Anda di halaman 1dari 151

PSIKOLINGUISTIK

Disampaikan oleh :
RAMDAN SUKMAWAN, M.Hum.

SEJARAH LAHIRNYA
PSIKOLINGUISTIK

Psikolinguistik gabungan ilmu psikologi dan linguistik.


Psikolog Jerman, Wilheelm Wundt Bahasa dapat
dijelaskan dengan prinsip-prinsip psikologis.
Perkembangan bahasa dan ilmu jiwa ada 4 tahap:
1.Tahap Formatif
John W Gardner seorang psikolog Amerika.
1954 pertama kali istilah psikolinguistik dipakai.
Relativitas bahasa Benjamin Lee Whorf (1956)
Universal bahasa Greenberg (1963)

2. Tahap Linguistik
A. Aliran Behaviorisme
B.F. Skinner
B. Mentalisme
Chomsky
Universal bahasa pemelorehan bahasa
*Mengapa anak di mana pun juga memperoleh bahasa dengan
memakai strategi yang sama.
Neurolingistik :
- Struktur otak manusia berbeda dengan primat lain
- Otak manusia dikhususkan untuk kebahasaan
- Mulut manusia strukturnya memungkinkan mengeluarkan
bunyi

Biolinguistik : (Pertanyaan Chomsky)


1. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan bahasa?
2. Bagaimana pengetahuan itu diperoleh?
3. Bagaimana pegetahuan itu diterapkan?
4. Mekanisme otak mana yang relevan?
5. Bagaimana pengetahuan ini berperan pada spesies manusia?
Chomsky
Pertumbuhan bahasa pada manusia terprogram secara genetik
*Faculties of the mind (kapling minda, diciptakan untuk
pemerolehan bahasa)
*Innate properties (bekal kodrati untuk mengembangkan bahasa)

3. Tahap Kognitif
Peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pemerolehan
bahasa
Perolehan bahasa pada manusia bukan penguasaan komponen
bahasa dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kognitif.
Tata bahasa, tidak dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari
kognisi manusia karena konstituen dalam suatu ujaran, namun
mencerminkan realita psikologi manusia.
*Ujaran bukanlah suatu urutan bunyi yanglinier tetapi urutan bunyi
yang membentuk unit-unit konstituen yang hierarkhis dan masingmasing unit ini adalah realita psikologis*

4. Tahap Teori Psikolinguistik


Psikolinguistik :
Neurologi
Manusia berbahasa karena kodrat neurologis yang
dibawa sejak lahir.
Filsafat
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan
Primatologi
Genetika
Primatologi dan genetika mengkaji bahasa manusia
dengan genetika terkait dan pertumbuhan bahasanya

Psikolinguistik
*Studi tentang bahasa dan minda
*Studi tentang proses-proses mental
dalam pemakaian bahasa
Ilmu yang mempelajari proses-proses
mental yang dilalui oleh manusia dalam
berbahasa.

Kajian dalam psikolinguistik


1. Komprehensi
2. Produksi
3. Landasan biologis dan neurologis
4. Pemerolehan bahasa

KODRAT BAHASA

CIRI-CIRI KHUSUS YANG MEMBEDAKAN


BAHASA MANUSIA DAN BINATANG

Bahasa manusia memiliki ketergantunagan struktur


Suatu rentetan kata dalam kalimat tidak membentuk
rentetan yang acak tetapi satu bergantung pada
yang lain. Urutan kata memang tampak linier tetapi
satu kata dengan satu kata yang lain membentuk
suatu struktur yang hierarkhis.

Bahasa dan pemakai bahasa itu kreatif


Bahasa manusia bersifat kreatif karena manusia memiliki
kemampuan untuk memmahami dan mengujarkan ujaran baru
apa pun. Ujaran yan kita dengar kapan pun juga tidak pernah
ada yang sama dengan ujaran yang kita dengar sebelumnya,
meskipun topik yang dibicarakan sama. Namun demikian, kita
dapat memahaminya. Begitu pun dalam berujar, kita tidak
pernah mengeluarkan dua ujaran yang persis sama, kalau pun
kita berbicara tentang hal yang sama.

Bahasa dapat dipakai untuk mengungkapkan situasi atau


peristiwa yang sudah lampau atau yang belum terjadi dan
bahkan untuk sesuatu yang dibayangkan
Struktur bahasa memungkinkan
kita untuk berbicara
tentang peristiwa yang terjadi kemarin atau bahkan ratusan
yang lalu. Bahasa manusia memungkinkan kita untuk berbicara
soal acara pelapesan calon wisudawan FIAH tanggal 23
september 2014 atau soal penjajahan bangsa-bangsa Eropa
di Indonesia. Kita bahkan dapat berbicara tentang anganangan ataupun impian di masa yang akan datang.

Bahasa memiliki struktur ganda yang disebut struktur lahir


dan struktur batin
Dalam banyak hal kedua struktur ini memang menyatu
sehingga tidak tampak adanya perbedaaan. Namun dalam
banyak hal yang lain ada satu struktur lahir yang sebenarnya
memiliki
dua
struktur
batin
yang
berbeda.
Sebaliknya, dapat terjadi pula adanya dua kalimat yang
struktur lahirnya berbeda tetapi struktur batinnya sama.

Bahasa diperoleh secara turun temurun dari satu generasi


ke generasi yang lain
Anak Sunda yang dilahirkan dan dibesarkan di keluarga Sunda
di Bandung akan memperoleh bahasa Sunda. Bahasa mana
yang diperoleh oleh anak tergantung pada masukan dari
masyarakat di mana anak itu tinggal.

Hubungan antara kata dengan benda, perbuatan, atau


keadaan yang dirujuknya itu arbitrer

Tidak ada alasan mengapa suatu benda kita namakan nasi dan
suatu perbuatan kita namakan lari. Kaitan ini semata-mata
merupakan konvensi, persetujuan, di antara para pemakai
bahasa.

Bahasa memiliki pola dualitas

Bunyi-bunyi itu sendiri sebenarnya tidak mempunyai


makna dan baru bermakna setelah bunyi-bunyi itu
kita gabungkan.

Bahasa memiliki semantisitas

Begitu suatu nama diberikan maka nama itu akan


selalu merujuk kepada konsep benda itu, meskipun
benda itu sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk
nama itu.

BAGAIMANA MANUSIA
MEMPERSEPSI UJARAN
PERSEPSI TERHADAP UJARAN
MODEL PERSEPSI UJARAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBANTU
MANUSIA MEMPERSEPSI UJARAN

Bunyi
yang
dikeluarkan
oleh
manusia
ditransmisikan ke telinga pendengar melalui
gelombang udara. Pada saat suatu bunyi
dikeluarkan, udara tergetar olehnya dan
membentuk semacam gelombang. Gelombang
yang membawa bunyi ini bergerak dari depan
mulut pembicara ke arah telinga pendengar.
Dengan mekanisme yang ada pada telinga,
manusia menerima bunyi ini dan dengan melalui
syaraf-syaraf sensori bunyi ini kemudian dikirim
ke otak kita untuk diproses dan kemudian
ditangkapnya.

Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan


kita tentang bahasa tersebut, termasuk
pengetahuan kita tentang bagaimana bunyi-bunyi
itu dibuat dan fitur apa saja yang terlibat
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal
yang mudah dilakukan oleh manusia karena
ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang
meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas
antara satu kata dengan kata yang lain.

Manusia dapat mempersepsi bunyi-bunyi


bahasanya dengan baik. Persepsi seperti
ini dilakukan melalui tahapt-tahap
pemrosesan persepsi bunyi (Clark &
Clark, 1977)
1. Tahap auditori
2.Tahap fonetik
3. Tahap fonologis

Tahap Auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran
sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian
ditangkap dari segi fitur akustiknya. Konsepkonsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur
distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini
karena ilwal seperti inilah yang memisahkan satu
bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam
ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.

