Anda di halaman 1dari 5

Sherly Ulfa Umairoh

20201012023

Sistem Kesukuan, Ashobiyah dan Dinamika Sosial, Politik dan Budaya Arab (Bahasa Arab)

A. Sistem Kesukuan

Bangsa Arab adalah salah satu dari bangsa samiah. Bangsa samiah ini dianggap
sebagai keturunan dari sam bin nuh a.s samiah-mesopotamia. Bangsa Arab adalah salah satu
entitass yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua nabi Nuh. Entitas lainnya adalah
Romawi dan Persia. Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia (al-janub al
gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan semenanjung Arabia.

Menurut para sejarawan asal mula bangsa arab terbagi menjadi 3 kaum/suku yang berada di
jazirah arab, adapun suku itu, yaitu:

1. Arab Ba’idah
Yaitu bangsa arab yang telah musnah yaitu, orang-orang arab yang telah lenyap. Tidak
ada jejak mereka tidak dapa diketahui kecuali hanya terdapat dalam catatan kitab-kitab
suci. Arab Ba’idah ini termaksud suku bangsa arab yang dulu pernah mendiami
Mesopotamia akan tetapi, karena serangan raja Namrud dan kaum yang berkuasa di
Babylonia, sampai Mesopotamia selatan pada tahun 2000 SM suku bangsa ini berpencar
dan berpisah ke berbagai daerah, di antara kabilah mereka yang termaksud adalah: ‘Aad,
tsamud,Ghasan, Jad.
2. Arab Aribah

Rumpun bangsa Arab yang ada sekarang ini. Mereka berasal keturunan Qhattan yang
menetap di tepian sungai Eufrat kemudian pindah ke Yaman. Suku bangsa arab yang
terkenal adalah: Kahlan dan Himyar. Kerajaann yang terkenal adalah kerajaan Saba’
yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri Abad ke-2 SM.

3. Arab Musta’ribah
Yaitu menjadi arab atau peranakan disebut demikian karena waktu Jurhum dari suku
bangsa Qathan mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti
Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab
Musta’ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).1

1
Annisa Putri, 2017, Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam, Bandung.
Porsi nilai nilai lokal di dalam masyarakat Arab ketika itu masih dominan sekali. Karena itu,
bangsa arab sebagai satu kesatuan geneologis dan keturunan nabi Ismail 2 seolah-olah hanya
legenda. Perang antar selalu suku terjadi dimana-mana. Menanggapi suhu konflik antara
berbagai kelompok di dalam masyarakat dunia Arab, Ibn pernah menyatakan bahwa tanpa
Nabi Suci orang-orang arab tidak mungkin dapat bersatu, apalagi untuk mendirikan satu
kerajaan bersama.3

Perang antar suku, di samping melahirkan struktur da stratifikasi sosial dengan gejala ia
seperti muncunlnya konsep bangsawan, budak, harem, mawa>wli, juga melahirkan beberapa
institusi hukum yang bertujuan untuk menimalisir kekerasan antar suku. Dalam masyarakat
Arab ketika itu telah dikenal hukum yang sering diistilahkan dengan hukum balas dendam
sederajat {lex talionis},4 misalnya nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung. Hukum seperti ini sudah ditemukan di dalam pasal Kode Hammurabi.5

Meskipun dikesankan kalangan orientalis sebagai hukum primitif, hukum ini telah berfungsi
secara efektif untuk menjaga keamanan dalam masyarakat. Terutama bangsa Arab ketika itu
belum memiliki nilai hukum moral yang berlaku umum. Dalam kondisi gurun pasir yang di
dalamnya tidak ditemukan kekuasaan polisi, menurut Watt, kemanan umum memerlukan
penghargaan yang sangat tinggi. Untuk menegakkan hukum dalam masyarakat, keluarga
orang yang terbunuh dapat meminta bantuan kepada kelompok lebih kuat untuk menuntut
balas kematian keluarganya. Keluarga korban memperoleh kepuasan tumpahnya darah
keluarga pembunuh. Namun, keluarga korban dapat menempuh alternatif lain yang disebut
dengan tebusan (diyah), yaitu penebusan berupa harta atau materi, misalnya satu jiwa ditebus
dengan sejumlah unta yang disep akati.6

