Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PSIKOLINGUISTIK

“PRESEPSI UJARAN DALAM KONTEKS PSIKOLINGUISTIK”

Disusun Oleh :
1. Sulis Hadiningrum K.W 201921500128
2. Bucky Andriana Hermayadi 201921500547
3. Anisa Dian Rusmakerti 201921500358

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat limpahan
karunia nikmat Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang bertajuk “Presepsi Ujaran”
dengan lancar.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari anggota
kelompok. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam
menyelesaikan makalah ini.
Meski demikian, kami menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan di dalam
penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga penulis
secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.
Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
semua kalangan dan menjadi bahan belajar mengenai Presepsi Ujaran.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan
pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan
kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak disertai dengan kehadiran
bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya dapat
bermacam-macam sejalan dengan bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Jawaban
seperti, bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk
berinteraksi, bahasa adalah alat untuk mengekspresikan diri, dan bahasa adalah alat untuk
menampung hasil kebudayaan, semuanya dapat diterima.

Berbahasa itu adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar
melalui satu atau serangkaian ujaran. Satu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila
makna yang di kirimkan penutur dapat di resepsi oleh pendengar persis seperti yang di
maksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan
dengan baik apa bila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak
sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh faktor
penutur yang kurang pandai dalam memproduksi ujaran, bisa juga disebabkan oleh faktor
pendengar yang kurang mampu meresepsi ujaran itu, atau bisa juga akibat faktor lingkungan
sewaktu ujaran itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar.

Secara awam manusia menggunakan kata ‘mendengar’ atau ‘mendengarkan’. Artinya


organ dengar kita menangkap berbagai bunyi yang prosesnya, kemudahannya, atau
kesulitannya tidak banyak kita sadari. Bunyi yang tertangkap pun beragam, ada yang
bermakna, ada yang tidak bermakna, ada yang tertangka secara utuh dan ada yang hanya
sebagian atau utuh tetapi mengalami distorsi. Menangkap suatu ujaran bukanlah suatu proses
yang sederhana. Manusia harus memulai dengan proses bagaimana mencerna bunyi-bunyi itu
sebelum dapat memahaminya sebagai ujaran.

Proses pengujaran adalah sebuah perwujudan dari proses artikulasi dan kemudian
terkonsep dalam otak manusia secara sempurna. Selanjutnya hal tersebut diwujudkan dalam
bentuk bunyi yang akan dimengerti oleh interlokutor tertentu (Darjowidjojo, 2005:49).
Terkadang manusia tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi
yang melewati udara itu ternyata sebuah proses yang kompleks. Pada dasarnya ujaran adalah
suara murni (tuturan), langsung dari sosok yang berbicara. Jadi ujaran dapat berupa kata,
kalimat, atau gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai arti. Adanya ujaran
ini akan muncul makna sintaksis, semantik dan pragmatik.

Persepsi ujaran menurut Gleason (1998:108) adalah proses di mana sebuah ujaran
ditafsirkan. Persepsi ujaran melibatkan tiga proses yang meliputi, pendengaran, penafsiran
dan pemahaman terhadap semua suara yang dihasilkan oleh penutur. Kombinasi fitur-fitur
tersebut (secara runtut) adalah fungsi utama persepsi ujaran. Persepsi ujaran menggabungkan
tidak hanya fonologi dan fonetik dari tuturan yang akan dirasakan, tetapi juga aspek
sintakmatik dan semantik dari pesan lisan tersebut.

Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai persepsi terhadap ujaran dalam konteks
psikolinguistik, bagaimana proses atau tahapan dari suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu
terjadi, apa saja faktor yang mempengaruhi sebuah persepsi ujaran itu terbentuk, beberapa
model persepsi ujaran, dan persepsi ujaran dalam konteks.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Persepsi Ujaran

Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi yang dapat
berupa bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, 2011:19). Kalau orang tidak dapat mendengar
bunyi dengan jelas, tentu saja orang tidak menangkap maknanya, lebih-lebih kalu bunyi itu
berupa kalimat dan orang itu belum menguasai bahasa yang digunakan dalam kalimat
tersebut. Ketidakmampuan menangkap bunyi yang didengar bisa disebabkan oleh berbagai
sebab, yaitu yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan organ dengar dan kedua yang berasal
dari materi yang didengar. Ketidaksempurnaan persepsi bunyi antara lain disebabkan oleh
kecepatan bunyi yang didengar, khususnya kalau berupa kalimat. Menurut Dardjowidjojo
(2005:49) persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang
jelas antara satu kata dengan kata yang lain.

Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara.Jadi ujaran
itu adalah sesuatu baik berupa kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang
mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah makna sintaksis,
semantik,dan pragmatik. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan
mereka.

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang
jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Ketika seseorang berbicara atau bernyanyi,
indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi yang satu dengan yang lainnya.
Indera pendengaran mampu menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan
yang membentuk sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh
seorang penutur.
Berdasarkan uraian di atas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat
bicara dikelompokan menjadi dua, yakni:

1) Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan

konsonan.

2) Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,

dan nada.

Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut bunyi
segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada disebut
bunyi suprasegmental atau prosodi. Perhatikan tiga ujaran berikut :

a) Bukan angka

b) Buka Nangka

c) Bukan nangka.

Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain , dalam pengucapannya
ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanahka].

Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi
itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu
berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada kata
biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga
sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi
yang sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/
merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar. Namun demikian, manusia tetap saja
dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini
dilakukan melalui tahap-tahap tertentu.

2.2 Tahapan Pemrosesan Ujaran

Menurut Clark & Clark dalam Dardjowidjojo (2005:49-52) pada dasarnya ada tiga
tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi, yaitu sebagai berikut.

a) Tahap Auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini
kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara
artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset Time: waktu antara lepasnya udara untuk
pengucapan suatu konsonan dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang
mengikutinya) sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu
bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori
auditori kita.
b) Tahap Fonetik
Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita, kita lihat,
misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula
lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh
vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb.
Seandainya ujaran itu adalah Bukan nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/
terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan
hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya.
Kemudian VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan
kapan getaran pada pita suara itu terjadi. Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan
di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori dengan memori fonetik adalah
bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan
sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya,
bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori
auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur
distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian
maka [b] ini sedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip –rounding).
Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita
tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya,
apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan
karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/,
dan /n/ bisa membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar
terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/; bila /n/ yang
lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.
c) Tahap Fonologis
Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita
dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik
yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku
kata. Karena itu, penutur bahasa Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan
vokal.
Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan
menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan
demikian deretan bunyi /b/, /Ə/, /h/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is,
tidak mungkin be dan ngis.
Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan
mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita memungkinkan
urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun kedua-duanya pinjaman dari
bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur bahasa Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini
ke dalam dua suku yang berbeda. Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan
fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak
mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktuhgal/ tidak
mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara mental dengan melalui proses
yang sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu
teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka
adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.

2.3 Model Persepsi Ujaran

Berbagai model telah dikembangkan untuk membantu memahami komponen ujaran.


Ada model yang berfokus pada produksi atau persepsi berbicara semata-mata, dan ada model
lain yang menggabungkan kedua produksi ujaran dan persepsi secara bersamaan. Beberapa
model pertama dibuat dalam kurun waktu sampai sekitar pertengahan 1900-an, dan model
tersebut terus-menerus dikembangkan hingga saat ini.

Masalah utama dalam menentukan model persepsi ujaran adalah menentukan model
persepsi yang tepat dari sebuah proses persepsi ujaran. Hal tersebut dapat terjadi melalui dua
cara, yaitu: top-down process atau bottom-upprocess (Field, 2003). Pada pemrosesan top-
down, pendengar merasakan seluruh kata, kemudian memecahnya menjadi komponen-
komponen kecil untuk menentukan maknanya, sedangkan dalam proses bottom-up,
pendengar merasakan sebuah kata pertama, dan kemudian menyusun kumpulan kata secara
Bersama-sama untuk membentuk dan menentukan makna. Ketika merancang model persepsi
ujaran, kedua proses tersebut perlu diperhitungkan. Beberapa model persepsi ujaran
berdasarkan tahun diusulkannya teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

a) Motor Theory of Speech Perception (Model Teori Motor)


