintahkan menulis Hadis untuk Abu Syah
sebagaimana sabdanya: “Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah”4.

Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa


Rasulullah saw melarang penulisan Hadis, karena di masa–masa
Rasulullah saw masih hidup, usaha kodifikasi terhadap Hadis belum
pernah di munculkan, begitu pula pada masa-masa shahabat
sepeninggal beliau. Alasan utama ketiadaan usaha pembukuan Hadis
ini bertitik tolak dari larangan Rasulullah saw. Hal ini untuk
mengantisipasi bercampurnya materi Hadis dengan Al-Quran yang
telah dirintis pembukuannya sejak Rasulullah saw masih hidup.
Beberapa bukti yang menunjukkan larangan penulisan Hadis ini, di
antaranya adalah sebuah Hadis mutawatir, Rasulullah saw
bersabda5:

3
Abdullah bin Abd al-Rahman bin al-Fadl al-Darimy, Sunan al-Darimi, Juz 2, hlm. 46.
4
Muhammad bin Abd al-Rahman, Tuhfah Al-Ahwady, juz 6, hlm. 456. PT. al-Maktabah aL-
Salafiyah Al-Madinah al-Munawwarah, cet. Ke III 1963 M.
5
Isawi Ahmad Isawi, Al-Madkhal li al-Fiqh al-Islami, Tarikhuhu, Mashadiruhu, nadzariyya al-
Milk al al-‘Aqd, Qawa’iduhu al-Kulliyyat, Mesir: Al-Maliyyah, tt. juz I hal. 221.
) ‫التكتبوا عني ومن كتب عنّي غير القرآن فليمحه وحدثوا عني والحرج ( رواه مسلم‬

Artinya: “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barangsiapa


yang telah menulisnya, maka hendaklah ia buang.
Ceritakanlah saja apa-apa dariku, tidak ada dosa didalamnya”.
(H.R.Muslim).

Sikap serupa juga pernah ditampakkan oleh Umar bin Al-


Khatthab r.a saat detik-detik Rasulullah saw wafat. Dihikayahkan
dalam riwayat Bukhori dan yang lain, bahwa ketika sakit Rasulullah
saw semakin parah, beliau pernah berkata, ”Berikanlah aku sebuah
lembaran, akan aku tuliskan untuk kalian pesan, supaya kalian tidak
tersesat setelahnya”. Umar berkata kepada para shahabat,
“Sesungguhnya Nabi saw dilanda oleh sakitnya, sementara di sisi
kita sudah ada kitab Allah yang mencukupi kita“6.

Namun demikian, larangan tersebut tidak bisa dipahami secara


mutlak, karena bisa jadi larangan ini beliau tujukan kepada para
penulis wahyu. Karena bila mereka turut menulis ucapan-ucapan
beliau, bisa jadi akan terjadi pencampuradukan antara wahyu yang
berupa Al-Quran dan sunnah nabawiyah.

Ada beberapa argument pembenar atas asumsi di atas,


diantaranya adalah Hadis yang teriwayatkan dalam musnad Ahmad,
dari Abdullah bin Umar. Diceritakan bahwa ia pernah menulis setiap
yang ia dengar dari Rasulullah saw untuk dihafalkan. Kemudian
orang Quraisy mencegahnya. Tatkala hal ini ia adukan pada
Rasulullah saw, beliau bersabda:

.)‫ فوالذي نفسي بيده ما خرج منّي إالّ ح ّق (رواه أحمد‬, ‫أكتب‬

Artinya: “Tulislah (apa yang engkau dengar dariku), Demi Dzat yang
jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah keluar dariku kecuali
kebenaran”. (H.R. Ahmad).

