Anda di halaman 1dari 13

IJTIHAD

1
 Pengertian Ijtihad:
 Secara harfiyah Ijtihad berasal dari kata “jahada,
ijtihada” berarti: kesungguhan, sepenuh hati
atau serius (QS. Al An’am: 109; At Taubah: 79)
 Jadi apabila kata “jahada” berobah menjadi
“ijtihada” atau dalam bentuk mubalaghah dapat
berarti “sangat”, maka ijtahada berarti:
kesanggupan atau kesungguhan yang sangat.
 Secara istilah: Istifaraghul juhdi fi darkil
ahkamisy syar’iyah (Pengerahan segala
kemampuan dalam rangka mengetahui dan
menetapkan hukum - hukum syari’ah).

2
 Dasar Ijtihad:
 QS. Ar - Ra’d: 3 & 4: (Sungguh, pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-
orang berfikir); (Sungguh, pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang -
orang mengerti). Dua ayat di atas terdapat kata: li
qaumin yatafakkarun dan li qaumin ya’qilun.
 QS. Al Imran: 159: Asy-Syura: 38: (bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu); (dan segala urusan
mereka diselesaikan dengan cara musyawarah).
Dalam ayat di atas terdapat kata “syura” yang berarti
suatu pembahasan dan penelitian guna mendapatkan
suatu kebenaran dalam menyelesaikan suatu
permasalahan.

3
 HR. Al Baihaqi & Nasai: (Apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan berijtihad dalam masalah
itu, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua
pahala, tetapi ia menetapkan hukum dengan ijtihad
dan salah, maka ia mendapat satu pahala).
 Hadis Mu’adz: (Nabi bertanya kepadanya: dengan apa
kamu memutuskan perkara yang ada dihadapanmu,
Muadz menjawab: sesuai dengan yang terdapat dalam
al Quran; Kalau tidak ditemukan dalam al Quran? Saya
akan memutuskan dengan yang terdapat dalam hadis
Nabi; Kalau tidak engkau dapatkan di dalam hadis Nabi?
Saya akan berijtihad dengan menggunakan fikiran saya;
Nabi bersabda: segala puji bagi Allah yang telah meberi
taufiq kepada utusan dari Rasul – Nya).

4
3. Hukum Ijtihad:
 Wajib ‘Aini: Apabila seseorang yang ditanyai
tentang suatu masalah, dan memungkinkan
pristiwa itu akan hilang sebelum hukumnya
diketahui.
 Wajib Kifai: Apabila seseorang yang ditanyai
tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilangsebelum diketahui hukumnya.
 Sunnah: Apabila masalahnya suatu hukum yang
belum terjadi, baik hal itu ditanyakan atau tidak.

5
4. Perkembangan Ijtihad
 Pada Masa Rasulullah:
- Jumhur Ulama: Nabi Muhammad Saw boleh dan mungkin
berijtihad (Lihat: QS Al Khasyr: 2; Al Anfal: 67: (Mākana li
nabiyyin an yakuna lahu asrā hattā yutshina fil ardi): (Kasus
Sahabat mengawinkan kurma, lalu Rasulullah dianggap salah
dan beliau bersabda: antum a’lamu bi umuri dunyākum).
- Metode Ijtihad Nabi Saw adalah lebih banyak dengan sistem
qiyas (analogi), seperti:
Hadis seorang perempuan dari Suku Juhainah, Ia berkata
kepada Nabi: Ibu saya pernah bernazar akan melakukan haji,
namun dia belum pernah melakukan nazarnya sampai ia
meninggal, lalu bolehkah saya menghajikannya? Nabi
menjawab: Ia hajikanlah, karena apabila ibumu memiliki hutang,
apakah engkau akan membayarkannya, membayar hutang
kepada Allah lebih utama dari pada membayar hutang kepada
sesama manusia.

6
Hadis Umar bin Khathab: mengadukan masalahnya
kepada Nabi Saw bahwa pada siang hari bulan
ramadlan ia mencium isterinya, lalu Nabi menjawab:
bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkeumur –
kumur pada bulan puasa dengan air, apakah
membatalkan puasamu.
 Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi:
Sebahagian Sahabat melakukan ijtihad pada masa hidup
Nabi, baik ketika beliau ada disekitar Sahabat tersebut
dan sepengetahuannya, atau mereka jauh dari Nabi.
Seperti:
Umar bin ‘Ash melakukan tayammum padahal ada air di
musim dingin.
Peristiwa Ahzab, Nabi memerintahkan para Sahabat
untuk Shalat Ashar di Kampung Bani Quraizhah,
sewaktu dalam perjalanan.

7
 Ijtihad Sahabat:
Tidak dapat dipungkiri bahwa sahabat melakukan ijtihad
setelah Nabi wafat, seperti peperangan terhadap
pembangkan zakat, pengumpulan dan penulisan al
Quran, pembekuan hak memperoleh zakat bagi orang
muallaf, tidak memotong tangan bagi pencurian di masa
paceklik, sanksi dera bagi peminum khamar dsb.
 Metode Ijtihad Sahabat:
Mendasarkan ijtihadnya pada sumber utama: Al Quran
dan Sunnah
Memberi penjelasan terhadap makna al Quran.
Banyak melakukan qiyas

8
 Ijtihad pada masa Tabi’in:
Mengikuti metode yang telah dirintis oleh para
sahabat, mengikuti ijma’ (konsensus) sahabat,
melakukan ra’yu (qiyas)
 Ijtihad pada masa Imam Mazhab:
Mengikuti metode yang telah dirintis oleh para
sahabat dan tabi’in, kemudian setiap Imam mazhab
memiliki metode ijtihad tersendiri yang terkadang
berbeda satu dengan yang lainnya.

9
5. Macam – macam Ijtihad/mujthid:
 Berdasarkan pelaksanaannya, Ijtihad dibagi dua:
- Ijtihad / mujthid fardli (Individual)
- Ijtihad / mujtahid jama’i (Kolektif)
 Berfdasarkan kapasitas (pelaku) mujtahid, dibagi :
- Ijtihad / mujthid mutlak
- Ijtihad / mujthid muqayad (mazhab imamih)
@ Ijtihad / mujthid tidak konsisten dengan mazhab
@ Ijtihad / mujthid konsisten dengan mazhab
@ Ijtihad / mujtahidit tarjih
@ Ijtihad / mujtahidil futya (al hafizh lil mazhab)
 Berdasarkan metode yang digunakan:
a. Ijtihad Bayani (penjelasan hukum dari nash)
b. Ijtihad Qiyasi (penelusuran illat (ratio legis) pada nash dan ijma’)
c. Ijtihad Istishlahi (meletakkan peristiwa baru pada kaidah umum,
dengan berpatokan pada roh syari’ah “jalbul mashalih wa daf’ul
mafasid”)

10
6. Syarat-syarat mujtahid
 Pengetahuan terhadap logika dan gramatika bahasa Al-
Quran. Hal ini menjadi sangat penting karena bahasa Al-
Quran yang terdiri dari bahasa Arab yang memiliki uslub
dan ciri yang unik sehingga menjadi penting memiliki
bekal ilmu alat bagi bahasa tersebut, termasuk
pemahaman terhadap ilmu balaghah (al-bayan, al-ma’ani
dan al-badi’) untuk memahami Al-Quran.
 Pengetahuan tentang al-Quran yakni mengetahui dengan
baik bahwa al-Quran itu sebagai wahyu Allah swt.
Terutama mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan
hukum.

11
 Pengetahuan tentang ilmu hadits dan segala perangkatnya, hal ini
sangat penting, karena kajian terhadap hadits masih harus
didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu: menentukan keotentikan hadits
itu sendiri, sehingga kajian tersebut meliputi kesahan sanad hadits
(kajian rijal, jarah wa ta’dil, tashhih dan tadl’if dsb); memahami
dalalah hadits tersebut yang didasarkan atas akar bahasa yang
ada. Untuk kajian hadits tersebut diperlukan pengetahuan tentang
ilmu dirayah hadits, pengetahuan tentang nasikh mansukh dan
asbab wurud dari hadits tersebut.
 Pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan
ilmu terhadap kaidah dan dasar-dasar utama yang bisa
mengantarkan kepada pemahaman yang dimaksud oleh Allah SWT
terhadap teks wahyu-Nya, baik hukum atau maqashidnya.

12
 Pengetahuan tentang maqashid syar’iyah, yaitu kemampuan untuk
mengetahui arti, tujuan, hikmah dan sasaran baik secara umum
atau khusus dari ketetapan syar’i tersebut, baik yang menyangkut
masalah individu ataupun kelompok, sama halnya persoalan
tersebut terkait dengan masalah keyakinan, etika ataupun masalah
perilaku.
 Pengetahuan tentang “fiqhul khilaf” meliputi dasar-dasar dan
metode istinbath dan istidlal.
 Pengetahuan terhadap ilmu sosial dan kemanusiaan kontemporer,
yakni pemahaman terhadap studi social dan kemanusiaan
(pisikologi, sisiologi, politik, ekonomi dsb) atau dalam bahasa
Arabnya disebut “’ilm al-waqi’”.

13

Anda mungkin juga menyukai