Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam memiliki sumber utama, berupa wahyu dari Allah, yang
membedakannya dengan sistem perundang-undangan lainnya yang semata-mata
mengandalkan hasil ciptaan manusia. Selain itu hukum Islam juga tidak bisa
dipisahkan dari tujuan diturunkan-Nya agama Islam itu sendiri untuk menjaga
kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam rangka mengangkat martabat
kemanusiaan itu sendiri.1

Dalam hukum Islam memiliki karakteristik yang menarik dan dapat mudah
terlihat dengan adanya beberapa konsep yang berpasang-pasangan misalnya zahir dan
batin, akal dan wahyu, moral dan legal, dan masih banyak lagi. Persoalan yang akan
kami paparkan dalam makalah ini adalah bagaimana cara memahami dan
mendudukan konsep-konsep tersebut secara proporsional. Mungkin ada pihak yang
melihat secara dikotomis diantara konsep-konsep yang berpasangan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aspek-aspek syari’at yang berubah dan yang abadi (tidak menerima
perubahan) ?
2. Bagaimana karakteristik-karakteristik hukum Islam ada diantara :
a. Revelation and reason
b. Stability and change
c. Otoritarianism and democracy
d. Moral and legal

C. Tujuan Masalah

1. Agar mengetahui aspek-aspek syari’at yang berubah dan yang tidak berubah
(abadi)

2. Agar mengetahui karakteristik-karakteristik hukum Islam

1
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 2

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek – Aspek Syari’at yang Berubah dan yang Abadi (Tidak


Menerima Perubahan)

Hukum Islam umumnya dipandang religius, sakral, dan karenanya


abadi. Padahal fakta empiris menunjukkan bahwa perubahan sosial senantiasa
akan berhadapan dengan perubahan akan modernisasi yang selalu terjadi di
masyarakat. Di dalam menyikapi masalah tersebut para pakar dan ahli hukum
Islam memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Pandangan yang
pertama menyatakan bahwa dalam konsepnya, dan sesuai dengan sifat
perkembangan dan metodologinya, hukum Islam adalah abadi dan karenanya
tidak dapat diadaptasikan kepada perubahan sosial. Sedangkan pandangan
kedua menyebutkan bahwa adanya prinsip-prinsip hukum seperti
pertimbangan maslahat, fleksibilitas, hukum Islam dalam praktek, dan anjuran
ijtihad menunjukkan dengan jelas bahwa hukum Islam dapat diadaptasikan
dengan perubahan.2

a. Aspek Syari’at yang Abadi

Hukum yang abadi ini merupakan ketentuan hukum yang tidak akan
mengalami perubahan, meskipun terjadi perubahan zaman dan begitu pula
tidak dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Hukum ini tidak menerima
pembaharuan dan perkembangan atau perubahan. Masalah ketentuan hukum
seperti ini sudah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash secara qath’iy dan
terperinci. Nash-nash dan ketentuan hukum seperti ini bukan lapangan ijtihad.
Ketentuan-ketentuan syari’at seperti ini, misalnya menyangkut masalah
aqidah, rukun iman, hukum-hukum ibadat, masalah hudud. Sebagai contoh
dalam Al-qur’an secara tegas telah disebutkan keharaman memakan bangkai,
darah, daging babi dan sembelihan tanpa menyebut nama Allah.

2
Jamal Abdul Azis, Dilema Hukum Islam Antara Kemutlakan dan Kenisbian, 2005, Volume 4, No.1, hlm 2,
http://digilib.uin-suka.ac.id/8463/, 02 Oktober 2018, Pukul 18.35

2
Artinya: “diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi dan
sembelihan tanpa menyebut nama Allah....”3

Ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat ini sudah pasti dan tidak
akan mengalami perubahan dengan alasan apapun. Berikut hukum-hukum
yang abadi (tidak menerima perubahan), yaitu:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan keimanan yang sudah


pasti adanya.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdah (ibadah murni),


seperti, shalat, zakat, puasa, haji adalah ibadah-ibadah yang pasti.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan qisas dan hudud.

