Anda di halaman 1dari 11

Moral, Kebahagiaan, dan Politik: Refleksi Tentang Filsafat Sosial dan Politik Islam Al-

Kindi

M. Mujibuddin

A. Latar Belakang

Masuknya Filsafat di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perannya para filosof Islam
klasik. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Usaha yang dilakukan
oleh para filosof ini disertai dukungan dari pemerintahan, sehingga perkembangan intelektual di
masa kerajaan Islam semakin meningkat. Dalam hal ini peran dari kerajaan Abbasiyah memiliki
andil besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan atau filsafat. Di antara usaha yang dilakukan
oleh kerajaan Abbasiyah adalah menerjemahkan filsafat ke bahasa Arab. Salah satu tokoh filsafat
islam yang mencoba membuka gerbang dengan menerjemahkan filsafat Yunani ke dalam Islam
adalah Al Kindi.

Al Kindi merupakan salah satu tokoh sentral dalam perkembangan filsafat di dunia Islam.
Al Kindi mendapat dukungan dari pemerintah Al Ma’mun dari dinasti Abbasiyah untuk
menerjemahkan berbagai buku filsafat ke dunia Islam. Proses penerjamahan ini bukan perkara
mudah, sebab ada banyak kosakata yang harus dicarikan padanannya sehingga filsafat Yunani
akan mudah diterima oleh khalayak umum.

Perlu diketahui bahwa pada masa dinasti Al Ma’mun berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk menerjemahkan berbagai literatur Yunani maupun Neo-Platonis untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam Islam. Salah satu upaya Al Ma’mun yang dilakukan
adalah dengan mendirikan baitul hikmah Ini merupakan bentuk cintanya sang khalifah kepada
ilmu.

Dari situlah kemudian pemerintah Islam memasukkan Al Kindi dalam lingkaran


pemerintahan untuk menerjemahkan beberapa buku Aristoteles, Plato, dan beberapa filsuf
Yunani lainnya. Peran penting yang dimainkan oleh Al Kindi adalah mencoba menerjemahkan
pemikiran para filsuf Yunani ke dunia Arab-Islam. Dengan kata lain, Al Kindi mencoba
membuka gerbang ilmu pengetahuan dengan cara menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani.
Akan tetapi, usaha yang ditempul oleh Al Kindi tidaklah mudah, sebab hal itu berkaitan dengan

1
keterbatasan bahasa Arab untuk menyerap bahasa Yunani. Meskipun demikian, upaya ini
menjadi sangat penting untuk perkembangan intelektual Islam di masa selanjutnya.

Bukti dari kecintaan ilmu Al Kindi adalah dengan menghasilkan beberapa kitab atau buku
di masa hidupnya. Menurut Ibn Al Nadhim ada sekitar 260 judul karya Al Kindi. Al Nadhim
menambahkan, risalah-risalah Al Kindi meliputi seluruh ensiklopedia ilmu sains, filsafat, logika,
arimatika, music, astronomi, geometeri, kosmologi, kedokteran, astrologi dan sebagainya.
Namun hingga hari ini hanya sedikit naskah yang terkumpul, dan kurang lebih sekitar sepuluh
persen saja hasil karya yang terkumpul dari ratusan karya Al Kindi 1.

