Anda di halaman 1dari 8

STANDARD OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) PADA KEGIATAN HISAB DAN

RUKYATUL HILAL

Fiki Nuafi Qurrota Aini


Pascasarjana Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
Email: ichisatssuga@gmail.com

Pendahuluan
Penentuan awal bulan pada tahun Hijriyyah di Indonesia, merupakan permasalahan
ijtihad yang seringkali terjadi perselisihan dan perbedaan dalam penetapannya. Penentuannya,
dapat dilakukan dengan cara menghitung siklus peredaran Bulan (Hisab), yang kemudian
dilengkapi dengan cara melihat awal kenampakan Bulan Sabit (Rukyatul Hilal). Hilal haruslah
dapat terlihat, sebagai penentu awal bulan baru tahun Hijriyyah. 1 Penetapan awal bulan
Hijriyyah di Indonesia sendiri dibedakan menjadi empat kelompok besar, yakni:pertama, yang
berpegang pada rukyat. Kedua, yang berpegang kepada ijtima’ qabla al-ghurub (seelum
MAtahari terbenam). Ketiga, kelompok yang berpegang pada wujud al-hilal di atas ufuk
hakiki, dan yang keempat, adalah yang berpegang pada kedudukan hilal di atas ufuk mar‘i.2
Secara garis besar, perhitungan (Hisab) dapat digunakan sebagai acuan dalam
melakukan kegiatan Rukyatul Hilal, namun tidak dapat digunakan sebagai penentuan awal
bulan. Oleh karenanya, dalam setiap penentuan awal bulan, kedua metode ini haruslah saling
berkesinambungan. Dapat dikatakan, kesuksesan kegiatan Rukyatul Hilal tersebut, di dalamnya
terdapat hisab yang dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Beberapa kegiatan yang
pelaksanaannya berhasil, terdapat beberapa prosedur yang sangat terorganisir di dalamnya.
Prosedur tersebut dijadikan sebagai sebuah tolok ukur dalam setiap pelaksanaan kegiatan.
Tidak terkecuali dengan kegiatan Hisab Rukyatul Hilal. Kegiatan menentukan awal Bulan
Hijriyyah ini, ada baiknya juga harus memiliki beberapa standar prosedur (SOP) yang telah
dirumuskan dan disepakati beberapa pihak yang berwenang dalam hal Ilmu Falak, sehingga
dalam pelaksanaan Hisab Rukyatul Hilal, diharapkan tidak ditemukan perselisihan.

Kata Kunci: Rukyat, Hisab, SOP.

1
Ahmad Izzuddin, Sistem Penanggalan, (Semarang: CV.Karya Abadi Jaya, 2015), hlm.16.
2
Rupi’i Amri, Upaya Penentuan Kalender Islam di Indonesia (Studi atas Pemikiran Thomas
Djamaluddin), (Jurnal Kamsi, Politik Hukum islam pada Masa Orde Baru (1-13)), hlm.5.
Pengertian Standard Operational Procedure (SOP)

Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan
metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan
syarat-syarat keselamatan, kemanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan
datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan standardisasi adalah
proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.3
Standard Operational Procedure (SOP) merupakan suatu perintah (instruksi) tertulis,
yang berisikan dokumen tentang beberapa rutinitas atau aktifitas yang diikuti oleh sebuah
organisasi.4 Sedangkan Sistem Standarisasi Nasional (SSN), adalah tatanan jaringan sarana dan
kegiatan standarisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi
penelitian dan pengembangan standarisasi, perumusan standar, penetapan standar, akreditasi,
sertifikasi, pembinaan dan pengawasan stadarisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi,
pemasyarakatan dan pendidikan dan pelatihan standarisasi.5
Beberapa pengertian di atas, menunjukkan bahwa segala kegiatan ataupun usaha
haruslah memiliki beberapa standar atau beberapa aturan dasar yang terperinci. Demi menjaga
serta menjamin keberlangsungan suatu kegiatan, terutama dengan kegiatan yang sifatnya
adalah untuk kepentingan bersama, maka hal tersebut haruslah dijadikan sebagai asas
pokoknya. Sehingga pada akhirnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan tersebut
tidaklah terdapat perbedaan ataupun perselisihan di dalam pelaksanaannya. Seluruh
standarisasi yang telah menuai kesepakatan bersama, pastinya telah melalui beberapa
pemikiran yang matang dari seluruh pihak yang berwewenang di dalamnya.

