Anda di halaman 1dari 12

PEMBACAAN HERMENEUTIS TERHADAP FATWA-FATWA

KEAGAMAAN (KHALED ABOU EL-FADHL)

Dosen Pengampuh :

Dr. Fawaizul Umam, M.Ag.

Oleh :

Fathul Ghaffari / NIM : 233206080011

PENDAHULUAN

Fatwa-fatwa keagamaan merupakan sumber utama hukum islam. selain

dari Al-qur’an dan Hadist, Fatwa-fatwa keagamaan adalah hasil dari sari patih

pengkajian dua nash yang kumudian dirumuskan menjadi fatwa-fatwa

keagamaan. Dan tidak menganggap fatwa keagmaan sebagai kebenaran yang

absolud sama dengan posisi Al-qur’an dan Hadist sebagai sumber utama yang

paling utama. Oleh karna itu fatwa-fatwa keagamaan juga perlu pengkajian demi

meloloskannya dalam praktik social beraga.

Salah satunya adalah Khalid Abou El-fadhl yang melakukan kritik

terhadap fatwa-fatwa keagamaan melalui konsep hermeneutika otoritatif. Konsep

tersebut merupakan cabang dari pemikiran Hermeneutika Khalid berangkat dari

keresahannya terhadap beberapa fatwa yang ditetapkan Council for Scientifik

kReserch and Legal Opinion (CRLO) di Arab Saudi dan Amerika. 1 Beberpa fatwa

yang ditetapkan oleh CRLO, terutama yang berkaitan dengan hukum misoginis,

yang menurut Khaled cenderung diskriminatif, menghina kaum perempuan dan

bertentangan dengan tujuan awal hukum islam. Dia berpendapat, tidak seharusnya

1
Fadhilah I. (2017), “Fatwa Kontroversial CRLO dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl (Studi
Kritik Otoritarianisme Fiqh),” Jurnal IQTISAD.(4),2,112.
wanita menderita untuk dikucilkan dan dibatasi dikarenakan lemahnya moral laki-

laki. Di antara fatwa-fatwa tersebut ialah hukum wanita mengemudi mobil,

hukum wanita menggunakan bra, hukum wanita membatalkan shalat laki-laki,

hukum laki-laki meminum air susu istrinya, hukum wanita berziarah kubur,

hukum wanita membuka hijab karena alas an medis dan sebagainya. 2

Menurutnya fatwa-fatwa tersebut merendahkan kedudukan wanita dan

penetapannya dianggap sebagai kehendak Allah SWT. Yang tidak dapat

diperdebatkan dan final. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep pemikiran

hermeneutika yang menganggap Al-qur’an sebagai tesk terbuka. Oleh karnanya

penetapan fatwa-fatwa tersebut oleh Khaled adalah bukan dari sebuah hasil yang

final melainkan mungkin untuk dikaji kembali. Bahkan menurut Khaled,

penetapan fatwa-fatwa tersebut masuk dalam kategori kezaliman dalam bertindak

dan otoritarianisme pemikiran hukum islam. Fatwa-fatwa dan ketentuan hukum

misoginis yang bias gender ini juga sudah banyak dikaji oleh swadaya

masyarakat, lembaga-lembaga dan pusat studi wanita di beberpa perguruan tinggi

di Indonesia. Oleh karena itu, kegelisahan akademik Khaled dan kontribusinya

masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai paradikma berpikir dan analisis

dalam menghadapi problematika hukum islam di zaman modern ini. 3

Dalam tulisan ini penulis ingin lebih membahas bagaimana konsep

pemikiran Khaled Abou El-Fadhl dalam menjawan permasalahan di era modern

dan merekonstruksi fatwa-fatwa keagamaan yang dinilai mengucilkan kaum

wanita secara umum.


2
Hakim, M. L. (2020). Hermeneutik-Negosiasi dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan: Analisis
Kritik terhadap Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl. istinbath, 19, 27-52.
3
Hakim, M. L. (2020). istinbath, 19, 27-52.
PEMBAHASAN

