Anda di halaman 1dari 5

Kronologi Pemikiran dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal

Oleh: Fiki Nuafi Qurrota Aini


Pascasarjana Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
Email: ichisatssuga@gmail.com

Awal bulan Qamariyah merupakan sebuah moment terpenting bagi umat Islam. Penentuannya,
merupakan sebuah awal maupun akhir dari berbagai penentuan waktu ibadah umat Islam.
Banyak kajian dalam ilmu Falak yang telah menjelaskan, tentang bagaimana caranya untuk
memperhitungkan jatuhnya awal bulan Qamariyah. Namun dalam hal penentuan awal bulan
Qamariyah ini, sebagian masyarakat kita banyak yang hanya terpaku dengan penentuan
beberapa awal bulan Qamariyah. Sebut saja beberapa awal bulan tersebut adalah awal bulan
Qamariyah yang terletak pada bulan kesembilan, sepuluh dan sebelas (yakni bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah) dalam satu tahun Hijriyyah. Padahal, bulan Qamariyah yang berada di
luar bulan-bulan tersebut pun, sama pentingnya dalam berperan sebagai penentu waktu umat
Islam.
Pada penentuan awal bulan Ramadhan maupun Syawal, tentu tidak terlepas dari adanya
beberapa perbedaan pemikiran dalam prosesnya. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan,
dinamika pemikiran dalam penentuan awal bulan Qamariyah pun semakin tidak dapat
terelakkan. Perkembangan dalam teknologi, yang mendukung penentuan awal bulan
Qamariyah pun juga semakin beragam perkembangannya. Beberapa tokoh ilmu Falak, bahkan
masyarakat awam seakan telah terbiasa dengan adanya perbedaan pemikiran tersebut. Seakan
tidak terganggu dengan adanya banyak perbedaan tersebut, umat Islam tetap dapat melanjutkan
ibadahnya (yakni puasa pada saat bulan Ramadhan dan salat Ied pada bulan Syawal), sesuai
dengan pemikiran penentuan awal bulan yang mereka yakini telah tepat.

Dinamika Penentuan Awal Bulan Qamariyah

Seperti yang kita ketahui, penentuan awal bulan Qamariyah di dalamnya terdapat
beberapa perbedaan pemikiran. Perbedaan pemikiran tersebut diibaratkan sebagai pemikiran
yang tidak berujung, karena selalu saja mengalami pasang surut dan permasalahan yang
semakin kompleks. Tidak hanya soal ilmu pengetahuan, namun dalam dinamika penentuan
awal blan Qamariyah ini, juga diiringi dengan sejalannya perkembangan pemikiran
masyarakat. Banyaknya masyarakat yang semakin minat dengan adanya teknik penentuan awal
bulan Qamariyah, sehingga dalam hal ini beberapa tokoh Falak seringkali dipusingkan dengan
hal-hal yang berkaitan dengan penentuan awal bulan tersebut. Tidak hanya masyarakat, namun
perlu diketahui pula, masih banyaknya para tokoh Falak yang lebih sering mementingkan ‘ego’
dan kepentingan (selain kemaslahatan umat) nya dalam permasalahan tersebut.
Pemerintah bahkan telah mencanangkan dan berusaha melakukan penyatuan dalam hal
pemikiran penetapan awal bulan Qamariyah tersebut, yang dalam hal ini melalui ketetapan
beberapa elemen negara, seperti halnya Mahkamah Agung. Sebut saja ketetapan yanga ada
dalam Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/095/X/2006, yang berisikan
tentang:
Memberikan izin sidang istbat kesaksian rukyat hilal dengan hakim tunggal kepada Mahkamah
Syar’iyyah sewilayah hukum Provinsi NAD dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia.1
Selain itu pula, terdapat Fatwa MUI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah, yang berada pada Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun
2004, yang berisikan:
1) Fatwa:
a. Penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode
ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI. cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
b. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang
penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
c. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib
berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi
terkait.
d. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah
Indonesia yang mathla’ nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh
Menteri Agama RI.
2) Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan
membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.2
Jika dilihat dari beberapa ketetapan tersebut, maka telah terlihat jelas bahwa Pemerintah kita
telah berusaha untuk mempersatukan perbedaan pemikiran dalam penetapan awal bulan
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Namun, dalam hal ini kita hanya dapat mengembalikan
seluruh keputusan tersebut kepada masyarakat.

