Anda di halaman 1dari 8

Agama dan Teori-Teori Sosial

Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|1

AGAMA DAN RELIGIUSITAS:


CHARLES YOUNG GLOCK DAN RODNEY STARK

Oleh:
Hamsah
20200011118
Islam Nusantara

A. Pendahuluan
Agama sebagai bagian dari rumpun ilmu sosiologi selalu menjadi pokok
bahasan yang menarik dari masa kemasa, meski sejarah agama berumur setua
sejarah manusia. Sebab tidak ada satu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu
bentuk agama.1 Karenanya ketika agama dihubungkan dengan sosiologi maka
lahirlah berbagai disiplin keilmuan, seperti Sosiologi Agama, Psikologi Agama,
Filsafat Agama, dan lain sebagainya.
Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang
adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan
dengan segala konsekuensinya.2 Karena inti pokok dari semua agama adalah
kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan
dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama yang dianut
manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Sehingga tidak heran pengertian
dan definisi tentang agamapun beragam, yang selalu dipengaruhi oleh pengalaman
batin, subyektif dan emosional, serta tujuan dari si pemberi pengertian dan definisi.3
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta
yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau,4
maka agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah
peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai
sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama.5 Selain itu,

1 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 18.
2 Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, (Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang), 1989, h. 26.
3 Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Badan Penerbit IKIP, Bandung), 1971, h. 4.

lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), h.
117-118.
4 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), h. 112.
5 Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Jogyakarta:

Titian Ilahi Press: 1997). h. 28


Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|2

ada beberapa istilah lain dari agama, seperti “diin” (dari bahasa Arab) yang bearti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan,6 “diin” dalam bahasa
Semit berarti undang-undang (hukum), dalam bahasa Eropa disebut “religi”,
religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa
Belanda), die religion, (bahasa Jerman).
Adapun menurut Zakiyah Daradjat, agama adalah proses hubungan manusia
yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari
pada manusia.7 Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system perilaku yang terlembaga, yang
kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling
maknawi (ultimate Mean Hipotetiking).
Cliffort Geertz mengistilahkan agama sebagai sebuah system simbol-simbol
yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan
konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-
konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak realistis.8
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. C.Y. Glock dan R. Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen
religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat
melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau
keyakinan iman yang dianut. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan
keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa
kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam
penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat
diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan
atas agama Islam.9
Religiusitas dalam Bahasa Latinya religio, akar katanya religure yang
berarti mengikat.10 Ini mengandung makna bahwa dalam religi atau agama pada

6
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru,1997), h. 63
7
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), h. 10
8
Cliffort Geertz. Kebudayaan dan Agama. (Jogyakarta: Kanisius:1992). h. 5
9 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam.Mengembagkan Kreativitas dalam Perspektif

Psikologi Islam, (Jogyakarta:Menara Kudus:2002). h. 108


10 Driyarkara, N., Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1978),
Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|3

umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi


dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat
seseorang atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia
dan alam sekitarnya. Mangunwijaya membedakan antara istilah religi atau agama
dengan religiusitas. Jika religi menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan
dengan aturan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang
telah dihayati oleh seseorang dalam hati.11 Pendapat tersebut senada dengan Dister
yang mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi
agama tersebut ke dalam diri seseorang.12
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa religiusitas
menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini
menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran
agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.
B. Religious Commitment Glock dan Stark
Religious Commitment menurut C.Y. Glock dan R. Stark adalah kesadara
beragama yang meliputi kepatuhan dalam mengerjakan kegiatan ritual, keyakinan
terhadap kebenaran agama serta aplikasi dari pengetahuan kebenaran agama yang
dimiikinya yaitu pengalaman religius.
Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religius Commitment, C.Y.
Glock dan R. Stark (1988) menyebut ada lima dimensi keagamaan dalam diri
manusia, yakni: Dimensi keyakinan (the ideological dimension), Dimensi
peribadatan atau praktek agama (the ritualistic dimension), Dimensi feeling atau
penghayatan (the experiencal dimension), Dimensi pengetahuan agama (the
intellectual dimension), dan Dimensi effect atau pengamalan (the consequential
dimension).13 Dalam hal ini, Agama dilihat sebagai sebuah variable
multidimensional, yang tersusun dari lima factor tersebut. Kelima dimensi ini tidak
sepenuhnya independent atau dapat dipisahkan satu sama lain, namun kelimanya
saling berkolerasi satu sama lain secara moderat.
Menurut Glock dan Stark, kelima dimensi religiusitas tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

11 Mangunwijaya, Y.B., Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982),


12 Subandi, Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Kecemasan pada Remaja, Laporan
Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1988), h.5.
13 Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002), h. 13
Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|4