A. Biografi Khaled Abou El-Fadhl


Dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh lebih layak di awali dengan
mengetahui biografi tokoh yang akan diteliti, yang mana hasil sebuah penelitian
dari seorang tokoh sangat lah berpengaruh. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
sangat penting mengenal Khaled Abou El-Fadhl terlebih dahulu dengan melihat
biografinya.
Khaled Abou E-Fadhl, lahir di Kuwait pada 1963. Khaled sedari kecil
sudah dididik dengan ilmu-ilmu keislaman. Al-qur’an, Hadist, Bahasa Arab,
Tafsir dan Tasawuf telah diakrabinya sejak sekolah pendidikan dasar. Khaled
muda adalah seorang aktivis gerakan puritanisme yang tumbuh subur dalam
lingkungan wahabisme yang merupakan mazhab Negara Kuwait. Namun ia
kemudian memutuskan untuk berpindah ke Mesir setelah menyadari adanya
kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis pemikiran kaum
wahabi. Khaked memperoleh gelar B.A. (Bachelor Of Art) di Yale University,
Amerika Serikat 1986. Kemudian ia melanjutkan ke University Of Pennsylvania
yang selesai pada tahun 1989. Dan pada tahun 1999, ia melanjutkan ke Princeton
University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies dan pada saat yang
bersamaan ia menempuh studi hukum di University California Los Angeles
(UCLA). Di UCLA ia ditunjuk sebagai guru besar hukum islam dengan
menempuh sejumlah mata kuliah, seperti hukum islam, imigrasi, HAM dan
hukum keamanan nasional dan internasional. Selain UCLA ia juga aktif mengajar
hukum islam di Universitas Texas dan Universitas Yale. 4
Selain aktif mengajar di sejumlah Universitas Prestisius di dunia, ia juga
mengabdikan dirinya dalam bidang advokasi dan pembelaan HAM, hak-hak
imigrasi dan mengepalai sebuah lembaga HAM di Amerika. Pada rentang waktu
2003-2005 ia diangkat oleh George Walker Bush, Presiden Amerika saat itu,
sebagai salah satu anggota komisi internasional kebebasan beragama. Selain itu, ia

4
Qudsi, S. (2013). Perspektif Khaled Abou El-Fadl Dalam Membendung Otoritarianisme Tafsir
Keagamaan Melalui Hermeneutika Negosiatif. Religió Jurnal Studi Agama-
agama, 3(1). https://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/464
juga aktif sebagai penulis yang produktif, dan karya-karyanya tersebutlah yang
membawa namanya melambung tinggi dan diperhitungkan dalam blantika
diskurus intelektual, baik di Amerika maupun di dunia islam. Di antara karya-
karyanya meliputi ; Speaking in God’s law, And God Knows the Soldiers: the
Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourses: A Contemporary Case Study, Islam and
Challenge of Democracy, The Place of Tolerance in Islam,Conference of Books:
The Search for Beauty in Islam. Karya-karyanya ini pada umumnya sudah banyak
di terjemah ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, tentu masih banyak lagi
tulisan ilmiah Khaled yang lain, baik dalam bantuk artikel maupun jurnal ilmiah. 5

B. Hermeneutik dalam fatwa keagamaan


Salah satu kontribusi seorang Khaled adalah mengenai konsep pemikiran
tentang pembacaan fatwa-fatwa keagamaan menggunakan pendekatan
hermeneutika otoritatif yang merupakan cabang dari hermeneutika Khaled Abou
El-Fadhl. Dalam pemikirannya mengenai fatwa-fatwa keagamaan, Khaled sendiri
mengkaji ulang suatu penetapan hukum islam yang dianggapnya mendiskriminasi
kaum wanita dan juga ia mencoba merumuskan hukum islam dengan pengkajian
menggunakan metode ulama klasik dan menggunakan pendekatan Hermeneutik
Otoritatif.
Hukum islam yang sudah dirumuskan oleh ulama terdahulu pada priode
awal islam menjadi suburnya dinamika ijtihad. Di samping mazhab-mazhab fikih
yang mainstream yaitu Mazhab Hanafi, maliki, Syafi’i, Hanbali, Ibadi, Ja’far,
Zaidi dan Isma’ili, masih banyak lagi mazhab hukum yang telah punah, seperti
mazhab Ibnu Abi Laila, Sufyan Al-Tsauri, Al-Tabari, Al-Laits ibn Sa’d, Al-
Auza’I, Abu Tsur, Az-Zahiri dan lain-lain. Bahkan dalam satu mazhab hukum
islam adalah pengakuan dan penghargaan atas konsep Ikhtilaf.
Namun sangat disayangkan, prinsip ini hanya menjadi jargon kebanggaan
belaka. Pada prakteknya, tidak jarang didapati beberapa guru agama bersikeras

