Pihak Otoriter
Dalam bukunya yang berjudul “Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritas” yang merupakan terjemahan dari karya Abou el-Fadl yang berjudul Speaking in
“God’s Name: Islaic Law, Authority and Women”, Abou el-Fadl memulai pemahaman
mengenai istilah otoritas (wewenang) dan keberwenangan, degan membuat perbedaan antara
otoritas yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif, yang dijabarkan dalam poin-
poin berikut;
1. Otoritas Koersif
Merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang laindengan cara membujuk,
mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat
akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak memiliki pilihan lain, kecuali
harus mematuhinya.
2. Otoritas Persuasif
Melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Hal ini merupakan kemampuan untuk
mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.2
1
Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam¸ “Konsep Otoritas dan Otoritarianisme Penafsiran Khaled Abou el-Fadl”,
dalam Jurnal Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman Vol.4, No.1., (Juni 2016), hlm.32.
2
Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan ,dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R. Cecep
Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004) hlm.37.
Contoh dari otoritas persuasif adalah pendapat para ahli hukum (yakni kalangan
‘Ulama’, Fuqaha’ Mullah, Syaikh atau Imam), karena keahlian teknis di bidang hukum dan
peran kesejarahan mereka sebagai pengacara dan pakar pada bidang yurisprudensi. Namun,
pendapat para ahli hukum tersebut tidaklah bersifat memerintah atau mengikat. Pendapat
para ahli hukum tersebut dikenal sebagai fatawa. Fatawa dapat meliputi persoalan tertentu
yang berkaitan dengan kepentingan khusus seseorang maupun persoalan tertentu yang
menjadi perhatian publik. Pada era klasik, sarjana Muslim menyusun kualifikasi ketat yang
harus dilalui seorang ahli hukumsebelum dirinya dipandang memenuhi syarat untuk
mengeluarkan suatu fatwa. Sebuah fatwa boleh jadi bernilai otoritatif bagi sejumlah
Muslim namun tidak bagi yang lain. Keputusan menerima aau menolak sebuah fatwa
sepenuhnya bergantung pada setiap Muslim. Biarpun begitu, keputusan seorang Muslim
dalam menerima atau menolak suatu fatwa diharuskan untuk tidak didasarkan pada
kehendak nafsu (hawa) atau suasana hatinya.3
Gagasan tentang al-istibdad bi al-ra’y sering kali digunakan sebagai sebuah kaidah
bahasa hukum dan teologi yang berarti pemaksaan pendapat tanpa otoritas yang semestinya.
Dalam konteks histrorisnya, ungkapan tersebut telah digunakan sebagai amunisi bahasa untuk
menghadapi kelompok yang dipandang menyimpang dan sektarian. Ungkapan al-istibdad bi
al-ra’y, sering kali digunakan untuk menggambarkan epistemologi kelompok sektarian yang
selalu dituduh oleh para ahli hukum sebagai ahl al-ahwa’ (pengikut nafsu). Terlepas dari kaidah
bahasa historis tertentu yang melingkupinya, ungkapan tersebut menyiratkan sebuah landasan
ontologis yang penting dalam budaya hukum Islam. Despotisme intelektual dalam islam
disejajarkan dengan penolakan terhadap bukti tekstual dan pengabdian terang-terangan
terhadap komunitas makna yang dibangun di sekitar bukti-bukti tekstual tersebut.
3
Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006), hlm.42-43.