Anda di halaman 1dari 11

KONDISI BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

A. Pendahuluan
Jazirah Arab secara geografis terdiri dari padang pasir dan tanah subur. Kawasan padang
pasir mendominasi wilayah Arab. Namun padang pasir ini dikelilingi oleh oase-oase yang jumlahnya
terbatas. Sehingga menyebabkan corak hidup yang sangat primitif di zaman jahiliyah (Wildana
Wargadinata dan Laily Fitriani, 2008:45).
Bangsa Arab sebelum Islam lebih dikenal dengan istilah jahiliyah. Istilah ini biasanya
diartikan dengan masa kebodohan kehidupan barbar. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata jahiliyah
diterjemahkan dengan “kebodohan” (Risa Agustin, tt: 273). Sementara dari bahasa asalnya, yaitu
Bahasa Arab, kata  ‫هجل – جيه ل – هجال و هجاةل‬  bermakna “tidak tahu, bodoh, pandir” (Ahmad Warson
Munawwir, 1984: 219).  Sebenarnya masyarakat jahiliyah bukanalah orang yang hidup pada masa
itu semuanya bodoh, sebab mereka juga memiliki peradaban yang tinggi. Masyarakat jahiliyah
berada di wilayah Arab Utara terutama hijaz. Negeri Hijaz tidak pernah dijajah atau dipengaruhi oleh
negara lain.
Salah satu konsep keagamaan yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan.
Bagi masyarakat Hijaz, Allah merupakan Tuhan yang paling utama meskipun bukan satu-satunya.
Kondisi ekonominya mengikuti kondisi sosial yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab
(Syaikh Syafiyurrahman al-Mubarakhfuri, 2009: 34).
Kebudayaan mereka yang sangat terkenal adalah puisi, mereka sangat kaya bahasa dan
bahasa berperan penting dalam hal menyebarkan puisi. Sejarah mencatat bahwa mereka kemudian
membuat sejarah dunia yang mengagumkan, bahkan mereka yang telah memajukan kebudayaan
umat manusia setelah mereka memeluk Islam.

B.  Kondisi Sosial
Secara umum, sejarah Arab terbagi ke dalam tiga periode utama, yaitu:
1. Periode Saba-Himyar, yang berakhir pada awal abad ke-6 Masehi.
2. Periode Jahiliyah, meliputi kurun satu abad menjelang kelahiran Islam.
3. Periode Islam, sejak kelahiran Islam hingga masa sekarang.
Sebagian besar masyarakat Arab Utara, termasuk Hijaz dan Najed adalah masyarakat Nomad
atau Badui. Sejarah orang-orang Badui pada dasarnya dipenuhi dengan kisah peperangan gerilya.
Selama periode itu terjadi berbagai serangan dan perampokan, walaupun tanpa pertumpahan darah.
Masyarakat yang bermukim di Hijaz dan Najed tidak dikenal sebagai pemilik peradaban yang maju,
keadaan mereka berbeda dengan tetangga dan kerabat mereka, yaitu orang-orang Nabasia, Palmyra,
Gassan dan Lakhmi.
            Tidak banyak catatan pada masa ini. Karena catatan yang ada hanya memberikan sedikit
informasi tentang periode Jahiliyah, karena orang-orang Arab Utara tidak punya budaya tulis,
hanyalah riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama sya’ir yang sayangnya tidak mereka tuangkan
dalam bentuk tulisan. Orang-orang Arab Utara baru mengembangkan budaya tulis menjelang masa
kedatangan Islam.
            Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa
yang dikenal dengan sebutan “Hari-hari orang Arab “ (ayyam al-Arab). Hal merujuk pada
permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak,
padang rumput atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan
penyerangan, dan memunculkan sejumlah pahlawan lokal. Para pemenang dari suku-suku yang
bersengketa menghasilkan perang sya’ir yang penuh kecaman di antara para penya’ir yang berperan
sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap untuk berperang, orang-
orang Badui tidak serta merta berani mati. Jadi mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang
mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian Ayyam al-Arab merupakan
cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui yang biasanya hidup dalam
kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jatidiri dan watak sosial.
Berkat Ayyam al-Arab  itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan
dalam kehidupan mereka.
            Salah satu peperangan antar suku-suku Badui yang paling awal dan paling terkenal adalah
perang Basus yang terjadi pada akhir abad ke-5 antara Banu Bakr dan keluarga dekat mereka dari
Banu Taghlib di Arab sebelah Timur Laut. Kedua suku itu beragama Kristen dan mengklaim sebagai
keturunan Wa’il. Konflik di antara mereka muncul karena seekor unta betina milik seorang
perempuan tua suku Bakr bernama Basus dilukai oleh kepala suku Taghlib. Menurut legenda Ayyam
al-Arab, perang itu berlangsung selama 40 tahun dengan cara menyerang dan merampok satu sama
lain. Sementara itu, api peperangan terus dikobarkan lewat ungkapan-ungkapan puitis. Perang
saudara itu berakhir setelah al-Mundzir III dari Hirah turun tangan, dan setelah kedua belah pihak
lelah berperang.
            Lalu, perang lain tidak kalah tenarnya adalah Perang Dahis dan al-Ghabra, yang menjadi
salah satu peristiwa paling terkenal dari periode Jahiliah, perang itu melibatkan suku ‘Abs dan suku
saudara perempuannya, yaitu Dzubyan di Arab Tengah. Wangsa Ghathafan merupakan leluhur
kedua suku itu. Peristiwanya dipicu oleh tindakan curang orang-orang Dzubyan dalam sebuah
balapan antara kuda yang bernama Dahis milik kepala suku ‘Abs dan keledai yang bernama al-
Ghabra milik kepala suku Dzubyan. Peperangan itu pecah pada paruh kedua abad ke-6 Masehi, tidak
lama setelah tercapainya perdamaian Basus, dan berhenti selama beberapa dekade hingga masa
Islam. Pada peperangan inilah ‘Antarah ibn Shaddad al-‘Absi, pahlawan di zaman heroisme Arab,
kondang sebagai penyair dan prajurit. (Philip K. Hitti: 2002: 108)
Sisi lain kondisi sosial masyarakat Arab sebelum Islam, terdapat beberapa kelas masyarakat
khususnya Makkah. Yang paling dihormati adalah kelas bangsawan, wanita bangsawan bisa
mengumpulkan kabilah untuk perdamaian atau peperangan, namun kepemimpinan tetap di tangan
laki-laki. Hubungan laki-laki dan perempuan mencapai kerusakan yang sangat parah. Contohnya,
pada masa Arab jahiliyah itu dikenal empat model pernikahan:
1. Pernikahan spontan
Yakni laki-laki datang ke wali perempuan untuk melamar lalu pernikahan dilangsungkan.
Model pernikahan ini yang disetujui dalam Islam. Bedanya, pada masa jahiliyah sering kali
pernikahan ini berlangsung spontan, dilakukan di hari itu juga.