Bukti adanya kitab-kitab tersebut membuat Al Kindi dikenal dengan sebutan filsuf pertama
dari kalangan Islam atau mendapat gelar filosof dari Arab. Risalah-risalahnya yang diterbitkan
membenarkan bahwa ia adalah penulis pertama filsafat secara sistematis dalam Islam, juga ia
adalah salah seorang penyokong utama penerapan proses rasional kepada teks-teks yang
diwahyukan.2 Upaya rasionalisasi teks agama dan penerapannya secara umum ditujukan untuk
merasionalkan agama mulai diperbincangkan secara sistematis dikalangan filsuf muslim. Selama
Al Kindi hidup, perdebatan terkait dengan teologi masih mendominasi di kalangan Islam.
Adanya faham Jabariyah, Qadariyah, Syiah, Mu’tazilah menjadi bukti bahwa wacana terkait
dengan ketuhanan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hal ini lah yang kemudian sangat nampak di
filsuf-filsuf pertama dalam Islam, pemikiran-pemikirannya tidak bisa dilepaskan dari persoalan
teologi, sebab wacana teologi masih mendominasi di masa itu. Oleh karena itu, pemikiran Al
Kindi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari latar historisnya; dari aspek perpolitikan pada masa
itu; dari pengaruh wacana yang berkembang di masa itu, dari semuanya itu lah kemudian
membentuk pemikiran khas filsafat pertama dalam Islam, dan Al Kindi salah satu dari filsuf-
filsfut tersebut.

B. Dinamika Sosial-Politik di masa Al Kindi

Al-Kindi hidup di masa dinasti Abbasiyah, tepatnya khalifah al-Ma’mun (813-833). Putra
dari Harun Al Rasyid ini memiliki jasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Pada masa al-Ma’mun Islam memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi, sains dan

1
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat Islam Jilid 1, Terj. Tim Penerjemah Mizan,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 208.
2
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 109

2
ilmu pengetahuan lainnya. Ketertarikan al-Ma’mun terhadap keilmuan diawali dengan
pertemuannya dengan Aristoteles dalam mimpi. Sejak saat itulah ia kemudian mengembangkan
ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban.

Al-Ma’mun kemudian meneruskan perjuangan sang ayah untuk mengembangkan


perpustakaan negara. Al-Ma’mun mendirikan Bayt al-Hikmah sektar tahun 815 M/200 H. 3
lembaga ini bukan hanya sekedar biro penerjemahan, tetapi sekaligus perpustakaan akademi
pendidikan tinggi, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting di
dunia Islam pada saat itu.4 Pendirian Bayt al-hikmah bermula dari kontak awal Islam dengan
peradaban Yunani, sehingga memotivasi khalifah-khalifah Abbasiyah untuk menyerap dan
menguasai peradaban ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Yunani.

Untuk menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, al-Ma’mun kemudian merekrut


ilmuan-ilmuan baik dari kalangan muslim maupun non-muslim, dengan tujuan untuk
menghidupkan tradisi ilmiah di bawah kendali pemerintahan Islam. Wallace-Murphy
menegaskan bahwa pendirian lembaga ini turut memelihara dan menyeleksi ilmu-ilmu
pengetahuan yang dikumpulkan dari peradaban unani masa lampau.

Apa yang dilakukan oleh al-Ma’mun sebenarnya meneruskan usaha dari khalifah
sebelumnya, yang dimulai dari al-Manshur dan Harun al-Rasyid. John Freely menegaskan bahwa
al-Manshur merupakan khalifah pertama yang menggerakkan tradisi keilmuan dalam dunia Islam
dengan menerjemahkan buku-buku berbahasa non Arab ke bahasa Arab. 5 Pada masa Harun al-
Rasyid lembaga yang mewadahi kegiatan keilmuan mulai didirikan, tetapi masih dalam bentuk
perpustakaan sederhana yang disebut khizanat al-Hikmah. Dari situlah kemudian al-Ma’mun
terobsesi untuk mendirikan lembaga perpustakaan sekaligus proyek ilmu pengetahuan yang jauh
lebih besar lagi.

Berkat dukungan dari pemerintah pada masa itu, Bayt al-Hikmah akhirnya menjadi tempat
berkumpulnya para ilmuan, dan para pencari ilmu dari berbagai tempat dan negara. nama-nama
besar seperti Al-Khawarizmi, Al Kindi, Al-Razi dan lain-lain adalah ilmuan besar yang telah

3
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: The New American Library, 1970), h. 69
4
Philip K. Hitti, History of the Arab’s (London: MacMillan, 1974), h. 310.
5
John Freely, Aladdin’s Lamp: How Greek Science Came to Europe Through the Islamic World, (New York: Alfred
A. Knopf, 2009), h. 72-73.