5
Raisul, R. (2015). Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl. Mazahib.
https://doi.org/10.21093/mj.v14i2.343
membela ortodoksi dalam islam. Meskipun mengajarkan kebenaran yang bias
diperoleh oleh semua orang, egalitarianism dan keberagaman, mereka tidak henti
mengingatkan bahaya bid’ah, fitan (kekacauan dan perpecahan) dan ilmu kalam,
mereka bersikeras menyatakan bahwa doktrin islam kebanyakan bersifat padu,
tunggal, terbukti benar dengan sendirinya. Ada perasaan bangga atas gagasan
tentang keterbukaan dan aksesibilitas terhadap kebenaran, tetapi juga ada
kecemasan menghadapi penghancuran keberwenangan khazanah intelektual
Islam.rasa cemas inilah yang mengakibatkan munculnya kesewenang-wenangan
dalam hukum islam. Sebagai poros agama. Hukum islam mengalami trauma
Modernitas dan kolonialisme dan ini berdampak pada munculnya sikap otoriter
dalam memperlakukan teks-teks yang bersifat otoritatif atau yang disebut dengan
otoritarianisme. 6 Otoritarianisme adalah tindakan mengunci kehendak tuhan, atau
kehendak teks dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan
penetapan tersebut sebagai suatu given, pasti, absolut dan menentukan. 7
Menurut Khaled tindakan demikian mewabah pada masyarakat muslim
kontemporer, dimana para ahli hukum telah melakukan penafsiran yang bersifat
otoriter terhadap teks-teks Al-Qur’an dan tradisi kenabian. Pasalnya menurut
penelitian Khaled telah terjadi semenjak tahun 1975. Menurutnya, para tokoh
agama tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara atas nama Tuhan
atau bahkan sebagai corong tuhan itu sendiri. Oleh karna itu akan mungkin
terjadinya perselingkuhan agama dengan kekuasaan yang sangat berbahaya jika
pengakuan absolut ini bercampur dengan kekuasaan despotic. 8
Kemudian Khaled menewarkan sebuah solusi dari keprihatinannya
mengenai fatwa-fatwa keagamaan berupa Hermeneutika Otoritatif. Menurut ia
perangkat hermeneutika adalah solusi dalam menghadapi fenomena
otoritarianisme dalam pemikiran islam. 9 Dan ini merupakan prosedur metodologis

6
Majid A., (2013) “Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam
Buku Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, And Women)”, Jurnal Al-Ulum, (13) 2,
295.
7
Raisul, R. (2015). Mazahib. https://doi.org/10.21093/mj.v14i2.343
8
Sofyan, M. (2015). Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl. KALAM, 9(2), 373-
392. http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
9
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
terkait dengan relasi antara ketiga unsur pengarang, teks dan pembaca.
Pendekatan tersebut digunakan untuk memposisikan bagaimana sesungguhnya
hubungan antara teks atau nash, penulis atau pengarang dan pembaca. Untuk itu
Khaled membuat konsepsi baru terkait dengan teks, pengarang dan pembaca
sebagaimana berikut :
1. Al-Qur’an dan Hadist adalah teks terbuka
Al-Qur’an dan Hadist walaupun berbeda dalam tingkat hirarkinya,
haruslah diperlakukan sama. Dalam hal ini meminjam istilah Umberto Eco
keduanya adalah karya yang terus berubah. Dalam artian keduanya terbuka
untuk berbagai interpretasi. Pendapat yang demikian akan menjadikan teks
bebicara dengan suara yang diperbaharui oleh masing-masing generasi
pembaca karena maknanya tidak permanen dan dapat berkembang secara
aktif. Jadi, sebuah teks akan tetap relevan dan menduduki posisi sentral
keterbukaannya. Sehingga para pembaca akan selalu merujuk kepada teks
karena teks dapat menghasilkan pemahaman dan interpretasi baru. 10
Dalam anlisisnya, hal inilah yang dibenarkan secara moral.
Menurutnya jika teks Al-Qur’an dan Hadist diinterpretasikan menjadi sebuah
makna yang stabil, tetap dan tidak berubah, maka konsekwensinya adalah
teks menjadi menutup dan menyegel maknanya dengan interpretasi pembaca.
Secara moral ini sangat tidak bisa dibenarkan karena merupakan bentuk
kesombongan. Karena seorang pembaca menilai memiliki suatu pengetahuan
yang identik dengan pengetahuan Tuhan. Dengan demikian seakan-akan ia
bebicara bahwa interpretasinya identik dengan makna teks yang sebenarnya.
Hal ini akan mengakibatkan hilangnya otonomi tesk dan secara teologis ini
bermasalah karena bersebrangan dengan kemutlakan pengetahuan tuhan.
Sedangkan Al-Qur’an secara tegas menyatakan kemutlakan Tuhan dan
pengetahuannya yang tidak dapat dijelaskan dengan pengetahuan siapapun. 11