2. Nikah istibdha’
Yakni suami menyuruh istrinya mendatangi bangsawan agar mendapatkan keturunan darinya.
Hal ini dimotivasi oleh keinginan suami tersebut mendapatkan anak yang lebih baik. Dengan bibit
dari bangsawan, ia berharap cita-cita itu bisa tercapai. Pernikahan istibdha’ ini termasuk zina dalam
pandangan Islam. Dan hukuman zina sangat keras sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nur: 2.

3. Poliandri
Yakni seorang wanita berhubungan dengan sejumlah laki-laki. Setelah anaknya lahir, wanita
itu kemudian mengundang seluruh laki-laki tersebut dan bebas menunjuk siapa ayah bayi itu. “Ini
hidungnya mirip kamu Fulan, maka kamulah ayahnya.” Semudah itu kalimat wanita tersebut dan
yang ditunjuk tidak boleh menolak.

4. Pelacuran
Ditandai dengan adanya bendera khusus di rumah tertentu. Adanya bendera itu menunjukkan
bahwa di dalam rumah tersedia wanita untuk dinikmati siapa saja. Ini tak ubahnya dengan lokalisasi
di zaman modern. Selain itu, perzinaan meraja lela dan poligami tidak memiliki batasan. Bahkan
tidak sedikit yang menikahi dua wanita yang bersaudara.
Dari sisi pendidikan, kebodohan mendominasi lapisan masyarakat. Sedangkan perjudian dan
minuman keras juga menjangkiti semua kalangan mulai dari kelas bawah hingga bangsawan.

C.   Kondisi Budaya
Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang menunjukkan apresiasi yang sedemikian besar
terhadap ungkapan bernuansa puitis dan tersentuh oleh kata-kata, baik lisan maupun tulisan, selain
bangsa Arab. Kita sulit menemukan bahasa yang mampu memengaruhi pikiran para penggunanya
sedemikian rupa selain bahasa Arab. Orang-orang modern di Baghdad, Damaskus, dan Kairo dapat
dibangkitkan perasaannya dengan bacaan-bacaan puisi, meskipun tidak sepenuhnya mereka pahami,
dan dengan pidato dalam bahasa klasik, meskipun hanya sebagian yang mereka pahami. Ritme, bait
syair, dan irama bahasa itu memberikan dampak psikologis kepada mereka, layaknya hembusan
“sihir yang halal” (sihr halal).
Seperti yang telah menjadi ciri khas rumpun Semit, orang-orang Arab tidak menciptakan dan
mengembangkan sendiri sebuah bentuk kesenian besar. Watak seni mereka dituangkan ke dalam satu
media ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk
patung dan arsitektur, orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair (qashidah) dan orang-
orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan (psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang lebih
halus. “keelokan seseorang terletak pada kefasihan lidahnya” demikian menurut bahasa Arab.
Kebijakan menurut pribahasa yang muncul belakangan, muncul dalam tiga hal : otak orang perancis,
tangan orang cina, dan lidah orang Arab.
Kefasihan yaitu kemampuan untuk mengungkapkan jati diri secara tegas dan elegan dalam
bentuk prosa dan puisi, berikut kemampuan memanah dan menunggang kuda pada masa jahiliyah
dipandang sebagai tiga ciri utama “manusia sempurna” (al-kamil). Berdasarkan struktur bahasa yang
unik, bahasa Arab memiliki ungkapan kalimat yang padat, efektif, dan singkat. Islam memanfaatkan
secara maksimal karakteristik bahasa itu dan watak psikologis penuturnya. Dari sanalah muncul
“kemu’jizatan” (‘ijaz) gaya dan susunan kalimat Al-quran, yang dijadikan argumen utama oleh umat
Islam untuk membuktikan kemurnian agama mereka.  Kemenangan Islam hingga batas tertentu
merupakan kemenangan bahasa, lebih khusus kemenangan sebuah kitab.
Dari periode kepahlawanan dalam literatur Arab, yang meliputi masa antara 525 sampai 622
M, mewarisi beberapa peribahasa, legenda dan sejumlah besar puisi yang semuanya baru dihimpun
dan disunting pada masa Islam. Selain ungkapan-ungkapan magis meteorologis dan pengobatan,
tidak didapati satu pun literatur ilmiah. Peribahasa menjadi indikator penting untuk memahami
mentalitas dan pengalaman masyarakat Arab.
Tidak banyak prosa yang ditemukan dalam literatur Jahiliyah karena belum berkembangnya
sistem tulisan secara penuh. Namun ada beberapa prosa, biasanya berupa legenda dan riwayat, yang
dihimpun pada masa Islam, dan diklaim berasal dari masa yang lebih awal. Kisah-kisah itu
kebanyakan terkait dengan geneologi (ansab) dan peperangan antar suku, yaitu Ayyam al-‘Arab.
Satu-satunya keunggulan artistik masyarakat Arab pra-Islam adalah dalam bidang puisi. Pada bidang
itulah mereka menuangkan ekspresi estetis dan bakat terbaiknya. Kecintaan orang Badui terhaadap
puisi merupakan salah satu aset kultural mereka.
Literatur Arab muncul dalam bentuk puisi yang berkembang secara maksimal. Penggalaan
puisi tertua yang berhasil ditemukan tampaknya ditulis sekitar 130 tahun sebelum Hijrah, yang
mengisahkan tentang peristiwa perang Basus. Para penyair Islam terdahulu seperti halnya penulis
prosa, masih menganggap karya para penyair kuno sebagai model karya yang keunggulannya tak
tertandingi. Puisi-puisi terdahulu ini terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi
lisan dan akhirnya dicatat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Penelitian kritik
modern membuktikan bahwa beragam perbaikan, penyuntingan dan modifikasi telah dilakukan
untuk menyesuaikan puisi-puisi itu dengan semangat Islam.
Prosa bersajak yang digunakan oleh para dukun dan peramal (kuhhan) dipandang sebagai
tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (huda)  adalah tahap
perkembangan kedua. Tradisi bahasa Arab asli yang berusaha menjelaskan asal-usul perkembangan
puisi pada kebiasaan para penunggang unta yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis langkah untanya,
tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi adalah sinonim dari kata sa’iq penunggang
unta. Gaya puisi rajaz, yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan perkembangan lebih
lanjut dari prosa bersajak dan menggantikan bentuk sajak yang paling tua dan paling sedehana,
“Rajaz adalah embrio puisi”, demikian ujar orang-orang Arab.
Pada masa literatur kepahlawanan ini, puisi merupakaan satu-satunya sarana ekspresi
sastra. Qasidah (puisi liris) satu-satunya jenis puisi dan juga yang paling usai. Muhalhil, pahlawan
suku Taghlib dalam perang Basus dipandang sebagai orang pertama yang menyusun jenis puisi liris
ini. Jenis puisi ini kemungkinan besar berkembang dalam  kaitannya dengan Ayyam
a-‘Arab,  terutama di kalangan suku Taghlib dan Kindah. Imru’ al-Qays keturunahn Qahthani dari
Arab Selatan berasal dari suku Kindah. Meskipun ia merupakan penyair paling kuno Imru’ al-Qays
dianggap sebagai pangeran para penyair. Di sisi lain ‘Amr ibnu Kultsum berasal dari suku Taghlib
keturunan Rabi’ah  dari Arab Utara. Meskipun berbicara dalam dialek yang berbeda, para penyair ini
menghasilkan puisi liris yang memperlihatkan kesamaan bentuk sastra.
Di antara puisi-puisi liris yang dihasilkan pada masa klasik, puisi yang disebut “Tujuh
Mu’allaqat” menduduki posisi pertama. Mu’allaqat itu masih dijunjung tinggi di seluruh dunia Arab
sebagai karya agung di bidang puisi. Menurut legenda, setiap bagian merupakan puisi yang
mendapat penghargaan pada festival Ukaz dan ditulis dengan tinta emas, kemudian digantung di
dinding Ka’bah.  Asal mula kejadian ini, di Ukaz, tepatnya antara Nakhlah dan Taif di daerah Hijaz
diadakan sebuah festival tahunan, sejenis pertemuan sastra, tempat berkumpulnya para penyair
pahlawan untuk mempertontonkan keahlian dan memperebutkan posisi pertama.
Dikatakan bahwa festival tahunan ini berlangsung selama bulan-bulan suci yang terlarang
untuk perang. Orang-orang pagan Arab menggunakan sistem kalender serupa dengan yang
digunakan oleh orang-orang Islam kemudian, yaitu sistem kalender bulan (qamaiyah). Tiga bulan
pertama pada musim semi, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram, merupakan bulan damai.
Festival menjadi kesempatan berharga untuk memperkenalkan barang dagangan, dan untuk menjual
berbagai komoditas. Kita dapat dengan mudah membayangkan orang-orang gurun pasir yang
mengerumuni pertemuan tahunan itu, berkumpul mengelilingi kios-kios, minum-minuman dari
perasan kurma, dan menikmati sepuasnya lantunan lagu para biduan.
Di samping nilai sastra dan keindahannya, puisi-puisi kuno memiliki signifikansi historis,
yaitu sebagai bahan utama untuk mengkaji perkembangan sosial yang terjadi saat puisi-puisi itu
disusun. Kenyataannya, hasanah itu merupakan satu-satunya data kuasi-kontemporer yang kita
miliki. Ia memberikan penjelasan tentang semua fase kehidupan pra-Islam. Oleh karena itu, terdapat
sebuah pepatah, “Puisi merupakan catatan publik (diwan) orang-orang Arab”. (Philip K. Hitti: 2002:
112)