Tahap Fonetik
Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam
proses mental kita, seandainya ujaran itu adalah
Bukan nangka, maka mental kita menganalisis
bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi
apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan
hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan
fitur distingtifnya. Segmen-segmen bunyi ini
kemudian kita simpan di memori fonetik.

Analisis mental yang lain adalah untuk melihat


bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena
urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan
kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa
membentuk kata yang berbeda. Bila /k/
didengar terlebih dahulu, kemudian /a/
dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/;
bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah
bunyi /nak/.

Tahap Fonologis
Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan
fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar
untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi
sudah mengikuti aturan fonotaktik yang ada
pada bahasa kita.
Untuk bahasa Inggris, bunyi // tidak mungkin
memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur
Inggris pasti tidak akan menggabungkannya
dengan suatu vokal.

Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi


yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan
bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di
belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi
/b/, //, //, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi
sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis.

MODEL COHORT
MODEL PERSEPSI UJARAN

Dalam rangka memahami bagaimana


manusia mempersepsi bunyi sehingga
akhirnya
nanti
bisa
terbentuk
komprehensi, para ahli psikolinguistik
mengemukakan model-model teoritis
proses persepsi itu terjadi, di
antaranya yaitu Model Cohort.

Model Cohort ini terdiri dari dua tahap.


Pertama, tahap di mana informasi mengenai
fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata
yang kita dengar itu memicu ingatan kita
untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip
dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata
/prihatin/ maka semua kata yang mulai
dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan,
priyayi, pakata, dsb. Kata-kata yang
termunculkan inilah yang disebut sebagai
cohort.

Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi


secara bertahap. Waktu kita kemudian
mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan
pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua
pada kedua kata ini bukanlah /r/ seperti pada
kata targetnya. Kata priyayi dan prakata
masih menjadi calon kuat karena kedua kata
ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses
berikutnya, hanya priyayi yang masih
bertahan karena kata prakata memiliki
bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya.

Pada proses selanjutnya kata priyayi juga


tersingkirkan karena pada kata targetnya
bunyi yang keempat adalah /h/ sedangkan
pada priyayi adalah /y/. Dengan demikian
maka akhirnya hanya ada satu kata yang
persis cocok dengan masukan yang diterima
oleh pendengar, yakni, kata prihatin.

Faktor-Faktor yang membantu


Manusia Mempersepsi Ujaran
Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa
membantu kita dalam proses persepsi.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi
dapat dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu
bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain
secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya.
Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja
dapat
memilah-milahnya
dan
akhirnya
menentukannya.

Pengetahuan kita tentang sintaksis dan semantik


bahasa kita
Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat
diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu
terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia
sedang sakit kita terbatuk persis pada saat kita
akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini
kedengaran seperti kata /keakit/, pendengaran kita
akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan
itu adalah sakit dari konteks di mana kata itu
dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud
oleh pembicara.

Pengaruh konteks dalam persepsi ujaran


Dia sedang sakit
Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan
pronomina, kala progresif, dan adjektiva adalah
urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula
kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya
ketiga kata ini memberikan makna yang layak.

Bagaimana Manusia
Memahami Ujaran

Bagaimana manusia dapat memahami


kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana
yang mereka dengar
Memahami ujaran berhubungan dengan
bagaimana komprehensi dapat terbentuk
Dari sudut pandang ilmu psikolinguistik ,
ada dua macam komprehensi (Clark &
Clark 1977)

1. Komprehensi

yang
berkaitan
dengan
pemahaman atas ujaran yang kita dengar.
Komprehensi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses
mental
di
mana
pendengar
mempersepsi bunyi yang dikeluarkan oleh
seorang pembicara dan memakai bunyi-bunyi
itu untuk membentuk suatu interpretasi tentang
apa yang kiranya dimaksud oleh pembicara
tadi. Secara mudah dapat dikatakan bahwa
komprehensi adalah pembentukan makna dari
bunyi

2. Komprehensi yang berkaitan dengan tindakan

yang perlu dilakukan setelah pemahaman itu


terjadi.
Setelah pemahaman atas ujaran itu terjadi,
pendengar menentukan apakah ada tindakan
yang perlu dilakukan sesuai dengan apa yang
dia fahami. Proses mental ini dinamakan
pelaksanaan kalimat.

Strategi Dalam Memahami Ujaran


Dalam memahami ujaran, ada paling tidak
tiga faktor yang ikut membantu kita.
1.Faktor yang berkaitan dengan
pengetahuan dunia.
2.Faktor sintaktik
3.Faktor semantik

1. Faktor Pengetahuan Dunia


Sebagai anggota masyarakat, kita telah
hidup bersama dengan alam sekitar kita.
Alam sekitar ini memberikan kepada kita
pengetahuan-pengetahuan
tentang
kehidupan di dunia. Sebagian dari
pengetahuan
ini
bersifat
universal
sedangkan sebagian yang lain khusus
mengenai masyarakat di mana kita tinggal.

Pengetahuan dunia memiliki gradasi yang


berbeda-beda:
1.Ada yang universal (seperti gajah itu besar
dan semut itu pastilah kecil)
2.Ada yang lokal (seperti pengetahuan yang
terdapat pada budaya atau masyarakat
tertentu
3.Ada pula yang aksidental (seperti suatu
peristiwa dalam sejarah kehidupan suatu
masyarakat)

Pengetahuan Universal
Pengetahuan umum bahwa gajah berbadan
besar membuat kita menganggap gajah yang
berukuran seekor kambing adalah gajah kecil.
Sebaliknya, pengetahuan kita bahwa semut
berbadan kecil membuat kita berkata bahwa
semut yang panjangnya dua sentimeter adalah
semut yang besar, dsb.
Dengan demikian, ungkapan gajah kecil dan
semut besar harus difahami dalam kontkes
tentang pengetahuan dunia.

Pengetahuan Lokal
Pengetahuan tentang dunia yang sifatnya tidak
universal adalah pengetahuan lokal atau spesifik
yang terdapat pada budaya atau masyarakat
tertentu.
Dalam budaya Jawa, malam Jumat kliwon
adalah malam yang menyeramkan karena pada
malam ini banyak setan, jin, dan orang halus lain
menampakan diri.
Kalimat Ini malam Jumat kliwon, kan? Dipahami
sebagai suatu pertanyaan yang mempunyai
implikasi spiritual yang menakutkan.

Pengetahuan Aksidental
Adanya suatu peristiwa dalam sejarah kehidupan
suatu masyarakat sehingga hanya orang-orang
yang mengetahuinya dari sumber-sumber lainlah
yang dapat memahaminya.
Kalimat Awas jangan macam-macam kamu, kalau
tidak mau dimunirkan.

2. Faktor Sintaktik
Kita memakai strategi-strategi sintaktik untuk
membantu kita memahami suatu ujaran. Ada
enam strategi yang kita pakai.

Pertama
Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari
suatu konstituen yang kita dengar, proses mental
kita akan mulai mencari kata lain yang selaras
dengan kata pertama dalam konstituen tersebut.
Konstituen adalah pemotongan kalimat menjadi
bagian-bagian yang akhirnya tidak ada lagi yang
dapat dipotong menjadi lebih kecil.
Seandainya kata pertama yang kita dengar adalah
orang, maka kita mencari kata lain yang secara
sintaksis bisa berkolokasi dengan kata ini. Katakata ini bisa tua, besar, bodoh, atau itu.

