Anda di halaman 1dari 15

Moral, Kebahagiaan, dan Politik: Refleksi Tentang Filsafat Sosial dan Politik

Islam Al-Kindi

M. Mujibuddin

Abstrak

Al-Kindi merupakan salah seorang filosof muslim pertama dari


Arab-Islam. Ide dan gagasannya dalam memberikan pondasi
kepada pemikir muslim sesudahnya tidak bisa diremehkan lagi.
Keberadaan Baitul Hikmah dalam masa kepemimpinan al-
Ma’mun turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan
pemikiran Al-Kindi dan tokoh-tokoh muslim lainnya. Dari
sekian banyak pemikiran al-Kindi, penulis akan melihat dari
aspek pemikiran politiknya al-Kindi. Hal ini disebabkan karena
kontribusi dan gerakan pemikiran al-Kindi terhadap filsafat
sudah banyak dikaji oleh para peneliti terdahulu. Namun dari
segi politiknya masih banyak belum yang mengkajinya.
Penelitian ini menemukan bahwa pemikiran politik al-Kindi
tidak terkait dengan politik praktis melainkan politik dalam arti
seni. Politik yang dimaksud oleh al-Kindi merupakan cara untuk
mengatur hidup agar senantiaasa berada dalam kebahagiaan, baik
secara jiwa maupun ragawi.
Kata Kunci: Al-Kindi, Politik, Filsafat Islam.
A. Latar Belakang

Masuknya Filsafat di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perannya para
filosof Islam klasik. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menguasai ilmu
pengetahuan. Usaha yang dilakukan oleh para filosof ini disertai dukungan dari
pemerintahan, sehingga perkembangan intelektual di masa kerajaan Islam semakin
meningkat. Dalam hal ini peran dari kerajaan Abbasiyah memiliki andil besar dalam
penyebaran ilmu pengetahuan atau filsafat. Di antara usaha yang dilakukan oleh
kerajaan Abbasiyah adalah menerjemahkan filsafat ke bahasa Arab. Salah satu tokoh
filsafat islam yang mencoba membuka gerbang dengan menerjemahkan filsafat
Yunani ke dalam Islam adalah Al Kindi.

1
Al Kindi merupakan salah satu tokoh sentral dalam perkembangan filsafat di
dunia Islam. Al Kindi mendapat dukungan dari pemerintah Al Ma’mun dari dinasti
Abbasiyah untuk menerjemahkan berbagai buku filsafat ke dunia Islam. Proses
penerjamahan ini bukan perkara mudah, sebab ada banyak kosakata yang harus
dicarikan padanannya sehingga filsafat Yunani akan mudah diterima oleh khalayak
umum.

Perlu diketahui bahwa pada masa dinasti Al Ma’mun berbagai upaya dilakukan
oleh pemerintah untuk menerjemahkan berbagai literatur Yunani maupun Neo-
Platonis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam Islam. Salah satu upaya Al
Ma’mun yang dilakukan adalah dengan mendirikan baitul hikmah. Ini merupakan
bentuk cintanya sang khalifah kepada ilmu. Apa yang dilakukan oleh Al Ma’mun
merupakan terobosan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Arab Islam.
Bentuk perhatiannya ini berimplikasi pada meningkatnya ilmu pengetahuan yang
mencakup segala aspek keilmuan pada masa itu, sehingga kejayaan Arab-Islam masa
itu dikenal sebagai penerus keilmuan.

Dari situlah kemudian pemerintah Islam memasukkan Al Kindi dalam


lingkaran pemerintahan untuk menerjemahkan beberapa buku Aristoteles, Plato, dan
beberapa filsuf Yunani lainnya. Peran penting yang dimainkan oleh Al Kindi adalah
mencoba menerjemahkan pemikiran para filsuf Yunani ke dunia Arab-Islam. Dengan
kata lain, Al Kindi mencoba membuka gerbang ilmu pengetahuan dengan cara
menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani. Akan tetapi, usaha yang ditempuh oleh Al
Kindi tidaklah mudah, sebab hal itu berkaitan dengan keterbatasan bahasa Arab untuk
menyerap bahasa Yunani. Meskipun demikian, upaya ini menjadi sangat penting
untuk perkembangan intelektual Islam di masa selanjutnya.