Model ini dikembangkan pada tahun 1967 oleh Liberman dkk. Prinsip dasar dari
model ini terletak pada produksi suara di saluran vokal pembicara. Teori ini menyatakan
bahwa pendengar mampu merasakan gerakan fonetik pembicara sementara si pembicara
itu berbicara. Sikap fonetik, dalam model ini, adalah representasi dari penyempitan saluran
vokal pembicara sambil menghasilkan bunyi ujaran. Setiap gerakan fonetik diproduksi
unik di saluran vokal. Tempat yang berbeda dari gerakan memproduksi memungkinkan
pembicara untuk menghasilkan fonem penting bagi pendengar untuk melihat.
Dalam teori ini Goldstone (1994) menyatakan bahwa ada dua hal, yang perlu
diperhatikan yaitu trading relations dan coarticulation. Trading relations adalah konsep
yang menyatakan bahwa tidak setiap gerakan fonetik dapat diterjemahkan secara langsung
dan didefinisikan dalam istilah akustik. Ini berarti bahwa harus ada langkah lain untuk
menafsirkan gerakan vokal. Sedangkan konsep coarticulation adalah bahwa ada variasi di
daerah artikulasi gerakan vokal yang dihasilkan oleh penutur. Gerakan yang sama
mungkin dapat diproduksi di lebih dari satu tempat. Fonem yang dipahami oleh pendengar
berdasarkan pada kemampuan si pendengar itu untuk mengidentifikasi semua variasi
ujaran.
Dalam Model Teori Motor ini menurut Goldstone (1994) akan ditemukan proses
categorical perception (persepsi kategoris). Persepsi kategoris adalah konsep bahwa
fonem ujaran dapat dibagi secara kategoris setelah mereka fonem-fonem tersebut
diproduksi. Ujaran terdiri dari tempat artikulasi dan waktu onset suara. Beberapa gerakan
vokal hanya dapat terjadi dari satu jenis artikulasi. Gerakan lainnya memiliki berbagai
coarticulation. Ini berarti bahwa suara yang sama dapat diproduksi di satu tempat di
saluran vokal, atau dapat dihasilkan dari beberapa tempat yang berbeda di saluran vokal.
Kemampuan untuk menentukan di mana suara tertentu diproduksi akan membantu dalam
menentukan suara (jenis fonem) setelah diproduksi. Gerakan vokal yang berbeda
menghasilkan on set suara pada waktu yang berbeda, tergantung pada apa suara yang
dihasilkan . Sebagai contoh, /b/ memiliki onset suara yang berbeda dari /p/ namun
keduanya diproduksi di tempat yang sama di saluran vokal. Membuat perbedaan antara
artikulasi dan on set suara memungkinkan gerakan pengelompokan (pembuatan kategori)
yang ditentukan berdasarkan cara suara-suara tersebut diproduksi.
b) Analysis-by-Synthesis Model (Model Analisis dengan Sintesis)
Dardjowidjojo (2005:53) menyebutnya dengan Model Analisis dengan Sintesis.
Model ini menyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat
mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan
Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Sebagai contoh bila penutur
bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu
dari segi fitur distingtifnya, kemudian disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan
bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu (/mula/, /pula/, /kola/, /pola/) sampai
akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni /pola/. Baru pada saat inilah deretan
tadi dipersepsikan dengan benar.
c) Fuzzy Logic Model of Perception (FLMP)
Massaro (1987) dan Werker (1991) menyatakan bahwa Fuzzy Logic Model of
Perception (FLMP) adalah sebuah temuan baru karena Model Teori Motor dinilai lemah.
Menurut Massaro persepsi kategoris (categorical perception) bukanlah suatu tanda bahwa
kita memiliki modus khusus dalam otak kita berkaitan dengan mengelompokkan fonem.
Hal ini dikarenakan persepsi ujaran sebenarnya terbentuk melalui dari tiga proses: evaluasi
fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan (Djarjowidjojo, 2005).
Dalam model ini dikenal adanya bentuk prototipe tentang semua nilai ideal yang ada
pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya (pembedanya). Informasi dari semua
fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari
prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah
masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Jika kita mendengar bunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku kata ideal
untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/.
Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/
yang kita dengar sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi suku kata atau kata yang kita dengar
tidak mungkin persis 100 persen sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang
mengunyah sesuatu sambil mengatakan /baraɳ/ pasti tidak persis sama dengan yang
diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa.
d) Cohort Model
Model ini diusulkan pada tahun 1980-an oleh Marslen-Wilson, Model Cohort adalah
representasi untuk pengambilan leksikal. Aitchison (1987) menyatakan bahwa leksikon
individu adalah kamus mental seseorang. Menurut sebuah studi, rata-rata individu
memiliki leksikon sekitar 45.000 sampai 60.000 kata Premis dari Model Cohort adalah
bahwa pendengar memetakan kata-kata baru dengan kosakata yang sudah ada dalam
kamus mentalnya. Setiap bagian dari tuturan dapat dipecah menjadi beberapa segmen.
Semakin banyak segmen yang didengar, ia bisa menghilangkan kata-kata dari kamus
mereka yang tidak berpola sama.
Marslen-Wilson dan Welsh (1978) dalam Gleason dan Ratner (1998) secara umum
menjelaskan Model Cohort dalam sebuah tahap di mana informasi mengenai fonetik dan
akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar memicu ingatan kita untuk memunculkan
kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka
semua kata yang mulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,prakata,dsb.
Kata-kata yang termunculkan itulah yang disebut cohort. Kemudian kata-kata yang tidak
mirip dengan target (pahala,pujaan) akan tersingkirkan. Lalu kata /priyayi/ dan /prakata/
akan ikut disingkirkan aren fonem selanjutnya adalah /h/ dan persis cocok dengan yang
diterima.
e) TRACE Model
Model ini ditemukan oleh James McCleland & Jeffrey Elman (McClelland dan
Elman, 1986). Teori ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah yang dialami pendengar
ketika mendengar suatu bunyi, (Su’udi, 2011:24): 1) bunyi yang didengar tidak benar-
benar terpisah, tetapi agak tumpang tindih, 2) pelafalan bunyi dipengaruhi oleh
lingkungannya yaitu bunyi sebelum atau sesudah bunyi tersebut, 3) beragamnya pelafalan
suatu bunyi yang disebabkan aksen individual, kedaerahan, atau kebisingan lingkungan
tempat ujaran didengar. Salah satu atau beberapa hal tersebut membuat awal bunyi sebuah
kata didengar semua kata yang berinisial sama dengan kata tersebut akan teraktifan dalam
ingatan, kata tersebut kemudian bersaing untuk dimaknai seiring dengan terdengarnya
bunyi yang menyusul, akhirnya makna yang dimaksud akan tertangkap setelah seluruh
kata terdengar, atinya persaingan selesai.
Persepsi bunyi atau urutan bunyi menurut teori ini mengalami proses sebagai berikut:
1) Ketika awal bunyi, misalnya sebuah kata, didengar, semua kata yang berinisial sama
dengan kata tersebut akan teraktifkan dalam ingatan.
2) Kata tersebut bersaing untuk dimaknai seiring dengan terdengarnya bunyi yang menyusul.