Proses seperti ini terjadi karena kita sebagai


penutur asli bahasa Indonesia secara intuitif tahu
bahwa kata seperti orang hampir selalu diikuti oleh
sesuatu yang lain untuk bisa menjadi suatu
konstituen. Karena itu, kita mengharapkankan
adanya kata lain yang menyusul

Kedua
Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu
konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya
mengakhiri konstruksi itu. Seandainya setelah kata
orang muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan
bahwa konstruksi orang yang tidak mungkin
membentuk suatu konstituen. Karena itu, benak kita
masih mengharapkan adanya kata atau kata-kata lain
yang mengikutinya lagi. Karena secara intuitif kita juga
tahu bahwa kata yang pastilah membentuk anak
kalimat maka kita mengharapkan munculnya anak
kalimat itu. Begitu anak kalimat tadi muncul, mis,
Orang yang mencari kamu legalah kita karena dengan
adanya anak kalimat ini maka telah terciptalah suatu
FN.

Ketiga
Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam
serta jumlah argumen yang selaras dengan verba
tersebut.
Argumen adalah ihwal atau ihwal-ihwal yang
dibicarakan.
Jika verba yang kita dengar adalah, verba me- mukul,
maka kita pasti mengharapkan adanya satu argumen,
yakni, benda atau makhluk yang dipukul. Jadi, setelah
kita mendengar ungkapan Dia memukul .. pastilah
kita mengharapkan sebuah nomina seperti pencuri
atau meja karena tidak mungkin ada suatu kalimat
yang berakhir pada verba seperti pada Dia memukul
..

Keempat
Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja
mendahuluinya. Strategi ini berkaitan dengan
kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam
bentuk linear sehingga kata yang mengikuti biasanya
menjelaskan kata yang mendahuluinya. Misalnya,
Buku sejarah kebudayaan Indonesia.
a.Ini apa? buku
b.Buku apa? buku sejarah
c.Sejarah apa? sejarah kebudayaan
d.Kebudayaan bangsa mana? kebudayaan bangsa
Indonesia

Kelima
Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu
klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari klausa
tersebut. Seandainya kata yang kita dengar adalah
jika, meskipun, atau ketika, maka pastilah akan ada
klausa induk dalam kalimat tersebut. Contoh:
Jika kamu setuju,
Ketika kami di Jakarta,

Keenam
Pada bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, afiks
juga dapat memberikan bantuan dalam pemahaman.
I know the boys cook
I know the boys cooked
Dalam bahasa lisan pemahaman apakah anak-anak
itu mempunyai juru masak atau malah mereka sendiri
yang masak tergantung pada ada-tidaknya afiks ed
sesudah cook. Tanpa afiks ini, kita pahami bahwa
anak-anak itu mempunyai juru masak dan saya kenal
dengan juru masak itu. Dengan afiks ed, pengertian
kita adalah bahwa anak-anak itu melakukan masakmemasak sendiri.

3. Faktor Semantik
Kita
juga
memakai
strategi-strategi
semantik untuk membantu kita memahami
suatu ujaran. Ada lima strategi yang kita
pakai.

Pertama
Pakailah nalar dalam memahami ujaran.
Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki
persepsi yang sama tentang banyak hal. Kita
misalnya, pasti sama-sama memahami bahwa di
dunia ini kucing mengejar tikus, dan bukan
sebaliknya. Dengan pengetahuan seperti ini maka
kalau kita diberi proposisi yang berkaitan dengan
seekor tikus, seekor kucing, dan perbuatan
mengejar, pastilah kita berpikir bahwa kalimat
yang kita dengar seperti (1) dan bukan (2)

(1) Kucing itu mengejar tikus.


(2) Tikus itu mengejar kucing.

Apabila memang terdengar kalimat Tikus itu


mengejar kucing pastilah kita akan keheranan
dan tidak mustahil akan menanyakan kepada
pembicara apa memang itu yang dia ujarkan.
Proposisi adalah unit-unit makna pada kalimat.
Dengan kata lain, untuk memahami suatu
kalimat kita perlu memahami proposisi yang
dinyatakan oleh kalimat tersebut.

Kedua
Carilah konstituen yang memenuhi syarat-syarat
semantik tertentu.
Kalau kita mendengar kata mencarikan, pastilah
akan muncul dalam benak kita konsep-konsep
semantik yang berkaitan dengan kata ini, yakni;
a.Pasti harus ada pelaku perbuatan
b.Pasti ada objek yang dicari
c.Pasti ada orang lain yang dicarikan apa pun
yang dicari itu.

Dengan demikian, kalau kalimat yang kita dengar


hanyalah
Dia sedang mencarikan anaknya
Pasti kita masih mengharapkan adanya kelanjutan
dari kalimat itu karena verba mencarikan belum
lengkap kalau hanya diikuti oleh orang yang
mendapakan manfaat, dalam hal ini anaknya.
Kalau kita dengar kalimat berikut
Dia sedang mencarikan pekerjaan
Maka ada dua pengertian yang kita serap: pekerjaan
itu bukan untuk dia sendiri, dan karenanya pasti ada
orang lain yang sedang dia carikan pekerjaan itu,
meskipun hal ini tidak dinyatakan secara eksplisit.

Ketiga
Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang
pertama adalah pelaku perbuatan, kecuali ada tandatanda lain yang mengingkarinya. Dalam kalimat
Dia nabrak polisi
dia adalah pelaku perbuatan. Akan tetapi, bila
verbanya telah ditandai oleh afiks tertentu, misalnya,
prefiks di-, sehingga kalimatnya menjadi
Dia ditabrak polisi
kata dia tidak lagi menjadi pelaku perbuatan.

Keempat
Bila dalam wacana kita temukan pronomina seperti
dia, mereka, atau kami, mundurlah dan carilah
antesiden untuk pronomina ini. Dalam suatu wacana
berikut
Waktu itu saya, Neva, dan Dimas sedang di
perpustakaan. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh adanya
ular besar
kita temukan pronomina kami pada kalimat kedua.
Pada saat kita membaca atau mendengar kata ini,
kita otomatis pasti akan mundur untuk mencari
antesiden dari pronomina ini, dan kita temukan tiga
orang, yakni, saya, Neva, dan Dimas.

Kelima
Informasi lama biasanya mendahului informasi baru.
Dalam kita berujar, ada informasi-informasi yang kita
anggap ada pada kesadaran si pendengar pada saat
dia mendengarkan. Informasi seperti ini dinamakan
informasi lama. Setelah informasi lama dinyatakan,
barulah informasi baru diberikan. Waktu kita berkata
Bram menikahi Dita 23 Oktober 2014.
pastilah kita berasumsi bahwa pendengar menyadari
akan referen yang dimaksud dengan Bram. Ini
merupakan informasi lama yang diasumsikan
diketahui oleh pendengar. Baru setelah informasi
lama ini disampaikan, pembicara memberikan
informasi baru, yakni bahwa orang tadi menikahi Dita
23 Oktober 2014.

PENYIMPANAN KATA

Kalau kita berbicara, tanpa kita sadari kata-kata


yang kita perlukan pada umumnya secara otomatis
keluar begitu saja seolah-olah tanpa melalui
proses apa pun.
Begitu pula waktu kita bertindak sebagai
pendengar, kita dengan mudah dapat memahami
apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita,
sepertinya kita melakukan hal itu tanpa berpikir.
Proses seperti ini memang kelihatannya sangat
natural tetapi kalau kita selami secara mendalam
akan kita dapati bahwa untuk mengeluarkan atau
untuk memahami satu kata diperlukan proses yang
sangat rumit.