3
meramaikan dan menghidupkan aktivitas Bayt al-Hikmah. Untuk urusan administrasi Bayt al-
Hikmah, al-Mamun mempercayakan kepada al-Khawarizmi untuk mengelolanya.

Aktivitas keilmuan berkembang begitu pesat. Penerjemahan besar-besaran bahasa non


Arab kepada bahasa Arab di Bayt Al Hikmah benar-benar mengalami perkembangan pesat di
masa Al Ma’mun. kondisi seperti ini juga didukung dengan aspek finansial yang begitu besar.
Tidak sedikit uang yang kemudian dicurahkan untuk mendanai penerjemahan dan penyetakan
karya-karya ilmuan terdahulu. Namun bagi orang cinta akan ilmu, seperti al-Ma’mun, hal itu
tidaklah sulit untuk merealisasikannya.

Sepeninggal al-Ma’mun Bayt Al-Hikmah masih tetap Berjaya pada masa kepemimpinan
Khalifah Al-Mu’tashim (211 H/ 833 M – 220 H/ 824 M) dan Khalifah al-Watsiq (220 H/824 M-
225 H/ 847 M). Bayt al-Hikmah mulai menurun ketika al-Mutawakkil (225 H/847 M – 239 H/
861 M). Hal ini dikarenakan adanya campur tangan perang ideologi negara, yang pada awalnya
menganut faham Mu’tazilah kemudian pada masa al-Mutawakkil faham tersebut dicabut.
Pencabutan ini juga berimbas pada penghentiannya terhadap pengkajian filsafat Yunani yang
menjadi salah satu alat utama teologi Mu’tazilah. 6

C. Al Kindi Sang Filosof Muslim Arab

Sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam
kegiatan penerjamahan. Di samping menerjemahkan, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-
terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluarasan pandangannya, dia diangakt sebagai
ahli di istana dan menjadi guru putra khalifah al-Mu’tashim yang bernama Ahmad. Dipilihnya Al
Kindidi bay al-Hikmah karena dia menguasai bahasa Yunani dan bahasa Suryani di samping
bahasa Arab, menjadi orang langka pada masa itu yang memiliki kemampuan bahasa lebih dari
satu.

6
Setelah menaiki tahta Abbasiyah, al-Mutawakkil menghentikan pengkajian filsafat Yunani karena dipandang
sebagai landasan yang memperkokoh berkembangnya paham Mu’tazilah. Di sisi lain, al-Mutawakkil pun memcat
dan mengusir para ilmuan yang mengkaji filsafat Yunani, baik yang bertugas di istana khalifah maupun di Bayt al-
Hikmah yang salah satunya adalah Al-Kindi. Al-Kindi yang merupakan filosof penting di Bayt al-Hikmah kemudian
sempat dipenjara lebih dari satu dasawarsa, dan akhirnya meninggal pada usiha 72 tahun. Lihat Mojlum Khan,
Seratus Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, Terj. Wiyanto Suud dan Khairul imam (Jakarta: Noura
Books Mizan Publika, 2012), h. 224.

4
Al-Kindi merupakan satu-satunya filosofi islam yang berasal dari keturunan Arab, dan
karenanya di disebut failusuf al-Arab. Di samping itu juga, dia dikenal sebagai filosofi pertama
di dunia Islam. Dia adalah farmakalog, musisi, penulis, filosof, astronom, dan kaligrafer
terkemuka di era kekhalifahan al-Ma’mun. 7 al-Kindi telah menulis hampir seluruh bidang ilmu
pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Al-Kindi menulis tentang filsafat, logika, ilmu
kedokteran, astrologi, psikologi, politik, dan lain-lain. Di antara karya yang masih terselamatkan
adalah Risâlah fi al-Kammiyât al-Mudhafah, Risâlah fî al-Tajhîd min Jihat al-‘Adad, Risâlatuh fi
Madkhâl al-Manthiq bi Istîfa al-Qawl fîhi, Ikhtishâr Kitab ‘Îsâghuji li Farfuris, Risâlah fi
Masâ’il Su’ila ‘anha min Ahwâl al-Kawâtib, Risâlah Ah’ad Masâfât al-Aqâlîm.

