Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KARYA SASTRA YANG BERMUTU (ASY’AR MUALLAQAT) DI ZAMAN


PRA ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Studi Teks Arab Klasik dan Modern

Dosen Pengampu : Dr. H. Khoirul Basyar, M.S.I

Disusun oleh : Indah Kharis Septian (50522001)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

2022
KARYA SASTRA YANG BERMUTU (ASY’AR MU’ALLAQAT) DI
ZAMAN PRA ISLAM

A. PENDAHULUAN

Masyarakat Arab, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam


kesukuan Badui. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa
kabilah membentuk suku dan dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat
menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka
suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap
ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang
Arab.

Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak


berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra – Islam sangat langka
didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi
menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150
tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan itu diperoleh melalui
syair-syair yang beredar di kalangan perawi syair. Hampir seluruh penduduk
Badui adalah penyair.

Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan


mendiami pesisir jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas.
Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan
kondisi yang mengitarinya. Sampai kehadiran Nabi Muhammad, kota-kota
mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang jazirah Arab
waktu itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang
menghubungkan antara Syam dan Samudera India. Sebagaimana masyarakat
Badui, penduduk ini juga mahir menggubah syair. Biasanya syair-syair itu
dibacakan di pasar-pasar. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa
dan kiasan. (Badri Yatim: Sejarah Peradaban Islam, 2011)
Masyarakat Arabia sangat terkenal dengan kemahirannya dalam
bidang bahasa dan sastra, terutama syi’ir. Bahasa mereka sangat kaya
sebanding dengan bahasa bangsa Eropa sekarang ini. Keistimewaan bangsa
Arabia di bidang bahasa dan sastra merupakan kontribusi mereka yang cukup
penting terhadap perkembangan dan penyebaran Islam. Dalam hal ini Philip
K. Hitti berkomentar: “Keberhasilan penyebaran Islam diantaranya didukung
oleh kekuasaan bahasa Arab, khususnya bahasa Arab al-Qur’an”. Kemajuan
kebudayaan mereka dalam bidang bahasa dan sastra tidak diwarnai dengan
semangat kebangsaan Arab, melainkan diwarnai oleh semangat kesukuan
Arab.

Pujangga-pujangga syair zaman jahiliyah membanggakan suku,


kemenangan dalam suatu pertempuran, membesarkan nama tokoh-tokoh dan
pahlawan, serta leluhur mereka. Mereka juga memuja wanita dan orang-orang
yang mereka cintai dalam syi’ir-syi’ir mereka. Selain bersyair, tradisi lain
yang dimiliki bangsa Arab adalah berdagang. Untuk keperluan perdagangan
ini bangsa Arab memiliki pasar-pasar dekat Mekkah, seperti: Ukaz, Majanna
dan Dzul Majaz. Di pasar-pasar dagang biasanya juga diiringi dengan pasar
sastra (suq al-Adab), di mana orang-orang Arab berlomba-lomba
menunjukkan kehebatannya dalam membuat syi‘ir. Semua kegiatan
kepenyairan itu dilestarikan dalam bentuk hafalan, jarang yang melakukan
penulisan kecuali bagi syair-syair yang memenangkan perlombaan syair di
pasar Ukaz biasanya ditulis dan digantungkan di dinding ka‘bah dan dikenal
dengan mu‘allaqāt.

Tradisi berdagang sudah mendarah daging bagi orang Arab Quraish,


dan tetap dilestarikan Islam dengan memberi aturan kejujuran dan cara
berdagang yang baik. Sedangkan pasar dagang zaman jahiliyah didampingi
pasar sastra (suq al-Adab), pada masa Nabi mengalami perubahan tema dan
isi yang cukup radikal yang berbeda dengan masa jahiliyah. (Moch. Yunus:
Sastra (Puisi) sebagai Kebudayaan Bangsa Arab, 2015)
B. PEMBAHASAN

1. Perkembangan Puisi Pada Masa Jahiliyah

Batasan waktu zaman jahiliyah adalah 150 tahun sebelum


kedatangan Islam. Selama ini banyak orang memahami bahwa zaman
jahiliyah meliputi seluruh waktu dan masa sebelum Islam atau yang
disebut masa pra Islam. Tetapi bagi pengkaji sastra Arab, masa jahiliyah
dapat dilacak sampai 150 tahun sebelum kenabian.

2. Faktor-faktor yang Mendorong Perkembangan Sastra Pra Islam

Kondisi geografis dan etnis menjadi faktor yang cukup dominan bagi
perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra Arab yaitu pada masa
jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim dalam bukunya al-Mufid, ada banyak
faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra Arab, yaitu: iklim dan
tabiat alam, ciri khas etnik, peperangan faktor kemakmuran dan kemajuan,
agama, ilmu pengetahuan, politik, dan interaksi dengan beragai bangsa dan
budaya.

Ada dua faktor lain yang cukup dominan dalam mempengaruhi


perkembangan sastra zaman jahily, yaitu:

a. Pasar Sastra (al-Aswaq)

Menurut Khalil Abdul Karim, ada dua macam pasar jazirah Arab,
yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar
luar dan pasar dalam.

Ukaz adalah contoh pasar dalam yang paling terkenal. Pasar ini
dimulai sejak tanggal 1-20 Dzul Qa’dah. Kemudian pasar majannah,
yang dimulai sejak tanggal 20-30 Dzul Qa’dah, sedangkan pasar Dzul
Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa’dah sampai tanggal 8, saat hari
tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar
Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan
Muharram.

Secara praksis pasar-pasar tersebut menjadi peran sastra dan


budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas
bawah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan puisi
mu’allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas
dua, dan mendengarkan puisi para penyair tekenal yang lain. Pasar-
pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam
mempercepat proses ilmiah untuk menatap keadaan social, ekonomi
dan budaya demi mencapai persaatuan.

b. Ayyam al-‘Arab

Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang


kelahiran Islam adalah yang dikenal dengan sebutan “hari-hari Arab”
(ayyam al-Arab). Ayyam al-Arab merujuk pada permusuhan antar suku
yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak,
padang rumput, dan mata air. Persengketaan itu menyebabkan
seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan
sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang
bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman
diantara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang
bersengketa.

Ayyam al-Arab menjadi media yang cukup efektif bagi


pengembangan tema-tema puisi Arab. Peran penyair dalam peperangan
sangat besar, sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara
psikologis dengan puisi-puisi hija’nya yang pedas. (Wildana
Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, 2008)
A. Asy’ar Al-Mu’allaqat

Tema-tema puisi yang ditulis berhubungan erat dengan model metrum


yang dipakai, yang pada umumnya sangat rumit. Seperti halnya konsep
formula dalam tradisi puisi Yugoslavia, dalam puisi Arab dikenal juga
formula, yaitu kumpulan kata yang sering digunakan pada kondisi metrum
yang sama untuk menyatakan sebuah gagasan esensial. Formula dalam puisi
Arab dapat dilihat pada pengunaan satu metrum dan satu rima. Hal ini
menjadi bukti yang jelas betapa penting pola bunyi dalam puisi Arab yang
panjang itu sering kali menjadi tampak pendek bila dibandingkan dengan
puisi-puisi Eropa. Satu baris dalam puisi Arab biasanya dibagi menjadi dua,
dengan pembagian metrum yang sama, dan secara umum dengan pola rima di
permulaan puisi, khususnya dalam kasidah. Kasidah (puisi panjang) tidak
seperti potongan qith’a yang sangat panjang dengan struktur yang terbagi-
bagi. Pada zaman pra-Islam, puisi, yang disebut mu’allaqat, sebagian besar
ditulis dalam model kasidah.

Oleh karena itu, puisi-puisi mu’allaqat itu sering disebut sebagai


kasidah emas yang dalam pembukaannya sering diawali dengan kata nasib,
yang maknanya berhubungan dengan rasa cinta dan kasih sayang atau
menaruh iba pada diri sendiri dan kekasihnya. Untuk melupakan bayangan
wajah kekasihnya itu, penyair melakukan perjalanan panjang melintas dan
menembus gurun dengan ontanya. Penyair mengakhiri puisinya dengan kata-
kata pujian yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri atau kabilahnya,
bersamaan dengan itu, ia menyindir atau memperolok musuh-musuhnya atau
musuh kabilahnya. (Fadlil Munawwar Manshur, Perkembangan Sastra Arab
dan Teori Sastra Islam, 2011)

Hampir seluruh syair dan khutbah yang ada pada masa jahiliyah
diriwayatkan dari mulut ke mulut kecuali yang termasuk ke dalam Al-
Mu’allaqât, hal ini disebabkan karena masyarakat Arab jahiliyah tidak
terbiasa dengan budaya tulis menulis. Pada umumnya syair-syair jahiliyah
dimulai dengan mengenang puing-puing masa lalu yang telah hancur,
berbicara tentang hewan-hewan yang mereka miliki dan menggambarkan
keadaan alam tempat mereka tinggal. Beberapa kosa kata yang terdapat dalam
karya-karya sastra jahiliyah sulit dipahami karena sudah jarang dipakai dalam
bahasa Arab saat ini.

Masyarakat Jahiliah sering mengadakan festival sastra secara periodik.


Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat
apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar ‘Ukaz para
penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri
yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-
karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta
emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding
Ka’bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqât (puisi-puisi yang
digantungkan pada dinding Ka’bah). Sastra puisi Arab yang paling terkenal
pada zaman Jahiliah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqât. Dinamakan al-
Mu’allaqât, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka’bah.
Pada zaman Jahiliah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka’bah bukanlah
hal yang aneh, karena setiap kali ada urusan yang penting, pasti akan
digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah
terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat
untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin
dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan
tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka’bah.
Puisi al-Mu’allaqât berbentuk qasidah (ode) panjang, dan memiliki tema
bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup
orang-orang Arab Jahiliah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqât, puisi-puisi
yang digantungkan pada dinding ka’bah tersebut juga memiliki sebutan lain,
antara lain:
1. As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliah, rangkaian
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah berbentuk seperti kalung
yang tergantung pada dada wanita.

2. Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi


yang tergantung pada dinding Ka’bah ditulis dengan menggunakan tinta
yang terbuat dari emas.

3. Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Kasidah-kasidah yang terkenal), karena puisi-


puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut adalah puisi-puisi
terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.

4. As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-


puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut terdiri dari tujuh buah
puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang
berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut
ada tujuh buah.

5. Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah kasidah), karena puisi-puisi yang


tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama
ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang
tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.

6. Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah kasidah), karena puisi-puisi yang


tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama
ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang
tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi. (Haeruddin,
Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra-Islam, 2016)

Menurut Hammad al-Rawiyah, para pujangga Al-Mu’allaqat berjumlah


tujuh orang, yaitu Imru’ul Qais, Zuhair, Tharfah, Antarah, Labid, Amru, ibn
Kulsum, dan Al-Haris ibn Hilza. Menurut pengarang kitab Jamharah ada
tujuh orang juga, namun dia mengganti dua nama penyair Amru dan Antarah
dengan A’sya dan Nabighah. Sampai pada masa Tabrizy, ketika mensyarah
puisi-puisi mu’allaqat, dia mengganbungkan dua versi jumlah penyair
mu’allaqat dan ditambah satu menjadi sepuluh orang yaitu Imru’ul Qais,
Nabighah, Zuhair, A’sya, Tharfah, Antarah, Labid, Amru ibn Kulsum, Al-
Haris ibn Hilza, dan Abidul Abros.

B. Contoh Puisi Asy’ar al-Mu’allaqat:

1. Puisi Imru’ul Qais

‫واع اهلُُم ْوِم لِيَْبتَِلى‬


ِ ْ‫ َعلَ َّي بَِأن‬    *     ُ‫َولَ ِيل َك َم ْو ِج البَ ْح ِر ْأر َخى ُس ُد ْوَله‬
Di kala gulita malam seperti badai lautan tengah meliputiku dengan
berbagai macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku)

‫إعجازاً َوناَءَ ب َك ْل َك ِل‬


ْ ‫ف‬َ ‫ َو ْأر َد‬     *          ‫صْلِب ِه‬
ُ ِ‫ت َلهُ لَ ّماَ مَتَطَّى ب‬
ُ ْ‫َف ُقل‬
Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan
padanya

‫بأمَث ِل‬
ْ ‫ك‬ َ ‫اح ِمْن‬
ُ ‫صَب‬
ْ ‫صْبٍح َومَا ْالِإ‬
ُ ‫ِب‬     *      ‫الطِوْي ُل أَالَانْ َجلِى‬
َّ ‫أال أيُّهاَ اللَّْي ُل‬
Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangiku untuk
berganti dengan pagi harinya? Ya walaupun pagi hari itupun juga belum
tentu akan sebaik kamu

‫َّت ِبيَ ْذبَ ِل‬ َّ ‫ك ِم ْن لَْي ٍل َك‬


ْ ‫ب ُك ِّل َمغَا ِر الَْفْت ِل ُشد‬     *         ُ‫َأن جُنُ ْو َمه‬ َ ‫فَيََال‬ 
Namun ternyata perkiraanku meleset juga, sinar pagipun tidak membawa
kecerahan, ketenangan, dan keamanan, kedukaanku terus bertambah
siang dan malam.”

2. Puisi Zuhair Ibn Abi Sulma

ِ‫سَأم‬
ْ ‫ك َي‬
َ َ‫َثَمانِْيَن َحْوًلا لَا أًَبال‬ * ‫ش‬
ْ ِ‫حَيِاة َومَْن َيع‬
َ ‫ف ْال‬
َ ‫ت َتَكِالْي‬
ُ ‫َسِئْم‬
“Aku jenuh dengan beban-beban hidup dan barangsiapa hidup 
Selama delapan puluh tahun –tidak ada bapak untukmu- pasti jenuh
‫لكن َِّني عَْن ِعْلِم مَا ِفي غٍَد َعِم‬
ِ ‫َو‬ * ‫س َقْبَلُه‬
ِ ْ‫َوَأْعَلُم مَا ِفى الَْيْوِم وَْالَأم‬
Aku mengetahui apa yang terjadi di hari ini dan kemarin 
Akan tetapi aku tidak mengetahui apa yang terjadi esok

‫سَّلِم‬
ُ ‫اء ِب‬
ِ ‫السَم‬ َ ‫وَاِ ْن َيْر َق َأْسَب‬
َّ ‫اب‬ * ُ‫اب الَْمَنَايا يََنْلَنه‬
َ ‫اب َأْسَب‬
َ ‫َوَمْن َه‬
Barangsiapa takut kepada sebab-sebab kematian niscaya ia
mendapatkannya 
Walaupun dia meraih sebab-sebab langit dengan tangga

‫َي ُك ْن َحْمُدُه َذمًّا عََلْيِه وََيْنَدِم‬ * ِ‫ف ِفى غَْيِر َأْهِله‬


َ ‫جَعِل الَْمْعرُْو‬
ْ ‫َوَمْن َي‬
Barangsiapa meletakkan kebaikan tidak pada tempatnya 
Maka pujian untuknya berbalik menjadi celaan dan dia menyesal

‫اس ُتعَْلِم‬
ِ َّ‫خَفى عََلى الن‬
ْ ُ‫َوَلْو َخِالَها ت‬ *  ‫ئ مِْن َخِلْيَقٍة‬
ٍ ِ‫َوَمْهَما تَُكْن ِعْنَد ْامر‬
Apapun tabiat yang dimiliki seseorang 
Walaupun dia mengiranya samar bagi manusia, ia diketahui

‫ِإَذا هَُو َأْبِدى مَا يَُقْوُل ِمَن الَْفِم‬ * ‫اح َقْلِبِه‬


ُ ‫ان الَْمْرِء مِْفَت‬
َ ‫س‬َ ‫ِلَأن'َّ ِل‬
Karena lidah seseorang adalah kunci hatinya 
Jika dia menampakkan apa yang dikatakan dari mulut

ِ‫الدم‬
َّ ‫حِم َو‬
ْ ‫الل‬
َّ ُ‫َفَلْم َيْبَق ِإَّلا صُْوَرة‬ * ‫ف ُفَؤِادِه‬
ٌ ‫ص‬
ْ ‫ف َوِن‬
ٌ ْ‫ان الَْفَتى ِنص‬
ُ ‫س‬َ ‫ِل‬
Lidah seseorang adalah separuh dan separuhnya lagi adalah hatinya 
Selain itu hanyalah bentuk tulang dan daging”

3. Puisi Nabighah Zibyani

ِ‫ج‬
‫ار‬ َ ‫حُّيْوَن ِم ْن نُْؤ ِوي َوَأْح‬
َ ‫اذا ُت‬
َ َ' ‫م‬ * ِ‫الدار‬
َّ ‫حُّيوا ِلُنْعٍم ِدمَْنَة‬
َ َ‫ُعْوُجْوا ف‬
Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan
perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan
bebatuan
‫ب مََوِار‬
ِ ْ‫اح ِبهَاِبى التُّر‬
ِ ‫الرَي‬
ِّ ‫ج‬ُ ‫ُهْو‬ * ‫َأْقَوى وََأْقفََر ِمْن ُنْعٍم وََغَّيرَُه‬
Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan
badai serta hujan yang datang dan perg

ِ َ‫ونا عَْبرَ َأسْف‬


‫ار‬ ً ُ‫آل ُنْعٍم َأم‬
ِ ‫َعْن‬ * ‫ت ِفْيَها سَِرَاة الَْيْومِ َأْسَأُلَها‬
ُ ْ‫َوَقف‬
Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya
tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana

ِ ‫ات َأْخَب‬
‫ار‬ ُ َ‫الدُار َلْو َكَّلمَْتَنا ذ‬
َّ ‫َو‬ *   ‫جَمْتدَُار ُنْعٍم َما تَُكِّلُمَنا‬
َ ْ‫َفاسَْتع‬
Reruntuhan rumah yang indah, demikian asing, membisu tak mau
berbicara pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara
pada kami, pasti ia punya banyak cerita”

C. PENUTUP

Asy’ar al-Mu’allaqat atau karya sastra yang bermutu ialah kasidah panjang
yang indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliyah dalam berbagai
kesempatan dan tema. Sebagian al-Mu’allaqat ini diabadikan dan ditempelkan di
dinding-dinding Ka’bah pada masa jahiliyah. Dinamakan al-Mu’allaqat (kalung)
karena indahnya puisi-puisi tersebut menyerupai perhiasan yang dikalungkan oleh
seorang wanita.

Menurut Hammad al-Rawiyah, para pujangga Al-Mu’allaqat berjumlah


tujuh orang, yaitu Imru’ul Qais, Zuhair, Tharfah, Antarah, Labid, Amru ibn
Kulsum, dan Al-Haris ibn Hilza. Menurut pengarang kitab Jamharah ada tujuh
orang juga, namun dia mengganti dua nama penyair Amru dan Antarah dengan
A’sya dan Nabighah. Sampai pada masa Tabrizy, ketika mensyarah puisi-puisi
mu’allaqat, dia menggabungkan dua versi jumlah penyair mu’allaqat dan
ditambah satu menjadi sepuluh orang yaitu Imru’ul Qais, Nabighah, Zuhair,
A’sya, Tharfah, Antarah, Labid, Amru ibn Kulsum, Al-Haris ibn Hilza, dan
Abidul Abros.
DAFTAR PUSTAKA

Haeruddin, Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra-Islam, Jurnal NADY AL-
ADAB | Volume 12, Nomor 1, Februari 2016

Manshur, Fadlil Munawwar, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam,
(Yogyakarta: 2011)

Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya,
(Malang: UIN Malang Press, 2008)

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2011)

Yunus, Moch., Sastra (Puisi) sebagai Kebudayaan Bangsa Arab, dalam INZAH
Online Journal Volume 1, HUMANISTIKA : Jurnal Keislaman, Probolinggo
1 Juni 2015  

Anda mungkin juga menyukai