Bukti dari kecintaan ilmu Al Kindi adalah dengan menghasilkan beberapa kitab
atau buku di masa hidupnya. Menurut Ibn Al Nadhim ada sekitar 260 judul karya Al
Kindi. Al Nadhim menambahkan, risalah-risalah Al Kindi meliputi seluruh

2
ensiklopedia ilmu sains, filsafat, logika, arimatika, music, astronomi, geometeri,
kosmologi, kedokteran, astrologi dan sebagainya. Namun hingga hari ini hanya
sedikit naskah yang terkumpul, dan kurang lebih sekitar sepuluh persen saja hasil
karya yang terkumpul dari ratusan karya Al Kindi 1.

Bukti adanya kitab-kitab tersebut membuat Al Kindi dikenal dengan sebutan


filsuf pertama dari kalangan Islam atau mendapat gelar filosof dari Arab. Risalah-
risalahnya yang diterbitkan membenarkan bahwa ia adalah penulis pertama filsafat
secara sistematis dalam Islam, juga ia adalah salah seorang penyokong utama
penerapan proses rasional kepada teks-teks yang diwahyukan. 2 Upaya rasionalisasi
teks agama dan penerapannya secara umum ditujukan untuk merasionalkan agama
mulai diperbincangkan secara sistematis dikalangan filsuf muslim. Selama Al Kindi
hidup, perdebatan terkait dengan teologi masih mendominasi di kalangan Islam.
Adanya faham Jabariyah, Qadariyah, Syiah, Mu’tazilah menjadi bukti bahwa wacana
terkait dengan ketuhanan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hal ini lah yang kemudian
sangat nampak di filsuf-filsuf pertama dalam Islam, pemikiran-pemikirannya tidak
bisa dilepaskan dari persoalan teologi, sebab wacana teologi masih mendominasi di
masa itu. Oleh karena itu, pemikiran Al Kindi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
latar historisnya; dari aspek perpolitikan pada masa itu; dari pengaruh wacana yang
berkembang di masa itu, dari semuanya itu lah kemudian membentuk pemikiran khas
filsafat pertama dalam Islam, dan Al Kindi salah satu dari filsuf-filsfut tersebut.

B. Dinamika Sosial-Politik di masa Al Kindi

Al-Kindi hidup di masa dinasti Abbasiyah, tepatnya khalifah al-Ma’mun (813-


833). Putra dari Harun Al Rasyid ini memiliki jasa besar dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Pada masa al-Ma’mun Islam memiliki pengaruh besar

1
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat Islam Jilid 1, Terj. Tim
Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 208.
2
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h.
109

3
dalam bidang teknologi, sains dan ilmu pengetahuan lainnya. Ketertarikan al-Ma’mun
terhadap keilmuan diawali dengan pertemuannya dengan Aristoteles dalam mimpi.
Sejak saat itulah ia kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan
peradaban.

Al-Ma’mun kemudian meneruskan perjuangan sang ayah untuk


mengembangkan perpustakaan negara. Al-Ma’mun mendirikan Bayt al-Hikmah
sektar tahun 815 M/200 H.3 lembaga ini bukan hanya sekedar biro penerjemahan,
tetapi sekaligus perpustakaan akademi pendidikan tinggi, yang dalam berbagai hal
merupakan lembaga pendidikan paling penting di dunia Islam pada saat itu. 4
Pendirian Bayt al-hikmah bermula dari kontak awal Islam dengan peradaban Yunani,
sehingga memotivasi khalifah-khalifah Abbasiyah untuk menyerap dan menguasai
peradaban ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Yunani.