D. Kondisi Perekonomian
Arabia merupakan  wilayah yang gersang dan terletak di gurun tandus dengan cuaca yang
tidak bersahabat dan tidak menyehatkan. Burckhardt, yang mengunjungi kota Makkah pada bulan
Agustus 1814, menggambarkan pemandangan dan rute perjalannya sebagai wilayah yang paling
memberikan inspirasi dan mengagumkan yang pernah ia lihat sejak kunjungan ke Libanon (K. Hitti,
Philip, 2002: 129).  Kota terpenting di Hijaz  yaitu Makkah karena merupakan tempat  yang di
sucikan dan dikunjungi penganut agama asli Makkah, selain itu juga orang Yahudi . 
Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan
hidup (Syaikh Syafiyurrahman al-Mubarakhfuri, 2009: 34). Tetapi sebagian mereka, kondisi
perekonomiannya umumnya payah. Mata pencahariaan sebagian berternak dan bercocok tanam.
Tentang perindustrian atau kerajinan banyak dikenal seperti hasil dari Yaman, jahit menjahit,
menyamak kulit dan lain-lain.
Kekayaan yang dimiliki mereka banyak mengundang peperangan sehingga kemiskinan,
kelaparan dan orang telanjang merupakan hal yang biasa. Sedangkan masyarakat umum
perekonomiannya miskin dan menderita. mereka menggunakan sistem pinjam-meminjam yang di
dasarkan sistem renten/riba (Wildana Wargadinata dan Laily Ftriani, 2008: 42). Keadaan ini juga
berlaku pada masyarakat Yahudi yang memperlakukan pihak yang berhutang secara kejam. 

E.  Kondisi Politik
Najed adalah satu dataran tandus yang berfungsi sebagai penghambat,  memiliki tiga kota di
antaranya Taif,  Makkah dan Madinah (kota yang bertetangga). Najed tidak pernah dijajah oleh
negara lain kecuali sebagian kecil wilayah bagian utara yang dikuasai dan diperebutkan oleh
Imperium Persia dan Romawi. Karenanya masyarakat Arab terpecah belah sehingga mereka
membuat masing-masing suku dan kabilah.
Penyebab masyarakat Arabia terpecah belah adalah permusuhan antar suku.  Peperangan dan
penyerbuan antar suku bagaikan kesibukan setiap hari. Mereka sangat menekankan hubungan
kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah
atau suku. Orang Arab tidak mengenal sistem pemerintahan  pusat,  karenanya  jika terjadi
permusuhan antara suku-suku tersebut tidak ada pihak yang menjadi penengah sehingga dapat
menjadikan peperangan, ini berlangsung selama bertahun-tahun (Wildana Wargadinata dan Laily
Ftriani, 2008 : 41).
Peperangan antar suku atau kabilah sering terjadi sehingga sikap ini tampaknya telah menjadi
tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang
menyebabkan harkat martabat menjadi rendah. Dunia Arab ketika itu merupakan keadaan
peperangan yang terjadi bertahun-tahun. Pada sisi lain, masyarakat Arab tunduk kepada Syekh atau
Amir (ketua kabilah) itu dalam hal peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu,
selain itu amir tidak berhak mengatur kabilah-kabilah (Yatim Badri, 2001: 11).