Kalau kepada kita ditunjukan sebuah benda yang


biasa dipakai untuk menulis dan dalam benda itu
terdapat tinta yang kemudian meninggalkan bekas
pada benda lain yang kita tulisi, dan kemudian
ditanyakan kepada kita benda apakah itu, maka
tanpa berpikir kita akan berkata pena.
Kita katakan tanpa berpikir karena proses retrival
kata itu berjalan begitu cepat sepertinya otomatis
keluar begitu saja. Begitu juga bila kita bertindak
sebagai pendengar; kita dapat memahaminya
seolah-olah tanpa berpikir padahal prosesnya
sangatlah panjang dan komplek.

Proses Meretrif Kata


Proses meretrif kata, baik sebagai
pembicara maupun pendengar, bukanlah
hal yang sederhana. Ada empat proses
yang harus dilalui.

1. Kita harus dapat telebih dahulu

menentukan
apakah empat bunyi yang kita dengar itu, /p/
/e/ /n/ /a/, adalah kata dalam bahasa kita.
Penentuan ini didasarkan pada kompetensi kita
sebagai penutur bahasa Indonesia yang secara
intuitif tahu bahwa urutan bunyi seperti itu
memang mengikuti kaidah fonotaktik bahasa kita
atau tidak; artinya, apakah urutan bunyi seperti
di atas membentuk wujud yang pantas dalam
bahasa kita. Seandainya urutannya adalah /n/
/p/ /e/ /a/ -- npea bagaimana?

2. Kita harus mengumpulkan fitur-fitur apa yang


secara alami melekat pada benda itu: bentuk
fisiknya, ukurannya, fungsinya, warnanya, dsb.
Kita memiliki gambaran mengenai objek di dunia
ini. Mobil pemadam kebakaran, misalnya,
memiliki fitur-fitur tertentu dan salah satu di
antaranya adalah warna. Di mana pun juga mobil
pemadam kebakaran berwarna merah. Karena
itu, kalau ada frasa yang berbunyi Mobil
pemadam kebaran yang kuning itu, pastilah kita
akan menolak frasa itu dan keheranan.

Untuk kata kerja, fitur-fitur semantik seperti ini


pun diperlukan. Verba menceraikan, misalnya,
berkaitan dengan keretakan dalam perkawinan
tetapi dalam tatabudaya kita hanya prialah yang
dapat menceraikan. Wanita diceraikan, bercerai
dengan, atau minta cerai dengan suaminya.
Kalau kita mendengar kalimat seperti Desi
Ratnasari menceraikan suaminya maka pastilah
kita
akan
menganggapnya
aneh
atau
memberikan interpretasi tersendiri, misalnya,
Desi adalah orang terkenal, selebriti, kaya, dsb
dan suaminya adalah lelaki yang kurang dari
itu.

3. Kita harus membandingkan dengan bendabenda lain yang fitur-fiturnya tumpang tindih
dengan fitur-fitur ini,
misalnya, pensil, kapur, spidol, stabilo, dsb.
Pena dan pensil, misalnya, memiliki bentuk fisik
yang mirip dan fungsinya pun juga boleh
dikatakan sama, yakni, untuk menulis. Namun
ada fitur lain yang membuat kedua benda ini
berbeda yang satu mudah dihapus, yang
lainnya tidak, dst.

Bagi kita terasa lumrah saja kalau kita


berkata anjing atau kucing, tetapi bagi anak
kecil hal ini merupakan masalah besar
karena kedua binatang ini (dan juga
binatang lain seperti kambing, harimau, dan
sapi) memiliki sejumlah besar fitur yang
sama: berkaki empat, bermata dua, berbulu,
bertelinga dua, berhidung satu, dst. Lalu apa
yang membedakan anjing dengan kucing?

4. Kita harus memilih di antara benda-benda yang


sama itu mana yang memenuhi semua syarat.
Proses ini tentunya memakan waktu karena
untuk mencapai kata yang kita inginkan harus
dilakukan proses eliminasi: pensil memenuhi
banyak syarat, tetapi wujud fisik tulisannya
bukan dari tinta, spidol juga memenuhi banyak
syarat tetapi wujud fisik benda ini dan hasil
tulisannya juga berbeda, dst.

Proses untuk meretrif kata, baik sebagai


pembicara maupun sebagai pendengar,
bukanlah hal yang sederhana.
Hal yang menarik untuk dikaji adalah
bagaimana kata itu disimpan dalam benak
kita sehingga kita dapat menemukan kata
yang kita perlukan.

Pada dasarnya ada dua pandangan mengenai hal ini.


1. Tiap kata disimpan secara utuh sebagai kata.
Kata-kata seperti datang, mendatang, mendatangi,
mendatangkan, kedatangan, berdatangan, dan
pendatang disimpan dalam tujuh kotak yang berbeda.
Teori ini tampaknya praktis karena tiap kata telah
tersedia dalam wujud yang lengkap. Tiap kali kita
membutuhkannya, kita hanya tinggal mengambilnya
saja.

Akan tetapi, cara seperti ini berarti bahwa di


minda/benak kita tersimpan kata sebanyak
yang kita ketahui. Kalau otak kita diandaikan
sebagai komputer maka hard disk kita bisa jadi
kepenuhan.

Muncul pandangan lain yang menyatakan bahwa


2. Penyimpanan kata dalam minda/benak kita bukan
berdasarkan pada kata tetapi pada morfem.
Dalam pandangan ini kita hanya menyimpan morfemmorfem saja. Pada model ini hanya ada morfem bebas
datang dan morfem terikan meN-, -kan, -i, ke an, -an, dan
ber-. Kata yang diperlukan harus diramu terlebih dahulu
dengan menempelkan, bila perlu, morfem terikat pada
morfem bebas yang telah dipilih.
Dengan demikian, kalau kita mau meretrif kata mendatangi
maka kita hanya mengambil morfem datang dan
menggabungkannya dengan meN-i.

Keuntungan dari model ini adalah bahwa jumlah


kotak penyimpanan menjadi lebih kecil; di
samping itu kotak untuk morfem terikat tidak
hanya dimanfaatkan untuk morfem datang saja
tetapi juga untuk morfem lain mana pun.
Penempelan morfem terikat tentunya tidak
sama untuk tiap morfem bebas. Morfem bebas
restu, misalnya, hanya dapat mengambil -i saja
sehingga terbentuklah kata merestui.

Aturan
mengenai
mana
yang
dapat
bergabung dengan mana, ada pada
kompetensi tiap penutur asli. Hal ini pulalah
yang menyebabkan kita menolak kata-kata
seperti merestukan.

Faktor yang Memengaruhi


Akses terhadap Kata

Kalau ita menonton acara kuis di televisi akan kita


temukan adanya program yang meminta agar
peserta kuis menerka benda apa yang dimaksud
dengan memberikan ciri atau kelompok benda itu.
Bila satu peserta mengatakan buah, maka peserta
lain menerka: mangga, jambu, durian, dsb.
Kuis seperti ini menunjukan bahwa manusia
memiliki konsep-konsep tertentu mengenai dunia
di mana kita tinggal.
Dalam hal ini, buah merupakan konsep yang
memayungi pengertian-pengertian lain seperti
mangga dan jambu.

Pada dasarnya retrival kata dipengaruhi


pelbagai faktor.
1. Frekuensi kata
Makin sering suatu kata dipakai makin
cepatlah kita dapat mengambilnya pada saat
kita memerlukannya
2. Ketergambaran

Suatu kata yang dapat dengan mudah


digambarkan atau dibayangkan akan lebih
mudah dimengerti dan diingat.