Keterlibatan al-Kindi dalam istana menjadi perdebatan bagi para peneliti. Bagi para
pengkaji al-Kindi ada sebagian yang memasukkan al-Kindi sebagai salah seorang teolog
Mu’tazilah, 8 sebagian lagi memanggap bahwa al-Kindi tidak ada keterikatan dengan Mu’tazilah. 9
Pandangan pertama diperlihatkan dari beberapa karangannya al-Kindi, misalnya Filsafat
Pertama, Kelemahan Benda-benda Langit yang Paling Jauh dan Ketundukannya kepada Tuhan,
dan Sebab Terdekat dari Pertumbuhan dan Kemusnahan, ditujukan kepada khalifah Al-
Mu’tashim, atau kepada putranya Ahmad, yang juga muridnya, yang keduanya terkenal karena
simpatinya kepada Mu’tazilah.

Namun dari beberapa karya al-Kindi tentang teologis, ada beberapa judulnya
memperlihatkan secara lebih detail kecenderungan kepada Mu’tazilah, yaitu Keadilan TIndakan-
Tindakan Tuhan, Keesaan Tuhan, Penolakan terhdap Kaum Manichean, Kekuatan dan Saat
Kelahirannya, merupakan tema-tema yang disukai untuk dikaji oleh beberapa teolog Mu’tazilah.

Sebelum menelaah pemikiran al-Kindi lebih jauh lagi, akan dibahas terlebih dahulu
konsepsinya berkenaan dengan sifat dan lingkup filsafat dan cara membedakan dengan disiplin-
disiplin ilmu lainnya. Dalam karya, Filsafat Pertama, ia mendefinisikan filsafat sebagai
“pengetahuan tentang realitas segala sesuatu, sejauh jangkauan kemampuan manusia”, dan
filsafat pertama atau metafisika, secara lebih khusus, sebagai pengetahuan tentang realitas
pertama yang merupakan sebab bagi setiap realitas. Al-Kindi menjelaskan realitas dengan gaya

7
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat, h. 176.
8
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 112
9
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat Islam), h. 213.

5
Aristotalian bahwa pengetahuan metafisika adalah pegnetahuan tentang sebab segala sesuatu.
Semakin luas pengetahuan kita tentang sebab-sebab sebuah obyek, makin tinggi dan sempurna
pengetahuan kita. Sebab-sebab itu ada empat macam: material, formal, efisien (penggerak), dan
final. 10

Karya al-Falsafah al-Ula hanya bagian pertama yang kita terima. Di dalam kitab ini, di
samping al-Kindi juga memberikan keterangan kepada filsafat, juga meminjam peristilahan
Aristoteles untuk menggambarkan filsafat itu sendiri. Kitab Filsafat pertama ini tidak lain adalah
metafisika. Aristoteles menyebut metafisika sebagai filsafat pertama. Al Kindi, dengan
meminjam sebuatn ini, menjelaskan maknanya sebagai berikut:

Pengetahuan tetnang sebab pertama sesungguhnya disebut filsafat pertama, karena filsafat-
filsafat lainnya terkandung dalam pengetahuannya. Oleh karena itu, sebab pertama adalah
pertama dalam kemuliaan, pertama dalam genus, pertama dalam derajat berkenaan dengan
pengetahuan dan pertama dalam wakut, karena ia adalah sebab dalam waktu. 11
Kecenderungan al-Kindi pada filsafat Aristoteles sangat terlihat dalam kitab filsafat pertamanya.
Kecenderungan ini juga bisa dilihat dari risalah lain yang berjudul, Risalah fi- Hudud al-Asyya.

