Dalam dunia Islam eksistensi teks al-Qur’an merupakan representasi dari otoritas Allah SWT
untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sementara Nabi muhammad SAW pada
zamannya dipandang sebagai orang yang paling otoritatif untuk menafsirkan semua kehendak Allah
SWT. Namun, pada generasi berikutnya muncul berbagai problem dalam menafsirkan teks. Dengan
mengatasnamakan teks-teks suci dan melegitimasi pemikirannya tanpa memperhatikan aspek moral
dalam hukum, banyak orang temasuk organisasi pemberi fatwa terjebak pada tindakan “otorianisme
interpretasi”. Dilihat dari isi penafsiran dan pemahaman, disiplin ilmu yang pertama dan yang
banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Oleh karena itu, hermeneutika
selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran, dan penterjemahan atas sebuah pesan
(tulisan atau lisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang
berbeda dan sangat kompleks.
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
Khaled Abou El-Fadl adalah nama lengkapnya. Ia lahir di Kuwait, pada tahun 1963.
Sebagaimana orang Arab pada umumnya, Abou El-Fadl sejak dini ditempa dengan
pendidikan dasar-dasar keislaman. Al-Qur’an., hadits, tafsir, tata bahasa arab, tasawuf
dan filsafat merupakan mata pelajaran yang dikunyah sejak di bangku madarasah.
Bahkan, minatnya pada keilmuan dan tradisi islam pada umumnya sangat kentara dalam
pikiran-pikirannya. Perpustakaan pribadi, baik di rumah maupun kantornya, University
of Calivornia Los Angeles dipadati dengan kitab-kitab klasik, seperti Dar As-Salam di
Mesir atau Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah di Beirut.
Khaled M. Abou El-fadl adalah pemuda yang dibesarkan dalam kondisi social Mesit,
termasuk orang mengalami kekecewaan mendalam atas kegagalan pan Arabisme dalam
perang 1967. Kekalahan tersebut, baik oleh keluarga maupun para guru Azharnya,
dinyatakan sebagai kekalahan nasionalisme Pra-Arab, dan bahwa jalan keluar yang
paling masuk aka hanyalah kembali kepada autentisitas Islam.
Khaled M. Abou El-fadl lahir dalam keluarga yang sederhana akan tetapi mempunyai
kualitas pendidikan yang sangat tinggi. Orang tuanya adalah seorang muslim yang taat
beribadah dan sangat terbuka dalam bidang pemikiran.
Maka persoalan “bais gender” tersebut dijadikan pijakan Abou El-Fadl untuk menganalisis sebuah lembaga yang
mempunyai otoritas mengeluarkan fatwa. Pendekatan hermeneutic yang dimaksudkan adalah mengapa dalam dunia modern
sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap di berbagai tempat yaitu adanya kecenderungan untuk
mengambil alih begitu saja kekuasaan (otoritas) pengarang (author) otoritas ketuhanan untuk membenarkan tindakan
sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh pembaca teks-teks atau nash-nash keagamaan.[1] Inilah yang
oleh Abou El-Fadl diistilahkan dengan problem otoritas tekstual yang diperhatikan dewasa ini.
mengutip dari bukunya khaled Abou El-Fadl mengusulkan lima persyaratan sebagai katub pengaman supaya
tidak mudah melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan , yaitu :
1. Kejujuran (honesty), yaitu sikap tidak berpura pura memahami apa yang sebenarnyab tidak ia ketahui dan
bersikap terus terang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
2. Kesungguhan (diligence), yaitu upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus
dihindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain. Semakin besar pelanggaran terhadap orang lain, semakin
besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
3. Keseluruhan (comprehensiveness) , yaitu upaya untuk mempertimbangkan semua nash yang relevan.
4. Rasionalitas (reasonableness), yaitu upaya penafsiran dan analisis terhadap nash secara rasional.
5. Pengendalian diri (self-restraint), yaitu tingkat kerendah hatian dan pengendalian diri yang layak dalam
menjelaskan kehendak Tuhan.[1]
[1] M. Amin Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 165.
KESIMPULAN
Kegelisahan yang dirasakan Abou El Fadl –begitu juga dengan para akademika yang lain– tidak lepas dari serbuan
gerakan fundamentalis yang menyerukan kembali kepada “fundamentals” (dasar-dasar) agama secara “penuh” dan
“literal,” bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpertasi. Sebuah gerak yang sebernarnya justru telah
mengkudeta otoritas. Meinstrem otoritas sendiri bagi Abou El Fadl sangat penting, sebab tanpa otoritas yang terjadi
adalah beragama secara subjektif, relatif dan individual.
Dengan mengispirasikan teks tetap bebas, terbuka, dan otonom sebagai kehendak Tuhan, maka Abou El Fadl
menempatkan perangkat yang akan mengantarkan kepada sebuah pemahaman untuk mendekati kehendak Tuhan.
Dalam hal ini adalah gagasan-gagasan yang selama ini menjadi problem hermeneutis. Dan itulah yang telah menjadi
gagasan Abou El Fadl.
Adapun gerak heremenutika tersebut antara lain adalah membutuhkan “keseimbangan kekuatan” yang harus ada
antara maksud teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, penetapan makna berasal dari proses yang
kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca).
dalam membaca teks agar tidak terjadi penyelewengan otoritas harus memenuhi “lima syarat keberwenangan”
sebagai prinsip-prinsip penafsiran yang “bertanggung jawab”. Antara lain, kejujujuran, kesungguhan,
kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri. Pada persoalan lain, kenyataan bahwa pembaca/penafsir tidak
bebas asumsi, maka dalam menafsirkan terkadang bertentang dengan teks. Dalam kondisi semacam ini
pembaca/penafsir harus melakukan jedaketelitian terhadap teks.