Sekilas Mengenai Hisab dan Rukyatul Hilal.

Secara metodologi, hisab dan rukyat menampilkan sesuatu yang sama dengan cara yang
berbeda. Keduanya berupaya mengetahui posisi dan penampakan hilal. Rukyat tidak lain
adalah metodologi observasi langsung. Sedangkan hisab, mencoba mengembangkan

3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, BAB
I tentang Ketentuan Umum, Pasal I, Poin 1 dan 2.
4
Environmental Protection Agency, Guidance for Preparing Standard Operating Procedures (SOPs),
(Washington DC: Office of Environmental Information, 2007), hlm.1.
5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, BAB
I tentang Ketentuan Umum, Pasal I, Poin 16.
kemamuan akal melalui metode induksi dan deduksi untuk memahami realitas penampakan
hilal yang telah diperoleh dari pengalaman rukyat. Rukyat merupakan suatu metode empiris
dengan cara melihat Bulan secara langsung atau menggunakan alat bantu optik seperti halnya
teleskop.6

Rukyat dikenal sebagai sistem penentuan awal bulan Qamariyah terutama Bulan
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, sejak masa Rasulullah saw., dan permulaan Islam. Pada
masa itu, rukyatul hilal dilaksanakan dengan cara yang sederhana, yakni degan pengamatan
hilal secara langsung tanpa menggunakan bantuan alat.7 Nabi mensyari’atkan penentuan Bulan
baru dengan rukyatul hilal karena cara inilah yang dianggap paling sesuai, paling mudah dan
tidak menyulitkan serta sudah familiar bagi umat Islam pada masa itu. Terlebih pada masa itu,
Nabi menjelaskan bahwa umat Islam masih dalam keadaan ummi (tidak dapat menulis ataupun
berhitung).8

Rukyat juga memiliki beberapa kriteria yang menjadi penentu, sebagai pengesahan
apakah hilal yang terlihat tersebut telah sah untuk dijadikan sebagai penentuan awal bulan baru.
Dalam kriteria inilah, terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Seperti halnya yang terdapat
dalam kriteria rukyat qoblal ghurub. Pada dasarnya, rukyat qoblal ghurub tidak ada bedanya
dengan ijtima’ qoblal ghurub. Terjadinya ijtima’ (konjungsi) tidak secara otomatis membuat
Bulan berada di sebelah timur MAtahari, hal ini dikarenakan ijtima’ yang menjadi acuan adalah
lingkaran bujur ekliptika dan bukan lingkaran waktu. Selain itu pula, beberapa ormas Islam
banyak juga yang memiliki perbedaan pendapat mengenai kriteria ini. Seperti halnya NU,
Muhammadiyah, PERSIS, al-Irsyad dan al-Washiliyah. Ormas-ormas Islam tersebut, dalam
membuat kriteria awal bulan Qamariyah telah bersepakat bahwa saat ghurub, Bulan baru sudah
harus di atas ufuk dan tidak hanya sekedar sudah terjadi ijtima’ (konjungsi). Hanya saja,
perbedaan dari beberapa ormas tersebut adalah terletak pada penetapan ketinggian Bulan baru
saat ghurub.9

Sementara itu, terdapat kriteria Bulan baru yang telah ditetapkan berdasarkan
musyawarah Menteri Agama Brunei Darussalan, Indonesia, Malaysia dan Singapura

6
Sakirman (Dosen STAIN Jurai Siwo Metro), dalam tulisannya yang berjudul Kontroversi Hisab dan
Rukyat.
7
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam (Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah Pilihan Kita?),
(Jakarta: PT.Elex Meda Komputindo, 2013), hlm.78.
8
Sakirman (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Metro), Konstruk Sosial dalam Konveregensi Hisab dan
Rukyat, (Jurnal Nuansa, Vol.14 No.2, Juli-Desember 2017), hlm.283.
9
Slamet Hambali, dalam materi yang disampaikan pada saat Seminar di Fakultas Syariah UIN
Walisongo Semarang, tanggal 1 Juni 2015.
(MABIMS), dan telah dipakai secara resmi ntuk penentuan awal bulan baru Hijriyyah dengan
prinsip, bahwa:

1) Pada saat MAtahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan yang berada di atas cakrawala
minimal 2°.
2) Memiliki sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-MAtahari minimal 3°, dan
3) Pada saat Bulan terbenam, usia Bulan minimal berumur 8 jam, yang dihitung sejak awal
ijtima’.10

Adapun ormas-ormas Islam memiliki kriteria seperti berikut:

1) Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal dengan ketentuan pada saat ghurub
syams ijtima’ sudah terjadi dan Bulan tidak mendahului untuk terbenam.
2) NU, PERSIS, al-Irsyad dan al-Washliyah menggunakan kriteria imkanur rukyat, dengan
ketentuan pada saat ghurub syams diperkirakan Bulan baru ada kemungkinan sudah dapet
terlihat. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan, seperti berikut:
a. NU harus rukyat dengan menerima imkanur rukyat kriteria MABIMS. Imkanur rukyat
digunakan untuk menolak laporan kesaksian hilal. Sedangkan jika sudah imkanur
rukyat, namun belum terdapat laporan hasil rukyat, maka harus mengistimalkan jumlah
hari dalam Bulan tersebut.
b. PERSIS dan al-Irsyad, menggunakan kriteria LAPAN (yang kriteria nya lebih tinggi
dibandingkan dengan kriteria MABIMS), dan tidak perlu untuk mengadakan rukyat.
c. Al-Washliyah menggunakan kriteria MABIMS, namun tidak perlu untuk mengadakan
rukyat.11

Adapun dalam sistem hisab, perkembangannya di Indonesia memiliki dua macam


madzhab di dalamnya, yakni Hisab Urfi dan hisab Hakiki. Hisab urfi dalam konteks ke-
Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab” tradisional ala Islam
Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”. Sedangkan mengenai
hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni sistem
yang berpendapat bahwa hakekat Bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya ijtima’.12

10
Ahmad Izzuddin, Sistem Penanggalan..........................., hlm.29-30.
11
Slamet Hambali, dalam materi yang disampaikan pada saat Seminar di Fakultas Syariah UIN
Walisongo Semarang, tanggal 1 Juni 2015.
12
Ahmad Izzuddin, dalam artikel yang berjudul Problematika Hisab Rukyah di Indonesia.
Terdapat beberapa rujukan sistem hisab yang digunakan oleh Kementerian Agama.
Berbagai rujukan inilah yang menjadikan perbedaan dalam perhitungan. Beberapa sistem hisab
tersebut yaitu:

1) Hisab Ḥaqīqī Taqrībī, dengan rujukan meliputi: Kitab Sullam al-Nayyirayn, Fatḥ al-Ra’ūf
al-Mannān, al-Qawā’id al-Falaqiyyah.
2) Hisab Ḥaqīqī Tahqīqī, dengan rujukan meliputi: Ḥisāb Ḥaqīqī, Badī’at al-Mīthāl, al-
Khulāṣah al-Wāfiyah, al-Manāhij al-Ḥamīdiyyah, Nūr alAnwār, Menara Kudus.
3) Hisab Kontemporer, dengan rujukan meliputi: New Comb, Jeen Meus, E.W. Brouwn,
Almanak Nautika, Ephemeris Hisab Rukyat, al-Falaqiyyah, Mawāqīt, Ascript, Astro Info,
Starry Night Pro 5.13

Untuk menjembatani antara madzhab hisab dengan madzhab rukyat, Departemen


Agma RI (sekarang adalah Kemenag RI) pada tahun 1998 telah menggagas kriteria visibilitas
hilal atau imkanur rukyat. Kriteria visibilitas hilal Departemen Agama RI tersebut mengacu
kepada kriteria kesepakatan MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia dan Singapura), yakni:

1) Tinggi hilal ≥ 2°;


2) Selisih antara Bulan-Matahari ≥ 3°;
3) Umur Bulan pada saat Matahari terbenam (ghurub) ≥ 8 jam setelah ijtima’.14

SOP pada Hisab dan Rukyatul Hilal.

Penentuan awal bulan tahun Hijriyyah di masa Nabi Muhammad, belumlah terdapat
perhitungan yang digunakan untuk menentukannya. Hal ini dikarenakan, pada saat itu, umat
Islam merupakan umat yang ummi15 (tidak menulis dan juga berhitung). Oleh karena keadaan
yang seperti itulah, umat Islam pada zaman itu, hanyalah mengikuti apa yang dilakukan Nabi
saw dalam menentukan awal bulan Hijriyyah, yakni dengan melihat Hilal dengan mata
telanjang (Rukyatul Hilal). Namun, hal ini tidak berarti bahwa umat Islam tidak diperbolehkan
untuk melakukan perhitungan astronomis untuk menentukan awal bulan Hijriyyah. Semakin

13
Siti Tatmainul Qulub, Telaah Kritis Putusan Sidang Istbat Penetapan Awal Bulan Qamariyah Di I
donesia Dalam Perspektif Ushul Fikih, (Jurnal Al-Ahkam, Volume 25, Nomor 1, April 2015), hlm.115.
14
Marwadi, Pembaruan Kriteria Visibilitas Hilal dan Peluangnya terhadap Penyatuan Kalender
Hijriyah di Indonesia (Studi Pemikiran LP2IF-RHI), (Jurnal al-Man𝑎̅hij, Volume VII Nomor 1, Januari 2013),
hlm.140.
15
Ummi, disadur dari ungkapan Nabi Muhammad saw, yakni ٌ‫ا َِّن أ ُ َمةٌ أ ُ ِميَّة‬. Namun dalam hal ini, bukan
berarti selamanya dan seluruhnya tidak mengerti baca tulis dan berhitung. Akan tetapi, kata ini sekadar gambaran
tentang kondisi Nabi saw dan bangsa Arab pada saat al-Qur`an turun. Baca Armin Juli Rakhmadi Butar-Butar,
Pengantar Ilmu Falak (Teori, Praktik dan Fikih), (Depok: Rajawali Press, 2018), hlm.85.
berkembangnya zaman, umat Islam dapet memanfaatkan ilmu pengetahuan yang ada, serta
memanfaatkan beberapa alat bantu yang dapat menunjang kegiatan Hisab Rukyatul Hilal.
Kegiatan memperkirakan (hisab) awal bulan Hijriyyah, belum banyak yang menerangkan
secara rinci tentang bagaimana standar prosedur yang tepat dalam pelaksanaannya. Akan tetapi,
jika kita telaah ke dalam beberapa buku dan kitab Ilmu Falak, banyak yang telah menerangkan
tentang tata cara menghitung awal bulan Hijriyyah.

Jika berbicara mengenai standarisasi dalam hisab dan Rukyatul Hilal, sebenarnya juga
belum terdapat titik temu diantara keduanya. Banyaknya perbedaan pendapat di dalam kriteria
maupun cara yang digunakan untuk melakukan kedua aktifitas tersebut, meski pada akhirnya
adalah sama-sama untuk menentukan awal bulan Qamariyah.
Di Indonesia, perbedaan pedoman ini tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam
memulai puasa dan berhari raya, bahkan ada kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan
yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab rukyat ini. Dari kasus-kasus yang tercatat di Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama, sejak tahun 1962, ada suatu kesimpulan bahwa jika ahli hisab
sepakat menyatakan hilal berada di bawah ufuq, maka tidak pemah ada orang yang melaporkan
bahwa hilal berhasil dirukyat. Ini artinya dalam keadaan hilal di bawah ufuq, kalangan hisab
dan kalangan rukyat selalu sepakat dalam memulai puasa atau berhari raya. Berlainan dengan
keadaan di Saudi Arabia, pernah terjadi kasuskasus yang menurut hisab hilal masih di bawah
ufuq namun diinformasikan berhasil dirukyat (kasus awal bulan Dzulhijjah tahun 1396
H/1976,1406 H/1986,1410 H/1990 dan 1413 H/1993). Sebaliknya, jika ahli hisab sepakat hilal
telah di atas ufuq, maka hampir selalu dilaporkan hilal berhasil dirukyat. Ini artinya, hasil hisab
hampir selalu sama dengan hasil rukyat. Di Indonesia memang unik, dimana seringkali terjadi
adanya laporan hilal terlihat walaupun di bawah kriteria untuk dapat dilihat. Keunikan ini
seringkali dijadikan sorotan para ahli astronomi, baik dalam maupun luar negeri, terhadap
kebijakan dan keadaan di Indonesia. Kasus perbedaan penetapan awal Ramadhan 1407 H/1987
dan 1422 H/2001 adalah di antara sedikit kasus perbedaan yang disebabkan murni karena
perbedaan hisab dan rukyat. Dalam kasus-kasus tersebut, ahli hisab sepakat bahwa di seluruh
wilayah Indonesia, hilal telah berada di atas ufuq, tapi tidak ada laporan yang menyatakan
melihat hilal.16
Adapun standarnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal adalah sebagai berikut:
1) Membentuk Tim Hisab Rukyat

16
Wahyu Widiana (Mahkamah Agung RI), Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan Permasalahannya di
Indonesia, (Jurnal al-Ulum Vol.10, Nomor 2, Desember 2010), hlm.255-256
Agar terkoordinasi dengan baik, maka tim ini hendaknya terdiri dari beberapa unsur terkait,
misalnya adalah beranggotakan dari orang-orang Kementrian Agama (sebagai koordinator),
Pengadilan Agama, ahli hisab, orang yang mumpuni dalam pelaksanaan rukyat, ataupun
juga bisa terdiri dari beberapa elemen masyarakat yang setidaknya juga memiliki keahlian
tersebut.
2) Sedia data hilal serta peta rukyat
Data hilal yangdiperlukan adalah sebagai berikut:
a. Waktu matahari terbenam
b. Arah matahari terbenam
c. Tinggi hilal
d. Arah hilal ketika:
1. Matahari terbenam
2. Hilal terbenam
e. Lama hilal
3) Menyediakan peralatan dan perlengkapan yang digunakan saat rukyatul hilal (dapat
menggunakan Theodolit, Gawang Lokasi, Teleskop ataupun alat optik lainnya).
4) Setelah seluruh peralatan maupun data sudah lengkap, maka saatnya hanya menunggu
waktu ghurub, sembari mengamati keadaan cuaca serta ketebalan awan pada daerah posisi
hilal.
5) Apabila kegiatan rukyatul hilal tersebut telah berakhir (telah berakhir masa ghurubnya),
maka segera dicatat hasil informasinya (semisal tentang keadaan ufuk, ketebalan awan,
waktu tampaknya hilal, siapa saja yang bersaksi melihat hilal dan sebagainya).17
6) Setelah seluruh kegiatan itu telah selesai, maka segera dilakukan pelaporan atas kesaksian
hilal, dengan langkah sebagai berikut:
a. Para saksi (orang yang berhasil menyaksikan hilal) segera menghadap ke Hakim Agama
untuk diitsbatkan hasil rukyat nya.
b. Baik hilal berhasil dapat dilihat ataupun tidak, tim rukyat sesegera mungkin harus
melaporkan hasil rukyat nya kepada Pemerintah (Kemenag RI).
c. Laporan yang dibuat cukup singkat saja, yaitu:
1. Nama, jabatan dan tempat pelapor
2. Hilal tampak atau tidak tampak (sesuai yang terjadi di lapangan).

17
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),
hlm.175-183.
3. Jika hilal tampak dan dapat dilihat, laporkan beserta beberapa orang yang
melihatnya.
4. Siapkan Daftar Perukyat dan blangko Berita Acara pelaksanaan rukyat.
Laporan hasil rukyat ini sangat penting sebagai bahan sidang istbat awal bulan Qamariyah
Kemenag RI di Jakarta yang dipimpin oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk untuk
mewakilinya.18

18
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik................., hlm.185-186.

Anda mungkin juga menyukai