Setelah al-Kindi menunjukkan bahwa filsafat metafisik merupakan bagian dari filsafat
pertama untuk mencari kebenaran, al-Kindi kemudian mencoba mengembangkan pemikirannya
di bidang lain seperti bidang teologi untuk menunjukkan eksistensi Tuhan, matamatika, psikologi
dengan kajian jiwa,membangun pondasi politik melalui moral politik, dan masih banyak lagi.
Ketertarikan Al-Kindi kepada Aristoteles sampai melahirkan beberapa karya terjemahan buku
Aristoteles untuk bisa dipelajari oleh filsuf muslim lainnya. Di saat Al-Kindi menerjemahkan
buku-buku Aristoteles dan filsuf Yunani lainnya, Al Kindi juga memberikan komentar terhadap
buku tersebut.

D. Moral Menurut Al-Kindi

Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentan gidri dan
bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan
pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan
untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu

10
Madjid Fakhry, h. 114.
11
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat, h. 213.

6
dihapuskan oleh pengetahuan (Paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari
keserakahan. Hidup mejauhi keserakahan dalam pengertian hidup harus zahid, sebagaimana yang
dilkukan oleh Socrates. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk
memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan
kedudukannya dalam negara. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghibur dan megnarakan untuk
melatihnya keluar dari kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan ksebagai
keutamaan pribadi. Dalam hal moral, al-Kindi kemudian mendasarkan pada pemikiran Stoa dan
Socrates.12

Al-Kindi pertama kali menerjemahkan dan mengomentari karya Aristoteles yang berjudul
Nicomachean Ethics. Dalam buku ini al-Kindi menemukan bagaiman untuk bisa menjadi
manusia yang baik. Al-Kindi kemudian banyak terpengaruh oleh pemikiran etika Aristoteles
ketika berbicara terkait dengan kebajikan dan kebahagiaan sejati manusia. Dalam kitabnya
Risalah fi kammiyat kutu aristutalis wa ma yuhtaj ilaih fi tehsil al-falsafah komentarnya terkait
dengan kebahagiaan, al-Kindi mengomentari bahwa kebiasaan moral jiwa yaitu memerintah jiwa
melalui kebisaan moral yang baik untuk menjaganya agar terjauhkan dari kejahatan. 13 Dengan
demikian, menurut al-Kindi kebahagiaan akan diraih oleh manusia ketika ia jauh dari sifat-sifat
kejahatan, di sisi lain kebahagiaan itu juga terkait erat dengan kebajikan. Menurut al-Kindi
kebajikan adalah tujuan manusia hidup di dunia dan di akhirat.

Pembahasan al-Kindi terkait dengan kehabagiaan dan kebajikan memiliki keterikatan


dengan jiwa. Pembahasan jiwa dan akal merupakan lanjutan dari komentarnya sekaligus
kritikannya kepada Aristoteles. Menurut Al-Kindi roh (jiwa) adalah jauhar basith, tunggal, tidak
tersusun, tidak panjang dan lebar, jiwa mempunyai arti penting, sempurna dan mulai,
substansinya berasal dari Tuhan. 14 Al Kindi mengibaratkan hubungan jiwa ibarat sinar matahari.
Sinar matahari tidak jauh berbeda dengan matahari itu sendiri, begitu juga menurut Al-Kindi
terhadap jiwa bahwa jiwa memiliki kedekatan dengan Tuhan. Karena hakikat jiwa bersifat ilahi
dan spiritual, maka jiwa berbeda dengan tubuh dan bertentangan dengannya. Potensi-potensi
keburukan nafsu birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat jahat, tetapi jiwa akan

12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 23.
13
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. "The Political Aspects of Islamic Philosophy: Essays in Honor of
Muhsin S. Mahdi." (1992). H. 25
14
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.17

7
mengekangnya. Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu kembali dengan dunia real tempat
cahaya Pencipta yaitu Tuhan.

Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide Aristoteles,
Plato, dan Plotinus. Al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai: “kesempurnaan awal bagi fisik yang
bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami
yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan”. Definisi ini mirip dengan yang digagas oleh
Aristoteles, namun al-Kindi juga mendefinisikan jiwa yang bersumber dari Plato dan Plotinus.
Menurutnya jiwa adalah “elemen yang mempunyai kehormatan, kesempurnaan, berkedudukan
luhur, dan substansinya bersumber dari Sang Pencipta”. Definisi ini oleh al-Kindi dialamatkan
pada jiwa rasional yang disebutnya dengan al-nafs al-Nathiqah. Menurutnya, jiwa ini merupakan
substansi yang bersifat ilahi dan berasal dari Cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak
fana, substansi yang turun dari dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori
akan masa lalunya. 15

Menurut al-Kindi, jiwa manusia mempunya tiga daya yaitu, daya berpikir; daya marah;
dan daya syahwat. Daya berpikir itu disebut akal. Akal kemudian dibagi lagi menjadi tiga,
pertama akal yang masih bersifat potensial, kedua akal yang telah keluar dari potensial menjadi
actual, dan ketiga akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas akal kedua. Sedangkan
akal yang bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang
16
menggerakkanya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri di luar jiwa manusia.

Sedangkan dalam risalah fi alfaz suqrat (Treatise on the Utterance of Socrates)


pembahasannya difokuskan pada kebaikan dan moral kebaikan. Al Kindi dan Socrates
digambarkan sebagai laki-laki yang telah mampu mengubah pikiran dari harta benda menuju
pemikiran tentang bagaimana menjalani kehidupan manusia yang bebas.17 Socrates menekankan
pada aspek bagaimana diri kita ini terbebas dari tuntutan luar, karena hal itu nanti bisa
mengantarkan pada apa yang disebut dengan kebahagiaan. 18

15
Hasan Basri, Filsafat Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2013) 2013 h. 41-42.
16
Basri, 2013, h. 43.
17
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 53
18
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 54.

8
Kajian terkait dengan kebahagiaan memang menjadi ciri dari etika dalam filsafat Islam.
Menurut Majid Fakhry etika atau filsafat moral dalam Islam merupakan keseluruhan usaha
filosofis dalam rangka mencapai kebahagiaan atau berkaitan dengan proses tindakan ke arah
tercapainya kebahagiaan. Kebahagiaan tidak sama dengan kepuasan, kenikmatan, dan
kesenangan. kebahagiaan menggambarkan kondisi kejiwaan yang diliputi ketentraman, yaitu
perpaduan dari rasa aman, damai dan tenang. Dengan demkian kebagaian adalah sama dengan
hilangnya hal-hal yang menyusahkan.

Konsep kebahagiaan yang dikemukan filosofi muslim pertama, yang salah satunya juga
dikembangkan oleh Al-Kindi, dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kebahagiaan yang
terkait dengan perbuatan kesusilaan dan kebahagiaan yang terkait dengan kesempurnaan akaliah.
Kebahagiaan yang pertama dapat dicapai oleh siapapun sepanjang ia dapat melaksanakan
anjuran-anjuran filosof untuk melakukan perbuatan tertentu dan menghindari perbuatan yang
lain. Sedangkan kebahagiaan yang kedua tidak dapat dicapai oleh semua orang, tetapi hanya
orang-orang tertentu yang mampu mendayagunakan kemampuan akalnya untuk memikirkan
segala hal sampai semendalam-mendalamnya.