F.  Kondisi Keagamaan
Secara tabiat, orang Arab pada masa jahiliyah juga mencari kekuatan di luar diri mereka yang
mereka anggap lebih hebat, lebih kuat, lebih segala-galanya yang dapat menjadi tempat mereka
mengadu, berlindung, dan meminta pertolongan pada saat mereka mengalami kesulitan, ketakutan,
dan tertekan. Mereka mencari sosok yang dapat mereka sembah. Untuk merealisasikan hal tersebut
mereka menggunakan berbagai macam perantara, sebagaimana yang dituturkan Dr. Jawwad Aliy
dalam bukunya Al-Mufassol fi al-Tarikh al-Arab Qobla al-Islam (1993: 6: 5):
‫ وفك روا يف وج ود ق وي علي ا له ا علهيم حمك‬,‫وللعرب قبل الاسالم مث ل س ائر الش عوب األخ رى تعب دوا الاله ة‬
,‫ ووضعوا لها أسامء وص فات‬,‫ حفاولوا كام حاول غريمه التقرب مهنا واسرتضاءها مبختلف الوسائل والطرق‬,‫وسلطان‬
.‫ يه ما نسمهيا يف لغاتنا ادلين‬,‫ سلكوا يف ذكل مجةل مساكل‬,‫وخاطبوها بألسنهتم وبقلوهبم‬
Kebanyakan orang bangsa  Arab masih meyakini dan melaksanakan ajaran yang disampaikan
Nabi Ibrahim as yang kemudian diteruskan Nabi Isma`il. Sepeninggal Nabi Isma`il ajaran ini mulai
memudar dengan banyaknya ajaran-ajaran yang terlupakan dari praktik keagamaan dan rutinitas
kehidupan mereka. Hanya saja ajaran inti yang disampaikan Nabi Ibrahim masih terjaga sampai
munculnya Amr bin Luhayy seorang pemimpin Bani Khuza’ah yang memiliki akhlaq agung seperti
baik hati, dermawan, serta perhatiannya terhadap masalah keagamaan yang begitu tinggi dan
mungkin itulah yang menjadikan dirinya sangat dihormati dan dipercaya oleh orang Arab pada saat
itu.
Adapun yang menjadi awal mula munculnya berhala yang dijadikannya sebagai sesembahan
adalah kepergian Amr bin Luhayy yang menurut Syaikh Shafiyyurrahman menuju Syam, sedang
menurut Hitti pada bukunya History of the Arabs, yang dikutip dari Ibnu Hisyam, menuju Moab atau
Mesopotamia. Di sana dia melihat penduduk melakukan pemujaan terhadap berhala. Dari apa yang
dilihatnya tersebut dia memberika respon positif sehingga pada saat dia pulang dia membawa satu
berhala yaitu Hubal yang diletakan di dalam Ka’bah.
            Menurut mereka, Hubal adalah dewa yang paling tinggi di antara dewa-dewa yang lain.
Hubal digambarkan dalam bentuk manusiayang memiliki tangan emas yang melambangkan sifat
yang dimilikinya yaitu penguasa, pengasih dan penyayang. Selain Hubal ada tiga lagi dewi yang
diagungkan oleh bangsa Arab yaitu Lata, Uzza dan Manat, ketiganya dianggap sebagai putri Allah.
Orang Arab selain memuja dewa-dewi tersebut juga masih menyembah dewa-dewa kecil lain yang
seperti Dzu al-Kholashoh yaitu dewa-dewa yang mengambil nama tempat pemujaan, Dzu al-Kaffayn
dan Dzu al-Rijl dan Yaghuts, Wuud, Yauq, Suwa’ yang penamaannya sesuai dengan sifat ketuhanan
seperti mencintai, menjaga, menolong, dan menghakimi.
Tuhan  yang diakui oleh seluruh Jazirah Arab adalah Allah. Allah adalah Tuhan yang sifat-
sifatnya sama dengan Allah Tuhan umat muslim saat ini, hanya saja semua sifat dan fungsi-Nya
diserahkan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan kecil. Semua ini ditemukan pada prasasti di kawasan
Arab Selatan dan Utara, sebagai mana yang ditulis Ismail R al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi
dalam Atlas Budaya Islam (1998: 101), prasasti Arabia Selatan (Ma’in, Saba’, Qathaban), maupun
Arabia Utara (Lihyan, Tsamud, dan Shafa). Semua ini membuktikan bahwa Tuhan  Agung yang
disebut Al-Ilah atau Allah sudah disembah sejak zaman dahulu oleh masyarakat Arab.
Paada saat dibebaskannya kota Makkah dalam peristiwa Fath al-Makkah oleh Rasulullah
Saw, semua berhala-berhala yang ada dihancurkan termasuk Hubal, Lata, Uzza, Manat dan 360
berhala lainnya yang berada di sekitar Ka’bah sebagaimana yang disebutkan Syaikh
Shafiyyurrahman Mubarrakfuri dalam kitab sirah Al-Rahiiq al-Makhtuum yang dikutib dari kitab
Mukhtashar Siratur Rasul (2013: 31 trjmh). Tatkala Rasulullah menaklukan Makkah, di sekitar
Ka’bah  terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Beliau memecahkan berhala-berhala itu hingga
berjatuhan semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan
dibakar.
Dalam penyembahan berhala mereka mempunyai beberapa tradisi yang sebenarnya adalah
rekaan yang dibuat oleh Amr bin Luhayy, seperti berdiam dihadapan berhala, minta perlindungan