Menurut al-Syatibi, aturan hukum syara’ terbagi atas dua macam,


yakni hukum-hukum yang termasuk dalam kategori ‘ibadat dan hukum-hukum
yang termasuk dalam kategori mu’amalat. Pada dasarnya ‘ibadat bersifat
ta’abbudi di mana pelaksanaannya didasarkan semata-mata atas kepatuhan
hamba (mukallaf) kepada Tuhannya tanpa perlu menyelidiki lebih dulu alasan
ataupun maslahat diperintahkannya. Jadi ia tidak dapat dipahami secara
rasional dari perbuatan (ritual) itu sendiri, seperti wudhu, tayammum, salat,
puasa, dan haji. Kita tidak pernah tahu mengapa ibadah-ibadah tersebut
dilakukan dengan cara seperti itu bukannya dengan cara lain.

Menurut pandangan Hasbi, ‘ibadat adalah hukum-hukum yang maksud


pokoknya mendekatkan diri kepada Allah. Hukum ini telah ditegaskan dalam
nash dan keadaannya tetap, tidak terpengaruh oleh perkembangan masa dan
perbedaan tempat, dan wajib diikuti dengan tidak perlu menyelidiki makna
dan maksudnya.4

b. Aspek syari’at yang berubah

Yang dimaksud berubah disini ialah hukum-hukum yang mengalami


perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Yang dapat
dikategorikan sebagai aspek syari’at yang berubah yaitu hukum-hukum dalam
kategori mu’amalat. Hukum dalam kategori mu’amalat ini di dasarkan atas
3
Q.S. Al-Maidah Ayat 3
4
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 22

3
alasan dan kemaslahatan yang dapat diketahui secara rasional (ma’qulah al-
ma’na). Contoh-contohnya bisa dilihat pada perbuatan-perbuatan yang
berkaitan dengan jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, dan lain-lain.

Menurut Hasbi, mu’amalat adalah hukum-hukum yang ditetapkan


untuk mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat atau untuk
mewujudkan kemaslahatan dunia. Hukum ini dapat dipahami maknanya,
karena selalu memperhatikan kemaslahatan masyarakat, dan dapat berubah
menurut perubahan masa, tempat dan situasi.5

Kendati pada dasarnya hukum-hukum dalam kategori mu’amalat


bersifat rasional (ma’qulah al-ma’na), namun ia juga memiliki dimensi
ta’abbudi (ghairu ma’qulah al-ma’na). Hal ini karena ketentuan-ketentuan
tersebut terkait dengan ketetapan syara’ yang tidak boleh diabaikan begitu saja
oleh mukallaf. Contohnya adalah nikah, yang pada dasarnya tergolong dalam
bidang mu’amalat, oleh syara’ ia dikaitkan dengan beberapa ketentuan, seperti
harus ada akad , dua orang saksi yang adil, wali nikah yang cakap hukum, dan
kedua mempelai (laki-laki dan perempuan). Ketentuan-ketentuan ini tidak
boleh dilanggar begitu saja.

B. Sifat dan Karakteristik Hukum Islam

Dalam hukum Islam memiliki karakteristik yang menarik dan dapat


mudah terlihat dengan adanya beberapa konsep yang berpasang-pasangan
misalnya zahir dan batin, akal dan wahyu, moral dan legal, dan masih banyak
lagi. Persoalannya disini adalah bagaimana cara memahami dan mendudukan
konsep-konsep tersebut secara proporsional. Mungkin ada pihak yang melihat
secara dikotomis diantara konsep-konsep yang berpasangan tersebut. Hukum
Islam ada diantara :

a. Revelation (Wahyu) dan Reason (Akal)

Wahyu menurut Coulson adalah sumber utama dalam Islam. Muslim


meyakini wahyu sebagai Firman Allah kepada nabi Muhammad. Mereka
muncul dalam 2 bentuk. Pertama, teks Al-Quran yang merupakan firman