1
2
Jika kita telaah kembali, ke dalam perjalanan sejarah metode Hisab rukyat di Indonesia,
maka kita dapat melihat perkembangan madzhab hisab rukyat yang terjadi. Di Indonesia
sendiri, terdapat beberapa metode dan kriteria dalam penentuan awal bulan Qamariyah,
seperti berikut:
1) Rukyat fi Wilayatul Hukmi
Secara istilah, rukyat berartikan sebagai pengamatan terhadap penampakan hilal. Lebih
khususnya lagi, rukyat diartikan sebagai aktivitas pengamatan atau observasi terhadap
visibilitas hilal, yaitu bulan sabit di kaki langit yang tampak pertama kali setelah
terjadinya ijtima’ pada waktu ghurub (matahari terbenam) menjelang pergantian bulan
Qamariyah3. Hal ini dapat dilakukan baik dengan mata telanjang atau dapat menggunakan
bantuan alat optik. Observasi ini dilakukan sebagai langkah penentuan awal bulan dalam
tahun Hijriyyah4. Sedangkan secara definitif, wilayatul hukmi berarti keberlakuan suatu
hukum terhadap satu wilayah hukum atau administratif, misalnya dalam satu negara
hukum.5
Melihat keterangan tersebut, maka timbullah permasalahan di dalam metode rukyat fi
wilayatul hukmi tersebut. Hal yang paling menonjol dari kriteria rukyat ini adalah,
mengenai mathla` yang ditetapkan. Pada saat ini, agama Islam telah tersebar luas ke
seluruh penjuru dunia, sehingga tidak memungkinkan untuk memberlakukan satu
kepastian hukum di satu wilayah hukum untuk seluruh wilayah di belahan bumi lainnya.
Sangat dimungkinkan, bahwa wilayah-wilayah tersebut akan memiliki kriteria yang
bereda dengan wilayah lainnya. Sehingga pada akhirnya, banyak yang beralih kepada
rukyat yang bersifat global.
2) Rukyat Global
Pada dasarnya, metode rukyat ini sama halnya dengan rukyat fi wilayatul hukmi. Hanya
saja, dalam rukyat global keberlakuan hilal bersifat lebih luas. Mereka memahami rukyat
hilal tidak berkaitan dengan mathla’ . Perintah rukyat yang dimaksud bukanlah rukyat

3
Perlu untuk diketahui, alasan di balik mengapa setiap kegiatan rukyatul hilal ini dilakukan pada saat
ghurub, adalah kaena tiga alasan berikut. Pertama, karena perintah rukyat waktunya adalah pada saat matahari
terbenam. Kedua, dalam penanggalan Islam waktu ghurub merupakan saat pergantian hari (berbeda dengan
penanggalan pada tahun Masehi, yang terhitung sejak tengah malam atau midnight). Ketiga, karena intensitas
cahaya hilal sangatlah redup dibandingkan dengan kecemerlangan latar langit ataupun cahaya matahari. Selain
itu pula, bentuk hilal yang berupa sabit yang sangat tipis. Baca Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam
(Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah pilihan Kita?), (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2013), hlm.94.
4
Apabila hilal telah terlihat, maka pada saat Maghrib tersebut telah jatuh tanggal 1 untuk bulan
berikutnya. Jika yang terjadi adalah kebalikannya (baik itu hilal dalam keadaan tertutup awan atau masih di bawah
ufuk), maka jumlah hari tersebut harus di istikmal (dibulatkan) menjadi 30 hari.
5
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam (Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah pilihan Kita?),
(Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2013), hlm.94.
lokal yang berlaku untuk satu mathla’, melainkan rukyat yang berlaku secara global,
dalam artian jika telah ada hasil rukyat yang diberlakukan di suatu negara Muslim, maka
pemberlakuan tersebut juga diterapkan pada negeri lainnya.6
Rukyat global sama sekali tidak mempermaslahkan mengenai batas-batas negara. Hal ini
bertentangan dengan para Madzhab Syafi’i (dan juga para penganut adzhab Hanafi), yang
berpendapat bahwa setiap penduduk negara harus melakukan rukyat sendiri, karena setiap
kaum itu dibebani oleh Allah berdasarkan kondisi mereka, dan mereka
mempertnggungjawabkan di hadapan Allah atas rukyat yang mereka lakukan sesuai
dengan kemampuan mereka.7
3) Hisab Wujudul Hilal
Wujudul Hilal merupakan kriteria penentuan awal bulan Qamaiyah dengan menggunakan
tiga prinsip: Pertama, telah terjadi ijtima’. Kedua, ijtima’ terjadi sebelum matahari
terbenam. Ketiga, ketika matahari terbenam, hilal sudah berada di atas ufuk. Kriteria
tersebut dibangun berdasarkan atas dasar bahwa ketika eksistensi waktu ibadah telah
diketahui, maka kewajiban pelaksanaan ibadah itu adalah wajib. Sehingga, di dalamnya
tidak membutuhkan sebuah “kesepakatan”, karena dalam menentukan awal bulan
Qamariyah itu terkait dengan waktu ibadah.8
Dalam hisab wujudul hilal, juga terdapat perbedaan antara waktu astronomis dengan
waktu ibadah. Hal ini melihat pada pembedaan pergantian bulan dan pergantian hari. Jika
pergantian bulan terjadi pada saat ijtima’, sedangkan pergantian hari terjadi ketika telah
memasuki waktu salat Maghrib. Hal ini, dikarenakan adanya perbedaan bahwa waktu
astronomis tersebut berdasarkan pergerakan benda-benda langit, sedangkan waktu ibadah
adalah waktu yang berkaitan dengan syari’at.9
4) Hisab Imkan Rukyat
Secara istilah, imkan rukyat (visibilitas hilal) adalah kemungkinan atas terlihatnya hilal.
Jika diartikan secara khusus kembali, imkan rukyat berarti kriteria ketinggian hilal pada
batas angka minimum tertentu, baik itu dari hasil riset ataupun pengalaman rukyat, yang

6
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam (Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah pilihan
Kita?)....................., hlm.99.
7
A.Kadir, Cara Mutakhir Menentukan Awal Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah (Perspektif al-Quran,
Sunnah dan Sains), (Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm.5.
8
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam (Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah pilihan
Kita?)....................., hlm.105.
9
Muh. Hadi Bashori, Penanggalan Islam (Peradaban Tanpa Penanggalan, Inikah pilihan
Kita?)....................., hlm.106.
kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka-angka. Sehingga, pada akhirnya akan
mendapatkan hasil

Anda mungkin juga menyukai