Untuk menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, al-Ma’mun kemudian


merekrut ilmuan-ilmuan baik dari kalangan muslim maupun non-muslim, dengan
tujuan untuk menghidupkan tradisi ilmiah di bawah kendali pemerintahan Islam.
Wallace-Murphy menegaskan bahwa pendirian lembaga ini turut memelihara dan
menyeleksi ilmu-ilmu pengetahuan yang dikumpulkan dari peradaban unani masa
lampau.

Apa yang dilakukan oleh al-Ma’mun sebenarnya meneruskan usaha dari


khalifah sebelumnya, yang dimulai dari al-Manshur dan Harun al-Rasyid. John Freely
menegaskan bahwa al-Manshur merupakan khalifah pertama yang menggerakkan
tradisi keilmuan dalam dunia Islam dengan menerjemahkan buku-buku berbahasa non
Arab ke bahasa Arab.5 Pada masa Harun al-Rasyid lembaga yang mewadahi kegiatan
keilmuan mulai didirikan, tetapi masih dalam bentuk perpustakaan sederhana yang
3
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: The New American Library,
1970), h. 69
4
Philip K. Hitti, History of the Arab’s (London: MacMillan, 1974), h. 310.
5
John Freely, Aladdin’s Lamp: How Greek Science Came to Europe Through the Islamic World, (New
York: Alfred A. Knopf, 2009), h. 72-73.

4
disebut khizanat al-Hikmah. Dari situlah kemudian al-Ma’mun terobsesi untuk
mendirikan lembaga perpustakaan sekaligus proyek ilmu pengetahuan yang jauh
lebih besar lagi.

Berkat dukungan dari pemerintah pada masa itu, Bayt al-Hikmah akhirnya
menjadi tempat berkumpulnya para ilmuan, dan para pencari ilmu dari berbagai
tempat dan negara. nama-nama besar seperti Al-Khawarizmi, Al Kindi, Al-Razi dan
lain-lain adalah ilmuan besar yang telah meramaikan dan menghidupkan aktivitas
Bayt al-Hikmah. Untuk urusan administrasi Bayt al-Hikmah, al-Mamun
mempercayakan kepada al-Khawarizmi untuk mengelolanya.

Aktivitas keilmuan berkembang begitu pesat. Penerjemahan besar-besaran


bahasa non Arab kepada bahasa Arab di Bayt Al Hikmah benar-benar mengalami
perkembangan pesat di masa Al Ma’mun. kondisi seperti ini juga didukung dengan
aspek finansial yang begitu besar. Tidak sedikit uang yang kemudian dicurahkan
untuk mendanai penerjemahan dan penyetakan karya-karya ilmuan terdahulu. Namun
bagi orang cinta akan ilmu, seperti al-Ma’mun, hal itu tidaklah sulit untuk
merealisasikannya.

Sepeninggal al-Ma’mun Bayt Al-Hikmah masih tetap Berjaya pada masa


kepemimpinan Khalifah Al-Mu’tashim (211 H/ 833 M – 220 H/ 824 M) dan Khalifah
al-Watsiq (220 H/824 M- 225 H/ 847 M). Bayt al-Hikmah mulai menurun ketika al-
Mutawakkil (225 H/847 M – 239 H/ 861 M). Hal ini dikarenakan adanya campur
tangan perang ideologi negara, yang pada awalnya menganut faham Mu’tazilah
kemudian pada masa al-Mutawakkil faham tersebut dicabut. Pencabutan ini juga
berimbas pada penghentiannya terhadap pengkajian filsafat Yunani yang menjadi
salah satu alat utama teologi Mu’tazilah.6
6
Setelah menaiki tahta Abbasiyah, al-Mutawakkil menghentikan pengkajian filsafat Yunani karena
dipandang sebagai landasan yang memperkokoh berkembangnya paham Mu’tazilah. Di sisi lain, al-
Mutawakkil pun memcat dan mengusir para ilmuan yang mengkaji filsafat Yunani, baik yang bertugas
di istana khalifah maupun di Bayt al-Hikmah yang salah satunya adalah Al-Kindi. Al-Kindi yang
merupakan filosof penting di Bayt al-Hikmah kemudian sempat dipenjara lebih dari satu dasawarsa,