3. Keterkaitan semantik
Kata tertentu membawa keterkaitan makna yang
lebih dekat kepada kata tertentu yang lain dan bukan
kepada kata tertentu yang lainnya lagi.
Kalau kita diberi kata besar, maka tidak mustahil kita
dapat dengan cepat meretrif kata kecil.
Begitu pula kalau diberi kata burung, kita mungkin
saja akan cepat mengasosiasikannya dengan beo
atau perkutut.
Kata beo akan lebih cepat memunculkan kata burung
daripada binatang karena jarak semantik antara
burung dengan beo lebih dekat daripada beo dengan
binatang

4.

Kategori gramatikal
Ada kecenderungan bahwa kata-kata disimpan
berdasarkan kategori sintaktiknya.
Hal ini terlihat dari kilir lidah yang selalu terwujud
dalam kategori sintaktik yang sama. Suatu kata
yang terkilir selalu digantikan oleh kata yang
memiliki kategori sintaktik yang sama nomina
oleh nomina, verba oleh verba, dst.
Alih-alih berkata mencari nafkah orang bisa
terkilir dan berkata mencuri nafkah di mana
verba mencari telah diganti dengan verba lain,
yakni, mencuri. Dalam hal ini tidak mungkin
verba diganti dengan nomina pencuri, pencurian,
pencari, atau pencarian.

5. Faktor fonologi
Morfem yang bunyinya sama atau mirip
disimpan pada tempat-tempat yang berdekatan.
Hal ini terbukti pada gejala lupa-lupa ingat.
Kata yang kita lupa-lupa ingat memiliki ciri-ciri
berikut:
1. Jumlah suku katanya sama dengan kata yang
sebenarnya.
2. Konsonan pertama untuk kata itu selalu sama
dengan konsonan pertama aslinya.
3. Bunyi kata itu mirip dengan bunyi kata aslinya.

Bila kita dihadapkan pada suatu situasi di mana


kita perlu mengucapkan suatu kata yang
maknanya adalah, misalnya, keadaan tidak
suci
pada
diri
seorang
Islam
yang
menyebabkan dia tidak boleh salat, tawaf, dsb.
maka bisa terjadi kita tidak ingat betul apa kata
untuk itu.
Kita lalu meraba-raba. Kata rabaan itu pastilah
memiliki dua suku, konsonan awalnya h-, dan
bunyi keseluruhannya mirip: hadat, hadist,
hadap ?
Kata yang sebenarnya adalah hadas.

Kenyataan bahwa pada gejala lupa di ujung


lidah ini kata-katanya adalah mirip maka dapat
kita simpulkan bahwa kata-kata yang memiliki
bentuk fonologis yang mirip disimpan pada
tempat-tempat yang berdekatan.

Teori Tentang Makna

Untuk membentuk pengertian mengenai


suatu konsep, misalnya, anjing bukanlah
suatu hal yang mudah. Untuk menjawab hal
semacam ini, yakni, bagaimana orang
memahami makna kata, diajukanlah dua teori
1. Teori fitur
2. Teori berdasarkan pengetahuan

1. Teori fitur

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Teori fitur pada dasarnya menyatakan bahwa kata


memiliki seperangkat fitur, atau ciri, yang menjadi
bagian integral dari kata itu.
Kata anjing, misalnya, memiliki fitur
Bernyawa
Binatang
Warna (hitam, coklat, putih, belang-belang)
Kaki empat
Telinga dua
Ekor satu
Ukuran badan
Suara guguk, dst.

Fitur-fitur inilah yang secara keseluruhan


membentuk konsep yang dinamakan anjing.
Fitur yang ada pada suatu kata membantu kita
mengembangkan intuisi.
Kita akan menolak kalimat-kalimat berikut karena
intuisi kita membimbing kita untuk menolaknya.
(1) Tuti akan mengawini Tomi minggu depan.
Penolakan secara intuitif ini didasarkan pada
pengetahuan kita akan fitur yang ada pada kata di
dalam kalimat tersebut.

Kata Tuti memiliki ciri, antara lain, wanita dan


verba mengawini memiliki fitur antara lain, pelaku
perbuatan harus pria, penerima perbuatan adalah
wanita.
Karena fitur-fitur inilah maka kalimat
Tuti akan mengawini Tomi minggu depan
tidak dapat kita terima, atau paling tidak,
sangatlah janggal dalam tata budaya kita.

2. Teori berdasarkan pengetahuan

Dalam teori ini tidak hanya fitur yang dilihat tetapi


juga esensi dan konteksnya.
Manusia tidak hanya menyerap fitur-fitur itu tetapi
juga melihat esensinya. Kucing, misalnya,
memang memiliki fitur kaki 4, tetapi tidak mustahil
bahwa ada kucing yang karena kegagalan genetik
hanya mempunyai tiga kaki.
Begitu juga kalau satu kakinya patah, dia akan
terus hidup dengan tiga kaki. Binatang ini akan
saja tetap kita anggap sebagai kucing.

Manusia dapat memahami ujaran karena


mereka dapat mengenali kata-kata yang
mereka
dengar
secara
intuitif
yang
sebenarnya berdasarkan pada pengetahuan
yang mereka miliki tentang bahasa dan
budaya mereka. Mereka dapat pula meretrif
kata-kata yang mereka perlukan waktu berujar
karena kata-kata ini terorganisir secara
sistematis dalam benak manusia berdasarkan
berbagai kriteria.

Pelaksanaan
Tindak Ujar

Pemahaman terhadap ujaran bisa berhenti


begitu ujaran itu dimengerti, atau dilanjutkan
dengan suatu tindakan.
Bila kita mendengar ujaran atau membaca
suatu wacana yang isinya merupakan suatu
pemberitaan belaka, maka pada umumnya
kita hanya memahami saja apa yang
diujarkan atau yang ditulis dalam wacana
tersebut.

Kita mendengar ujaran, misalnya,


Para pedukung Jokowi sudah
berdatangan.

mulai

Kita bisa hanya diam saja atau memberikan


tanggapan verbal, tetapi tidak ada keharusan
atau kewajiban bagi kita untuk melakukan
sesuatu setelah memahami ujaran tersebut.

Akan tetapi, pada situasi yang lain, tidak


mustahil bahwa pemahaman terhadap ujaran
memerlukan tanggapan berupa tindakan atau
perbuatan. Misalnya, ada ujaran
Tolong tugas psikolinguistiknya dikumpulkan!
Tidak cukup hanya memahami makna ujaran
tersebut, tetapi juga harus melakukan suatu
tindakan atau perbuatan tertentu, yakni,
mengumpulkan tugas psikolinguistik.

Tindak ujar (Speech Acts) lahir dari sebuah


konsep pemikiran Austin yang menyatakan
bahwa pada dasarnya dalam bertutur seseorang
tidak hanya mendeskripsikan sesuatu, tetapi
juga melakukan sesuatu (1962:5).
Austin mengkaji bahwa kalimat-kalimat itu
sebenarnya tidak saja dipakai untuk melaporkan
kejadian, tetapi dalam hal-hal tertentu, kalimatkalimat itu harus diperhitungkan sebagai
pelaksanaan suatu tindakan.

Searle (1974: 23-24) dalam teori speech


acts menyatakan bahwa dalam menuturkan
setiap-kalimat,
penutur
paling
tidak
melaksanakan tiga jenis tindakan,
(1)Mengucapkan kata-kata, yang sama saja
dengan malaksanakan tindakan ujaran,
(2)Memberikan
acuan
dan
menciptakan
predikasi, yang sama artinya dengan
malaksanakan tindakan proposisionalnya,
(3)Menanyakan,
mengajukan
permintaan,
perintah, perjanjian, yang sama artinya
dengan melakukan tindakan ilokusi.