6
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir al-
Yamamah, cet III 1983, juz I hlm. 54.
Dari Hadis ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa
membukukan Hadis tidak dilarang oleh Rasulullah saw. Adanya
larangan penulisan Hadis ini secara lahir menimbulkan kontradiksi
dengan fakta penulisan Hadis dan perintah penulisan Hadis. Dalam
menyikapi kontradiksi tersebut para ulama’ berbeda pendapat,
antara lain:

a. Adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena


merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
b. Larangan penulisan Hadis berlaku hanya pada masa awal-awal
Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan Al-Quran.
Sehingga ketika umat Islam telah menjadi banyak jumlahnya
dan pengetahuan tentang Al-Quran telah tinggi dan mampu
membedakan dengan Hadis, maka hilanglah kekhawatiran ini
dan dihapuslah hukum pelarangan ini dengan Hadis-Hadis
yang memperbolehkan pencatatan Hadis. Hal ini dibuktikan
oleh Hadis Abu Syah tersebut yang diriwayatkan diakhir
kehidupan Nabi. Ini berarti Hadis yang melarang menulis Hadis
telah dihapus dengan Hadis yang membolehkan untuk menulis
Hadis. Ada juga ulama’ yang mengikuti pendapat bahwa
pelarangan menulis Hadis itu, apabila Hadis ditulis dalam
shahifah yang sama dengan Al-Quran. Karena biasanya ketika
mereka (para sahabat) mendengar takwil ayat, mereka lalu
menulis dalam shahifah yang sama dengan Al-Quran. Hal ini
tentu dapat menyebabkan adanya iltibas (campur aduk) antara
ayat-ayat Al-Quran dengan Hadis, terutama bagi mereka yang
tidak mempunyai cita rasa bahasa yang tajam.
c. Dengan adanya larangan penulisan Hadis tersebut pada
hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat
untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan
bergantung pada tulisan, dan ceroboh dalam menghafal
Hadis Nabi, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis
Hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi
tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat
menghafalkannya dengan baik.
d. Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan
kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak
salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama’ mempunyai perbedaan pendapat
tentang boleh dan tidaknya penulisan Hadis ini, namun
nyatanya para shahabat tetap memelihara dan melestarikan
Hadis Nabi saw. Hal ini dibuktikan dengan adanya Hadis Nabi
yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa
sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di
neraka”7. Sehingga apabila menulis Hadis menjadi praktek
yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya
ketidakotentikan Hadis ini, Nabi juga memberikan peringatan
atau ancaman neraka tersebut8.
1. Pada Masa Sahabat.
a. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah saw wafat, banyak shahabat yang berpindah
ke kota-kota di luar Madinah, sehingga memudahkan untuk
percepatan penyebaran Hadis. Namun, dengan semakin mudahnya
para shahabat meriwayatkan Hadis dirasa cukup membahayakan
bagi otentisitas Hadis tersebut, maka Khalifah Abu Bakar
menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan Hadis. Begitu
juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian
periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan

Hadis ( ‫ل رواية‬66 ‫ر تقلي‬66 ‫ديث عص‬66 ‫)الح‬. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar

tidak banyak dari shahabat yang mempermudah penggunaan nama


Rasulullah saw dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak
berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja
beliau sangat selektif terhadap periwayatan Hadis.

7
H.R. Muslim.
8
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Syarah Shahih Muslim, juz 9, Dar al-Fikr, Beirut
Lebanon 2000 M.
Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah saw
harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan
tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik9. Abu Hurairah r.a,
shahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadis, pernah ditanya oleh
Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan Hadis di masa Umar,
lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan Hadis di masa Umar
seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya),
niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya” 10. Riwayat
Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar r.a
dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat Hadis pada masa
pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab r.a bukanlah
orang yang anti periwayatan Hadis. Umar mengutus para ulama’
untuk menyebarkan Al-Quran dan Hadis. Dalam sebuah riwayat,
Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk
memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi
saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Al-Quran dan Hadis
kepada kamu semua"11.

b. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan r.a dan Ali ibn


Abi Thalib r.a
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan
Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa
yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun,
langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn
al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para
shahabat agar tidak meriwayatkan Hadis yang tidak mereka dengar
pada zaman Abu Bakar dan Umar 12. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadis pada masa pemerintahan ini lebih banyak dari
pada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan

‫عصر إكثار رواية الحديث‬.

