Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH SASTRA ARAB DARI MASA PRA-ISLAM HINGGA MASA MODERN

SERTA MUNCULNYA KAJIAN SASTRA AL-QUR’AN

Pada masa jahili atau masa sebelum Islam yakni pada tahun 500M atau lebih tepatnya 150 th
sebelum hijriyah. Bangsa Arab pada masa itu memberikan makna kata adab dengan
undangan

‫نحن فى المشتاةندعوالجفلى الترى االدب فينا ينتقر‬

Artinya: pada musim paceklik kita mengundang orang-orang kedalam jamuaan makan,
kamu tidak bisa melihat para penjamu dari kalangan kita memilih orang mengundang.

Menginjak pada masa Islam yakni pada masa Rasululah SAW, ‫ الخلفاء الراشدون‬sampai pada
Dinasti Ummayyah. Kata adab pada masa ini terutama masa Rasulullah mengalami
pergeseran yang tidak jauh dari masa jahiliah yakni mempunyai arti Akhlak atau budi pekerti
dan mencakup makna memberikan pendidikan atau pelajaran, begitu juga pada masa ‫الخلفاء‬
‫دون‬FF‫ الراش‬sampai masa Dinasti Ummayyah. Ini dinisbatkan dari sabda Rasuluallah SAW:

‫أدبنى ربى فأحسن تأديبى‬


Artinya: Tuhanku telah mendidik akhlaku sehingga ahlakku menjadi baik.

Dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik
bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib
adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan
akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang
mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya
disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan
sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan
kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya.
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1. Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua
bagian,yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2. Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada berlangsung sejak tahun 1 H/622
M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-
Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M).
3. Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak
132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4. Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai
sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun
1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5. Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari
masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M)hingga masa sekarang.

Pola kehidupan bangsa Arab pada masa pra-Islam dapat dilihat dalam karya sastra
yang merupakan refleksi bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab pada zaman tersebut.
Karena dalam karya sastra tergambar jelas kondisi kehidupan mereka baik yang terkait
dengan kondisi geografis, adat-istiadat, sistem ekonomi, maupun bentuk-bentuk
kepercayaan mereka. Kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), madh
(pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok
tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan
memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Genre sastra Arab Jahiliyyah yang
paling populer adalah jenis syi’r (puisi) di samping amtsal (semacam pepatah atau kata-
kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut
sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun oleh
orang-orang Arab yang memang terkenal dengan kemampuan daya hapal yang sangat
tinggi. Dalam kesusastraan Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara jenis puisi dan jenis
prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra puisi, sastra dalam bentuk prosa tercatat dalam
sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena prosa lebih membutuhkan
kepandaian menulis atau tadwin (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru
dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini
tidak terjadi pada puisi yang telah dicatat dalam ingatan para ruwât (pencerita) tanpa
harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, puisi merupakan
bahasa wujdân (emosi) dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, Sastra puisi Arab
yang paling terkenal pada zaman Jahiliah adalah puisi-puisi alMu’allaqât. Dinamakan al-
Mu’allaqât, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka’bah. sedangkan
prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat
kolektif.
1. Imru’ul Qais
Dikenal dengan nama Jandah ibn hujr al-kindy. Nasab penyair ini sangat mulia, yakni
keturunan raja Yaman yang bernama Hujur Al-Kindy, Raja dari kabilah Bani Asad. Dari segi
nasab ibu dari penyair ini  anak Fatimah binti Rabi’ah saudara Kulaib dan Muhalhil
Taghlibiyah putra dari Rabi’ah, dua perwira Arab yang amat terkenal dalam peperangan Al-
Basus (Zayyat, 1996: 37). Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed di kalangan bangsawan
yang gemar berfoya-foya.
2.      Zuhair Ibn Abi Sulma
  Namanya Zuhair Ibn Abi Sulma Rabi’ah ibn riyah al-Muzany. Penyair ini belajar
kepada Basyamah ibn al-Ghadir paman dari bapaknya. Penyair ini amat terkenal karena
kesopanan kata-kata puisinya. Ia disenangi oleh segenap kaumnya karena kepribadian dan
budi pekertinya yang tinggi, sehingga setiap pendapatnya diterima baik oleh kaumnya.
3.      Nabighah Zibyani
Nama asli penyair ini adalah Abu Umamah Ziyad ibn Muawiyah. Penyair ini sangat
dicintai oleh kabilahnya. Ia selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan raja-raja dan orang-
orang besar dan menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan
kedudukan dan kekayaan
Masa Shadru (masa permulaan) Islam yaitu Masa atau fase munculnya sastra
islam yaitu sejak Islam datang ke jazirah Arab hingga berakhirnya kekuasaan Bani
Umayyah, yaitu sekitar tahun 610-661M. fase ini juga dikenal sebagai masa atau fase
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan masa Khulafa al Rasyidin. Karakteristik
bahasa pada masa permulaan Islam Pada masa tersebut bahasa Quraisy tersebar
kemudian bersatu dengan bahasa-bahasa Arab serta perpaduan semua lahjah dan
intonasi bahasanya. Pada masa ini juga terjadi peningkatan makna dimana luasnya
makna sesuai dengan luasnya bahan yang kongkrit dan abstrak. Pada masa ini pula
terjadi perubahan lafadz-lafadz dan uslub-uslub , seperti perbaikan lafadz bahasa
dengan cara menirukan lafadz-lafadz yang ada di Al Qur’an dan Hadist serta
menjauhkan pemakainan lafadz-lafadz yang ghorib yang tidak mengenakkan
pendengaran serta bertentangan dengan akal sehat dan perasaan yang halus.
Karakteristik sastra pada masa permulaan Islam syairnya Lafadz dan gaya bahasanya
sebagaimana arti dan imajinasinya , yakni tidak lebih tinggi dari masa jahiliyyah ,
dikarenakan turunnya Al Qur’an dalam bentuk natsar yang sangat mempesona
menggeser singgasana syair. Dalam masa ini merata syair Arab yang berbentuk bahar
rojaz dan bahar thowil yang dipergunakan dalam semua tujuan qashidah yang dimulai
dari masalah cinta dan diakhiri dengan pujian, celaan dan lain sebagainya. tidak
dijumpai syair-syair yang berbentuk mubalaghah dan yang memperdalam tentang
pengertian ma’ani yang sukar dijangkau sebagaimana akan dijumpai pada para
penyair dalam masa berikutnya Penggunaan dalam an nasiib dan cumburayu halus
tidak sebagaimana masa Jahiliyyah. Tujuan syair adalah menyebarkan aqidah agama
serta penetapan hukum.