5
C. Al Kindi Sang Filosof Muslim Arab

Sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif
dalam kegiatan penerjamahan. Di samping menerjemahkan, al-Kindi juga
memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluarasan
pandangannya, dia diangakt sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra khalifah al-
Mu’tashim yang bernama Ahmad. Dipilihnya Al Kindidi bay al-Hikmah karena dia
menguasai bahasa Yunani dan bahasa Suryani di samping bahasa Arab, menjadi
orang langka pada masa itu yang memiliki kemampuan bahasa lebih dari satu.

Al-Kindi merupakan satu-satunya filosofi islam yang berasal dari keturunan


Arab, dan karenanya di disebut failusuf al-Arabi. Di samping itu juga, dia dikenal
sebagai filosofi pertama di dunia Islam. Dia adalah farmakalog, musisi, penulis,
filosof, astronom, dan kaligrafer terkemuka di era kekhalifahan al-Ma’mun. 7 al-Kindi
telah menulis hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat
itu. Al-Kindi menulis tentang filsafat, logika, ilmu kedokteran, astrologi, psikologi,
politik, dan lain-lain. Di antara karya yang masih terselamatkan adalah Risâlah fi al-
Kammiyât al-Mudhafah, Risâlah fî al-Tajhîd min Jihat al-‘Adad, Risâlatuh fi
Madkhâl al-Manthiq bi Istîfa al-Qawl fîhi, Ikhtishâr Kitab ‘Îsâghuji li Farfuris,
Risâlah fi Masâ’il Su’ila ‘anha min Ahwâl al-Kawâtib, Risâlah Ah’ad Masâfât al-
Aqâlîm.

Keterlibatan al-Kindi dalam istana menjadi perdebatan bagi para peneliti. Bagi
para pengkaji al-Kindi ada sebagian yang memasukkan al-Kindi sebagai salah
seorang teolog Mu’tazilah,8 sebagian lagi memanggap bahwa al-Kindi tidak ada
keterikatan dengan Mu’tazilah.9 Pandangan pertama diperlihatkan dari beberapa

dan akhirnya meninggal pada usiha 72 tahun. Lihat Mojlum Khan, Seratus Muslim Paling
Berpengaruh Sepanjang Sejarah, Terj. Wiyanto Suud dan Khairul imam (Jakarta: Noura Books Mizan
Publika, 2012), h. 224.
7
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat, h. 176.
8
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 112
9
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat Islam), h. 213.

6
karangannya al-Kindi, misalnya Filsafat Pertama, Kelemahan Benda-benda Langit
yang Paling Jauh dan Ketundukannya kepada Tuhan, dan Sebab Terdekat dari
Pertumbuhan dan Kemusnahan, ditujukan kepada khalifah Al-Mu’tashim, atau
kepada putranya Ahmad, yang juga muridnya, yang keduanya terkenal karena
simpatinya kepada Mu’tazilah.

Namun dari beberapa karya al-Kindi tentang teologis, ada beberapa judul
karyanya yang memperlihatkan secara lebih detail kecenderungan kepada Mu’tazilah,
yaitu Keadilan Tindakan-Tindakan Tuhan, Keesaan Tuhan, Penolakan terhdap
Kaum Manichean, Kekuatan dan Saat Kelahirannya, merupakan tema-tema yang
disukai untuk dikaji oleh beberapa teolog Mu’tazilah.