B. Ashabiyah dan Dinamika Sosial

Perlu dipahami bahwa ashabiyah berasal dari kata ashab yang berarti hubungan dan kata
ishab yang berarti ikatan. Mental yang menghubungkan orang-orang mempunyai hubungan
kekeluargaan. Dalam masyarakat arab, ashabiyah dikatakan sebagai sistem sosial yang dianut
oleh masyarakat yang menekankan pada pembelaan keluarga dan mempertahankan semampu

2
M,j, Kister, Society and Religion from Jahiliyya to Islam, (Vermont USA: Variorum, 1978), h. 33-57
3
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, (Bagda>d: Maktabah Al-Mus {annah, T.Th,}, h. 8
4
Prinsip-prinsip hukum lex talionis sudah ditemukan di dalam kode Hammurabi yang diperkirakan Philips K.
Hitti terkodifasi sekitar tahun 1728-1666 SM., yang boleh jadi berasal dari tradisi Sumeria dan praktek-praktek
hukum Semit. ( Philip K.Hitti, The Near East in History A 5000 year Story, (New York: D. Van Nostrad Company,
1961), h.61.
5
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, ( Edinburg: Edinburg University Press, 1990), h.7-8
6
Ibid., 7-8
mungkin orang-orang yang tergabung di dalamnya. Orang-orang yang dianggap satu
kelompok ashabiyah adalah mereka mereka yang masih dalam garis keturunan bapak, karena
mereka adalah orang-orang yang membela keluarga di atasnya.7 Menurut Ibnu Khaldun,
ashabiyah mempunyai pengertian yang lebih luas, tidak hanya hubungan kekeluargaan saja
tetapi meliputi hubungan atas dasar persekutuan perbudakan (mawali), dan penyewaan
tentara.8

Ashabiyah menurut Ibnu khaldun memiliki makna negatif pada masa sebelum islam, karena
menekankan pada timbulnya kesombongan, takabur dan keinginan bergabung pada suku
yang kuat dan terhormat, dan tidak berdasar pada persatuan agama. Artinya semua perilaku
ashabiyah hanya didasarkan atas nafsu keduniawian. Namun, pengertian ini mengalami
degradasi semasa islam yang dibawa nabi Muhammad SAW. Nabi SAW mengkrompromikan
ashabiyah semasa islam berlandaskan perasaan persaudaraan dan saling mengasihi yang
berkembang dalam kalangan individu yang membentuk solidaritas sosial.

Menurut Abdul Raziq al-makki dalam buku al-fikr al falsafi inda Ibnu Khaldun, ashabiyah
mempunyai 5 bentuk. Pertama, hubungan kekerabatan dan keturunan, ini adalah ashabiyah
yang paling kuat. Kedua, persekutuan yang terjadi karena keluarnya seseorang dari garis
keturunannya ke garis keturunan orang lain. Ketiga, kesetiaan yang terjadi karena peralihan
dari satu garis keturunan kekerabatan ke keturunan lain karena kondisi sosial. Keempat,
penggabungan yaitu larinya seseorang dari keluarga dan kabilahnya dan bergabung pada
keluarga kabilah lain. Kelima, perbudakan yang timbul dari hubungan dari antara para budak
dan kaum mawali dengan majikan mereka.9

Sekolompok manusia yang hidup dalam sebuah solidaritas sosial memiliki perbedaan
mendasar tergantung mereka memperoleh penghidupannya. Di antara kelompok manusia
yang bertani, menanam sayuran, buah-buahan, dan memelihara binatang, mereka harus hidup
ditanah yang luas. Kehidupan mereka berlandaskan rasa saling membantu dalam memenuhi
kebutuhan dan peradaban. Namun kelompok solidaritas terbagi dua, pertama, kelompok
ashabiyah yang belum bisa memperoleh lebih dari batas kebutuhan hidup, Ibnu Khaldun
menyebutnya umran badawi (komunitas tradisional). 10 Kedua, kelompok ashabiyah yang