Para khalifah Umayyah berasal dari keturunan Arab yang murni. Mereka memahami
sastra, meresapi puisi bahkan menghiasi retorikanya dengan gaya bahasa yang indah. Dapat
disebutkan di sini, para khalifah yang memiliki perhatian kuat terhadap pertumbuhan sastra
antara lain, Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, bahkan di
antaranya adalah adalah seorang penyair, seperti Walid bin Abdul Malik. Perhatian para
khalifah ini, memiliki dampak yang sangat bagus dalam aktivitas kesastraan. Para khalifah
dinasti Umayyah menganggap bahwa pujian seorang penyair yang didedikasikan kepadanya
merupakan bukti keberpihakan penyair itu dan kabilahnya kepada sang khalifah.
Bagaimanapun, penyair pada masa itu, tak ubahnya seperti koran, televisi, radio pada saat ini,
yang memiliki kekuatan politis dan mampu membentuk public opinion yang sangat kuat.
       Setiap penyair tidak terlepas dari fungsi politis ini. Mereka mendukung partai, baik
secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang harus berlaku
munafiq dengan mengatakan sesuatu yang tidak diyakini, menentang perasaan sendiri demi
penguasa dan keselamatan, atau demi mengharapkan pemberian hadiah dari para khalifah dan
pejabat. Puisi telah menjadi potret atau cermin carut-marut, riuh-rendah silang pendapat yang
terjadi antarpartai dan kelompok. puisi masa Umayyah berkembang orientasi/tujuannya
sebagai tindakan reaktif atas problematika zamannya. Sebagaimana dijelaskan di atas, situasi
politik masa Umayyah mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Munculnya aliran-aliran politik, mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan
telah melahirkan jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik, 2) Puisi pertikaian individual,
dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut. Yang dimaksud dengan puisi politik adalah seni verbal
contest yang mendukung suatu partai politik tertentu dalam menghadapi partai lawannya.
Para penyair menjadi penyambung aspirasi resmi bagi setiap kelompok dengan makna-makna
yang mengandung argumentasi agama dan kepentingan kelompok yang disampaikan dengan
gaya bahasa yang tegas, kuat dan tajam. Salah satu contohnya adalah puisi Ka’ab bin Ju’ail
dari kelompok Mu’awiyah berhadapan dengan Najasyi, penyair dari kelompok Ali.
Sementara puisi pertikaian individual adalah puisi satire di mana satu satu individu
membanggakan diri dan kaumnya sambil mencela dan mengejek individu lainya. Sebagai
reaksi, individu yang dicela membalas dengan membela diri dan membanggakan kaumnya
disertai dengan celaan bagi penyair lawannya. Adapun penyair yang terkenal dalam hal ini
adalah al-Akhtal, al-Farazdaq, dan Jarir, yang akan kita bahas nanti.
     Sedangkan puisi cinta dengan bentuknya yang vulgar diciptakan oleh penyairnya secara
eksplisit. Ia melukiskan kisah cinta yang manis, pertemuan, dan kebersamaan dengan kata-
kata yang jelas dan tidak menyembunyikan fakta cerita dalam ketaklangsungan ekspresi