Sebelum menelaah pemikiran al-Kindi lebih jauh lagi, akan dibahas terlebih
dahulu konsepsinya berkenaan dengan sifat dan lingkup filsafat dan cara
membedakan dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Dalam karya, Filsafat Pertama,
ia mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan tentang realitas segala sesuatu,
sejauh jangkauan kemampuan manusia”, dan filsafat pertama atau metafisika, secara
lebih khusus, sebagai pengetahuan tentang realitas pertama yang merupakan sebab
bagi setiap realitas. Al-Kindi menjelaskan realitas dengan gaya Aristotalian bahwa
pengetahuan metafisika adalah pegnetahuan tentang sebab segala sesuatu. Semakin
luas pengetahuan kita tentang sebab-sebab sebuah obyek, makin tinggi dan sempurna
pengetahuan kita. Sebab-sebab itu ada empat macam: material, formal, efisien
(penggerak), dan final.10

Karya al-Falsafah al-Ula hanya bagian pertama yang kita terima. Di dalam
kitab ini, di samping al-Kindi juga memberikan keterangan kepada filsafat, juga
meminjam peristilahan Aristoteles untuk menggambarkan filsafat itu sendiri. Kitab
Filsafat pertama ini tidak lain adalah metafisika. Aristoteles menyebut metafisika

10
Madjid Fakhry, h. 114.

7
sebagai filsafat pertama. Al Kindi, dengan meminjam sebuatn ini, menjelaskan
maknanya sebagai berikut:

Pengetahuan tetnang sebab pertama sesungguhnya disebut filsafat pertama,


karena filsafat-filsafat lainnya terkandung dalam pengetahuannya. Oleh karena
itu, sebab pertama adalah pertama dalam kemuliaan, pertama dalam genus,
pertama dalam derajat berkenaan dengan pengetahuan dan pertama dalam
wakut, karena ia adalah sebab dalam waktu.11
Kecenderungan al-Kindi pada filsafat Aristoteles sangat terlihat dalam kitab filsafat
pertamanya. Kecenderungan ini juga bisa dilihat dari risalah lain yang berjudul,
Risalah fi- Hudud al-Asyya.

Setelah al-Kindi menunjukkan bahwa filsafat metafisik merupakan bagian dari


filsafat pertama untuk mencari kebenaran, al-Kindi kemudian mencoba
mengembangkan pemikirannya di bidang lain seperti bidang teologi untuk
menunjukkan eksistensi Tuhan, matamatika, psikologi dengan kajian
jiwa,membangun pondasi politik melalui moral politik, dan masih banyak lagi.
Ketertarikan Al-Kindi kepada Aristoteles sampai melahirkan beberapa karya
terjemahan buku Aristoteles untuk bisa dipelajari oleh filsuf muslim lainnya. Di saat
Al-Kindi menerjemahkan buku-buku Aristoteles dan filsuf Yunani lainnya, Al Kindi
juga memberikan komentar terhadap buku tersebut.

D. Moral Menurut Al-Kindi

Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentan


gidri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati
membawa serta pengetahuan pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari
untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat
manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan
(Paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Hidup
mejauhi keserakahan dalam pengertian hidup harus zahid, sebagaimana yang
11
Seyyed Hossen Nasr & Oliver Leaman (ed), Ensiklopedia Filsafat, h. 213.

8
dilkukan oleh Socrates. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan
agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa
kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dalam kesesakan
jiwa, filsafat menghibur dan megnarakan untuk melatihnya keluar dari kekangan,
keberanian dan hikmah dalam keseimbangan ksebagai keutamaan pribadi. Dalam hal
moral, al-Kindi kemudian mendasarkan pada pemikiran Stoa dan Socrates.12

