Anda di halaman 1dari 10

Analisis Wacana

Referensi, Inferensi, Praanggapan, Eksplikatur dan Implikatur

A. Referensi
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan
lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului
atau mengikutinya (Sumarlam, 2003). Menurut Ramlan (1993) yang dimaksud referensi
(penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa,
atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian, dalam penunjukan
terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah
mengacu pada referen yang sama.
Referensi adalah suatu tindakan dimana seorang penutur atau penulis menggunakan
bentuk linguistik untuk memungkinkan seorang pendengar atau pembicara mengenali
sesuatu (Yule, 2016:27). Bentuk-bentuk linguistik adalah ungkapan-ungkapan pengacuan
yang mungkin berupa (a) nama diri (misalnya: Shakespeare, Cathy Revuelto, Hawaii, (b)
frasa nomina tertentu (misalnya: pengarang itu, penyayi itu, pulau itu, dan (c) frasa nomina
tidak tentu (misalnya: dia laki-laki, dia perempuan, miliknya).
Dalam wacana lisan atau tulisan, kita temukan berbagai unsur seperti pelaku perbuatan.
Penderita, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan tempat perbuatan. Unsur itu acap kali
harus diulang-ulang untuk memacu kembali atau memperjelas makana. Karena itu
pemilihan kata serta penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif
tetapi juga koheren. Dengan kata lain Referensinya atau pengacuannya harus jelas.
Referensi dalam analisis wacana dapat berupa endofora (anafora dan katafora) dan
eksofora. Endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) ada di dalam teks, sedangkan
eksofora bersifat situasional (acuan atau referensi di luar teks). Endofora terbagi atas
anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora
merujuk silang pada unsur yang disebutkan terdahulu, katafora merujuk silang pada unsur
yang disebutkan kemudian (Dajajasudarma 1994: 51).
Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000: 147) membagi referensi menjadi tiga tipe,
yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif.

1
1. Referensi Persona
Referensi persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang I,
kata ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan pluralisnya.
Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang).
Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama),
mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada
orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina itu, ada yang
mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu. Ada bentuk yang besifat eksklusif , ada
yang bersifat inklusif, dan ada yang bersifat netral (Alwi 1998: 249).
2. Referensi Demonstratif
Menurut Kridalaksana (1994: 92) demonstrativa adalah jenis yang berfungsi untuk
menunjukkan sesuatu (anteseden) di dalam maupun di luar wacana. Dari sudut bentuk,
dapat dibedakan antara (1) demonstrativa dasar, seperti itu dan ini, (2) demontrativa
turunan, seperti berikut, sekian, (3) demonstrativa gabungan seperti di sini, di situ, di
sana, ini itu, di sana-sini.
Sumarlam (2003: 25) membagi pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk)
menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina tempat
(lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini
(seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang
(seperti besok dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang).
Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau
lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu),
jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta,
Yogyakarta).
3. Referensi Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal
yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau
kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya
(Sumarlam 2003:26). Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan
misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis
seperti, dan persis sama dengan.
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia menurut Hartono (2000:151)
berkenaan dengan perbandingan dua maujud atau lebih, meliputi tingkat kualitas atau

2
intensitasnya dapat setara atau tidak setara. Tingkat setara disebut tingkat ekuatif,
tingkat yang tidak setara dibagi menjadi dua yaitu tingkat komparatif dan tingkat
superlatif. Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau
mirip. Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau
yang kurang. Tingkat superlatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang paling
tinggi di antara adjektiva yang dibandingkan.
Dari keterangan tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada analisis wacana referensi itu
dianggap sebagai tindak tanduk dari si pembicara atau si penulis. Dengan kata lain,
referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si pembicara atau si penulis. Kita
sebagai pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud
(direferensikan) oleh si pembaca atau si penulis.

B. Inferensi
Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur
selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu
penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis).
Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi.
Menurut Moeliono (dalam Mulyana,2005: 19) inferensi yaitu proses yang harus
dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam
wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pengertian inferensi yang umum
ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah
tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh seorang penulis
(pembicara).
kesimpulan bahwa Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau
pembaca untuk memahami makna secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang
diungkapkan oleh pembicara atau penulis, yaitu dengan membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan
implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu
kita mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;
1. Inferensi Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang
digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas
dari premisnya.