Searle (1974), menyatakan bahwa dalam


praktik
penggunaan
bahasa
terdapat
setidaknya ada tiga macam tindak ujar.
1.Tindak lokusioner adalah tindak bertutur
dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata,
frasa, dan kalimat itu. Tindak lokusioner tidak
mempersalahkan maksud dan fungsi tuturan
yang disampaikan oleh penutur. Misalkan,
tuturan ada maling semata-mata untuk
memberitahu bahwa ada maling pada saat
tuturan itu dimunculkan

2.Tindak
ilokusioner
merupakan
tindak
melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu pula. Tuturan ada maling
bukan semata-mata dimaksudkan untuk
memberitahu mitra tutur bahwa pada saat
peristiwa tuturan ada maling. Namun lebih
dari itu penutur menginginkan agar mitra tutur
melakukan tindakan tertentu yang berkaitan
dengan adanya maling tersebut.

3.Tindak
perlokusi
adalah
tindakan
menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur.
Tuturan ada maling yang merupakan kalimat
deklaratif yang berfungsi sebagai kalimat
perintah kepada mitra tuturnya. Pada saat
tuturan itu dimunculkan mitra tutur berada di
tempat terjadinya pencurian. Tuturan tersebut
bertujuan agar mitra tutur berhati-hati
terhadap barang bawaannya karena ada
pencurian.

Selanjutnya, Searle (lihat Leech 1983: 105107) tidak berhenti pada penggolongan
tindak ujar menjadi tiga, kemudian dia
menggolongkan tindak ujar ilokusi menjadi
lima macam, yang masing-masing memiliki
fungsi komunikatif.
Hal yang paling penting untuk disebutkan
sehubungan dengan pengertian tindak ujar
itu, bahwa ujaran berapapun jumlahnya,
dapat dikategorikan menjadi lima

1.Asertif adalah tindak ujar yang mengikat


penuturnya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakan, misalnya, menyatakan, membual,
melaporkan, menunjukan, menyebutkan.
Joko Widodo adalah presiden Indonesia ke 7
2.Direktif adalah tindak ujar yang dilakukan
penuturnya dengan maksud agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu, misalnya, menyuruh, memohon,
menuntut, menyarankan, menantang.
Ayo, masuk, kuliah psikolinguistik akan dimulai

3.Komisif adalah tindak ujar yang mengikat


penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya, misalnya,
berjanji, bersumpah, mengancam.
Kami berjanji akan mengumpulkan tugas
psikolinguistik sebelum ujian akhir semester.
4.Ekspresif
adalah
tindak
ujar
yang
mengungkapkan sikap psikologis penutur
terhadap keadaan yang tersirat pada tuturan
tersebut, misalnya, memuji, mengucapkan terima
kasih, mengkritik, mengeluh dan sebagainya.
Terima kasih, atas kedatangannya di acara ini.

5.Deklaratif adalah tindak ujar yang dilakukan si


penutur dengan maksud untuk menciptakan hal
(status,
keadaan)
yang
baru
misalnya,
memutuskan,
membatalkan,
melarang,
mengijinkan, memberi maaf.
I hereby pronounce you husband and wife.
Jenis tindak ujar ini menurut Searle biasanya
dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah
kerangka
acuan
kelembagaan
diberi
kewenangan untuk melakukannya, atau adanya
syarat kelayakan. Contoh klasik adalah hakim
yang menjatuhkan hukuman kepada pelanggar
undang-undang, pejabat yang memberikan nama
pada suatu tempat bersejarah, dan lain-lain.

Pelaksanaan Ujaran

Langkah apa yang harus dilakukan oleh


pendengar setelah memahami suatu ujaran
tergantung pada macam ujaran yang
didengar. Sebagai contoh lihatlah ujaran
berikut.
Irsyad yang menyanyikan lagu Dear God.
1.Menentukan macam tindak ujar apa yang
dinyatakan oleh ujaraan tersebut.
Dari wujud sintaktiknya jelas bahwa tindak
ujar itu adalah tindak ujar asertif.

2. Memperhatikan muatan proposisinya.


Kita membagi ujaran itu ke dalam dua kelompok
informasi: (a) lama dan (b) baru.
Dari ujaran ini jelas dapat dirasakan bahwa
pembicara
pasti
mengasumsikan
bahwa
pendengar tahu akan adanya orang yang
menyanyikan lagu Dear God.
Informasi inilah yang merupakan informasi lama
yang diasumsikan diketahui oleh pendengar.
Sementara itu, ada informasi lain yang
merupakan tambahan pada informasi lama,
yakni orang yang menyanyikan lagu itu, Irsyad.

Informasi baru, bersama informasi lama,


inilah yang kemudian disimpan dalam memori
kita.
Akan tetapi, orang tidak selalu berbicara
secara eksplisit. Ada kalanya pembicara tidak
memberikan informasi itu secara lengkap dan
eksplisit. Perhatikan kalimat berikut.
(1)The man was murdered. A knife lay nearby.
(2)The man was murdered. The knife lay
nearby.

Frasa a knife pada (1) menunjukan bahwa si


pembicara sama sekali tidak mempunyai
pikiran atau kecurigaan bahwa pisau itu
adalah alat yang dipakai oleh si pembunuh.
Dia hanya sekadar menyatakan adanya pisau
di dekat mayat itu.
Sebaliknya, pada (2) pembicara mempunyai
kecurigaan terhadap pisau itu sebagai alat
yang dipakai oleh si pembunuh. Karena itu,
dia memakai frasa the knife, bukan a knife.

Suatu iinformasi yang secara teselinap


dimasukkan dalam suatu ujaran dinamakan
implikatur. Jadi, pada kalimat (1) ada
implikatur yang menyatakan bahwa pisau
tersebut tidak dicurigai sebagai alat
pembunuh.
Sebaliknya,
pada
(2)
implikaturnya adalah bahwa pisau tersebut
dicurigai dipakai sebagai alatnya.

Pelaksanaan Ujaran Tak-Langsung


Pak Ramdan yang kesal dengan mahasiswa
Sastra Inggris yang terus membuat ke
gaduhan di Lab Bahasa dan tidak mau ke
luar setelah selesai perkuliah pukul empat
sore. Dia akan mengucapkan kalimat seperti
berikut.
Kalian pada mau menginap di sini?
Mendengar kalimat tersebut, mahasiswa
sastra yang ada di lab bahasa tentunya tidak
akan menjawab iya atau tidak.

Mahasiswa menyadari bahwa pak Ramdan


sedang marah dan menyuruhnya untuk
segera ke luar dari lab bahasa.
Ujaran seperti ini dinamakan ujaran tak
langsung, artinya, apa yang dinyatakan
dengan apa yang dimaksud tidak sama.
Ujaran seperti ini memerlukan suatu fase
tambahan yang harus dilalui, yakni, fase
untuk mentransfer dari makna literal ke
makna yang tak langsung ini.

Tetapi bagaimana kita dapat memahami


ujaran
seperti
ini
dan
kemudian
melaksanakannya?
Dalam hal ini ada sebuah prinsip yang sangat
membantu, yakni Prinsip Kerja sama.
Prinsip kerja sama ini pertama kali
dikemukakan oleh Grice (1967) yang
memberikan landasan mengapa manusia
dapat saling berkomunikasi. Landasan ini
disebut maksim. Grice memberikan empat
macam maksim (Mey, 2001: 71-79).

Maksim Kuantitas
The maxim of quantity requires the speaker to
give as much information as the addressee
needs but no more. For example,
a. I saw Mr. Ayi with another woman last night.
b. Really, is he afraid of being known by his wife?
The information which is given by a, do not
informative than required because of having luck
of information. Therefore, b is misunderstood. If
the information is not complete, it will be
misunderstood such as in sentence b.