5
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 22

4
Allah sendiri. Kedua aktifitas dan keputusan nabi sebagai aturan bagi
masyarakat muslim, ini dikenal dengan hadits atau sunnah.6
Dalam sejarahnya, perkembangan pemikiran hukum Islam terbagi atas
dua kelompok. Pertama, kelompok yang menggunakan
pendekatan subyektivisme teoistik. Kedua, kelompok yang menggunakan
pendekatan obyektivisme rasionalistik. Kelompok pertama cenderung melihat
hukum Islam seutuhnya berorientasi ilahiyah, tunduk kepada dan hanya dapat
diketahui melalui wahyu yang dibukukan dalam kata-kata yang dilafazkan
oleh Nabi Muhammad SAW. berupa Al-Qur’an dan sunnah. Kata-kata
tersebut merupakan sumber pokok hukum Islam dan disebut dalil. Karena itu,
analisis hukum sebagian besar berfokus pada teks-teks suci tersebut.7 Dari
kedua pendapat tersebut, muncullah apa yang disebut Coulson sebagai konflik
dan ketegangan dalam yurisprudensi Islam, antara otoritas wahyu Tuhan dan
pemikiran manusia.
Noel James Coulson menggambarkan bahwa adanya konflik dasar
antara wahyu Tuhan dan pemikiran manusia (fuqaha). Coulson melukiskan
hukum Islam sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dilahirkan oleh
para fuqaha. Ciri dari 150 tahun Islam yang pertama, ialah adanya kebebasan
pemikiran hukum dalam upaya memecahkan berbagai masalah yang secara
khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Norma hukum semacam ini seperti
yang ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah pada dasarnya dipandang tidak lebih
sebagai modifikasi ad hoc dari adat yang ada. Hukum adat yang berlaku masih
merupakan norma tingkah laku yang diterima kecuali kalau digantikan secara
khusus oleh ketentuan-ketentuan wahyu Tuhan. Dan kalau keadaan baru
menimbulkan problem baru, hal ini diserahkan kepada ahli
hukum (faqih) berdasarkan pertimbangan yang dipandang sesuai. Dalam
proses mengungkapkan pendapatnya yang dikenal dengan ra’yu, setiap orang
bebas memperhitungkan faktor-faktor yang ia anggap relevan.

b. Stability (Stabilitas) and Change (Perubahan)


6
Noel J. Coulson. Artikel Review Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: University of
Chicago, 1969), hlm 1, 02 Oktober 2018, Pukul 20.00 WIB
7

5
Hukum-hukum Islam yang diturunkan dalam bentuk umum dan garis
besar permasalahannya bersifat tetap, tidak berubah-ubah, lantaran
berubahnya masa dan berlainan tempat. Hukum tersebut lebih rinci dan hanya
memberikan kaidah dan patokan umum. Sedangkan penjelasan dan rincian
diserahkan pada pihak pemuka masyarakat. Dengan menentukan patokan
umum tersebut, maka terciptalah suatu prodak hukum yang stabil bagi para
pengikutnya. Artinya syari’at islam berpotensi menjadi petunjuk yang bersifat
universal. Karena didalam pemakaiannya tidak terkesan memaksakan suatu
kehendak tanpa memikirkan kecenderungan dalam sebuah lingkup
masyarakat. Uniknya, dunia tidaklah mengenal akan suatu hukum yang
bersifat universal (alami dan stabil) selain daripada Islam saja. Baik di masa
yang lalu maupun masa yang akan dating. Barulah setelahnya, setiap saat umat
manusia dapat menyesuaikan tingkah laku dengan garis-garis kebijaksanaan
al-Qur’an sehingga tidak melenceng. Penetapan al-qur’an tentang hukum yang
global dan simple dimaksudkan untuk memberi ruang gerak melakukan ijtihad
sesuai situasi dan kondisi zaman.

Hukum Islam bersifat berubah, luwes elastis, meliputi segala bidang


dan lapangan kehidupan manusia. Syari’at ini meliputi permasalahan
kemanusiaan, kehidupan jasmani rohani, hubungan sesama mahluk, hubungan
mahluk sengan khaliq serta tuntunan hidup dunia dan akhirat. Hukum ini
memperhatikan berbagai segi kehidupan baik muamalah, ibadah, jinayah dan
lain sebagainya. Namun tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan
memaksa. Dengan demikian, diharapkan para umat islam tumbuh dan
berkembang dalam proses ijtihad. Hal ini sering disebut sebagai prinsip gerak
dalam islam.8

c. Otoritarianisme dan Democracy

Substansi Islam pada bagian ini berada pada bagaimana kekuasaan


ajarannya yang bersifat universal dan dinamis yang dapat dikompromikan
pada setiap zaman. Kekuasaan ajaran yang bersifat universal ini sesuai dengan
kekuasaan dari penggagasnya yang tidak terbatas. Allah berfirman dalam surat
as-Sabi’ ayat 28:
8
Nasution Muhammad Syakuri Albani, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2013), hlm. 39