1. Dimensi keyakinan (the ideological dimension).


Dimensi ini menggabarkan sejauh mana seseorang menerima dan
mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakinan adanya
sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surga, para Nabi, dan sebagainya. Selain itu,
dimensi ini juga berisi pengharapan-pengharapan, dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan, dan para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian isi
dan ruang lingkup keyakinan bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tepi
juga dalam tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Dalam agama Islam, dimensi
ideologidkenal dengan istilah Tauhid.
Dimensi keyakinan religius ini mencakup hal-hal yang diyakini sebagai
bagian dari agama, seberapa kuat keyakinan ini dipegang, hal-hal yang menjadi
kesetuan rasional, dan seberapa penting kepercayaan ini dalam kehidupan orang
tersebut. Sebagai contoh, keyakinan adanya Tuhan.
Keyakinan beragama seseorang dapat dipegang dalam bermacam-
macam tingkat, dan juga dapat dipegang sebagai sentral maupun sebagai hal-hal
peripheral dalam peran seseorang di dalam kehidupannya. Semakin sentral
keyakinan dipegang, dan semakin kuat kepercayaan diyakini, maka akan
semakin luaslah efek dari agama tersebut dalam kehidupan seseorang, dan
semakin religius pula seseorang tersebut dalam pandangan orang lain.
2. Dimensi peribadatan atau praktek agama (the ritualistic dimension)
Dimensi ini yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menunaikan
kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Dalam Islam seperti menunaikan
shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Dimensi ini juga berhubungan dengan seperangkat perilaku yang
diharapkan akan muncul dari seseorang yang menyatakan diri meyakini suatu
agama tertentu. Penekanan dalam hal ini adalah bukan pada akibat dari adanya
suatu sagama terhadap aspek-aspek “non religius” dalam kehidupan seseorang,
melainkan pada prilaku-prilaku yang spesifik yang menjadi bagian dari agama
tersebut. Aspek ini dalam agama dikenal dengan ibadah.
Bermacam-macam agama mengajarkan bahwa perilaku tertentu harus
dilakukan sebagai bukti keyakinan maupun sebagai pembunuh keyakinan dan
komitmen.
Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|5

Tata cara praktek keberagamaan bisa sangat bervariasi antara satu


dengan yang lainnya, tergantung kepada bagaimana agama tersebut
terorganisasikan dan berbagi-bagi. Semakin agama menjadi terstruktur secara
organisasi, maka semakin spesifik pula aturan-aturan pelaksanaannya, cara
praktiknya, bentuk pengakuan dosanya, maupun tingkatan otoritasnya.
3. Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension)
Dimensi ini yaitu perasaan keagamaan yang pernah dialami dan
dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan, tentram saat berdoa, tersentuh
mendengar ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa, merasa senang doanya
dikabulkan dan sebagainya.
Dimensi ini juga berkisar pada seputar wilayah mental dan emosional
individu. Sebagai tambahan, pada kejadia-kejadian religius yang mungkin
dikatakan sebagai sebuah “pengalaman religius” dimensi rasa ini mencakup hal-
hal seperti hasrat untuk percaya pada agama tertentu, rasa takut “tidak religius”
maupun perasaan fisik, psikologis dan kesejahteraan spiritual sebagai buah dari
keyakinan. Pengalaman internal ini hanya dapat dipresentasikan secara langsung
oleh orang-orang yang mengalaminya dan orang lain hanya dapat menduga-duga.
Dimensi ini dalam agama islam dikenal dengan istilah ihsan dan tasawuf.
Keadaan perasaan (feeling) memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan
beragama. Salah satu fungsinya bersifat motivasional. Jika perasaan yang
diharapkan muncul tidak ada, maka hal ini dapat dipersepsikan sebagai
kemunduran dank arena itu, hal ini dapat semakin memotivasi untuk semakin
mengejar agama dalam rangka mengisi kekosongan perasaan tersebut. Sebagai
contoh, ketiadaan makna hidup dapat menggerakkan orang semakin mendekati
agama, dengan harapan bahwa makna yang dicari itu akan ditemukan
didalamnya.
Perasaan pun sering digunakan sebagai indikator akan validitas
keyakinan seseorang, sebagai contoh orang-orang yang merasa dirinya dekat
dengan Tuhan dapat menyimpulkan bahwa keyakinan mereka merupakan
keyakinan yang benar. Orang-orang yang memiliki perasaan takut maupun
kecemasan mungkin saja menyimpulkan bahwa mereka tidak berada dijalan
yang sama dengan Tuhan, atau mereka telah berdosa, atau Tuhan telah
meninggalkan mereka.
4. Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)
Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|6