10
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
11
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
2. Pembaca dan lima persyaratannya
Walaupun Khaled menganggap Al-Qur’an sebagai teks yang bebas,
terbuka dan otonom, namun demikian Khaled merasa perlu membatasi
otoritarianisme pembaca dengan lima syarat. Kelima syarat tersebut
diantaranya adalah: 12
a. Kejujuran, dimana seorang ahli hukum dituntut tidak bersikap pura-pura
memahami apa tang sebenarnya tidak diketahui dan bersikap terus terang
sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah Tuhan.
b. Kesungguhan, dimana seorang ahli hukum harus memaksimalkan
kemampuan yang ia perlukan dalam mengklaim secara jujur bahwa
dirinya telah melakukan semua hal yang bisa dilakukan untuk menemukan
dan memehami segala petunjuk yang ada, dan harus bersedia
mempertanggung jawabkan tindakannya di hadapan Tuhan kelak di
akhirat.
c. Kemenyeluruhan, seorang ahli hukum telah mencoba untuk menyelidiki
perintah tuhan secara menyeluruh dan telah mempertimbangkan semua
perintah yang relevan, membuat upaya terus menerus untuk menemukan
semua perintah yang relevan, dan tidak melepas tanggung jawab untuk
menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu.
d. Rasionalitas, seorang ahli hukum telah melakukan upaya penafsiran
dengan menganalisis perintah tuhan secara rasional.
e. Pengendalian diri, seorang ahli hukum harus menunjukkan tingkat
kerendahan hari dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan
kehendak Tuhan.
3. Negosiasi antara Teks, Pengarang dan Pembaca
Konsepsi mengenai teks Al-Qur’an, Hadist dan Syarat pembaca diatas
adalah sebuah konsepsi untuk mewujudkan sebuah negosiasi makna antara
pembaca dan teks yang akan dimaknai. Dalam preses negosiasi sangat
ditekankan latar belakang social historis Al-Qur’an. Khaled menyatakan
bahwa wahyu selalu dimediasikan oleh kondisi-kondisi historis yang berlaku.

12
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
Menurut Khaled Hakikat-hakikat petunjuk Al-Qur’an bisa dilihat dalam
lembaran sejarah. Oleh karenanya ia menitik beratkan pada konteks sosio-
historis yang dijadikan sebagai makna dan petunjuk-petunjuk lafadz Al-
Qur’an. 13
Lebih lanjut mengenai pendekatan metodologis yang dipilih oleh Khaled
dalam menganalisis persoalan otoritas adalah dengan enerima tradisi hukum
sebagai dari komunitas makna yang relevan dan secara normatif bekerja dalam
tradisi tersebut. Tradisi hukum dan konsepsinya tentang otoritas merupakan
pembahasan yang terfokus dalam memahami otoritas. Menurut Khaled
Otoritarianisme adalah merujuk pada sebuah metodologi hermeneutika yang
merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks
kedalam pembacaan yang sangat subyektif dan selektif. Subjektifitas yang selektif
dari hermeneutika otoriter ini melibatkan penyamaan antara maksud pengarang
dan maksud pembaca dengan memandang maksud tekstual dan otonomi teks
sebagai hal yang bersifat sekunder.
Dengan demikian konsep otoritarianisme menurut khaled adalah tindakan
mengunci atau mengurung kehendak Tuhan, atau kehendak teks dalam sebuah
penetapan tertentu, dan kemudian disajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu
yang pasti, absolut dan menentukan. Otoritarianisme adalah tindakan yang
melampaui otoritas atau kekuasaan yang dimandatkan sedemikian rupa sehingga
menyelengkan atau mengambil kekuasaan pemberi mandat. Menurutnya
metodologi tafsir otoriter akan menggerogoti integritas teks-teks dalam islam dan
dapat mengikis daya guna dan kekuatan dinamis hukum islam. Sehingga dengan
mengidentifikasi anatomi wacana otoriter khaled menewarkan alternatif untuk
menjunjung otoritas teks dan membatasi otoritarianisme pembaca. 14
Secara aplikatif, spirit hermeneutika yang dikampanyekan Khaled di atas
dapat dilihat dari penafsirannya mengenai makna qawwamun dalam Surat An-
Nisa’ ayat 34 :