Al-Kindi pertama kali menerjemahkan dan mengomentari karya Aristoteles


yang berjudul Nicomachean Ethics. Dalam buku ini al-Kindi menemukan bagaiman
untuk bisa menjadi manusia yang baik. Al-Kindi kemudian banyak terpengaruh oleh
pemikiran etika Aristoteles ketika berbicara terkait dengan kebajikan dan
kebahagiaan sejati manusia. Dalam kitabnya Risalah fi kammiyat kutu aristutalis wa
ma yuhtaj ilaih fi tehsil al-falsafah komentarnya terkait dengan kebahagiaan, al-Kindi
mengomentari bahwa kebiasaan moral jiwa yaitu memerintah jiwa melalui kebisaan
moral yang baik untuk menjaganya agar terjauhkan dari kejahatan. 13 Dengan
demikian, menurut al-Kindi kebahagiaan akan diraih oleh manusia ketika ia jauh dari
sifat-sifat kejahatan, di sisi lain kebahagiaan itu juga terkait erat dengan kebajikan.
Menurut al-Kindi kebajikan adalah tujuan manusia hidup di dunia dan di akhirat.

Pembahasan al-Kindi terkait dengan kehabagiaan dan kebajikan memiliki


keterikatan dengan jiwa. Pembahasan jiwa dan akal merupakan lanjutan dari
komentarnya sekaligus kritikannya kepada Aristoteles. Menurut Al-Kindi roh (jiwa)
adalah jauhar basith, tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan lebar, jiwa
mempunyai arti penting, sempurna dan mulai, substansinya berasal dari Tuhan.14 Al
Kindi mengibaratkan hubungan jiwa ibarat sinar matahari. Sinar matahari tidak jauh
berbeda dengan matahari itu sendiri, begitu juga menurut Al-Kindi terhadap jiwa
bahwa jiwa memiliki kedekatan dengan Tuhan. Karena hakikat jiwa bersifat ilahi dan
12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 23.
13
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. "The Political Aspects of Islamic Philosophy: Essays in
Honor of Muhsin S. Mahdi." (1992). H. 25
14
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.17

9
spiritual, maka jiwa berbeda dengan tubuh dan bertentangan dengannya. Potensi-
potensi keburukan nafsu birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat jahat,
tetapi jiwa akan mengekangnya. Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu
kembali dengan dunia real tempat cahaya Pencipta yaitu Tuhan.

Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide
Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai:
“kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki
kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami yang mempunyai alat dan
mengalami kehidupan”. Definisi ini mirip dengan yang digagas oleh Aristoteles,
namun al-Kindi juga mendefinisikan jiwa yang bersumber dari Plato dan Plotinus.
Menurutnya jiwa adalah “elemen yang mempunyai kehormatan, kesempurnaan,
berkedudukan luhur, dan substansinya bersumber dari Sang Pencipta”. Definisi ini
oleh al-Kindi dialamatkan pada jiwa rasional yang disebutnya dengan al-nafs al-
Nathiqah. Menurutnya, jiwa ini merupakan substansi yang bersifat ilahi dan berasal
dari Cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari
dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.15

Menurut al-Kindi, jiwa manusia mempunya tiga daya yaitu, daya berpikir; daya
marah; dan daya syahwat. Daya berpikir itu disebut akal. Akal kemudian dibagi lagi
menjadi tiga, pertama akal yang masih bersifat potensial, kedua akal yang telah
keluar dari potensial menjadi actual, dan ketiga akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas akal kedua. Sedangkan akal yang bersifat potensial tidak akan
menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkanya dari luar, yang
mempunyai wujud tersendiri di luar jiwa manusia. 16

Sedangkan dalam risalah fi alfaz suqrat (Treatise on the Utterance of Socrates)


pembahasannya difokuskan pada kebaikan dan moral kebaikan. Al Kindi dan

15
Hasan Basri, Filsafat Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013) 2013 h. 41-42.
16
Basri, 2013, h. 43.

10
Socrates digambarkan sebagai laki-laki yang telah mampu mengubah pikiran dari
harta benda menuju pemikiran tentang bagaimana menjalani kehidupan manusia yang
bebas.17 Socrates menekankan pada aspek bagaimana diri kita ini terbebas dari
tuntutan luar, karena hal itu nanti bisa mengantarkan pada apa yang disebut dengan
kebahagiaan.18