Dengan mengikuti kategori tersebut, pemikiran al-Kindi terkait dengan kebahagiaan masuk
dalam kategori kedua yaitu kebahagiaan yang bisa dicapai melalui kesempurnaan akaliah. Hal ini
bisa dilihat dari pemikiran al-Kindi yang terkait dengan jiwa dan akal, seperti yang dijelaskan di
atas, yang memandang bahwa kebahagiaan sejati manusia akan datang ketika ia sudah berada di
sisi sang Pencipta.

Namun, setiap manusia tentu memiliki keresahan-keresahan yang nantinya bisa


menjauhkan dari kebahagiaan. Kesedihan yang tampak dari manusia menurut al-Kindi bisa
diobati untuk dapat menuju kebahagiaan. Al-Kindi mencoba menganalisis beberapa penyakit
jiwa, dan di antara penyakit itu al-Kindi kemudian menemukan penyakit sedih. Menurutnya
kesedihan adalah penyakit jiwa yang disebabkan karena hilangnya apa yang dicintai dan
luputnya yang didamba. Untuk mengobati kesedihan, al-Kindi menawarkan pengobatan sebagai
berikut.

Pertama, kesedihan karena hilangnya apa yang dicinta. Untuk mengobatinya, al-Kindi
menganjurkan agar manusia memahami sifat dasar keberadaan mahkluk di dunia yang fana

9
ini. Apapun yang dicintai di dunia ini pasti akan musnah. Oleh karena itu manusia
janganlah mengharapkannya menjadi kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap
yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan.

Kedua, yaitu luputnya yang didamba bisa diatasi dengan mengembangkan sikap hidup
yang sederhana, suka menerima, menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan
kemungkinan yang dimiliki, agar tidak lebih besar pengeluaran daripada penghasilan. 19

Kesimpulan

Al-Kindi merupakan filsuf pertama Arab Islam yang telah mengembangkan berbagai
bidang keilmuan, seperti filsafat, matematika, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Al-Kindi juga
diberi kesempatan oleh negara untuk menerjemahkan bebeapa buku dari Yunani. Hal ini dengan
maksud agar ilmu pengetahuan Islam bisa maju. Namun demikian, keberhasilan al-Kindi juga
tidak bisa dilepaskan dari faktor politik pada masa itu yang memang mendukung perkembangan
keilmuan Islam.

Pemikiran al-Kindi sangat beragam. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai teolog saja,
melainkan juga filsuf, psikolog, karena pengetahuannya yang begitu besar terkait dengan
keilmuan tersebut. Melalui pengetahuannya tersebut al-Kindi kemudian mengembangkan
filsafat, jiwa dan/atau akal, moral, etika, yang berujung pada apa yang disebut dengan
kebahagiaan.

19
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 39-42.

10
Daftar Pustaka

Fakhry, Majid, R. Mulyadhi Kartenagara, and Nurcholis Madjid. Sejarah Filsafat Islam. Pustaka
Jaya, 1986.

Freely, John. Aladdin's Lamp: How Greek science came to Europe through the Islamic world.
Vintage, 2010.

HARUN, Nasution. Falsafah dan mistisisme dalam Islam. 1992.

Hitti, K. Philip. History of the Arab’s. London: MacMillan. 1974.

Khan, Muhammad Mojlum. 100 Muslim paling berpengaruh sepanjang sejarah. Noura Books
Mizan Publika, 2012.

Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. "The Political Aspects of Islamic Philosophy:
Essays in Honor of Muhsin S. Mahdi." (1992).

Mattock, J. N. "Seyyed Hossein Nasr: Science and civilization in Islam. XIX, 21–384 pp.
cambridge, Mass., Harvard University Press, 1968.(Distriuted in GB by oxford University
Press. 85s. 6d.)." Bulletin of the School of Oriental and African Studies 32.3 (1969): 618-
619.

Nasr, Seyyed Hossein, and Oliver Leaman, eds. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku
Pertama. Penerbit Mizan, 2003.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Gaya Media Pratama, 2013.

11

Anda mungkin juga menyukai