3
2. Inferensi Tak Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih premis. Proses akal budi
membentuk sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.

C. Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata untuk pra-anggap, yang dalam bahasa
Inggris berarti untuk dipikirkan sebelumnya (konversi sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu yang ia miliki pertanyakan sebelumnya
tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Selain itu, beberapa resolusi lain tentang
praanggapan di dalam persetujuan adalah George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa
praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
peristiwa sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur
bukan kalimat.
Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau
penyangkalan dasar perdebatan dan pembahasan (menggunakan bahasa) yang membuat
bentuk bahasa (kalimat atau kalimat) memberikan makna bagi pendengar atau penerima
bahasa dan sebaliknya, membantu mencari bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang diajukan.
Menurut George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi
adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan
suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Sedangkan Louise
Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah anggapan-anggapan atau
inferensi-inferensi yang tersirat dalam penerimaan-anggapan linguistik tertentu. Dari
beberapa resolusi sebelum dapat menyimpulkan, praanggapan adalah kesimpulan atau
menyetujui awal penutur sebelum melakukan tuturan apa yang akan disampaikan juga
dibahas oleh mitra tutur. Jadi yang disetujui dengan praanggapan adalah suatu
penafsiran atau disetujui oleh sang penutur pada saat berdiolog dengan pen-
dengarnya. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif
ujaran yang dihasilkan.
Ciri dari suatu praanggapan yang paling mendasar adalah sifat keajegan di bawah
penyangkalan (Yule, 2006: 45). Hal ini memiliki maksud praanggapan (presuposisi) suatu
keharusan akan tetap ajeg (tetap benar) sesuai kalimat yang dibuat kalimat negatif atau
dinegasikan.

4
1. Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan penggunaan sejumlah besar
kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006: 46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan
praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi
faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan
presuposisi konterfaktual.
a. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang
menunjukkan eksistensi / mengalihkan / jati diri referen yang diterjemahkan dengan
kata yang definit.
b. Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang
dipraanggapkan menggunakan kata kerja dapat dipertimbangkan sebagai suatu
kenyataan.
c. Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) diterjemahkan sebagai bentuk praanggapan di mana
makna yang disetujui secara konvensional ditanggapi dengan praanggapan yang
berarti makna lain (yang tidak ditentukan) dipahami.
d. Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah praanggapan yang diasumsikan
tidak benar.
e. Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural yang disetujui pada kokohktur kalimat-
kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan tetap dan konvensional yang
membahas struktur yang sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam
kalimat tanya, konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di
mana) seudah dipahami sebagai masalah.
f. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti yang di praanggapkan tidak
hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak
belakang dengan tantangan.

5
D. Eksplikatur
Grice diduga memaknai eksplikatur dengan makna harfiah ujaran secara semantik.
Namun, antara eksplikatur dan makna harfiah masih terdapat perbedaan. Dengan mengacu
pada Carston, eksplikatur dan makna harfiah tidak berdiri sendiri. Eksplikatur merupakan
elaborasi dari bentuk makna harfiah. Menurut Griffiths (2006: 6), eksplikatur adalah
penggunaan informasi kontekstual dan pengetahuan dunia (world knowledge) untuk
menjelaskan sesuatu yang dimaksudkan guna memahami ungkapan-ungkapan yang
taksa. Dalam hal itu, eksplikatur memperikutkan makna harfiah, tetapi tidak berlaku
sebaliknya. Makna harfiah akan memperikutkan eksplikatur hanya jika keduanya identik,
misalnya keidentikan kata kemarin, besok, lusa, dan sebagainya. dengan tanggal dan
parafrasa waktu. Eksplikatur menjadi salah satu langkah dalam penentuan implikatur
sebuah ujaran. Dalam hal ini, untuk menentukan implikatur seseorang harus terlebih dahulu
menentukan eksplikatur.
Eksplikatur dapat dimakna pula dengan cara memperluas tuturan yang kita dengar atau
temui dengan mengombinasikan tuturan dengan pengetahuan yang dimiliki penutur dan
pendengar dalam benak masing-masing.
Penentuan eksplikatur dapat dilakukan dengan proses penetapan referensi pada konteks
ketaksaan dan inferensi indeksikal. Kearn (2000) menyebut proses ini sebagai inferensi
pragmatik tingkat pertama. Dalam hal itu, referensi ketaksaan dan inferensi indeksikal
merupakan bahan baku dan eksplikatur sebagai bahan jadi. Dengan kata lain, eksplikatur
merupakan referen yang berbentuk parafrase dan/atau rujukan lain dari makna harfiah.
Kajian implikatur tidak dapat dilepaskan dari eksplikatur. Rosidi menyebutkan bahwa
implikatur adalah kebalikan dari eksplikatur. Namun, meskipun begitu, keduanya saling
berhubungan dengan erat dalam tuturan. Implikatur adalah makna yang tersirat,
tersembunyi, atau implisit dalam sebuah tuturan yang tersurat, eksplisit, atau eksplikatur.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa eksplikatur adalah tuturan yang dimunculkan, dan
implikatur adalah makna dari tuturan tersebut. Dari satu eksplikatur, dapat muncul
beberapa makna sebagai implikatur.
E. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk
memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan
teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam pragmatik adalah konsep
implikatur percakapan. Konsep implikatur digunakan untuk menjelaskan
perbedaan antara “apa yang diucapkan” dan “apa yang diimplikasikan”. Sebuah

6
ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan
bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari
ujaran.
Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh
yang tersurat (eksplikatur). Implikatur dimaksudkan sebagai suatu ujaran yang menyiratkan
suatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Menggunakan implikatur dalam
percakapan berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Grice (1975:43)
menjelaskan bahwa implikatur mencakup beberapa pengembangan teori hubungan antara
ekspresi, makna tuturan, makna penutur, dan implikasi suatu tuturan.
1. Jenis-jenis Implikatur
Grice (1975) menyatakan, bahwa ada dua macam implikatur, yaitu (1) conventional
implicature (implikatur konvensional), dan (2) conversation implicature (implikatur
percakapan). Berikut ini merupakan penjelasan dua macam implikatur tersebut:
a. Implikatur konvensional
Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh "arti
konvensional kata-kata yang dipakai". Maksudnya adalah pengertian yang bersifat
umum, semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian
sesuatu hal tertentu.
b. Implikatur percakapan
Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan dari suatu konteks pembicaraan
tertentu. Implikatur percakapan ini memiliki makna dan pengertian yang lebih
bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal "yang dimaksudkan: sangat
bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur
konvensional memiliki makna yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini
hanya memiliki makna yang temporer yaitu makna itu berarti hanya ketika terjadi
suatu percakapan tersebut/ terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.
Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak
mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru
'disembunyikan', diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali
berbeda dengan maksud ucapannya.
Sejalan dengan itu Yule (2006) membedakan implikatur menjadi empat
jenis. Adapun keempat jenis tersebut adalah:

7
a. Implikatur percakapan umum (generalized conversational implicature)
merupakan implikatur yang tida membutuhkan latar belakang pengetahuan
khusus dan konteks yang diminta untuk membuat kesimpulan.
b. Implikatur percakapan khusus (particularized conversational
implicature)
Sering kali terjadi hubungan urutan antara satu proposisi dengan
proposisi berikutnya terlihat sangat khusus. Untuk itu diperlukan proposisi
sebagai penghubung pemasukan yang disebut implikatur percakapan khusus.
c. Implikatur skala
Dalam informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang
menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Terutama untuk menyatakan
jumlah.
d. Implikatur konvensional
Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama
atau maksim, tidak harus muncul dalam percakapan, dan tidak
tergantung pada konteks khusus untuk mengintepretasikannya.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara
lain untuk:
a. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural.
b. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.
c. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan
pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara
lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
d. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan
antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur
yang sama.
e. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara
lahiriah tidak berkaitan (Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).

2. Ciri-ciri Implikatur
Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89) menegaskan adanya tiga hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:
a. implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,

8
b. implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
c. sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu
bergantung pada konteksnya.

9
Daftar Rujukan

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Baryadi, I Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta:
Pustaka Gondho Suli.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. London: University Collage London.
Leech, G. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh: M.D.D. Oka. I. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.
Ramlan. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Andi Offset.
Rustono. 2011. Kohesi Leksikal dan Kohesi Gramatikal Dalam Karya Ilmiah Siswa SMA
Sekota Semarang. Jurnal Universitas Negeri Semarang.
Sumarlam. 2003. Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta: Pustaka Cakra.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Terj. Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

10

Anda mungkin juga menyukai