Kajian terkait dengan kebahagiaan memang menjadi ciri dari etika dalam
filsafat Islam. Menurut Majid Fakhry etika atau filsafat moral dalam Islam
merupakan keseluruhan usaha filosofis dalam rangka mencapai kebahagiaan atau
berkaitan dengan proses tindakan ke arah tercapainya kebahagiaan. Kebahagiaan
tidak sama dengan kepuasan, kenikmatan, dan kesenangan. kebahagiaan
menggambarkan kondisi kejiwaan yang diliputi ketentraman, yaitu perpaduan dari
rasa aman, damai dan tenang. Dengan demkian kebagaian adalah sama dengan
hilangnya hal-hal yang menyusahkan.

Konsep kebahagiaan yang dikemukan filosofi muslim pertama, yang salah


satunya juga dikembangkan oleh Al-Kindi, dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu kebahagiaan yang terkait dengan perbuatan kesusilaan dan kebahagiaan yang
terkait dengan kesempurnaan akaliah. Kebahagiaan yang pertama dapat dicapai oleh
siapapun sepanjang ia dapat melaksanakan anjuran-anjuran filosof untuk melakukan
perbuatan tertentu dan menghindari perbuatan yang lain. Sedangkan kebahagiaan
yang kedua tidak dapat dicapai oleh semua orang, tetapi hanya orang-orang tertentu
yang mampu mendayagunakan kemampuan akalnya untuk memikirkan segala hal
sampai semendalam-mendalamnya.

Dengan mengikuti kategori tersebut, pemikiran al-Kindi terkait dengan


kebahagiaan masuk dalam kategori kedua yaitu kebahagiaan yang bisa dicapai
melalui kesempurnaan akaliah. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran al-Kindi yang

17
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 53
18
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 54.

11
terkait dengan jiwa dan akal, seperti yang dijelaskan di atas, yang memandang bahwa
kebahagiaan sejati manusia akan datang ketika ia sudah berada di sisi sang Pencipta.

Namun, setiap manusia tentu memiliki keresahan-keresahan yang nantinya bisa


menjauhkan dari kebahagiaan. Kesedihan yang tampak dari manusia menurut al-
Kindi bisa diobati untuk dapat menuju kebahagiaan. Al-Kindi mencoba menganalisis
beberapa penyakit jiwa, dan di antara penyakit itu al-Kindi kemudian menemukan
penyakit sedih. Menurutnya kesedihan adalah penyakit jiwa yang disebabkan karena
hilangnya apa yang dicintai dan luputnya yang didamba. Untuk mengobati kesedihan,
al-Kindi menawarkan pengobatan sebagai berikut.

Pertama, kesedihan karena hilangnya apa yang dicinta. Untuk mengobatinya,


al-Kindi menganjurkan agar manusia memahami sifat dasar keberadaan
mahkluk di dunia yang fana ini. Apapun yang dicintai di dunia ini pasti akan
musnah. Oleh karena itu manusia janganlah mengharapkannya menjadi kekal
abadi, karena hal itu sama dengan mengharap yang tak mungkin dan akan
menimbulkan kesedihan.
Kedua, yaitu luputnya yang didamba bisa diatasi dengan mengembangkan sikap
hidup yang sederhana, suka menerima, menyesuaikan keinginan dengan
kemampuan dan kemungkinan yang dimiliki, agar tidak lebih besar pengeluaran
daripada penghasilan.19
Politik dan Upaya Pengatur Diri
Dari pengertian di atas maka bisa dilihat bagaimana pemikiran al-Kindi terkait
dengan politik bukan secara kelembagaan, melainkan secara particular tentang seni,
seni mengatur diri sendiri. al-Kindi bukan merupakan pemikir politik seperti al-Farabi
yang memiliki gagasan negara keutamaan. Al-Kindi merupakan seorang pemikir
Arab-Islam yang memiliki kecenderungan untuk memberikan ide dan
sumbangsingnya untuk perkembangan filsafat yang kaitannya dengan ide dan jiwa.