3) Akhirnya makna yang dimaksud akan tertangkap setelah seluruh kata terdengar, artinya
persaingan selesai.

Model TRACE bekerja dalam dua arah. Dalam TRACE, baik kata-kata atau fonem
dapat ditangkap dari pesan lisan (tuturan). Dengan segmentasi suara individu, fonem dapat
ditentukan dari kata yang diucapkan. Kemudian dengan menggabungkan fonem, kata-kata
dapat dibuat dan dirasakan oleh pendengar.

f) Exemplar Theory
Menurut Goldinger (1996), premis utama Examplar Theory (Teori Contoh-Contoh
Leksikon) sangat mirip dengan Model Cohort. Examplar Theory didasarkan pada
hubungan antara memori dan pengalaman sebelumnya dengan kata-kata. Teori ini
bertujuan untuk menjelaskan cara pada saat pendengar bisa mengingat episode akustik.
Sebuah episode akustik adalah sebuah pengalaman terhadap kata-kata yang diucapkan.
Rincian kata didengar dan diingat secara spesifik oleh pendengar. Jika kata tersebut akrab
bagi pendengar. Pendengar mungkin dapat mengenali kata-kata dengan lebih baik, jika
sebelumnya ia mendengar kata tersebut secara berulang-ulang dari pembicara yang sama
dan dengan kecepatan bicara yang sama.
Teori ini meyakini bahwa setiap kata meninggalkan jejak yang unik pada memori
pendengar dan jejak ini membantu pendengar dalam mengingat kata-kata . Ketika kata-
kata baru masuk memori, jejak dari kata-kata baru dicocokkan kemudian dicari ada
tidaknya kesamaan (Goldinger, 1998). Semakin banyak pengalaman perbaikan leksikal
yang diperoleh serta kata-kata baru yang dipelajari atau didengar, maka stabilitas memori
seseorang akan semakin meningkat. Goldinger (1998) menjelaskan plastisitas leksikal
dalam The Ganong Effect yaitu bahwa jejak memori dunia nyata jauh lebih mudah dilihat
daripada memori kata omong kosong. Kata (dalam Bahasa Inggris) Soot, Boot, Root akan
lebih mudah untuk diingat karena kesamaan dalam memori pendengar daripada kata
Snoyb, Bnoyb, dan Rnoyb karena kata-kata tersebut tidak serupa dalam memori pendengar,
sehingga akan sulit untuk diingat.
g) Neurocomputational Model
Model ini diusulkan oleh Kroger dkk (2009). Mereka berpendapat bahwa model
persepsi ujaran didasarkan pada fakta-fakta neurofisiologis dan neuropsikologi. Mereka
mensimulasikan jalur saraf mana saja di berbagai wilayah otak yang terlibat dalam proses
pengujaran terutama ketika ujaran tersebut diproduksi dan dirasakan. Dengan
menggunakan model ini, area otak dalam pengetahuan ujaran diperoleh dengan cara
melatih jaringan saraf untuk mendeteksi suara di daerah kortikal dan sub-kortikal otak.
Melalui penelitian mereka, Kroger dan rekan menentukan bahwa model
neurocomputational memiliki kemampuan embedding di daerah-daerah otak fitur penting
dalam proses produksi ujaran dan persepsi untuk mencapai pemahaman ujaran.
Model ini berbeda dengan model yang dibahas sebelumnya dalam kaitannya dengan
persepsi ujaran. Hickok & Poeppel (2000) mengembangkan model ini untuk menunjukkan
bahwa persepsi ujaran tidak hanya melibatkan persepsi bahasa lisan, akan tetapi juga
sangat bergantung pada produksi bahasa juga. Model ini sangat mencerminkan temuan
Liberman dan rekan dalam pekerjaan mereka pada Teori Motor. Kedua model ini
menunjukkan bahwa persepsi ujaran adalah produk dari kedua produksi ujaran dan
bagaimana ujaran diterima. Huang, dkk (2001) menunjukkan bahwa ada beberapa daerah
mirip dalam otak yang diaktifkan untuk memproduksi dan mempersepsi bahasa sekaligus.
Model Neurocomputational adalah salah satu dari beberapa model yang memetakan jalur
kerja di otak dalam memproduksi ujaran. Neurocomputational merupakan model
pengolahan ujaran yang kompleks yang terdiri dari bagian kognitif, motorik dan sensoris.
Bagian kognitif atau linguistik terdiri dari aktivasi saraf atau generasi representasi
fonemik pada sisi produksi ujaran serta aktivasi saraf di sisi persepsi ujaran. Bagian
motorik dimulai dengan representasi fonem ujaran, mengaktifkan rencana motorik dan
berakhir dengan artikulasi komponen ujaran tertentu. Bagian sensoris dimulai dengan
sinyal akustik ujaran (sinyal suara akustik), menghasilkan representasi pendengaran untuk
sinyal itu dan mengaktifkan representasi fonemik untuk komponen ujaran.
Pendekatan terkemuka dalam neurocomputational adalah model DIVA dikembangkan
oleh Frank H. Guenther dan kelompoknya di Universitas Boston (en.wikipedia.org).
Model tersebut memperhitungkan berbagai macam data fonetis dan gambaran sistem saraf
tapi bersifat spekulatif.
h) Dual Stream Model
Dual Stream Model, diusulkan oleh Hickok dan Poeppel ( 2007). Model ini
dinamakan dual stream karena dinyatakan bahwa terdapat dua jaringan saraf fungsional
berbeda dalam proses ujaran dan informasi bahasa. Salah satu jaringan saraf terutama
berkaitan dengan informasi sensorik dan fonologi berkaitan dengan konseptual dan
semantik. Jaringan lainnya beroperasi dengan informasi sensorik dan fonologi berkaitan
dengan motorik dan sistem artikulasi . Dalam Dual Stream Model ada beberapa aspek
yang diperhatikan yaitu; kunci dari ujaran, produksi dan persepsi. Belahan kiri otak
manusia berurusan dengan informasi, tetapi sebagai Hickok & Poeppel (2007)
menemukan bahwa belahan otak kiri ini juga mampu mewakili informasi akustik sama
mudahnya seperti belahan kanan. Dengan demikian teori Dual Stream Model dikatakan
unik dan masuk akal sebagai model untuk persepsi ujaran.
Dual stream model harus diasumsikan dengan benar, yaitu bahwa kita menerima :
1) Representasi sensorik /fonologis baik dengan sistem konseptual
maupun sistem motoric.
2) Bahwa sistem konseptual dan sistem motor ujaran bukanlah hal yang sama, maka
berarti harus ada dua aliran pengolahan.
Pengolahan pertama menuju ke sistem konseptual, yang lain mengarah ke sistem
motorik.

2.4 Persepsi Ujaran dalam Konteks Psikolinguistik

Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujaran yang kita dengar
secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan secara
terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain
sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan
secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan
secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan
berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ (seperti pada kata pukat). Pada
rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan untuk /p/
sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada
saat bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir
bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.

Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua
bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama.
Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatubunyi, pendengar akan tetap
menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan akibat dari adanya bunyi lain yang
mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai
satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat
akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja dapat
memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa
membantu kita dalam proses persepsi.

Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan
kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak
jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat. Bila dalam mengucapkan
kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada saat kita akan mengucapkan kata sakit,
sehingga kata ini kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata
yang terbatukkan itu adalah sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan
makna yang dimaksud oleh pembicara.

Berdasarkan gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks (dalam hal ini
psikolinguistik) dalam persepsi ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa
urutan pronomina, kala progsesif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya
terdapat pula kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan
makna yang layak.
BAB III

SIMPULAN

3.1 Simpulan

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang
jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Persepsi ujaran juga ternyata tidaklah
sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses atau tahapan bagaimana suatu
persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai
pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara
tepat dan sesuai dengan maksud si penutur.

Persepsi ujaran mempunyai beberapa model, di mana pada masing-masing model


terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah persepsi ujaran itu terbentuk
seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga kemampuan bahasa si
pendengar atau yang memberikan persepsi. Masalah utama dalam menentukan model
persepsi ujaran adalah menentukan model persepsi yang tepat dari sebuah proses persepsi
ujaran. Hal tersbut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: top-down process atau bottom-up
process. Pada pemrosesan top-down, pendengar merasakan seluruh kata, kemudian
memecahnya menjadi komponen-komponen kecil untuk menentukan maknanya, sedangkan
dalam proses bottom-up, pendengar merasakan sebuah kata pertama, dan kemudian
menyusun kumpulan kata secara bersama-sama untuk membentuk dan menentukan makna.

Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat
akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja dapat
memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa
membantu kita dalam proses persepsi.

Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan
kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak
jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat.
Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
DIVA model: a model of speech production, focussing on feedback control processes,
developed by Frank H. Guenther and his group at Boston University, MA, USA. The term
"DIVA" refers to "Directions Into Velocities of Articulators" (en.wikipedia.org diunduh pada
tanggal 9 November 2014)
Field, John. 2003. Psycholinguistics. USA: Routledge.

Gleason, Jean. Berko dan Nan Bernstein Rartner, eds. 1998. Edisi Kedua. Psycholinguistics.
New York: Harcourt Brace College Publishers.

Su’udi, Astini. 2011. Pengantar Psikolinguistik bagi Pembelajar Bahasa Perancis. Semarang:
Widya Karya

http://en.wikiversity.org/wiki/Psycholinguistics/
Models_of_Speech_Perception#Models_of_Speech_Perception/

Anda mungkin juga menyukai