We know exactly Mr. Ayi. Therefore, the


information should not be more informative
because we really know Mr. Ayi. For example,
a. I saw Mr. Ayi, our lecturer, the handsome man
who teaches us Lab Work, and Grammar at
UMMI with another woman last night.
The information in sentence a is too much
because we have already known Mr. Ayi. In other
word, in maxim of quantity, the information which
is given should be as informative as required and
do not make your information than required.

Maksim Hubungan
The maxim of relevance requires us, as
speakers, to make our utterances relative to the
discourse going on and the contexts in which
they occur. For example,
a.I buy a new Supra Fit. It is painted by Danapaint.
The Tinner which is used to paint it was Top One.
The price is 45.000.000 rupiah.
The information of Danapaint, Top One, and the
price are not relevance. It is too much in the
context of description of new Supra Fit. The
description which mentions is out of conversation
purpose.

a.Mr. Terry will teach Linguistics.


b.Mr. Terry, the native speaker from Boston
State University will teach Linguistics.
If the addressee or hearer do not know who
Mr. Terry is. So, sentence a has no meaning
for addressee or hearer. After adding with the
relevance information such as, in sentence b
so, communication is not disturbed.

Maksim Cara
The maxim of manner is to be orderly and clear
and to avoid ambiguity. To express something
must be clear. For example, it will be a big
trouble if Mr. President does not say clearly in his
speech. And the trouble comes when he says
The President cant dismiss the Commander of
Indonesian National Army. Moreover, in fact, he
says The President can dismiss the Commander
of Indonesian National Army.

In conjunction with, his statement was not clear


can to be cant. So, it is going to be news in
mass media. Mass media will react for his
statement what happens with Mr. Presidents
government. As known, the Commander of
Indonesian National Army will be appointed and
dismissed
by
President.
Therefore,
in
communication people must express what
he/she says clearly.

Speaker must avoid ambiguity. If there


protests of young woman. While, there are
young and old men. It should say:
a.Men and young women were protesting the
new marriage law.
It should not say:
b.Young men and women were protesting the
new marriage law.
In b there is ambiguity. It can be only young
men or can be both of them.

We went to Puncak yesterday. But, we went


first to Bogor Botanical Garden. We stayed
one night in Puncak. The weather was bright
and clear. It was not too cold. We saw
Rafflesia Arnoldy in Botanical Garden and it
was blossoming. The Villa that we rented was
comfortable. The Rafflesia Arnoldy was
beautiful when blossoming.
The information that speaker wants to give to
addressee is not orderly.

Maksim Kualitas
Maxim of quality is to say only what one
believes to be true. In Maxim of quality,
speaker is expected to enable to express
something true with the fact.
For example:
if speaker knows that Mrs. Fenty is not in
Sukabumi. But, She is in Bandung. So, if
speaker says Mrs. Fenty is in Sukabumi.
Speaker breaks maxim of quality.

Langkah-langkah dalam Pelaksanaan


Ujaran Tak-langsung

1.
2.
3.

4.

Dapatlah disimpulkan bahwa ujaran tak-langsung


memerlukan pemrosesan yang lebih rumit dan lebih
lama sebelum dapat dilaksanakan. Secara singkat
proses tersebut adalah:
Tentukan makna yang langsung terlebih dahulu.
Tentukan apakah makna langsung ini yang dimaksud.
Bila bukan, tentukan makna tak-langsungnya dengan
memperhatikan prinsipel kooperatif dan aturan
percakapan yang lain.
Ambil langkah untuk melaksanakan tindak ujar ini
sesuai dengan makna yang ditentukan pada 3.

Produksi Ujaran

Sewaktu kita berbicara, kita begitu mudah


merangkai kata dari satu kata ke kata yang
lainnya sepertinya tanpa harus berpikir.
Kita sebagai penutur asli tidak sadar bahwa
sebenarnya dalam berkomunikasi itu kita
memerlukan perencanaan mental yang rinci dari
tingkat wacana sampai pada pelaksanaan
artikulasinya.
Ini berarti bahwa produksi kalimat tidak hanya
memerlukan proses psikologi untuk meramu apa
yang akan kita katakan tetapi juga koordinasi
yang tepat dengan neurobiologi kita.

Proses mental ini menyangkut berbagai aspek


1.Berkaitan
dengan
asumsi
kita
tentang
pengetahuan interlokutor orang yang kita ajak
bicara.
2.Dalam berkomunikasi tiap peserta tutur mematuhi
prinsip kerja sama.
3.Memperhatikan aspek pragmatik dari ujaranujaran kita.

Langkah umum dalam memproduksi ujaran


1.Tingkat pesan, di mana pesan yang akan
disampaikan diproses.
2.Tingkat fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih
lalu diberi peran dan fungsi sintaktik.
3.Tingkat posisional, di mana konstituen dibentuk
dan afiksasi dilakukan.
4.Tingkat fonologi, di mana struktur fonologi ujaran
itu diwujudkan.

Tingkat Pesan
Pada
tingkat
pesan,
pembicara
mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang
ingin disampaikan.
Dimas
sedang
mengerjakan
tugas
psikolinguistik.
Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara
adalah
(a) adanya seseorang
(b) orang itu pria

(c) dia mahasiswa


(d) dia punya tugas psikolinguistik
(e) dia sedang melakukan suatu perbuatan
(f) perbuatan itu adalah mengerjakan tugas
psikolinguistik

Tingkat Fungsional
1. Memilih bentuk leksikal yangsesuai dengan

pesan yang akan disampaikan dan informasi


gramatikal untuk masing-masing bentuk
leksikal tersebut.
Misalnya, dari sekian pria yang dikenal, pria
yang dimaksud adalah Dimas, dan kata ini
adalah nama pria; perbuatan yang diwakili
oleh verba dasar kerja; antara dua argumen
Dimas dan psikolinguistik, Dimas adalah
pelaku
perbuatan
sedangkan
tugas
psikolinguistik adalah resipiennya.

2. Memberikan fungsi pada kata-kata yang

telah dipilih ini.


Proses di sini menyangkut hubungan
sintaktik atau fungsi gramatikal. Pada contoh
sebelumnya, kata Dimas harus dikaitkan
dengan fungsi subjek sedangkan tugas
psikolinguistik pada objek.

Tingkat Posisional
Urutkanlah bentuk leksikal untuk ujaran yang
akan dikeluarkan.
Pengurutan ini bukan berdasarkan pada jejeran
yang linier tetapi pada kesatuan makna yang
hierarkhis. Pada contoh sebelumnya, kata
sedang bertautan dengan mengerjakan, bukan
dengan Dimas. Begitu juga psikolinguistik
bertautan dengan tugas, dan bukan pada Dimas
atau mengerjakan.Hierarkhi konstituen inilah
yang menjadi dasar diagram pohon.

Setelah pengurutan itu selesai, diproseslah


afiksasi yang relevan. Verba dasar kerja
haruslah ditambah dengan konfiks meng
kan.
Hasil pemrosesan posisional ini dikirim ke
tingkat fonologi untuk diwujudkan dalam
bentuk bunyi.

Tingkat Fonologi
Pada tahap ini aturan fonotaktik bahasa yang
bersangkutan diterapkan.
Kata seperti Dimas mengikuti aturan
fonotaktik bahasa Indonesia tetapi kalau
Maidis tidak. Kata ini tentunya akan ditolak.
Begitu juga vokal /d/ dan /i/ harus berurutan
seperti itu karena kalau dibalik, Samid,
referennya akan lain.
Proses fonologis ini tidak sederhana karena
tersangkut pula di sini proses biologis dan
neurologis.