Dimensi pengetahuan yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui dan


memahami ajaran-ajaran agamanya. Dalam Islam, terutama yang ada dalam
kitab suci Al-Qur’an, hadits, pengetahuan tentang fiqh dan sebagainya.
Dimensi ini dalam agama Islam disebut sebagai ilmu, mencakup
informasi yang dimiliki seseorang mengenai keyakinannya. Orang yang sangat
dogmatik kemungkinan tidak akan bersikap terbuka terhadap literature-literatur
yang mengkritik tradisi mereka.
Pengetahuan religius dapat memiliki derajat yang berbeda-beda, sangat
mungkin seseorang memiliki komitmen terhadap satu keyakinan tertentu
(memiliki skor yang rendah pada dimensi-dimensi keyakinan) tetapi justru
memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal ini (memiliki skor yang
rendah pada dimensi pengetahuannya).
5. Dimensi effect atau pengamalan (the consequential dimension)
The consequential dimension yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana
perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan
sosial, Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang
yang kesulitan, mendermakan hartanya, ikut dalam kegiatan konversasi
lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.
Dimensi-dimensi keberagamaan menurut Stark dan Glock, oleh Neil C.
Warren dinyatakan sebagi kategori yang cukup rinci dan menyeluruh. Karenanya
dapat digunakan untuk menerangkan cirri-ciri dan kualitas keberagamaan sesorang
tanpa harus ada penyamaan beberapa pribadi secara lebih nyata.14
Dalam hal ini Ancok15 menilai, bahwa kelima dimensi keberagamaan
menurut rumusan Stark & Glock bisa disejajarkan dengan konsep Islam meskipun
tidak sepenuhnya sama. Yakni, dimensi ideologis sejajar dengan ‘akidah; dimensi
ritual dengan syari’ah/ibadah; dimensi eksperiensial dengan tasawuf atau mistik.
Sedangkan dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula, karena
pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih
dahulu; dimensi konsekuensial dengan kesatuan antara akidah, syari’ah dan akhlak
sebagai inti dan perwujudan ajaran Islam secara sempurna. Dengan demikian,

14 Neil C. Warren, Empirical Studies in the Psychology of Religion "An Assesment of Period 1960-

1970", dalam H. Newton Malony (ed), Cureent Perspektives in the Psychology of Religion, (Eerns,
Grand Rapid,)
15 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h.

80
Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|7

dalam perspektif Islam keberagamaan merupakan sifat yang menyeluruh dan utuh.
Oleh karena itu Islam menyeru orang-orang beriman agar melakukan ketaat dalam
Islam secara “kaffah”.16
Dari kelima aspek religiusitas di atas, semakin tinggi penghayatan dan
pelaksanaan seseorang terhadap kelima dimensi tersebut, maka semakin tinggi
tingkat religiusitasnya. Tingkat religiusitas seseorang akan tercermin dari sikap dan
perilakunya sehari-hari yang mengarah kepada perilaku yang sesuai dengan
tuntutan agama.
C. Penutup
Agama merupakan suatu kekuatan yang paling dirasakan berpengaruhnya
di dalam kehidupan manusia. Agama mempengaruhi manusia dalam segala segi
aspek kehiduipan. Kepecayaan-kepercayaan dan nilai-nilai agama memberikan
motivasi kepada manusia dalam bertingkah laku dan mempengaruhi kelompok di
dalam menata kehidupan bersama yang dikenal dengan istilah religiusitas.
Agama menawarkan hubungan melalui pemujaan dan berbagai bentuk
upacara ibadah, karena itu memberikan rasa emosional bagi rasa aman baru dan
identitas yang lebih kuat ditengah-tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan
bagi kehidupan manusia. Walaupun nilai dan kadar kepecayaannya itu berbeda-
beda dalam berbagai tipe individu dan nilai-nilai sakral.
Agama termasuk suatu struktur institusional sosial yang penting bagi
masyarakat yang turut mewarnai sistem sosial lainnya. Keberagamaan memiliki
pengaruh yang kuat terhadap perilaku masyarakat yang bersumber pada emosi
keagamaan. Maka timbullah berbagai bentuk persepsi masyarakat terhadap pola
dan tingkah laku keagamaan yang berbeda Agama sebagai struktur sosial memiliki
beberapa aspek penting dalam pembinaan dan pengembangan penganutnya,
diantaranya adalah: Aspek kepercayaan keagamaan, ritus-ritus keagamaan, simbol-
simbol keagamaan, pengalaman keagamaan, dan pengalaman agama.

D. Daftar pustaka
Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007).

Ali, Mukti, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung,
1971).

16 Al-Qur’an Surah 2 (al-Baqoroh) ayat: 208


Agama dan Teori-Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag., MA|8

Ancok, Djamaludin dan Nashori, Fuad. Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1997).

Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru,
1997).

Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta : Bulan Bintang. 2005).

Driyarkara, N., Percikan Filsafat, (Jakarta: PT Pembangunan, 1978).

Geertz, Cliffort. Kebudayaan dan Agama. (Jogyakarta: Kanisius,1992).

Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis,
(Jogyakarta: Titian Ilahi Press: 1997).

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002).

Majid, Abdul, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang, 1989).

Mu’in, Taib Thahir Abdul, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992).

Mangunwijaya, Y.B., Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).

Nashori, Fuad dan Muharram, Rachmy Diana. Mengembagkan Kreativitas dalam


Perspektif Psikologi Islam, (Jogyakarta:Menara Kudus:2002).

Subandi, “Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Kecemasan pada


Remaja”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1988).

Warren, Neil C. Empirical Studies in the Psychology of Religion "An Assesment of


Period 1960-1970",

Anda mungkin juga menyukai