6
“Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad ), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira dan berita
peringatan.akan tetapin kkebanyakan manusia tidak mengetahui.”9

Kemudian dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:

“Dan kami (allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi
rahmat sekalian umat.”10

Selanjutnya, kekuasaan ajaran yang bersifat dinamis ialah ketika


ajarannya itu bukan ajaran yang mandul. Disini ajaran islam memberikan
kompromi pada berbagai situasi. Misalnya, ketika pengadilan dalam islam
tidak memberikan hukuman potong tangan pada pencuri ketika keadaan
masyarakat sedang kacau dan terjadi kelaparan, dan lain sebagainya.11

d. Moral dan Legal

Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi. Artinya manusia


tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan. Dalam
bidang ini tidak dibuka pintu ijtihad bagi umat islam. Sedangkan dalam bidang
mu’amalah, didalamnya terkandung nilai ta’aqquli. Artinya, umat Islam
dituntut untuk berijtihad untuk membumikan ketentuan-ketentuan syari’at
hukum.

Disini hukum bersatu dengan moral. Hukum tanpa moral adalah suatu
kezaliman. Dan moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus
pada peri kebinatangan. Hukum dan moral adalah pokok dari hukum itu
sendiri dan harus selalu berdampingan. Namun demikian ada pengamat hukum
Islam yang menyatakan bahwa dalam praktik hukum Islam tidak dapat berlaku
universal. Pendapat ini, lebih banyak melihat dari kenyataan sejarah bahwa
penguasa Islam tidak memberlakukan hukum Islam dikawasan non muslim.
Atau kepada nonmuslim yang berada di wilayahnya. Penilaianya tersebut
kurang tepat jika dihubungkan dengan fakta sejarah pada masa rasul.12
9
Q.S. As-Sabi’ ayat 28
10
Q.S. Al-Anbiya’ ayat 107
11
Nasution Muhammad Syakuri Albani, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2013), hlm. 40
12
Nasution Muhammad Syakuri Albani, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2013), hlm. 40

7
Sebab jika ditinjau dari konstitusi Negara muslim pertama (piagam
Madinah). Didalamnya berisi persetujuan dan perlindungan kepercayaan non
muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan agamanya. Hal ini
merupakan kesepakatan antara muslim dan yahudi serta orang-orang Arab
yang bergabung didalamnya.

BAB III

PENUTUP

8
Kesimpulan

Al-Qur’an dan Hadits sebagai ajaran yang diturunkan Allah sebagai ajaran
penutup. Nampaknya disampaikan dengan pesan yang begitu luas. Sehingga darisini
terlihat bahwa otoritasnya mengikat pada seluruh umat manusia. Hal ini ditandai
dengan nash-nash yang ada di dalamnya tidak sebatas nash yang hanya berupa
perintah (ibadah mahdhot), tapi juga terdapat nash yang menerangkan tentang
mu’amalat. Sehingga berangkat dari nash tersebut terciptalah dalil yang dinamis
sesuai dengan akal dan moral dan dapat dikompromikan dengan situasi yang memang
sebetulnya nash itu diperuntukan dan terlihat juga bagaimana hukum Islam memiliki
karakteristik yang berbeda-beda.

Daftar Pustaka

Ash Shiddieqy, T.M Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang

9
Azis, Jamal Abdul. 2005. Dilema Hukum Islam Antara Kemutlakan dan Kenisbian.
http://digilib.uin-suka.ac.id/8463/

Coulson, Noel J. 1969. Artikel Review Conflicts and Tensions in Islamic


Jurisprudence. Chicago: University of Chicago

Albani, Nasution Muhammad Syakuri. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : PT


RAJAGRAFINDO PERSADA

10

Anda mungkin juga menyukai