pada berhala tersebut, haji dan thawaf tapi yang disebut-sebut pada saat thawaf adalah nama-nama
berhala tersebut, melakukan taqarrub dengan memberi persembahan penyembelihan berhala dengan
menyebut nama berhala yang diberi persembahan, memberi makanan atau hasil panen khusus pada
berhala, bernadzar pada berhala. Selain itu mereka juga melakukan ritual al-Sa’ibah, al-Bahirah, al-
Washilah, dan al-Hami.
Pada dasarnya selain Amr bin Luhayy ada empat hal yang sangat mempengaruhi
penyembahan bangsa-bangsa Arab terhadap berhala-berhala, seperti yang di kemukakan Ismail R al-
Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya Islam (1998:100-101). Pertama, keinginan
manusia terhadap dewa yang selalu berada didekatnya bila dibutuhkan. Kedua, kecenderungan untuk
mengagungkan orang baik yang sudah meninggal, baik itu leluhur, kepala suku atau dermawan,
sampai tingkat kemanusiaannya menjadi ketuhanan. Ketiga, rasa takut yang terus-menerus yang
dialami manusia ketika menyadari ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi peristiwa dahsyat
yang tak dapat dijelaskan atau peristiwa alam tragis. Keempat, hampir tidak adanya keyakinan
transedentalis. Itulah mungkin yang akhirnya menjadikan bangsa Arab melenceng dan meninggalkan
agama Nabi Ibrahim as.
Selain menyembah berhala, ada juga masyarakat Arab yang masih memegang teguh agama
Nabi Ibrahim (agama tauhid), memluk agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Shabi’ah. Terutama
agama Yahudi, setidaknya ada dua periode yang dapat dijadikan tolak ukur keberadaan agama
Yahudi di Jazirah Arab:
Periode pertama, sebagaimana yang dituangkan Syaikh Shafiyyurrahman Mubarakfuri yang
dikutip dari kitab Qalbu Jazirah al-Arab dalam kitab  Al-Rahiiq al-Makhtuum (2013: 39),
penaklukan Babilonia dan Syiria di Palestina; hal ini menyebabkan orang Yahudi sebagian menjadi
tawanan dan sebagian lagi hijrah menuju Hijaz dan bermukim di kawasan utaranya.
Periode kedua, dimulai sejak pendudkan Romawi atas Palestina pada tahun 70 M;
perpindahan ini terjadi akibat tekanan yang dialami orang Yahudi saat itu sehingga memaksa mereka
untuk pindah ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’. Untuk masuknya agama Yahudi
ke Yaman itu melalui penjual jerami As’ad bin Abi Karb yang kelak ketika anaknya Yusuf menjadi
penguasa Yaman akan mengadakan pembantaian besar-besaran terhadap orang Nasrani yang
jumlahnya mencapai 20 sampai 40 ribu jiwa. Menurut Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarrakfuri
yang beliau kutip dari kitab Al-Yaman Abrat Tarikh dalam kitab Al-Rahiiq al-Makhtuum (2013: 40),
peristiwa itu terjad pada tahun 523 M.
Sedangkan agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui pendudukan orang-orang
Habasyah dan Romawi. Kristenisasi mulai dilakukan orang Habasyah mulai pendudukannya atas
Yaman pada tahun 340 M. Pada saat itu ada seorang yang zuhud dengan tulus mengajarkan Kristen
sehingga membuat peduduk Najran tertarik untuk memeluk agama Nasrani. Masuk untuk kedua
kalinya, sebagai balasan atas pembantaian yang dilakukan Dzu Nuwas terhadap orang Nasrani pada
tahun 525 M, saat itu Yaman berada di bawah kepemimpinan Abrahah. Di tangan Abrahah Nasrani
melebarkan sayapnya seluas-luasnya sampai dia membuat bangunan tandingan untuk Ka’bah dengan
tujuan agar ibadah yang dilakukan orang Arab berpindah ke Yaman. Usahanya ini gagal, sehingga
dia hendak menghancurkan Ka’bah, akan tetapi gagal lagi dan justru dia harus meregang nyawa
karena diserang oleh burung Ababil.
Agama Majusi banyak dianut oleh kalangan Arab yang berada di dekat Persia, seperti
Irak,  Bahrain, Hajar dan Teluk Arab yang bertetangga dengannya. Sedangkan agama
Shabi’ah  dianut oleh suku Kaldaniyin (Chaldaneans) di daerah Irak. Ini berdasarkan penggalian
yang dilakukan oleh para arkeolog di sana. Sebenarnya agama ini awalnya adalah  agama yang
dianut kaum Ibrahim, selain di Irak agama ini adalah agama asal masyrakat Yaman dan Syam pada
zaman purbakala sebelum datangnya agma-agama baru.
Al-Qur`an menggambarkan kondisi masyarakat Arab sebelum Islam dengan istilah dhalalun
mubin  (‫)ضالل مبني‬, kesesatan yang nyata. Allah SWT berfirman:

َ ‫ ُمهُ ُم ْال ِك‬l ‫ ِهي ْم َويُ َع ِِّل‬l‫ َِّني َر ُس واًل ِمهْن ُ ْم ي َ ْتلُ و عَلَهْي ِ ْم َآاَي ِت ِه َويُ َز ِِّك‬l‫ِمِي‬lِّ ‫ُه َو اذَّل ِ ي ب َ َع َث يِف اُأْل‬
‫تَاب َوالْ ِحمْك َ َة َو ْن اَك ن ُوا ِم ْن‬
‫ِإ‬ ٍ‫قَ ْب ُل ل َ ِفي ضَ اَل لٍ ُمبِني‬
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Buya HAMKA menjelaskan dalam Tafsir Al-Azhar, kesesatan yang nyata (‫ )ضالل مبني‬yang
dialami bangsa Arab pada saat diutusnya Rasulullah Saw antara lain:
1. Menguburkan anak perempuan hidup-hidup.
2. Orang kaya memeras orang miskin dengan riba.
3. Menyembah berhala.
4. Perang antar kabilah.
    
 G. Karakter  Masyarakat Arab Menjelang Kedatangan Islam.
            Karakter seseorang bisa dipengaruhi oleh kondisi alam. Hal semacam ini dialami di Jazirah
Arab, baik dari bentuk fisik maupun psikis. Di tengah masyarakat jahiliyah memang terdapat hal-hal
negatif, hina, amoral, dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima oleh akal, tetapi mereka juga
memiliki karakter yang positif. Nourouzzaman Shiddiqi menjelaskan karakter-karakter bangsa Arab
sebagai berikut:

1. Karakter Negatif
Di antara arakter negatif  bangsa Arab adalah:
a.  Sulit Bersatu
Setiap manusia membutuhkan sumber-sumber yang dapat melangsungkan hidup. Jika sumber
tersebut sangat terbatas maka manusia cenderung untuk membentuk kelompok kecil. Sehingga pada
masa jahiliyah mereka membentuk kelompok-kelompok kecil tidak semuanya bersatu. Karena orang
yang tidak memiliki hubungan darah dianggap musuh. Sehingga persatuan masyarakat  yang hanya
didasarkan pada tali hubungan darah inilah yang menyebabkan timbulnya sikap chauvenis yang
sempit, yang tidak mau tunduk kepada pemimpin yang berada di luar sukunya, oleh karena itu sulit
diwujudkan persatuan yang menyeluruh (Wildana Wargadinata dan Laily Ftriani, 2008 : 52-53).

b.  Gemar Berperang
Berjalannya waktu, maka anggota mulai bertambah sehingga kebutuhan mulai berebutan
karena terbatasnya sumber kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus berperang.
Menurut pandangan orang Arab perang itu adalah halal, sehingga menjadi gaya hidup dan seolah-
olah menjadi tradisi bangsa jahiliyah.

c.  Kejam
Mereka dianggap kejam, karena kelakuan sosial mereka seperti mengubur anak perempuan
hidup-hidup dan mereka suka berperang. Sebab-sebab mereka melakukan seperti itu karena untuk
menunjang berlangsungnya hidup mereka, serta cara hidup mereka yang berpindah-pindah.
d.  Balas Dendam
Dalam tatanan masyarakat Arab saat itu, pengikat tali persaudaraan sangatlah erat sehingga
darah miliki  nilai yang sangat tinggi. Sehingga menjadi kewajiban dan penghormatan bagi seluruh
anggota suku untuk menuntut pertumpahan darah tersebut. Penuntutan balas ini bisa berlangsung
berpuluh-puluh tahun misalnya perang basus.

e.  Angkuh dan Sombong


Sebenarnya sifat balas dendam itu lahir dari sifat sombong. Dari sifat tersebut terjadilah
permusuhan dan mengakibatkan perkelahian. Mereka merasa benar sendiri, terbaik, terhormat dari
pada yang lainnya.

f.  Pemabuk dan Penjudi


Minuman bagi orang Arab adalah barang yang mewah. Ini sebagai tanda bahwasanya orang
Arab yang mabuk-mabukkan berarti orang yang miliki harta yang lebih dan tujuannya mereka adalah
untuk memamerkan. Selain itu, bagi orang Arab hal tersebut sebagai pelarian atau untuk
menghilangkan masalah yang menimpa mereka.

2.  Karakter Positif
 Selain karakter negatif, masyarakat Arab jahiliyah juga memiliki karakter atau sifat positif
yang potensial. Di samping mereka mengenal kode etik yang mereka pegang teguh, yang mereka
yakini merupakan kunci keberhasilan mereka dan sekaligus pula merupakan ciri-ciri dari manusia
yang berbudaya tinggi, mereka juga memiliki watak dan tradisi positif, seperti yang dikemukakan
Tohir   ( 1981: 110-116) antara lain sebagai berikut:

a.  Kedermawanan
Pada masa itu, sifat kederemawanan mendapat  tempat tertinggi untuk mengkualifikasikan
seseorang pada posisi mulia, mengingat sulitnya mencri nafkah di gurun yang  sangat gersang itu.
Makin dermawannya seseorang, maka dia makin dikagumi. Namun kedermawanan yang
diperlihatkan oleh mereka itu bukan didasari dengan kebaikan hati, tetapi hanya sikap kesatria saja
yang cenderung pada keinginan untuk dimuliakan dan dikagumi. Islam kemudian yang merubah
pandangan dan sikap mereka terhadap kedermawanan ini, dari motifasi bermegah megah dan pujian
kepada mencari keridlaan Allah SWT.

b.  Keberanain dan kepahlawanan


Syarat mutlak yang diperlukan untuk dapat mempertahankan hidup di gurun yang kejam dan
ganas itu adalah keberanian. Oleh karna itu tidaklah mengherankan jika keberanian mendapat nilai
yang paling tinggi dan menjadi unsur yang paling esensi dari muru’ah.

c.   Kesabaran
Sabar merupakan nilai moral yang tinggi di kalangan bangsa Arab Badui, dan merupakan inti
pokok dari keberanian atau sekurang-kurangnya merupakan bagian darinya. Dalam kehidupan di
gurun pasir syarat hidup begitu keras, maka setiap orang dituntut memiliki kesabaran dan tahan
menderita yang besar untuk dapat mempertahankan hidupnya dan kelangsungan hidup sukunya.

d.   Kesetiaan dan kejujuran


Pada masa jahiliyah, kesetiaan hanya diperuntukkan bagi saudara yang didasari atas ikatan
keluarga (hubungan darah). Dalam lingkup yang sempit, suku, inilah kesetiaan itu
diimplementasikan secara mutlak. Seorang Arab Badui bersedia berkorban untuk kepentingan
saudaranya sesuku. Kesetiaan orang Arab Badui dalam memegang janji dapat dilihat dari cerita yang
melahirkan pepatah Arab “Awfa min al-Sama`uel”. Kisahnya, al-Samauel rela melihat anaknya
dibunuh di depan matanya oleh panglima perang Hirah Harits ibn Dhalim, demi memegang janjinya
pada Imru’ul Qais yang sedang dikejar-kejar musuhnya dalam pelariannya, dan sambil meminta
bantuan dari Byzantium, Imru’ul Qais pernah singgah di tempat al-Samauel di al-Ablaq.

e.   Ketulusan dan berkata benar


 Sifat ini merupakan salah satu sifat dari orang Arab jahiliyah. Ketulusan ini merupakan nilai
moral yang tinggi bagi manusia. Etika moral manusiawi ini kemudian oleh Islam diperjelas dengan
menempatkan berkata benar dengan sesuatu yang haq. (Wildana, Laily, 2008: 59-67) .

H. Kota-Kota Utama Hijaz : Thaif, Makkah, dan Madinah


Hijaz merupakan sebutan lama untuk daerah Arab Tengah. Secara geografis, Hijaz hanyalah
sebuah dataran rendah tandus yang menjadi pemisah antara dataran tinggi Nejed dan daerah Pesisir.
Hijaz mencakup tiga kota yaitu Thaif, Makkah dan Madinah.
Kota Thaif terletak di sekitar wilayah yang ditumbuhi pepohonan lebat dengan ketinggian
sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut dan digambarkan sebagai sepotong tanah Suriah,
merupakan penginapan musim panas bagi kalangan Aristocrat Makkah sejak dahulu hingga saat ini
(Philip K. Hitti). Thaif merupakan daerah subur  yang mampu menghasilkan bermacam-macam
komoditas seperti semangka, pisang, ara, anggur, kenari, persik, delima, dan lain-lain. Karena
keindahannya, bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Hijaz, Thaif digambarkan sebagai titisan
surga di padang pasir.
Makkah terletak di sebelah selatan Hijaz, sekitar 45 mil dari laut merah, di sebelah lembah
yang gersang dan berbukit. Berbeda dengan kota Thaif yang suhunya relatif lebih sejuk, kota
Makkah bersuhu panas yang luar biasa. Kota  ini terkenal dengan sebutan kota suci, hal ini
dikarenakan di kota Makkah terdapat Ka’bah, bangunan yang disucikan oleh umat Islam. Pada masa
Jahiliah, Ka’bah merupakan bangunan suci bagi kaum penganut kepercayaan asli Makkah dan umat-
umat Yahudi  yang mukim di sekitarnya. Karena itulah banyak orang Makkah sendiri maupun orang
dari luar Makkah yang secara rutin berziarah ke Kak’bah setiap tahunnya.Untuk mengamankan para
peziarah yang berkunjung ke Makkah dari incaran perampok, didirikanlah pemerintahan yang
awalnya dipimpin oleh dua suku terkemuka saat itu, yaitu Jurhum dan Ismail (keturunan Nabi
Ibrahim) sebagai pemegang kekuasaan politik. Kekuasaan politik selanjutnya berpindah ke suku
Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Setelah runtuhnya kerajaan
Himyar, Makkah menjadi pusat perdagangan wilayah Arab yang ramai dikunjungi pedagang.
Kota Yatsrib (sekarang Madinah), secara geografis,  terletak 150 km sebelah utara kota
Makkah. Yatsrib memiliki suhu dan kesuburan tanah yang jauh lebih baik dari pada kota
tetangganya.  Kota ini merupakan jalur perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Yaman
dengan Suriah. Inilah kota  oasis yang sangat subur dan sangat cocok untuk ditanami kurma.
Sebelum kedatangan Islam, kawasan ini dihuni oleh orang Arab keturunan Aramaik yang
telah menganut agama Yahudi yaitu bani Nadzir dan bani Quroidzoh serta dua suku utama non
Yahudi yaitu Aws dan Khazraj.  Bangsa Aramaik di Yatsrib sendiri merupakan orang-orang Israel
yang berasal dari Palestina yang melarikan diri saat ditaklukkan oleh Romawi pada abad awal
Masehi. Dengan keahliannya bercocok tanam dan membuat peralatan dari besi, orang Yahudi
berhasil menjadikan Madinah sebagai kota pertanian yang maju di zamannya.

I.   Pengaruh Kebudayaan Saba, Abissinia, Persia, dan Gassan


Meskipun tidak berada dalam arus utama perputaran dunia,  Hijaz pra-Islam termasuk tempat
yang penting. Keistimewaan dan kedudukannya  yang penting dalam percaturan global mulai
mencuat sejak tahun kedelapan Hijriah ketika Islam merebut kota itu dan ketika ayat ke-28 surat ke-9
diturunkan. Pada abad pertama setelah Muhammad wafat, muncul sejumlah dokter, musisi, serta
pedagang Kristen dan Yahudi di kota kelahirannya.
Peradapan Arab Selatan terdahulu tidak sepenuhnya punah tanpa bekas untuk para
penerusnya yang menghuni kawasan Arab Utara. Tulisan Abrahah tahun 532-543 M. tentang
hancurnya bendungan Ma’rib dimulai dengan kata-kata berikut: “Dengan kekuatan, kemuliaan dan
kasih sayang Yang Maha Pemurah (Rahmaan) dan Penyelamat serta Roh Kudus”. Kata Rahman
sangat penting karena memiliki padanannya pada bahasa Arab Utara, al-Rahman, yang kemudian
menjadi sifat utama Allah dan salah satu nama surah dalam al-Qur’an, juga dalam kepustakaan
teologi Islam. Bahkan, salah satu surah al-Qur’an, yaitu surah ke-19 didominasi oleh kata al-
Rahman. Meskipun digunakan dalam berbagai tulisan untuk merujuk pada Tuhannya Kristen, kata
itu jelas-jelas dipinjam dari nama salah satu dewa tertua di Arab Selatan. Al-Rahim (Maha
Penyayang) juga muncul sebagai nama Dewa Rahman dalam tulisan-tulisan pra-Islam dan tulisan
orang-orang Saba. Tulisan Arab Selatan lainnya menggunakan kata syirk, yang diasosiasikan dengan
politiesme, yakni jenis syirik yang sangat ditentang keras dalam dakwah Nabi Muhammad Saw.
Monotiesme Muhammad Saw memerintah dan menekan ummatnya untuk menyembah satu-satunya
wujud yang tertinggi, dan menafikan seluruh wujud sembahan lain selain Dia, meskipun pada dewa-
dewa kecil. Pada tulisan-tulisan yang sama juga dijumpai istilah teknis yang berarti tidak beriman,
Kafir, seperti yang digunakan dalam bahasa Arab Utara.
Kebudayaan lain yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Hijaz
adalah  kebudayaan Abissinia. Populasi rumpun Semit yang menghuni pesisir barat daya Laut Merah
masuk kesana secara bertahap dari arah barat daya Arab. Orang-orang Abissinia membentuk suatu
bagian penting dalam aktifitas perdagangan internasional,  yang ketika itu dimonopoli oleh orang-
orang Saba-Himyar, khususnya dalam komoditas rempah-rempah, yang jalur utamanya melintasi
Hijaz.
Selama sekitar 50 tahun sebelum kelahiran Nabi, orang-orang Abissinia telah membangun
kekuasaannya di Yaman, dan pada tahun kelahiran Nabi, mereka telah berada di gerbang kota
Makkah dan mengancam hendak menghancurkan bangunan suci Ka’bah. Makkah sendiri merupakan
sebuah koloni orang Abissinia Kristen. Bilal, pemilik suara yang bagus dan keras, yang karenanya ia
diangkat menjadi muazin Nabi, adalah orang kulit hitam dari Abissinia. Beberapa ayat al-
Qur’an  tentang lautan dan gelombang dan anginnya yang besar (QS. 16: 14; 10: 22-23; 24: 40),
dengan ciri khasairnya yang jernih, merupakan cerminan dari hubungan transportasi laut yang aktif
pada masa itu antara Hijaz dan Abissinia. Ketika masyarakat Islam yang baru lahir mendapat tekanan
keras dari orang-orang Quraisy, Abissinia menjadi tempat perlindungan mereka.
Kebudayaan Persia turut mewarnai keadaan penduduk Hijaz dan perkembangannya pada
masa-masa berikutnya. Budaya ini mulai memasuki tanah Arab pada abad menjelang kemunculan
agama Islam. Persia, yang menganut agama Zoroaster, bersaing dengan Abissinia untuk memperoleh
supremasi di Yaman. Pengetahuan seni militer Persia diwariskan kepada orang-orang Arab dari
sebelah selatan dan utara melalui orang Arab Persia, yang beribukota di Hirah. Sebelum riwayat
menyebutkan bahwa Salman dari Persia itulah yang menyarankan kepada Nabi untuk menggali parit
sebagai strategi pertahanan kotaMadinah.
Pada masa pra-Islam, Hirah sebagai negeri satelit Persia merupakan jalur utama penyebaran
pengaruh budaya Persia dan Nestor Aramaik ke dunia Arab. Yang nantinya orang-orang Nestor
menjadi penghubung utama antara budayaYunani dan Islam, saat itu mereka menjadi media utama
penyebaran gagasan-gagasan budaya Utara, yaitu Aramaik, Persia, Hellenik, ke tengah-tengah pagan
Arab.
Sementara itu, orang-orang Kristen Nestor dari Hirah telah memengaruhi orang-orang Arab
di perbatasan Persia, para penganut gereja Monofisik dari Gassan mulai menyebarkan pengaruh
mereka pada orang-orang Hijaz. Selama empat abad sebelum Islam, keturunan Arab yang telah
menjadi orang Suriah ini memungkinkan terjadi persentuhan antara dunia Arab, tidak hanya dengan
Suriah, tetapi juga dengan Bizantium. Karena itu, nama-nama seperti Daud, Sulaiman, dan Isa telah
dikenal baik oleh orang-orang Arab pra-Islam.
Namun, pengaruh yang berhembus dari utara ini tidak perlu dibesar-besarkan, karena gereja
monofisi kata untuk gereja Nestor tidak cukup kuat untuk menyebarkan gagasan keagamaan mereka.
Berbagai sumber yang dihimpun oleh Pere Cheikho telah cukup memadai untuk membuktikan
bahwa agama Kristen telah berakar kuat di berbagai dataran Arab Utara. Meski demikian, sumber-
sumber itu mampu mengunggapkan bahwa para penyair pra-Islam telah akrab dengan berbagai
gagasan dan istilah-istilah Kristen. Sejumlah besar kosakata Aramaik diadopsi menjadi kosakata
Arab Kuno.
Monotiesme yang memengaruhi Arabiah tidak sepenuhnya berasal dari agama Kristen.
Sebelum Kristen menyentuh wilayah ini, berbagai koloni Yahudi telah berkembang di Madinah dan
daerah-daerah oasis di sebelah utara Hijaz. Al-Jumahi (± 845) menulis satu bagian dalam biografinya
yang secara khusus membahas kehidupan para penyair Yahudi-Madinah dan lingkungannya. Bahkan
buku al-Aghani pun menyebutkan sejumlah penyair Yahudi di Arab. Tapi, satu-satunya penyair
Yahudi yang mewariskan diwan adalah al-Samaw’al (Samuel), dari al-Ablak dekat Tema, yang
hidup semasa dengan Imru al-Qois. Namun, puisi-puisinya tidak ada bedanya dengan puisi pagan
belakangan, sehingga ke-Yahudian al-Samaw’al patut dicurigai. Di Yaman, agama Yahudi telah
menjadi agama Negara di bawah pemerintahan Dzu Nuas.
Ringkasnya dapat dikatakan, bahwa Hijaz pada abad kelahiran Muhammad Saw dikelilingi
oleh berbagai perngaruh yang berbeda, baik dari sisi intelektual, keagamaan, maupun material, baik
yang datang dari Bizantium, Suriah (Aramaik), Persia, dan Abissinia, maupun yang datang melalui
kerajaan Gassan, Lakhmi dan Yaman. Meski demikian, bisa ditegaskan bahwa Hijaz mengalami
kontak budaya penting dengan peradaban-peradaban yang lebih tinggi  di utara, sehingga mengubah
aspek budaya aslinya. Di satu sisi, meskipun agama Kristen berhasil memantapkan kedudukannya di
Najran, dan agama Yahudi di Yaman dan Hijaz, keduanya tidak begitu memengaruhi hati orang-
orang Arab Utara. Di sisi lain, agama pagan kuno yang berkembang di semananjung Arab
tampaknya telah mencapai anti klimaks ketika ia tidak bisa lagi memenuhi tuntutan spiritual
masyarakat dan terkalahkan oleh kelompok yang mengembangkan ajaran monoteis yang masih
samar, yaitu kelompok yang menyebut dirinya sebagai kelompok hanif. Umaiyah ibn Abi al Shalt
(w. 624), sepupu kedua Nabi Muhammad Saw dari jalur ibunya, dan Waraqah ibn Nawfal, sepupu
Khodijah, termasuk ke dalam kelompok itu. Meskipun berapa sumber menyebutkan bahwa Waraqah
adalah pemeluk agama Kristen. Dari sisi poloitik, kehidupan nasional terorganisir yang berkembang
di Arab Selatan kini benar-benar terganggu. Akibatnya, muncul anarqi dalam bidang politik dan
keagamman. Sebuah panggung telah dibuat dan saat-saat yang kondusif secara psikologis telah siap
untuk menyambut datangnya seorang pemimpin besar agama dan bangsa (Philip K. Hitti: 2002:
131).

Pertanyaan
Setelah dipahami materi di atas, maka jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat dan
padat, lalu setiap mahasiswa harus mengirimkan jawabannya melalui group WA kita ini dengan
mencantumkan Nama, NIM dan Matakuliah.
1. Apa istilah masa yang popular disematkan kepada bangsa Arab sebelum Islam?
2. Siapakah nama orang yang pertama kali membawa berhala (Hubal) ke kota Makkah?
Selamat belajar.

Anda mungkin juga menyukai