Anda di halaman 1dari 21

Pengembangan Sains, Hukum, Seni, Teknologi dan Ekonomi

Di Dunia Islam Dalam Persepktif Sejarah


Oleh Ajid Thohir∗

Abstrac
Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang cukup
besar bagi kepentingan peradaban Dunia secara umum. Aspek-aspek pengembangan
kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu mengolah potensi
material dan kosmologikal. Sehingga warisan peradaban Islam secara umum banyak dinikmati
oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman. Bagaimana cara-cara Islam
mengembangkan potensi kemanusiaan dan wilayah, bisa ditelusuri dari realitas sejarahnya
melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi.

Key Words: hellensime Islam, sains, hukum, seni, teknologi, ekonomi, assimilasi etnik, produk-
produk sains.

A. Pendahuluan

Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-wilayah
kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan memasuki daerah-daerah
kebudayaan luar Arab dan sekitarnya (khususnya wilayah-wilayah kekuasaan Romawi dan
Persia) yang berdekatan dengannya, seperti Iraq, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya1. Secara
otomatis, penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan
kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa, suku,
ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan Arab dan non-
Arab berkembang.
Terjadinya proses asimilasi2 dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal Islam,
secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenanya bukan hanya dalam
dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif, simetris dan dialogis
antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit pula dalam aspek-aspek


Penulis adalah pengampu mata kuliah Sejarah dan Peradaba Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Alamat E-mail: ajid_thohir@yahoo.com
1
‘Abd al-Rahman bin Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, jilid 3, Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, Lubnan, 2006; 3-136. Philip
K.Hitty, History of The Arabs, Tenth Edition, The Macmilland Press, 1974; 139-168
2
Istilah asimilasi (assimilation) mengacu pada kajian antropologis, adalah berpadunya dua entitas fisikal dalam
sebuah wilayah kebudayaan yang keduanya berupaya untuk saling menerima, mempadukan, dan melengkapi. Kata
lain yang mirip dalam hal ini adalah akulturasi (acculturation) yakni proses adaptasi antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lainnya atau proses saling mempenagruhi dalam aspek kebudayaan. …every society is a more or less
succesfull melting-pot where diverse populations are merged, acculturated and eventually assimilated , at different
rates and in different ways, depending on their place in the economic and political systems. Lihat Thomas Hylland
Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Secon Edition, Pluto Press London, 2002; 20
1
tertentu ada juga yang berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang banyak terjadi di
kawasan India3.
Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan perkawinan
antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang ditaklukkan yang
dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana dan sepele. Karena
masing-masing etnik luar Arab yang secara genetika, bahasa, sistem sosial, pemikiran bahkan
keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing sangat berpengaruh dalam pola penerimaan
terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada akumulasi yang rumit. Namun untuk
mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya
proses asimilasi di dunia Islam khususnya antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat
daerah-daerah yang ditaklukkannya hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga
faktor tersebut adalah: 1).Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, 2).Masuk Islamnya mayoritas
penduduk yang ditaklukan, dan 3).Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu
wilayah negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan
yang intens antara keduannya, kemudian mereka terdistribusi ke wilayah-wilayah baru yang
telah ditaklukkan4.

B. Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan


Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin memerangi suatu
negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka bersedia secara sukarela
masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama kaum Muslim yang lain. Dengan
demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satu-satunya cara untuk menaklukan daerah lain.
Perang hanya jalan terakhir. Dalam salah satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan
kalimat tersebut, darah dan harta mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka
hendaknya mereka menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih

3
Studi dan kajian detilnya telah kami lakukan dalam melihat konfrontasi antara Islam dan Hindu dimana puncak
resistensi, ko-eksistensi dan konfrontasi antara Islam dengan kekuatan lokal di Asia Selatan yang sebagiannya
dimainkan oleh Inggris adalah terpecahnya wilayah keagamaan pada wilayah politik dalam bentuk negara, yakni
negara India, Pakistan dan Bangladesh. Lebih jelas lihat, Islam Di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial,
Politik, Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006
4
Ahmad Amin, Fajr al-Islam ; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir al-Dulat al-Amawiyyat,
Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore, 1933; 85
2
diperbolehkan menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka
menerima tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum
Muslimin lainnya”5
Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem perhambaan
dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses asimilasi ini. Sehingga,.
perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem al-wila” yakni kemerdekaan yang
diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan
dengan nasab keluarga yang memerdekakannya; dan kedua ashabiyah terjalinnya hubungan
emosional persaudaraan yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan.
Sehingga dalam perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi,
sikap mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya.
Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di daerah-
daerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orang-orang Arab
seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan oleh al-Baladzury6
ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka penduduk tersebut secara berduyun-
duyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam. Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya
Rustam terkalahkan, maka orang-orang Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah
perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk
Islam pada waktu itu. Pertama; karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka
mengakui kebaikan dan kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari
membayar pajak (jizyah)7. Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak menjadi hina
dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah).

C. Asimilasi antara orang Arab dan non Arab


Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah yang
dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka bergerak seirama
dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di
Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai pedagang dan karyawan

5
H.R. Bukhory dan Muslim dari Umar bin Khathab. Lihat Mukhtâr Ahâdits Muhammadiyyah
6
Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhha wa Ahkamuha, Juz 2, Dar Fikr, 1992; 280
7
Jizyah yang diberlakukan biasanya kepada para kepala keluarga, tidak untuk wanita atau anak-anak. Setiap kepala
keluarga 1 sampai 13 Dirham. Bagi mereka-mereka yang cukup kaya, bisa dikenakan sampai 24 Dinar. Jika tidak
menyanggupinya, mereka harus keluar dari wilayah taklukan kaum muslimin. Ahmad Amin, Ibid, 86
3
dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh para penakluk Arab. Termasuk
berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli Arab juga berlaku demikian. Dalam
banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal
ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra, saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan
wilayah-wilayah sekitar luar Arab, kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke
jazirah Arab. Seperti halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk
serta berdomisili di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada proses
asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam banyak hal
berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur dengan hukum-hukum
yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya, seperti
sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini terlihat dari
berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi. Apabalagi bangsa-bangsa
yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup dalam naungan negara yang lebih
maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka
sudah menjadi maklum, mereka juga membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan
system sosio kemasyrakatan barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat
besar dan hebat. Juga sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi
penguasa kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan
Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia ke
dalam dunia Islam.
Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses asimilasi
ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibthy walaupun mereka masuk agama
Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya keyakinan yang telah melekat
selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang ada tidak benar-benar murni
bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan pola pembentukan hukum undang-
undang serta penataan kemiliteran Islam banyak mengadopsi dari pola-pola Romawi.
Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara cepat dan
tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju dibanding bangsa Romawi
dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup memiliki bahasa dan agama yang

4
dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam pengembangan kebudayaan dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui
proses sejarahnya.

D. Hellenisme Kebudayaan Islam?


Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman pada abad ke-18,
untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa kejayaan kerajaan
Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang menguasai seluruh wilayah Laut
Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika, khususnya wilayah-wilayah yang
berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya berbentuk penyatuan kebudayaan yang
dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam
rangka membangun kebijakan ini, mereka membentuk pola perkawinan massal antara tentara
yang dibawa Dzulkarnaen dengan penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria
dan Persia. Penyatuan kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus
dilanjutkan pada masa kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan
tetapi tidak sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam
realitas seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan
oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut.

E. Proses Hellenisme Dalam Kebudayaan Islam


Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir, Syria dan
Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara politis, sosiologis dan
antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak baru dalam membangun
pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan berbagai tradisi di wilayah-wilayah
warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan mereka yang selama ini hanya didapatkan
dari alam lingkungan Arab dan warisan kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW,
maka perjumpaan mereka dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar wahyu;
meskipun dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah
“kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti filsafat,
sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran pengetahuan ajaran

5
agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari konsep-konesp pengetahuan
baru tersebut.
Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat studi
sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta rahib-rahib
Nasrani dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun seperti di Jundishapur,
dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat kegiatan intelektual mereka
dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis. Dengan serta merta umat Islam melihat
pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar “ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan
bentuk-bentuk ghanimah berupa materi, nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah
ini kelak akan menjadi alat dan penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampai-
sampai Umar bin Khathab ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat
memasuki wilayah-wilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para
pemegang naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani8.
Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani,
Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang cukup
dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru umat Islam yang
didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum al-awail”, pengetahuan
dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang selama ini mereka gunakan
atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna Nabi SAW, biasa disebut sebagai
“ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak pengetahuan luar ini akan digunakan
sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan berbagai epistemologi ilmu-ilmu kewahyuan,
seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah
proses penterjemahan dari sumber-sumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab.
Karena pengetahuan Yunani ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka
tidak sedikit pula mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata
ilmu-ilmu Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani.
Naskah-naskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan
medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk filsafat

8
Lihat Philip K.Hitty, History of The Arabs, hal. 231. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
Paramadina, 2000; 222
6
dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan
Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal dari Euklidus.
Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga ternyata telah
didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra, retorika, sejarah, politik
dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan
kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model pengetahuan yang ditemukan, tenyata
para cendikiawan muslim tidak seluruhnya mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai
dengan kebutuhan untuk kepentingan agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang
berada di luar kepetingan itu, apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam
mereka tidak ambil, bahkan ditinggalkan sama sekali9. Seperti berbagai bentuk mitologi Yunani
yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam naskah-naskah pemikiran
Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan cerita-cerita Israiliyat memang sangat
dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait dengan theater, gladiator, melodrama, cerita-
cerita panggung Homeros, maupun cerita-cerita tragedi dan komedi yang begitu popular di
zaman Yunani maupun Romawi, namun hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia
literatur Islam. Karena nampaknya, semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang
mendapat apresiasi dalam ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat
muslim yang saat itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan
malah nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur,
terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720-756)
seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa India. Termasuk
ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam Sibawaih juga
nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya logikanya Yunani10.

F. Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam


Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di antaranya:
1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu
pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam mendorong

9
Inilah yang disebut karakter Islam sebagai kekuatan budaya global, selalu saja memiliki pola “terbuka” dan
“tertutup” terhadap realitas kebudayaan luar. Mereka mengambil aspek-aspek kebudayaan luar yang sekiranya
memiliki kesamaan visi dengan Islam itu sendiri. Untuk kajian terhadap nilai-nilai Islam dalam sejarahnya, lihat
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan Bandung, 1991
10
Lihat, Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar Fikr 1996; 19-23
7
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala sesuatu yang menyangkut
bagi pengembangan tradisi social dan individual yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal
tidak bertentangan dengan norma-norma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain
kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan pusat-pusat
kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk bersentuhan secara langsung,
bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera
diolah.
2. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi informasi
tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang kemanusiaan serta dorongan untuk
mengembangkannya11. Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan
cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan mengembangkannya lebih
jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat itu, pada semua lini penelitian selalu
berangkat dari wahyu yang memberi informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu
Yunani atau Persia memberi jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi.
3. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendikiawan, ilmuan, maupun ulama, sepakat untuk
saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing dalam memanfaatkan dan
mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal pemerintahan yang digunakan untuk
pengembangan penterjemahan dalam kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan
tidak menyia-nyiakan untuk memanfaatkannya.
4. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan, sangat
terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari kalangan non-muslim
seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi.
5. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung bagi mereka
yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup mutawwatir, bahwa Khalifah
Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu menghargakan setiap naskah tulisan sesuai
dengan berat timbangan emas12.

11
Beberapa contoh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini misalnya; awalam yandhuru fi malakut al-samawat
wal ardl wa ma khalaqallah min syai…”. “Falyandhuril insân minma khuliq.. falyandhuril insân ila tha’âmih annâ
shababna al-maa shabba. Tsumma syaqaqna al-ardl syaqqo. Faanbatna fiha habba wa ‘inab wa qodlba wa
zaituna, wa nahla wa hadaiq ghulba wa fakihah wa abba. “La syams yanbagi laha an tudrik al-qomar wala al-lail
sabiq al-nahar… masih banyak ratusan ayat berbicara mengenai alam semesta yang perlu dilanjutkan oleh penelitian
sains. Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, hal. 143-144
12
Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, hal. 145
8
G. Pusat Saluran Hellenisme Dalam Islam
Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam pada
umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat. Pusat-pusat
kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi dan lokasi
laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di dalamnya, Seperti
di:
a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam mengembangkan
kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini berkembang ilmu
kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah Maristan. Madrasah Jundishapur
nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran
dan filsafat.
b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani dan Romawi
termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia, Greek dan Romawi.
Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia, Yunani Kuno, dan Neo-
Platonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah kumpulan para pengikut agama pagan,
perpaduan antara doktrin agama Babilonia, Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada
masa pemerintahan Al-Makmun Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini
nampaknya sebagai sumber terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama
bidang-bidang teknik fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti
Tsabit bin Qurrah (221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang
astronomi, Ibn Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga
kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat lembaga
penterjemahan.
c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan Romawi saat
mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia merupakan pusat
pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai madzhab Iskandariyah, yang
dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan rangkaian pikiran Yunani seperti Plato,
Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam
terutam dalam theosofi (pemikiran madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut”
dan “nasut”. Salah satu muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua

9
abad sampai masa pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary
(150 M), Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan
doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih banyak
mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan bahasa Suryani
dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun Yahudi dengan filsafat
Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi agama dan filsafat seperti ini
dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir, Palestina, Aleppo dan Home13.

H. Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Ke dalam Dunia Islam


Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa
Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya,
kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit banyak telah
mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak pernah dikenal
sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan Amawiyah salah satunya
sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian dari karya-karya mereka ke dalam
bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab
Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan).
Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah, dan terbagi ke
dalam tiga gelombang:
1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun Al-Rasyid atau antara
tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa Persia,
al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab al-
Majesti tentang astronomi. Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn al-
Muqaffa, serta Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada
periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya Aristoteles
seperti al-Nidzam, yang mengupas tentang metode berlogika dan berfilsafat.
2. Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H. Mereka yang
terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq yang lebih menguasai filsafat
dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar
al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220

13
Lihat Philip K.Hitty, History of The Arabs; 309-310
10
H), Hunain bin Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah
(w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir seluruh karya-
karya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pikiran-pikiran Phytagoras, karya-
karya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous, Noumous dan Manajemen Perxxkotaan karya
Plato, termasuk karya Al-Majesti juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles,
dan sebagainya, seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya,
Ishak bin Hunain.
3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad (320 H),
Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn Zur’ah (398 H), mereka
masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan psikologi Aristoteles, mereka juga sudah
mulai memberi komentar terhadap karya-karya ini.14
Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka, juga
terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam doktrin-doktrin
agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia alam semesta. Bahkan
untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode berfikir filsafat, termasuk
bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti kedokteran, matematika, fisika,
astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu mengkoreksi bebagai kekurangan dan
kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini. Epistemologi Filsafat yang dikembangkan
oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina, kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd,
Ibn Hazm, dan seterusnya telah mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan
epistemology sains seperti yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky,
dan seterusnya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan
kehidupan manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu
astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan
sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya.

I. Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi Dalam Islam


Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai kewahyuan dan
kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan
dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua

14
Philip K.Hitty, ibid; 311-316
11
fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang
khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia.
Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada
semua penganutnya untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam
aspek-aspek kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur
masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat
pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk-bentuk
pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah15. Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni
dalam Islam secara keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam
semesta, yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir
tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat
secular atau terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang
MahaPencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS. Yusuf).
Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor16 menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya
Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya
masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti
halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena semua
bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak semata-mata lahir dari
dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan
system keyakinan si pencipta (kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang
mengililinginya. Sekalipun demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya
Islam sama sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam
hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrin-
doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih
universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu
para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur luar
dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu
sendiri.

15
Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka, 1997; 11
16
Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997; 87
12
J. Seni Dalam Islam
Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan, seperti surga,
istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi inspirasi bagi para kreator
untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana Nabi Sulaiman as, mengilhami
lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan muslim membentuk pusat
kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di atas kebiasaan rakyat biasa.
Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah al-Jamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami
banyak hal bagi para seniman muslim yang taat untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai
Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para
kreator seni untuk memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai
larangan Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang
bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini tidak
ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam mewujudkan
gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah17.
Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk kaligrafi
Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk corak ragam hias
ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan sebagainya dengan berbagai
ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang dianggap bukan sejenis hewan atau
manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau tempat-tempat yang dianggap layak,
biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata
hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi); diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang
lainnya yang sangat indah.
Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan spiritual
termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain interior muslim
dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu menunjukkan muatan yang tak
pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam menghubungkan antara dirinya dengan
pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempat-
tempat ibadah seperti masjid, mushola, dan tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam
juga tidak lepas dari upaya sasaran kreasi seni mereka.

17
Lihat Seyyed Hossain Nasr, Spiritualisme Islam, Mizan, 1999
13
Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia Islam,
selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang antusias pada
kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8 M yang sangat
berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat keagamaan masyarakat
dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid merupakan jantung masyarakat yang
ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat maka jantungnyapun akan sehat, begitupun
sebaliknya. Dalam rangka memperindah bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang
telah dijelaskan banyak ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari
mulai di Cordova, Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di
India dan masjid-masjid di Nusantara Indonesia18.
Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti trends
kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama yakni bujur
sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian depannya bagi tempat
imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang secara histories baru popular
muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai tempat yang aman dan terhormat bagi
para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk
pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah,
semuanya tersedia ada disetiap masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid
dunia Islam selalu terfokus pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic
sanctuaries); Masjid al-Haram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa
Palestina. Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam,
tapi juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan
kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci19.

K. Sains dan Teknologi


Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah mewariskan
sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan pengetahuan
tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dengan cara-cara
menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan oleh sejumlah sarjana

18
Lihat Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, 1964
19
Oleg Grabar, op.Cit, 79-81
14
muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M.. Mereka bukan hanya ditopang oleh pengetahuan dan
pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan,
terutama pada masa-masa kejayaan Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi,
pengembangan sains lebih dahulu mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka
sendiri, tapi juga mereka dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam
doktrin Islam saja. Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan
matematika, fisika dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam
benda, mereka peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini
mereka kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut
adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya20. Perbedaan yang
mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih banyak berbicara tentang teori dan
pengetahuan mengenai macam-macam objek baik yang bersifat mendasar maupun universal,
objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara
menerapkan pengetahuan sains untuk memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan
kemudahan serta kenyamanan umat manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi
kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat
bagi kemudahan mereka hidup
Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan Hellenisme
Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan dan metalurgi,
matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang matematika kontribusi Islam
telah mengenalkan system bilangan India, dengan mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan
sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun
dengan jumlah klipatan yang sangat panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin
Musa al-Khawarizm (w.875 M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam
(w.1131). Sedangkan dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa,
apalagi sejak diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun
711 M di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling
terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf.
Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang dikembangkan
oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny (w.1040 M) juga

20
Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka, 1997; 1- 5
15
mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan al-Hikmah”. Pengobatan
dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau Mesopotamia, India dan lainnya.
Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang dokter dan penulis kitab pengobatan yang
cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah
membuktikan penguasaannya dalam hal teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hampir menjadi
sebuah kebiasaan bahwa para dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap
dalam profesinya, selain sebagai filosof, astronom juga ahli21.
Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah ditemukannya
penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan membuat jam melalui
mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh al-Muradi pada abad ke 11 M.
Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari gerakan air yang disambungkan dalam
gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk mengambil air dari saluran yang lebih rendah
untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas, juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan
contohnya masih berfungsi sampai abad ke 13 M.
Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum alam
wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya

L. Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi


Dr. Badar Abdurrahman Muhammad22 dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah wa
Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam cukup
memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini menggambarkan kepada
pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awal-awal abad ke ke 4 Hijriyah
sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang dikemukakannya mengenai hal ini.

a. Proses terjadinya interaksi uang dan bisnis


Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui adalah masalah
pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negeri Irak pada barang-barang yang diimpor ke dalam
negeri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi, kewajiban membayar retribusi ini bisa
dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa. Maskawaih pernah menyatakan: “…pada

21
Seyyed Hossain Nasr, ibid, 871-199
22
Lihat Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar Nahdliyyah al-
‘Arabiyyah, Beirut, 1999
16
tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah al-
Hamdani untuk tidak membayar retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke
Baghdad”.
Retribusi ini tidak hanya diwajibkan antar negara, akan tetapi juga antar kota di bawah satu
kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah yang mana retribusi
dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai Dajlah. Termasuk para
Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa tenunan dan barang-barang
dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga dengan jual beli binatang ternak,
seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi.
Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan. Karena dinilai
berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada beberapa penguasa
yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut menilai bahwa kebijakan
retribusi itu dapat menyulitkan rakyat.
Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada tahun 306 H
terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah. Akan tetapi retribusi
ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun sehingga menambah biaya
belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil.

b. Alat-alat Ukur (takaran, neraca dan ukuran jarak)


Takaran
Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’ yang sebanding
dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas isinya adalah 29,5 liter atau
sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah yang sebanding dengan lima rithl atau
enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu alat ukur orang Babil yang sebanding dengan
30 Karah.
Timbangan
Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang basah dan yang
kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling popular waktu itu adalah
rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram.
Alat Ukur Jarak

17
Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta. Satu hasta
sebanding dengan 24 jari.

c. Mata uang
Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan manusia dalam
menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai negara Islam tidak lah
sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan Persia menggunakan dirhan perak.
Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam sejak awal abad ke empat Hijriyah.
Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun. Penggunaan mata uang juga dijadikan
kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan salah satu penguasa untuk memakai mata uang
tertentu dapat merugikan perekonomian penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi
percetakan mata uang dari tembaga tanpa menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi
menyebabkan terjadi krisis ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan
bentuk yang besar dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap
sisinya diberi gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding
dengan seratus mistqol.

d. Percetakan uang
Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka tidak
memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu untuk menjaga
nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang diberikan tugas mengawasi
adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti Buwaihi tidak segan-segan untuk
memberikan hukuman mati kepada orang yang melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah
jumlah percetakan uang yang resmi berjumlah 150 buah.

e. Surat Perintah pembayaran dan Cek


Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya utusan bisnismen
Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses transaksi perdagangan
kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan uang dan barang.
Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah memakai
sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas dari pengaruh

18
budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap system perdagangan yang
telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa untuk melanggengkan
kekuasaannya.

M. Lembaga Peradilan dan Hukum Islam


Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy23 dalam karyanya Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah
Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan pada negara
Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati posisi yang cukup
baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan melewati waktu yang panjang
untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka bertugas dalam masalah-masalah hukum
baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana, perdata, hukum keagamaan maupun hukum-
hukum positif. Atau secara umum mereka menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan
syariat Islam di seluruh pelosok negara baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan
dengan non Muslim. Pada masa Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan
madzhab resmi negara. Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini.
Kerena madzhab resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung
pada beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama
dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra.
Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim.
Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia bertempat di
Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok negara dan juga
bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim. Ada banyak bentuk pada
kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan Ar-Rumali. Keistimewaan kelompok ini
adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada pengangkatan hakim agung dengan
menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini
selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang
terhimpun pada beberapa organisasi. Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim
walaupun nama mereka tidak diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima
orang. Mereka termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah
mengawasi wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim

23
Lihat Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000
19
dari kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras,
Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini sangat
besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat ratus lima puluh
hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di Eropa jumlah mereka
mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu tingkat lebih rendah dari
kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota kecil dan desa-desa besar dan
menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan hadir untuk memutuskan suatu perkara.
Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para
hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa
memberikan fatwa sepanjang hidupnya.

N. Penutup.
Demikian besar secara historis, Islam sebagai kekuatan kebudayaan dalam merealisasikan
dirinya pada pengembangan sains, hukum, teknologi, ekonomi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.
Hingga saat ini, warisan agung (the great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung,
meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Bagi
generasi muslim saat ini, keagungan peradaban Islam hendaknya bukanlah hanya sekedar mitos,
tapi menjadi etos dimana upaya-upaya terdahulu para pioner muslim telah mampu
membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan
untuk dikembangkan oleh manusia. Tradisi besar membangun “wahyu memandu ilmu
pengetahuan” telah dicoba pada semua lini, meskipun tentunya dengan sisi-sisi keterbatasan
kemanusiaannya.Wallahu a’lam.***

20
Daftar Pustaka
Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, Juz 2, Dar
Fikr, 1992
Ahmad Amin, Fajr al-Islam; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir al-
Daulat al-Amawiyyat, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore, 1933
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo, cet.2, 2009
-------------& Ading Kusdiana, Islam Di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial, Politik,
Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006
Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr wa al-
Tauzi’, 2000
Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar
Nahdlah al-‘Arabiyah, 1999
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar Fikr 1996
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan Bandung, 1991
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2000
Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997
Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, 1964
Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka,
1997
--------------------------, Spiritualisme Islam, Mizan, 1999
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Second
Edition, Pluto Press London, 2002

21

Anda mungkin juga menyukai