Ada implikasi yang lebih luas: Misalnya,Bahwa itu adalah tugas dari penguasa
pemerintah untuk melaksanakan Syari’ah (hukum) dalam arti yang luas, dan wahyu akhirnya
berwujud bentuk sebagai otoritas tertinggi dari lainnya,Dan harus didahulukan daripada
apapun konstitusi yang berlaku.
Ini adalah persoalan internal ‘klasik’ yang berposisi dan dikembangkan selama 1400
tahun terakhir dengan cara yang Kompleks melalui yurisprudensi yang canggih. Namun
perlu dimengerti bahwa setiap pemerintahan Islam sepanjang sejarah telah mengambil ini
sebagai yang diberikan dan diupayakan. Berbeda dengan pengikut sekuler yang berlaku
sebaliknya mencoba untuk membenarkan dirinya dalam istilah yang diberikan oleh mereka
sendiri. Apabila sekularis menempuh jalan demikian, tentu berbalik dari dalil bahwa alam
yang melekat dalam hukum adalah tergantung pada teks wahyu Al-Qur’an, dan melalui as-
Sunnah sebagai praktek spiritualitas yang terinspirasi dari Nabi Muhammad, di samping
konsensus yang diakui ahli hukum sebagai ijma,Ini adalah segala jalan harus dilalui melewati
kedua teks klasik (al-Qur‟an dan as-Sunnah), Mengmabil jalan dari petunjuk kedua sumber
itu merupakan hal pasti. Namun, ada jalan lain untuk mengetahui ialah ijtihad,Sebuah jalan
untuk menelusuri (Tafaqquh) informasi al-Qur`an dan as-Sunnah, meski sebenarnya Ijtihad
tidak selalu berarti menolak apa yang disebut dalam teks wahyu, dan jelas tidak Memberi
mereka keutamaan dalam wilayah tradisional. Batasbatas ijtihad, tentu saja, selalu
diperdebatkan, seperti dua monoteisme lainnya (Yahudi dan Kristen), tidak akan pernah
melahirkan kesimpulan untuk perdebatan itu, ini adalah situasi dan merupakan posisi yang
diterima dalam Teori hukum Islam.
Meskipun masing masing sebagai sistem hukum, namun tidak dapat diberikan status
yang sama pada tingkat praktek hukum. Ini dengan alasan bahwa kekuatan mengikat yang
disebutkan pada masing-masing ajaran hukum dan prinsip sangat terletak pada kekuatan
budaya lokal dan teritorial, politik negara, Kekuatan pengaruh dan manfaat ekonomi dan
teknologi dalam menyumbangkan perilaku dan peristiwa hukum. Oleh karena pada prinsip
masing-masing terminologi, Syariah, Fiqih dan Hukum Islam telah menetapkan pembatasan
ajaran hukum dan Prinsip. Syariah tidak memberi vonis hukuman atas peristiwa Hukum,
melainkan Fiqih berdasar praktek perilaku dapat mempertimbangkan kepastian hukum
untuk ditetapkan kepastian Hukum. Tentunya berbeda dengan Hukum Islam yang banyak
menekankan kepada aspek keputusan untuk suatu praktek lembaga hukum, sehingga ajaran
hukum dan prinsip yang dijelaskan dalam Syariah dan Fiqih dapat diwujudkan melalui
keputusan hukum oleh pemegang otoritas penegakan Hukum Islam dijalankan oleh para ahli
Hukum Islam dan Hakim.
Daftar pustaka
Al-Misri, Ahmad ibn Naqib (editor dan penerjemah dari Arab) Oleh Nuh Ha Mim Keller.
Reliance of the Traveller – A Classic
Manual of Islamic Sacred Law, edisi revisi ( Amana Publications 1994).
Ash-Shafi’i, Muhammad ibn Idris, Risala: Treatise on the Foundations Of Islamic
Jurisprudence. (Islamic Texts Society, 1993).
Badawi, Jamal A. “The Status of Women in Islam”. Al-Ittihad
Journal of Islamic Studies, edisi 8 (2) (September 1971).