13
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
14
Qudsi, S. (2013). Perspektif Khaled Abou El-Fadl Dalam Membendung Otoritarianisme Tafsir
Keagamaan Melalui Hermeneutika Negosiatif. Religió Jurnal Studi Agama-
agama, 3(1). https://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/464
‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم‬
Artinya; “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.
Menurut Khaled, kata qawwamun mengandung beragam terjemahan sesuai
dengan cara kata tersebut dipahami dan diinterpretasikan. Kata tersebut bisa
berarti “pelindung, pendukung, penguasa atau pelayan” dalam kesemuanya itu,
pasal pentingnya adalah bahwa ayat tersebut tidak menentukan hubungan laki-laki
dan perempuan dengan cara yang absolut dan tidak bergantung. Sebaliknya ayat
tersebut menurut Khaled, secara eksplisit menyatakan bahwa apa pun statusnya –
apakah sebagai pelindung atau pendukung- ia adalah status yang bergantung pada
aksi manusia (yaitu “sesuai dengan kekayaan yang dinafkahkan untuk yang lain”)
dan bergantung pada tindakan Tuhan (yaitu, dengan kelebihan yang Allah
anugrahkan kepada seseorang di atas seseorang yang lain). 15
Selain itu kata fadhdhola yang dengan ragam derivasinyadalam al-Qur’an-
bermakna suatu anugrah atau preferens dan spiritual yang dilimpahkan oleh
Tuhan, baik sebagai ganjaran atas amal kebajikan maupun sebagai tindak
penganugrahan. Jika diteliti lima puluh ayat al-Quran yang menggunakan
kosakata fadhl, maka akan ditemukan fakta yang nyata bahwa baik pahala
maupun anugrah Tuhan, keduanya bisa diperoleh oleh siapa pun yang
mencarinya. Dengan pemahaman ini, kita bisa mengerti bahwa laki-laki dan
perempuan sama-sama memenuhi syarat untuk memperoleh anugrah dan pahala
dari Tuhan. otoritas yang diberikan kepada laki-laki di atas perempuan tidak
dikarenakan mereka adalah laki-laki, tetapi karena dalam kesejarahan tertentu,
laki-laki secara finansial menafkahi perempuan. Namun, bila kondisi berubah, dan
perempuan memiliki tanggung jawab financial yang sama dengan laki-laki,
otoritas harus dibagi secara adil di antara keduanya.16

15
Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi,
2006),320-321
16
Khaled, (Jakarta: Serambi, 2006),320-321
BAB III

PEMUTUP

A. Kesimpulan
Pemikirannya mengenai fatwa-fatwa keagamaan, Khaled Abou El-Fadhl
sendiri mengkaji ulang suatu penetapan hukum islam yang dianggapnya
mendiskriminasi kaum wanita dan juga ia mencoba merumuskan hukum islam
dengan pengkajian menggunakan metode ulama klasik dan menggunakan
pendekatan Hermeneutik Otoritatif.
Hukum islam mengalami trauma Modernitas dan kolonialisme dan ini
berdampak pada munculnya sikap otoriter dalam memperlakukan teks-teks yang
bersifat otoritatif atau yang disebut dengan otoritarianisme. Otoritarianisme
adalah tindakan mengunci kehendak tuhan, atau kehendak teks dalam sebuah
penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai suatu
given, pasti, absolut dan menentukan.
Sehingga hukum yang dihasilkan menurut Khaled akan berdampak cacat
dalam pengamalannya dan juga akan memicu terjadinya sikap yang otoriter, maka
hukum islam bukanlah sebagai menjawab dari persalahan yang terjadi akan tetapi
akan menimbulkan permasalahan yang baru.
Oleh karena itu, Khaled memunculkan sebuah penawaran dalam
merekontruksi hukum islam yang nantinya akan diangkat sebagai fatwa-fatwa
keagamaan dengan tetap menggunakan metode klasik yang dipadukan dengan
pendekatan Hermeneutik.
DAFTAR PUSTAKA

Fadhilah I. (2017), “Fatwa Kontroversial CRLO dalam Pandangan Khaled Abou


El Fadl (Studi Kritik Otoritarianisme Fiqh),” Jurnal IQTISAD.(4),2,112.

Hakim, M. L. (2020). Hermeneutik-Negosiasi dalam Studi Fatwa-Fatwa


Keagamaan: Analisis Kritik terhadap Pemikiran Khaled M. Abou El
Fadl. istinbath, 19, 27-52.

Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustofa, (Jakarta:
Serambi, 2006),320-321

Majid A., (2013) “Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou
El Fadl dalam Buku Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority,
And Women)”, Jurnal Al-Ulum, (13) 2, 295.

Qudsi, S. (2013). Perspektif Khaled Abou El-Fadl Dalam Membendung


Otoritarianisme Tafsir Keagamaan Melalui Hermeneutika
Negosiatif. Religió Jurnal Studi Agama-
agama, 3(1). https://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/
464

Raisul, R. (2015). Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl. Mazahib.


https://doi.org/10.21093/mj.v14i2.343

Sofyan, M. (2015). Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-


Fadl. KALAM, 9(2), 373-392. http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337

Anda mungkin juga menyukai