puisi. Di antara penyair dari jenis adalah Umar bin Abi Rabi’ah. Sebaliknya, terdapat puisi
cinta yang diekspresikan oleh penyairnya dengan cara yang sangat lembut. Penyair tipe ini
hanya disibukkan oleh satu objek saja, yaitu kekasihnya. Dalam hidupnya, ia tidak
mengetahui apapun selain kekasih satu-satunya yang kemudian dituangkan dalam puisi-
puisinya. Ia tidak peduli dengan tantangan, kesengsaraan yang menghadangnya dalam proses
percintaan tersebut. Penyair yang terkenal dengan jenis ini adalah Jamil Busainah, Qais
Lubna, dan Qais ‘Amir (al-Mulawih) yang terkenal dengan Laila Majnun.
Pada Masa Dinasti Abbasyiah, puisi mengalami perkembangan yang amat
pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang lebih terbuka, mereka mau bercampur dengan
bangsa-bangsa lain. Banyak orang Arab yang menjalin pernikahan dengan orang-orang
Persia, bahkan sampai mengangkat orang Persia menjadi kepala daerah, menteri, atau
panglima tentara yang tidak mungkin dilakukan pada era sebelumnya. Tidak hanya terjadi
antara bangsa Arab dengan bangsa Persia, tetapi juga dengan bangsa Turki, India, dan Barbar.
Oleh karenanya, memberikan pengaruh yang sangat penting dalam perkembangan sosial dan
budaya bangsa Arab, terutama di bidang bahasa dan sastra. Ada pula dorongan dari pada
khalifah dan para pemimpin yang berkuasa pada saat itu. Sehingga dalam puisi-puisi mereka
seringkali ditemukan tema-tema yang mengagung-agungkan kedudukan, kekuatan, dan
kemuliaan para khalifah. Banyak pula memasukkan pemikiran-pemikiran filsafat dalam puisi,
seperti dalam puisi Abu Tamam, Al-Mutanabbi, dan Abu A’la Al-Ma’ary.
Puisi tidak mengalami perubahan yang radikal, keadaannya tetap seperti sediakala.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-delapan, tema-temanya lebih disesuaikan dengan
selera baru dan cara hidup masyarakat Dinasti Abbasiyah. Akibatnya timbul suatu konflik
antara aliran penyair-penyair baru (muhdithun) dengan pendukung puisi lama dengan segala
nilai-nilai yang unik. Penyair-penyair baru yang memperlihatkan kecenderungannya terhadap
senandung cinta, minum-minum, pemikiran filsafat, dan sufi, mengejek orang-orang yang
hanya meniru puisi lama dengan alasan, puisi-puisi lama hanya membicarakan hal-hal yang
kuno, tak bernilai, dan hal-hal yang merupakan ciri khas kehidupan padang pasir.
Kesustraan arab pada masa kemunduran Karakteristik Syi’ir menurut Fakhuri (1987)
Melebihkan dalam pemakaian penulisan lafaz, Mendeskripsikan sesuatu yang umum, Syair
yang menyayat perasaan, Masuknya lafaz ‘amiyah dan wazan al-sya’biyah kedalam syair,
Kalimat yang jelas dalam mencela, Tidak mementingkan makna, Mempunyai bentuk yang
bervariasi, Karakteristik Prosa Natsar Fanny : Tulisan-tulisan Administrasi, Surat-surat
Sastra. Natsar ‘ilmy Pada umumnya natsar ilmy menggunakan uslub mursal yang mudah di
fahami. Sastrawan yang masyhur pada masa kemunduran As-Syab al-Zharif, Al-Bushairi,
Abi al-Warisi, Shofiyuddin al-hali, Abi Nubatah.

Kesusastraan Arab Pada Masa Kebangkitan Islam, perkembangan novel dibagi menjadi
tiga tahap: Pertama, Novel yang masih dipengaruhi oleh al-maqamat, seperti novel Hadits
Isa bin Hisyam karya Muhammad al-Muwalhi (1858-1930). Kedua, novel terjemahan yang
sudah meninggalkan ciri maqamatnya, seperti novelnya Rifaat-Tahtawi, yang
menerjemahkan novel Telemaque. Ketiga, novel asli yang ditulis oleh para novelis Arab,
seperti Zainab, karya Muhammad Husain Haikal. Cerpen-cerpen pertama dalam kesusastraan
Arab juga berupa terjemahan atau saduran dari kesusastraan Eropa. Pelopor cerpen pada
masa ini adalah Salim Butrus al-Bustani. Terdapat juga drama yang muncul dalam
kesusastraan Arab yang dipelopori oleh Marun Naqqas, lahir di Libanon tahun 1817. Ia
menulis drama musikal pertama yang berjudul Abu Hassan Si Tolol. Pada masa kebangkitan
dan masa Modern, perkembangan puisi dapat dibedakan menjadi tiga aliran:

 Aliran al-muhafidzun, yaitu aliran yang masih memelihara kaidah puisi Arab secara kuat,
misalnya keharusan menggunakan wazan dan qafiah,
 Aliran al-mujaddidun, yaitu aliran yang muncul karena adanya perubahan situasi politik,
sosial dan pemikiran.
 Aliran romantik, adanya pengaruh aliran romantik dari penyair Barat. Termasuk dalam
kategori ini adalah Khalil Matran, Abbas al-Aqqad.

Sejarah kesusastraan Arab Modern dimulai dari akhir Perang Dunia Pertama,
khususnya mulai dari tahun 1920, yaitu ketika lepasnya beberapa Negara Arab dari
pemerintahan kolonialisme. Pertama-tama adalah Irak yang merdeka menjadi sebuah
kerajaan pada tahun 1921, kemudian Mesir yang berhasil memproklamasikan sebuah
konstitusi baru, yaitu pada tahun 1923, setelah pemerintah Inggris berakhir pada tahun
1922, lalu Libanon yang berhasil mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Republik pada
tahun 1926, dan setelah itu, negara-negara Arab lainnya (Sutiasumarga,2000:113). sastra
Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase
modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran sastra yang muncul silih
berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap model sastra yang muncul sebelumnya
maupun karena untuk menyempurnakan aliran lainnya yang muncul dalam kurun waktu
yang sama. Diantara sastrawan-sastrawan Arab (Mesir) terkemuka yang dipengaruhi oleh
pemikiran Barat adalah Abdur Rahman Syukry (1887-1956), Abbas Mahmud ‘Aqqad
(1779-1964), dan Ibrahim Abdul Qadir al-Mazany (1890-1949). Dalam madzhab sastra
Arab, ketiga sastrawan ini termasuk dalam kelompok pre-romantics yang menghidupkan
pembaharuan pemikiran sastra Arab di Mesir dan mendirikan perkumpulan yang disebut
“jama’atut Diwan”. Kesusastraan Arab lebih kaya pada masa ini baik dari segi
kualitasnya maupun kuantitasnya. Temanya lebih bervariasi dan orang-orang modern
lebih terbuka terhadap pengaruh eksternal, baik dari timur maupun barat.

Sastra arab diaspora atau mahjar. Kata diaspora diambil dari peristilahan tentang
orang-orang etnis manapun yang berpindah tempat atau meninggalkan tanah air etnis
tradisional mereka. Kata tersebut bila dikaitkan dengan kata adab mahjar berarti
merupakan karya sastra rantauan orang Arab atau orang Arab imigran yang berada di
negara non Arab yang kemudian menciptakan karya sastra. Karena mereka berada dalam
komunitas yang terbatas di negara rantauan dan juga sulitnya karya sastra mereka
terpublikasi maka mereka membentuk beberapa organisasi jurnalistik sebagai media yang
mewadahinya.

Karakteristik sastra Arab al-Mahjar tidak terlepas dari pengaruh pengalaman hidup


para sastrawannya baik secara politis, religius, sosiologis bahkan psikologis yang banyak
mempengaruhi karya sastra arab diapora. Diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi
dan merupakan suatu realitas yang dialami mereka, yaitu:

a.    Budaya timur dengan berbagai tradisi, kebiasaan, pandangan hidup dan obsesinya
dimana ia hidup bermigrasi.

b.    Pengetahuan dan kajiannya yang luas tentang karya klasik arab, serta pengalaman
kulturnya.

c.    Rasa rindu terhadap negerinya yang penuh dilema baik politik maupun sosial.

d.   Pemahaman, kemahiran, pengetahuan dan emosinya yang baik terhadap bahasa asing.

e.    Pengaruh kebebasan, kemajuan budaya, sosial, politik negeri yang baru ditempatinya.
(Hambali: 2009).

Awal mula pendekatan sastra Al-Qur’an, sebagai karya sastra tentunya dapat
dilakukan pendekatan dengan metode al-manhaj al-adabi atau pendekatan sastra. Akan
tetapi, pendekatan ini tidak populer pada masa klasik, walaupun pada saat itu, pendekatan Al-
Quran sudah ada. Tokoh-tokoh pada masa itu seperti, Al-Thabari, Ibnu Katsir, al-
Zamakhsyari, belum memperkenalkan metode tersebut. Amin Al-Khuli yang pertama kali
memperkenalkan metode ini pada paruh akhir abad ke-20. Tujuan metode ini untuk
memperoleh pesan Al-Qur’an secara menyeluruh dan terhindar dari kepentingan individual
ideologis.

I’jaz Al-Qur’an, Kata i’jaz merupakan masdar dari kata ‫ أعجزـ يعجز‬yang memiliki
beberapa arti, diantaranya melemahkan, meniadakan kekuatan, yang mustahil ditirukan.
Kemukjizatan al-Qur’an dari segi bahasa dapat dilihat dari tiga hal:

1. Susunan kata dan kalimat dalam al-Qur’an yang jika diperhatikan dan diteliti secara
seksama maka susunan kata dan kalimat al-Qur’an terdapat banyak keistimewaan.
2. Keseimbangan redaksinya. Hal ini dapat dilihat penelitian yang dilakukan oleh Abd Ar-
Razaq Naufal dalam I’jaz al-‘Adadiy li al-Qur’an al-Karim.
3. Susunan bahasanya berbeda dengan semua susunan-susunan bahasa arab. Maka al-quran
datang dengan susunan bahasa yang indah lagi mempesona mengagumkan orang arab
dengan kesempurnaannya dan keindahannya, yang didalamnya terdapat ciri khas yang
tinggi yang tidak ditemui dalam perkataan manusia seperti yang terdapat dalam alquran.
Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an dan Pembuktiannya. Pandangan yang dikemukakan:
1. Menurut Abu Ishaq Ibrahim An-Nazam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-
Murtadha, kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara shirfah (pemalingan).
2. Sebagian ulama ada yang mengatakan kemukjizatan al-Qur’an ialah karena gaya
bahasanya membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona.
3. Satu kelompok ulama mengatakan mukjizat al-Qur’an terletak pada balagahnya yang
mencapai tingkatan tinggi dan tidak ada bandingannya.
Adapun alasan para mufassir menggunakan pendekatan sastra dalam megkaji al-
Qur’an diantaranya ialah :
1. Untuk mengungkap pesona dalam al-qur’an
2. Untuk menggugah perasaan pembaca secara rohani.
3. Untuk membongkar kebuntuan persepsi atas sakralitas al-quran.
4. Untuk mendapatkan pesan al-quran secara menyeluruh.
5. Untuk menyingkap sisi keindahan bahasa al-quran.
6. Untuk menjelaskan keistimewaan dan keadaan arti kandungan al-quran.
7. Untuk memahami ayat al-quran secara proporsional.
8. Untuk menghindari pembauran makna-makna yang sebenarnya bukan yang dikehendaki
al-quran.

Anda mungkin juga menyukai