9
Imam Malik, al-Muwattha', Juz 2, hlm. 513
10
Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla Tadwin, hlm. 96
11
Ibn Sa'ad, Juz 3, hlm. 135
12
Ajjaj al-Khathib, Ushulul Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm. 97-98.
Keleluasaan periwayatan Hadis tersebut juga disebabkan oleh
karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan
dengan Umar, Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin
luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan
riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan


Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu
merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya
peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga
mewarnai pemerintahan Ali Secara tidak langsung, hal itu
membawa dampak negatif dalam periwayatan Hadis. Kepentingan
politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan
Hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat Hadis dapat
dipercaya riwayatnya.

Periwayatan Hadis yang dilakukan para sahabat pada masa ini


berciri pada 2 tipologi periwayatan :

a. Dengan menggunakan lafal Hadis asli, yaitu menurut lafal


yang diterima dari Rasulullah saw.
b. Dengan menggunakan ma’nanya saja. Dikarenakan
mereka sulit menghafal lafal redaksi Hadis persis dengan
yang disabdakan Nabi saw.
Pada masa pembatasan periwayatan, para shahabat hanya
meriwayatkan Hadis jika ada permasalahan hukum yang mendesak.
Mereka tidak meriwayatkan Hadis setiap saat, seperti dalam
khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak
dari shahabat yang dengan sengaja menyebarkan Hadis. Namun
tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan,
mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari
kebenaran Hadis yang diriwayatkannya.

Pada periode ini (sahabat dan tabi'in senior) Hadis belum


dibukukan melainkan dijaga dalam hafalan, karena adanya larangan
dari Nabi saw sebagaimana keterangan diatas. Saat Nabi saw wafat
para shahabat berinisiatif untuk menulis Al-Quran dalam bentuk
mushaf dan tidak membukukan Hadis Nabi saw melainkan
bersungguh-sungguh menyebarkannya dalam bentuk hafalan
mereka.

Ahmad al-Qasthalani mengemukukan dalam kitabnya Irsyad al-


Syari, bahwa shahabat dan tabi’in tidak menulis Hadis melainkan
hanya menyampaikannya dalam bentuk hafalan mereka, kecuali
kitab tentang shadaqah dan beberapa Hadis13.

Pada zaman Khalifah Abu Bakar (W. 13 H. = 634 M.) dan


Khalifah Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), periwayatan
Hadis Nabi berjalan dengan sangat hati-hati. Kalangan shahabat
Nabi yang menyampaikan riwayat Hadis ada yang diminta
menghadirkan saksi atau melakukan sumpah. Dengan demikian,
kegiatan periwayatan Hadis menjadi terbatas. Namun begitu
tidaklah berarti kegiatan periwayatan Hadis terhenti sama sekali,
sebab kegiatan pencatatan dan penghafalan riwayat Hadis yang
dilakukan atas inisiatif sendiri dari kalangan periwayat Hadis tetap
ada.

Khalifah Umar bin al-Khaththab sempat merencanakan untuk


menghimpun semua Hadis Nabi. Para sahabat Nabi yang
mendengar rencana khalifah itu sangat menyetujuinya. Namun
khalifah Umar setelah melakukan shalat istikharah selama satu
bulan, akhirnya dia mengurungkan rencana itu. Khalifah Umar
khawatir umat Islam akan terganggu kosentrasinya dalam
mempelajari dan mendalami Al-Quran. Kekhawatiran khalifah Umar
cukup beralasan, karena pada zaman pemerintahannya, perluasan
daerah Islam sangat pesat dan orang-orang yang baru memeluk
agama Islam tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian
pertimbangan khalifah Umar membatalkan rencana penghimpunan

13
Ahmad al-Qasthalany, Irsyad al-Syari Syarah Shahih al-Bukhari, juz I, Dar al-Fikr, Beirut
Lebanon, 2000.
Hadis Nabi itu bukanlah karena khalifah tidak melihat pentingnya
penghimpunan Hadis Nabi, melainkan karena kondisi umat Islam
pada waktu itu menurut pandangan khalifah belum cukup siap
untuk menerima himpunan sumber ajaran Islam selain dari Al-
Quran.

Seiring dengan perkembangan periwayatan Hadis diatas, telah


muncul pula pemalsuan-pemalsuan Hadis. Pemalsuan Hadis mulai
tampak berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (wafat 40
H = 661 m). Pertentangan politik yang cukup tajam yang terjadi
pada zaman Khalifah Ali telah ikut menumbuhkan pesatnya
berbagai pemalsuan Hadis. Disamping itu, kepentingan materi
(ekonomi), kekeliruan seseorang dalam berdakwah dan
kepentingan-kepentingan lainnya dari beberapa kalangan telah ikut
pula menambah banyaknya pemalsuan Hadis tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang yang memusuhi Islam saja, tetapi dilakukan oleh
kalangan pemeluk Islam sendiri14.

c. Hadis Pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Yunior-


Tabi'in Senior)
Masa Penyebarluasan Hadis sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin,
timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan
meriwayatkan Hadis. Bahkan tatacara periwayatan Hadis pun sudah
dibakukan. Pembakuan tata cara periwayatan Hadis ini berkaitan
erat dengan upaya ulama’ untuk menyelamatkan Hadis dari usaha-
usaha pemalsuan Hadis. Kegiatan periwayatan Hadis pada masa itu
lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada
periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak
yang aktif meriwayatkan Hadis.

Meskipun masih banyak periwayat Hadis yang berhati-hati


dalam meriwayatkan Hadis, kehati-hatian pada masa itu sudah
bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun

14
Syuhudi Ismail, Dr. Kaedah Kershahihan Sanad Hadis, PT. Bulan Bintang, cet. Ke II 1995
Jakarta.
pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah
Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya Hadis-Hadis
palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam
terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan
golongannya. Pemalsuan Hadis mencapai puncaknya pada periode
ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

Seorang ulama’ Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab


Nahju al-Balaghah,"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul Hadis
yang mengutamakan pribadi-pribadi (Hadis palsu) adalah dari
golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh
golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka
juga membuat Hadis-Hadis untuk mengimbangi Hadis golongan
Syi'ah itu, karena banyaknya Hadis palsu yang beredar di
masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai
kota Iraq ( pusat kaum Syi'ah ) sebagai "Pabrik Hadis Palsu".

d. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadis


Pada masa awal perkembangan Hadis, sahabat yang banyak
meriwayatkan Hadis disebut dengan al-Muktsirun fi Hadis, mereka
adalah:

a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 Hadis


b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 Hadis
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 Hadis
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 Hadis
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 Hadis
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 Hadis
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 Hadis15.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam
periwayatan Hadis sangat banyak sekali, mengingat banyaknya
periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :

a. Madinah

15
Ibnu Jauzi, Talqih Fuhumi Ahli al-Atsar. Dan Al-Kirmany.
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam

- Salim ibn Abdullah ibn Umar

- Sulaiman ibn Yassar

b. Makkah ( Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubayr )

c. Kufah ( Ibrahim an-Nakha'I, Alqamah )

d. Bashrah ( Muhammad ibn Sirin, Qotadah )

e. Syam (Umar ibn Abdu al-Aziz yang kemudian menjadi khalifah


dan mempelopori kodifikasi Hadis)

f. Mesir ( Yazid ibn Habib )

g. Yaman ( Thaus ibn Kaisan al-Yamani ).

Rangkuman

1. Proses kodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis secara


resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah
khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan Hadis, karena
kegiatan penulisan Hadis secara berkesinambungan telah dimulai
sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya
tuduhan bahwa Hadis sebagai sumber yurisprudensi diragukan
otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadis ini patut dimaknai
larangan secara khusus yaitu menuliskan Hadis bersama al-Quran
dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan
kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan Hadis sehingga
mengesampingkan al-Quran.

2. Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang


dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan
pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai
kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak
yang beranggapan bahwa penulisan Hadis tidak diperkenankan,
namun ternyata tradisi penulisan Hadis sudah dilakukan sejak
zaman Nabi.

3. Tradisi tulis Hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi
bukan berarti semua Hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi
tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya Hadis secara
resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis Hadis itu lebih
didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara
sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak
ditemukan tanda-tandanya.

4. Sebagaimana tampakan dalam sejarah, bahwa tanpa koordinasi


dengan yang lain dan hanya mengandalkan dirinya secara pribadi
tidak mungkin seseorang dapat merekam aspek kehidupan Nabi
secara keseluruhan. Dari sinilah seseorang tidak boleh fanatik pada
satu jalur periwayatan Hadis saja, tetapi ia juga harus bersikap
terbuka terhadap jalur lain sepanjang memang valid periwayatnya.
Berbagai ilmu bantu, seperti sejarah, semantik, hermeunetik yang
ada juga diperlukan menilai keshahihan Hadis baik dari segi sanad
ataupun matannya.

5. Jika ditelaah secara kritis- historis, sebenarnya tidak ditulisnya


Hadis secara resmi pada zaman Nabi dan sahabat itu lebih
disebabkan antara lain:

Pertama karena Nabi sendiri memang pernah melarangnya,


meskipun di antara sahabat atas izin Nabi juga telah mencatat
sebagian Hadis yang disampaikan beliau.

Kedua, karena sebagian besar para sahabat cenderung lebih konsen


memperhatikan al-Quran untuk dihapal dan ditulisnya pada papan,
pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagainya. Sedangkan
terhadap Hadis Nabi sendiri, di samping menghafalnya, mereka
cenderung langsung melihat praktik yang dilakukan Nabi, lalu
mereka mengikutinya.
Ketiga karena ada kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk)
antara ayat al-Quran dengan Hadis. Meskipun demikian, nampaknya
alasan yang terakhir ini dapat kita pertanyakan ulang. Apakah logis
para sahabat tidak dapat membedakan antara redaksi ayat al-Quran
dengan Hadis ? karena dalam saat yang bersamaan mereka
mempunyai dzauq al-lughah (cita rasa bahasa) yang sangat tajam.
Redaksi ayat al-Quran jelas berbeda dengan redaksi Hadis, baik
dilihat dari segi ketelitian redaksinya, keindahan susunan
bahasanya maupun isinya. Dengan demikian alasan khawatir
terjadinya iltibas adalah lemah.

Latihan

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

1. Pada zaman Nabi, apakah hadis sudah ditulis? Jelaskan!

2. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan Umar Ibn al-Khttab ,


bagaimana perkembangan penulisan hadis? Jelaskan!

3. Pada zaman sahabat Utsman ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib,
bagaimana perkembangan penulisan hadis?

4. Pada zaman sahabat yunior dan tabiin senior, bagaimana


perkembangan penulisan hadis? Jelaskan!

Daftar Pustaka

Ahmad Muhammad Ali Dawu>d, ‘Ulu>m al-Qur`’a>n wa al-Had>ith,


Amman : Da>r al-Bashi>r, t.th.

A.Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung : Diponegoro,


1996.

Mahmu>d T}ahha>n, Taysi>r Must}alah al-Hadi>th, t.tp, Da>r al-


Fikr, t.t.
........................., Us}u>l al-Tahri>j Wa Dira>sah al-Asa>ni>d,
Riya>d} : Maktabal al- Ma’a>rif, 1991,

Nu>r al-Di>n ’Itr, Al-Madkhal Ila ’Ulu>m al Hadi>th , Madinah:


Maktabah al-Islamiyah, 1975.

......................,Manhaj al-Naqd Fi< ‘Ulu<m al-Hadi<th. Dimisqa


Su<riyah: Da<r al-Fikr ,1997

Anda mungkin juga menyukai