7
Zainab al-Khudari, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani (Bandung: Pustaka,1979)
8
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) h. 143
9
Ibid., 146
10
Theguh Saumantri and Abdillah Abdillah, Teori Ashabiyah Ibn Khaldun Sebagain Model Perkembangan
Peradaban Manusia, Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam 8, no.1 (2020).
mampu memperoleh kekayaan dan kemewahan, Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai umran
Hadhiri komunitas modern.11

Jazirah arab secara geografi terbagi menjadi dua bagian dataran, yaitu dataran tandus atau
gersang dan dataran subur. Masyarakat yang hidup dalam tanah yang gersang, seperti Arab
bagian Tengah, mereka biasanya hidup secara berpindah-pindah (nomaden) untuk mencari
daerah subur. Kabilah-kabilah yang hidup di tanah gersang, memiliki watak sosial yang
keras.

Masyarakat yang hidup di tanah subur, seperti Arab bagian selatan dan di sepanjang pesisir
pantai, mereka menjalani hidup dengan bersosialisasi lebih dinamis. Apalagi daerah-daerah
mereka sering didatangi tamu dan pedagang dari luar kota untuk bersinggah. Akibat daripada
itu, kehidupan ekonomi dan politik kabilah-kabilah disana banyak mengalami kestabilan.
Kabilah-kabilah yang tinggal di tanah tandus sama-sama disatukan dengan ikatan keturunan
yang sangat kuat dalam bentuk ashabiyah (solidaritas sosial).12

Kesimpulan

Sistem kesukuan di arab terbagi 3: arab ba’idah, arab aribah dan arab musta’ribah. Dan setiap
antar suku sering terjadi perang, sulit untuk dihindari karena adanya kelas-kelas dalam sosial
masyarakat. Dalam sistem politik pemerintahannya hukum yg dibuat adalah hukum balas
dendam seperti mata dibalas mata, dst.

Ashabiyah dinamika sosial dalam hidup bermasyarakat setiap suku sangat loyalitas didalam
sebuah keluarganya. Jika ada yang mengganggu keluarganya mereka akan membalasnya,
akan tetapi menurut Khaldun konsep ashabiyah tidak hanya sebatas keluarga, dalam lingkup
satu suku, tapi antara bangsawan dan budak.

11
Ibid.
12
Yusrul Hana, Perubahan Sosial Masyarakat di Jazirah Arab, Jurnal Al Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, No. 2
(2020).
Daftar Pustaka

Annisa Putri, 2017, Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam, Bandung

M,j, Kister, Society and Religion from Jahiliyya to Islam, (Vermont USA: Variorum, 1978),
h. 33-57

Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, (Bagda>d: Maktabah Al-Mus {annah, T.Th,}

Prinsip-prinsip hukum lex talionis sudah ditemukan di dalam kode Hammurabi yang
diperkirakan Philips K. Hitti terkodifasi sekitar tahun 1728-1666 SM., yang boleh jadi berasal
dari tradisi Sumeria dan praktek-praktek hukum Semit. ( Philip K.Hitti, The Near East in
History A 5000 year Story, (New York: D. Van Nostrad Company, 1961

W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, ( Edinburg: Edinburg University Press,


1990), h.7-8

Zainab al-Khudari, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani (Bandung:
Pustaka,1979)

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)

Theguh Saumantri and Abdillah Abdillah, Teori Ashabiyah Ibn Khaldun Sebagain Model
Perkembangan Peradaban Manusia, Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan
Islam 8, no.1 (2020).

Yusrul Hana, Perubahan Sosial Masyarakat di Jazirah Arab, Jurnal Al Izzah: Jurnal Hasil-
Hasil Penelitian, No. 2 (2020).

Anda mungkin juga menyukai