Rincian Produksi Ujaran


1. Perencanaan mengenai topik yang akan

diujarkan (wacana).
2. Perencanaan kalimat yang akan dipakai
(kalimat).
3. Perencanaan konstituen yang akan dipilih
(konstituen).
4. Pelaksanaan dari yang akan diujarkan yang
di dalamnya mencakup rencana artikulasi
dan
bagaimana
mengartikulasikannya
(program artikulasi dan artikulasi).

Wacana

1.
2.
3.
4.

Dalam wacana dialog yang oleh H. Clark


sebagai joint activity (1994: 994) ada 4
unsur yang terlibat:
Personalia
Latar bersama
Perbuatan bersama
kontribusi

Personalia

1.
2.
3.
4.

5.

Pada unsur personalia minimal harus ada dua


partisipan, yakni:
Pembicara
Interlokutor (orang yang diajak bicara)
Pendengar lain (orang yang ikut serta dalam
pembicaraan)
Partisipan lain (orang yang mempunyai akses
terhadap pembicaraan dan kehadirannya
diakui)
Penguping (orang yang mempunyai akses
terhadap pembicaraan tetapi kehadirannya
tidak diakui.

Latar Bersama
Konsep latar bersama merujuk pada anggapan
bahwa baik pembicara maupun mitra bicaranya
sama-sama
memiliki
prasuposisi
dan
pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam
pengetahuan inilah yang dinamakan latar
bersama.
Neva: Bayu, Bayu.
Bayu: Apa.
Neva: Bayu, Intan sakit.
Bayu: Sakit apa?
Neva: Radang tenggorokan, jadi dia ga datang.
Bayu: Oh, ya! udah kita aja berdua.

Latar bersama yang dimiliki oleh Neva dan


Bayu adalah teman mereka yang bernama
Intan. Karena Neva berasumsi bahwa Bayu
kenal Intan, dan Bayu pun tahu bahwa Neva
kenal Intan, maka pengetahuan ini dijadikan
latar bersama untuk membicarakan apa yang
terjadi pada Intan. Tanpa latar bersama ini
percakapan Neva dan Bayu tidak akan terjadi.
Kalau pun terjadi, Bayu pasti akan bertanya
Siapa Intan itu? dsb.

Perbuatan Bersama
Perbuatan bersama adalah bahwa baik
pembicara maupun interlokutornya melakukan
perbuatan yang pada dasarnya mempunyai
aturan yang mereka ketahui bersama.
Pada percakapan di atas, ada beberapa
perbuatan yang dilakukan bersama, yakni:
1. Perbuatan (1) pembukaan dalam percakapan.
2. Perbuatan (2) pertukaran informasi atau isi
percakapan.
3. Perbuatan (3) penutup percakapan.

Kontribusi
Kontribusi umumnya mempunyai dua tahap,
yakni:
1. Tahap
presentasi
di
mana
pembicara
menyampaikan
sesuatu
untuk
dipahami
interlokutor.
2. Tahap pemahaman di mana interlokutor telah
memahami apa yang disampaikan oleh
pembicara.
Suatu percakapan hanya akan dapat berlanjut
bila pelataran seperti ini terbentuk.

Perencanaan Produksi Kalimat


Setelah kita mengetahui apa yang ingin kita
katakan, maka kita akan memproduksi kalimat.
Menurut Clark dan Clark ada tiga kategori yang
perlu diproses:
1. Muatan proposisional.
2. Muatan ilokusioner.
3. Struktur tematik.

Muatan Proposisional
Pada kategori muatan proposisional, pembicara
menentukan proposisi apa yang ingin dia
nyatakan:
seorang
mahasiswa
yang
mengerjakan tugas, pergi kuliah ke kampus,
dsb.
1. Pemilahan peristiwa atau keadaan.
Dalam suatu wacana yang akan kita terujar
dalam bentuk kalimat-kalimat, kita memilahmilah peristiwa atau keadaan itu menjadi ihwal
yang seolah-olah terpisah-pisah.

1.
2.
3.
4.

Kalau kita mau berbicara tentang seorang


mahasiswa sastra Inggris yang menyapa
dosennya maka pemilahannya bisa:
Ada seorang mahasiswa.
Ada seorang dosen.
Mahasiswa itu mahasiswa sastra.
Dosen itu dosen sasta Inggris.

2. Manusia

pada umumnya bertitik tolak


pandangannya dari segi yang positif ke segi
yang negatif. Orang umumnya menganggap
sesuatu yang positif itu lumrah sedangkan
yang negatif itu tidak lumrah. Dengan dasar
prinsip yang universal ini, orang umumnya
akan mengatakan kalimat (1), bukan (2),
untuk menanyakan tinggi badan seseorang.
(1) Berapa tingginya, sih, kamu itu?
(2) Berapa pendeknya, sih, kamu itu?

Muatan Ilokusioner
Setelah muatan proposisional ditentukan,
pembicara menentukan muatan ilokusionernya,
yakni, makna yang akan sisampaikan itu akan
diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Di
sini peran tindak ujar muncul. Suatu maksud
dapat dinyatakan dengan berbagai cara untuk
mengungkapkannya.
Kalau kita memeinta penghapus kepada teman,
mungkin sekali kalimat itu kalimat tanya dan
bukan kalimat permintaan.
a. Ada penghapus, nggak? (kalimat tanya)
b. Beri aku penghapus. (kalimat permintaan)

Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk


mengungkapkan apa yang ingin disampaikan.
Cara mana yang dipilih dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang umumnya berkaitan erat
dengan kedudukan sosial, perbedaan umur,
hubungan kekerabatan antara pembicara
dengan interlokutornya.

Struktur Tematik
Struktur tematik berkaitan dengan penentuan
berbagai unsur dalam kaitannya dengan fungsi
gramatikal atau semantik dalam kalimat.
Pembicara menentukan mana yang dijadikan
subjek dan mana yang objek. Pemilihan ini akan
menentukan apakah kalimat yang akan diujarkan
itu aktif atau pasif.
(1) Vivi mencari buku psikolinguistik
(2) Buku psikolinguistik dicari oleh Vivi.

Perencanaan Produksi Konstituen


Setelah perencanaan kalimat selesai dibuat, si
pembicara turun ke tataran konstituen yang
membentuk kalimat itu. Di sini dipilihlah kata
yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki.
Seandainya, referennya adalah seorang pria,
maka, kalau dia membenci orang itu, pilihan kata
dia mungkin adalah si brengsek atau bajingan
itu. Sebaliknya, bila pembicara pengagum pria
itu, bisa saja pilihannya adalah si tampan.

Dengan demikian, kalimat (1) dan (2) merujuk


pada referen yang sama.
(1) Tu, tuh, si brengsek datang.
(2) Tu, Tuh, si tampan datang.
Bahwa satu referen mempunyai julukan yang
lebih dari satu adalah hal yang biasa. Ir.
Soekarno, misalnya, bisa dirujuk sebagai:
a. presiden pertama RI.
b. proklamator bangsa.
c. penentang gigih penjajah Belanda.
d. ayah Megawati, dsb.
Mana yang dipilih oleh pembicara tergantung
pada makna yang ingin disampaikan.

Orang dapat meretrif kata hanya bila dia telah


menyimpan kata itu dalam memori dia
sebelumnya. Dengan kata lain, suatu kata dapat
diproduksi hanya bila telah ada komprehensi
sebelumnya. Karena itu masalah produksi tidak
dapat dilepaskan dari komprehensi.
Pada komprehensi orang menerima input untuk
kemudian disimpan dalam memori. Pada
produksi kata yang tersimpan itu dicari kembali
untuk kemudian diujarkan. Untuk mencari kata itu
tentunya diperlukan proses eliminatif dengan
memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata itu,
baik fitur semantik, sintaktik, maupun fonologis.

Anda mungkin juga menyukai