Pemikiran tentang politik al-Kindi lebih difokuskan bagaimana seseorang bisa


mencapai kebahagiaan melalui dirinya sendiri. Caranya adalah dengan berupaya

19
Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. H. 39-42.

12
membersihkan diri dari pikiran-pikiran yang kotor dan berusaha untuk selalu berpikir
positif. Di samping itu juga, cara yang bisa ditempuh melalui menghindari perasaan-
perasaan tidak baik yang berasal dari hati. Jiwa harus selalu dibersihkan agar
mendatangkan kebahagiaan.

Penggunaan istilah politik seperti itu oleh al-Kindi karena pengaruhnya yang
besar dari Plato tentang gagasan idenya dan Socrates dengan moralnya. Dua tokoh ini
memiliki pengaruh besar dalam perkembangan politiknya al-Kindi. Al-Kindi bahkan
banyak merujuk pada Socrates tentang moral dan jiwa manusia untuk menjelaskan
ide dan gagasannya tentang jiwa dan moral manusia. Filsuf ini juga banyak
mengkritik dan mengomentari karya Socrates yang sekiranya tidka cocok untuk al-
Kindi.

Kesimpulan

13
Al-Kindi merupakan filsuf pertama Arab Islam yang telah mengembangkan
berbagai bidang keilmuan, seperti filsafat, matematika, psikologi, dan ilmu-ilmu
lainnya. Al-Kindi juga diberi kesempatan oleh negara untuk menerjemahkan bebeapa
buku dari Yunani. Hal ini dengan maksud agar ilmu pengetahuan Islam bisa maju.
Namun demikian, keberhasilan al-Kindi juga tidak bisa dilepaskan dari faktor politik
pada masa itu yang memang mendukung perkembangan keilmuan Islam.

Pemikiran al-Kindi sangat beragam. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai


teolog saja, melainkan juga filsuf, psikolog, karena pengetahuannya yang begitu besar
terkait dengan keilmuan tersebut. Melalui pengetahuannya tersebut al-Kindi
kemudian mengembangkan filsafat, jiwa dan/atau akal, moral, etika, yang berujung
pada apa yang disebut dengan kebahagiaan.

Sedangkan pemikiran politik al-Kindi tidak berupa pemikiran politik praktis


seperti al-Farabi, melainkan terwujud dalam seni untuk mengatur diri sendiri. Upaya
ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara yang kesemuanya akan
mendatangkan kebagaiaan jiwa, kebaikan moral, dan lainnya.

Daftar Pustaka

14
Fakhry, Majid, R. Mulyadhi Kartenagara, and Nurcholis Madjid. Sejarah Filsafat
Islam. Pustaka Jaya, 1986.

Freely, John. Aladdin's Lamp: How Greek science came to Europe through the
Islamic world. Vintage, 2010.

HARUN, Nasution. Falsafah dan mistisisme dalam Islam. 1992.

Hitti, K. Philip. History of the Arab’s. London: MacMillan. 1974.

Khan, Muhammad Mojlum. 100 Muslim paling berpengaruh sepanjang sejarah.


Noura Books Mizan Publika, 2012.

Mahdi, Muhsin, and Charles E. Butterworth. "The Political Aspects of Islamic


Philosophy: Essays in Honor of Muhsin S. Mahdi." (1992).

Mattock, J. N. "Seyyed Hossein Nasr: Science and civilization in Islam. XIX, 21–384
pp. cambridge, Mass., Harvard University Press, 1968.(Distriuted in GB by
oxford University Press. 85s. 6d.)." Bulletin of the School of Oriental and
African Studies 32.3 (1969): 618-619.

Nasr, Seyyed Hossein, and Oliver Leaman, eds. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam:
Buku Pertama. Penerbit Mizan, 2003.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Gaya Media Pratama, 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai